Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Gemerlap bintang kini terasa indah bagi Leon. Awalnya, nuansa langit malam yang anggun sama sekali tidak terasa dengan kehadiran Lesel. “Hah!” Leon merebah, menikmati bentangan angkasa yang luas di atasnya. “Bos! Kami tidak percaya, akhirnya ada bersama Anda lagi,” ucap salah seorang awak kapal yang baru saja meletakkan satu krat bir di sisi kiri Leon. Lantai dek dengan bunyi kayu yang berderit menjadi syahdu ketika Leon menatap wajah pemuda itu. “Ya! Kau benar. Aku pun tidak menyangka akan kembali bertemu kalian.” Mereka tertawa bersama, menikmati kelegaan setelah operasi penyelamatan yang tiba-tiba. Semua orang tidak menyangka bahwa … rencana Leon sungguh minimalis dan juga hampir tidak menimbulkan resiko yang berarti. “Anda tahu? Kami hampir berlayar ke Samudera Pasifik jika Anda tidak lagi membutuhkan bantuan kami,” raut wajah si pemuda berubah muram. “Kalian tahu, kan? Aku selalu membutuhkan bantuan kalian,” Leon terkekeh. Wajah si pemuda kembali cerah. Senyum lebar sege
“Alat ini rusak?” Leon menatap telepon satelit yang ada pada genggamannya. Sang kapten menyela, meminta izin untuk mengecek alat komunikasi miliknya. “Seharusnya alat ini baik-baik saja.” Leon menatap telepon satelit itu dengan sedikit rasa cemas. Ia tidak bisa menunda kabar lebih lama. Leon khawatir, pihak Rossie akan melancarkan serangan atau semacamnya yang hanya memperumit ketegangan antar-dua negara. "Sinyalnya seharusnya baik-baik saja," ujar Kapten sambil memeriksa layar dan tombol-tombol pada alat komunikasi itu. "Tapi sepertinya tidak ada respons dari menara kendali di Pulau Lesea." Leon mengangguk. “Bagaimana mengecek kerusakannya?” tanya Leon yang memang tidka mengetahui apapun tentang perangkat keras ini. Kapten kapal mencoba memeriksa dengan pandangannya, ia juga tampak mencopot baterai dan juga mengecek antena yang ada pada telepon itu. “Saya akan coba membawanya ke Hui. Dia adalah teknisi kapal ini.” Leon mengangguk. “Tolong cepat.” “Bak, Bos!” Kapten segera mem
Kapal terus melaju melintasi lautan yang dalam. Mentari di ufuk timur mulai menampakkan diri malu-malu, kendaraan besi besar itu terus membelah perairan untuk sampai ke pelabuhan yang dituju: Pelabuhan Rossie. Pagi itu, di atas kapal Serenade, semangat awak kapal tampak membara. Mereka telah melewati malam yang penuh peristiwa. Kini, matahari terbit memberikan harapan baru. Dek kapal yang berkilauan terkena sinar mentari seolah menyiratkan bahwa kejadian-kejadian sebelumnya memang benar hanya tinggal kenangan. “Selamat pagi, Bos!” sapa awak kapal yang telah terjaga. Leon tersenyum dan membalas sapaannya. Sebentar lagi, mereka akan tiba di tujuan akhir kapal. Perpisahan benar-benar akan terjadi. “Bagaimana kabar Anda?” “Yah, sudah lebih baik,” sahut Leon sambil menatap ke arah lautan lepas. Beberapa ikan tampak menyembul ke permukaan, seolah mengantarkan kepergian sang penumpang kapal. “Alat komunikasinya sudah tidak rusak, ‘kan?” tanyanya ingin memastikan. Pria itu mengambil sebo
Sehari sebelumnya, di Mansion Rossie, suasana hening sudah mulai terasa. Tidak ada lagi kehebohan karena insiden yang menimpa nona mereka. Kondisi Arren sudah terlihat lebih baik. Kesehatannya menunjukkan peningkatan. Siapa sangka? Obat yang diberikan oleh utusan Rocky itu memang memberikan khasiat yang seharusnya. Namun, anehnya, Arren mulai merasakan sakit pada perutnya. Rasa nyeri itu awalnya sepele, namun kemudian, menjadi lebih intens dan tak tertahankan. Arren mulai mengkhawatirkan keadaan janinnya. “Bagaimana janinku?” tanya Arren pada dokter yang sedang melakukan kunjungan rutinnya. “Janin Anda baik-baik saja, hanya … Anda harus menjaga kesehatan secara lebih intensif,” sahut sang dokter dengan ekspresi yang aneh. Arren memandang dokter itu dengan tatapan penuh perhatian. “Mengapa Anda tidak menatap wajah saya, Dokter?” tanyanya. Arren merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dokter itu menggeleng. “Saya … tidak apa-apa.” “Anda dokter baru? Kemana perginya dokter yan
Wajah Arren yang muram berubah cerah ketika melihat Ava. Gadis berwajah bulat itu sungguh menggemaskan dan menghangatkan hatinya. “Bagaimana kabarmu, Ava?” tanya Arren sambil merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Saya baik, Nona ….” Ava memeluk Arren dengan lembut dan penuh perasaan. Sejenak, mereka saling menenangkan diri masing-masing, seolah-olah, misi penyelamatan di kaki gunung itu baru saja berlangsung kemarin. “Aku merindukanmu, Ava.” “Aku juga, Nona. Bagaimana keadaan Anda? Saya mendengar bahwa Anda sedang sakit,” tanya Ava sambil mendongakkan kepala. Arren hanya tersenyum samar sambil mengelus rambutnya. “Ya. Tapi sekarang, aku baik–baik saja,” jawab Arren tanpa mau memberitahu keadaan yang sesungguhnya. Arren tidak ingin Ava menjadi cemas dan sedih hatinya. “Nona …,” Bibi Ava memanggilnya. “Oh, halo! Aku tidak memperhatikanmu. Kau ….” “Saya Esme, bibinya Ava. Anda masih ingat, ‘kan? Kita pernah bertemu di taman kota,” jawab Esme sambil tersenyum. Arren mengangguk
Waktu terus bergulir, tak terasa, dini hari pun tiba. Pasukan khusus telah bersiap untuk lepas landas menuju ke perbatasan Rocky melalui udara. Suasana penuh ketegangan memenuhi markas mereka. “Lapor, Kapten! Kita siap berangkat!” tegas pemimpin regu kepada Kapten Selena. Kapten mengangguk dan memberi persetujuan agar misi segera dilaksanakan. “Laksanakan!” “Siap! Laksanakan!” Pasukan berderap maju menuju ke pintu ke luar, Clark menyusul di belakang rombongan. “Kapten, mohon bantuannya!” “Tentu, Clark! Kita pasti bisa melakukannya.” Sementara persiapan lepas landas segera dimulai, seorang pria berjas tampak lari tergopoh-gopoh sambil meneriakkan nama ‘Clark’. Suaranya tenggelam dalam deru mesin helikopter yang bergemuruh, Clark tidak mendengarnya dengan jelas. “Tuan Clark!” Clark menyipitkan pandangan, mencoba melihat secara jelas. “Hans?” Clark mengenali sosok yang sedang berlarian itu. Beberapa saat kemudian, pria itu mendekat dan kini, ia sudah berada di hadapan Clark. “Tu–
Sebelum terperosok jatuh, sebuah lengan kekar segera merengkuh pinggangnya. Rengkuhan itu … Arren mengenalnya. “Le–leon?” Arren terperanjat. Derai air mata membasahi wajahnya. “Aku tidak bermimpi, kan?” Ia terus mempertanyakan keberadaan suami yang sedang dicarinya. Bagaimana … Leon sudah berada di hadapannya? “Kau sangat ceroboh, istriku,” ucap Leon sambil menarik Arren mendekat. Kali ini, rengkuhan itu berubah menjadi pelukan. Detik kemudian, deru napas mereka beradu dalam momen indah yang begitu intim dan mendalam. “Leon! Oh! Sayangku!” Arren segera meraba wajah sang kekasih hati yang telah lama pergi itu. Seolah tak mempercayai keajaiban yang hadir begitu nyata, Arren memaksa semua panca inderanya untuk memastikannya. “Mmmh ….” Ia bahkan melumat bibir tebal nan menggairahkan milik Leon dengan gairah yang membara. Seperti … seorang singa betina yang sedang mencengkeram mangsa. Tidak menolak, Leon membiarkan istrinya menyatakan kerinduannya. Ah. Beginikah rasanya dicintai deng
“Nona!” Pelayan Arren berteriak sambil berderai air mata ketika melihat Arren baik-baik saja. Setelah Leon menemukannya, Arren tidak keluar kamar sama sekali hingga pagi tiba. “Olin … maafkan aku,” ucap Arren lirih, merasa bersalah pada pelayan pribadinya yang ia tipu. Pelayan itu menangis, namun sebenarnya tangis itu adalah tangis bahagia. Ia tidak merasa tersinggung ataupun tersakiti hatinya hanya karena ditipu oleh sang nona. Sang pelayan bersyukur bahwa nonanya pulang selamat dan baik-baik saja. “Jangan membuat jantung saya copot, Nona!” isaknya. “Iya … iya ….” Arren mengusap kepala pelayannya yang tak ubahnya seperti saudari sendiri. Usia mereka hampir sama. Arren pun tidak merasa memiliki jarak dengannya. “Arren. Kau benar-benar!” Kali ini, protes datang dari sang nyonya besar. Arren hanya meringis sambil memberi kode kepada Leon agar dapat membantunya menenangkan sang nenek yang sepertinya murka. Leon melengos sambil mengangkat bahu, tidak ingin ikut campur dalam urusan