Bab 1
"Hei, pria tua! Sampai kapan kau terus menghukumku begini?"
Cinta menarik sudut bibir, mengejek dirinya sendiri saat menyadari Zaki sudah mencengkeram pinggang ramping miliknya.
Zaki menyeringai kejam di ujung langkah terakhirnya, tepat di ujung sofa ruang keluarga. Kini dia berhasil mengungkung tubuh indah itu dalam kuasanya.
"Aku tidak punya waktu meladeni wanita gila sepertimu."
Penguasa dunia bisnis dengan pesona paripurna itu melempar kata-kata belati sambil terus meramas pinggang indah yang tiba-tiba menjadi pusat perhatiannya saat dia muncul di pintu ketika pulang kerja.
"Tapi jika kau menginginkannya, mari kita lakukan."
Bahkan dingin udara malam disertai hujan dan petir menggelegar di luar saat ini, tak mampu meredam panasnya aura yang terpancar dari wajah tanpa ekspresi tersebut.
Masalah Zaki cuma satu. Selama ini, pemilik bibir berbentuk hati itu mengaku masih belum bisa move on dari masa lalunya.
"Akh! Kau bahkan tidak pernah bersikap lembut padaku."
Saat ini, pikirannya teralih ke malam pertama pernikahan mereka yang berujung zonk.
"Kau hanya istri di atas kertas dan tak bisa memiliki hatiku. Jadi berhenti berharap kalau aku akan menyentuhmu dengan lembut."
Kalimat penolakan penuh napsu kala itu berakhir dengan penyiksaan raga yang meluluhlantakkan ego wanitanya. Lebih parah lagi, Zaki dengan angkuh melolongkan nama seseorang di sela hangover yang mendera hingga memicu rasa trauma mendalam di hatinya.
"Hanya dia yang pantas kusebut namanya karena hati ini, denyut nadi ini, juga detak napas ini, semua miliknya."
Memalukan, bukan? Hingga Cinta memilih menyudahi foreplay sebelum Zaki bertindak lebih jauh.
Untung Cinta belum sepenuhnya mempersiapkan diri dengan ritual parfum pemikat atau bahkan memakai baju kurang bahan yang disodorkan sahabat terbaik kepadanya sehari sebelum pernikahan. Kalau tidak, entahlah. Barangkali malam itu, dia akan lebih dipermalukan lagi oleh Zaki sampai lupa caranya bernapas.
Mengingat itu, wanita bertubuh indah ini ingin sekali menenggelamkan diri ke dasar bumi yang terdalam.
"Sial!" umpatnya merasa tak mampu membuang jauh bayangan luka yang ditorehkan hingga membekas ke jiwa maupun raga.
Bukan tanpa alasan, pria bercambang halus, bertemperamen tinggi itu kerap menyakitinya dalam kondisi apapun. Terhitung setahun mereka menikah, sepanjang itu pula dia mendapat perlakuan kasar dari Zaki.
"Dia bahkan tak punya hati."
Penyiksaan demi penyiksaan membuat Cinta sendiri berasumsi kalau dalam diri suaminya terdapat bibit sadistik yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Cinta memilih menarik diri saat mendapat kesempatan. Dengan cepat dia menghindar sambil memulai aksinya menyambut kepulangan Zaki, mencoba menahan diri agar tetap bersikap manis di depan pria bergelar suami tersebut meski hati dan pikirannya berbanding terbalik.
"Selamat datang, Suamiku," sapanya lembut, namun dalam hati justru terbahak sumbang. 'Sampai kapan ini berakhir?' Jujur, dia sudah lelah dengan segala kepalsuan.
"Di mana Farhan?" Alih-alih menjawab, Zaki malah menanyakan keberadaan sepupu jauhnya yang baru pulang dari luar negeri.
Sepenting itukah posisi Farhan sampai dirinya sendiri diabaikan?
"Di kamar. Aku baru saja menyuruhnya beristirahat." Cinta memaksa senyum.
Zaki tidak lagi bertanya melainkan memasang aba-aba berlalu, namun Cinta sigap menahan pergelangan tangannya.
"Suamiku," panggilnya lirih.
Zaki bergeming. Matanya memandang lurus tanpa ada keinginan untuk menoleh.
"Aku tidak punya waktu meladeni hal remeh," balas Zaki datar sembari menepis pelan tangannya. "Jadi tidak perlu berpura-pura manis di depanku."
Ditelisik dari sisi manapun, kebersamaan selama ini memang tidak memberi dampak positif bagi hubungannya meski mereka selalu semeja, sekamar, seranjang, tetapi mereka tidak sehati karena tidak pernah menyatukan raga.
Cinta berdeham.
"Aku sudah melakukan semua yang kau inginkan, bahkan menjalani perintahmu dengan sepenuh hati."
Ucapannya berhasil membuat Zaki menoleh sejenak dengan ekspresi misterius, lalu memilih kembali ke posisi semula.
"Katakan apa maumu, jangan membuang waktuku."
"Tidak bisakah memberiku sedikit hak sebagai seorang istri setidaknya detik ini, Suamiku? Anggap saja demi menebus kesalahanmu di malam pertama pernikahan kita. Kau berniat menyentuhku begitu ganas, tetapi memanggil nama orang lain."
Dari samping, Cinta memandang lekat jakun yang tampak bergerak.
"Atau biarkan saja aku pergi, Zaki." Wanita tersebut memelas dan langsung mendapat tatapan miring dari suaminya.
"Kau mengancamku?"
'Sedikit,' balas Cinta dan tentunya dalam batin. "Zaki, kurasa kita perlu memperbaiki hubungan ini." Dia merengek, entahlah.
Baginya semua masih belum terlambat dan wanita ini memberanikan diri tepat di peringatan satu tahun pernikahan mereka.
"Toh ini anniversary pernikahan kita, Suamiku." Lagi, Cinta memelas. Dia merasa perlu membahasnya.
Netra mereka saling beradu. Cinta sedikit gugup, namun berupaya mengontrol suasana hatinya.
"J-jadi wajar jika aku ingin membahas tentang kita."
Tatapannya tidak beralih dari pancaran predator milik Zaki meski nyalinya menciut. Dia memang sedang ingin membaca respons dari sorot mata itu secara langsung, bukan begitu?
"Kau menginginkannya?" Zaki mengangkat salah satu sudut bibir. Cinta tertunduk menahan malu. "Baiklah, lekas persiapkan dirimu dalam lima belas menit. Waktuku tidak banyak," sindirnya membuat Cinta seketika tertegun.
"Apa tidak sebaiknya kau mandi terlebih dahulu, Suamiku? Lagi pula kita harus mengajak Farhan untuk makan malam bersama." Dia paham betul maksud sindiran Zaki, namun Cinta memilih mengikuti permainannya itu.
Zaki terbahak lalu berkata dengan datar.
"Makanya jangan menuntut sesuatu yang tidak bisa kuberikan jika tidak ingin dihukum." Ucapannya sangat menekan. Cinta terpaksa mengangguk dan berlalu cepat.
Niat awal ingin menyambut tas di tangan Zaki, sengaja diurungkan mengingat pria blasteran berambut pirang itu sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk berbakti sebagai istri. Hal ini sempat membuat Zaki memandang kepergiannya dengan ekspresi tidak terbaca.
"Antarkan kopi ke ruang kerjaku!" Cinta hanya mengacungkan jempol tanpa menoleh. Dia terlanjur kecewa dengan sikap suaminya.
Cinta sudah siap di depan pintu memegang baki berisi dua cangkir kopi hitam dan bersiap masuk ke ruang kerja Zaki. Dengan menggunakan sisi nampan, dia mendorong pintu yang sedikit terbuka sambil melongok.
Terdengar desahan kecil dari dalam.
"Aku mencintaimu, Sayang." Mata Cinta tidak rabun, dia melihat pria itu menggerayangi dada bidang suaminya.
"Hentikan, Farhan! Ini terlarang," elak Zaki risih.
"Namaku Farah! Bukan Farhan. Kenapa?! Apa kau tidak mencintaiku lagi dan ingin membuang perasaanku begitu saja?" Farhan terlihat menarik diri dengan kesal.
"Dengar Jack, kita bisa pergi ke negara yang melegalkan hubungan ini dan ayolah! Kita menikah, lalu membangun impian bersama dan hidup bahagia di sana."
"Kau pergilah, aku akan tetap di sini karena ada istri yang patut kujaga hatinya."
"Ini tidak adil, Jack. Kau sudah berjanji untuk tetap bersamaku sampai maut memisahkan. Tapi sejak kau menikah, beraninya mengabaikanku begitu saja? Hey, sejak itu, kau membuat Farahmu ini frustrasi lalu memilih pindah ke Amerika dan sekarang kau memintaku pulang. Aku pikir kau akan merindukanku, tapi ternyata ...."
"Bukan begitu Farhan," potong Zaki cepat, namun seketika mendapat tatapan kesal dari pria tersebut.
Cinta melongo. Sejak kapan suami superior-nya lemah di depan seseorang? Otaknya berputar ligat ke memori malam pertama pernikahan mereka saat Zaki mabuk berat dan mulai mencumbunya.
"Farahdina!" Nama itu yang dilolongkan Zaki dengan penuh hasrat dan penghayatan, membuat Cinta langsung menarik dari dan berlari keluar kamar membiarkan Zaki terlempar ke kasur dan akhirnya terlelap.
Pikirannya melanglang, mencerna obrolan dua makhluk berjakun di depan sana. Farhan memanggil Zaki dengan sebutan Jack lalu menamakan dirinya sendiri sebagai Farah.
"Apa Farahdina yang disebut suaminya di malam pertama itu merupakan nama lain dari Farhan? Jadi selama ini mereka berdua sepasang ...."
Kilat petir di luar kembali menggelar.
"Astaga!"
Cinta meneguk saliva kasar. Tak sadar kedua tangannya naik menutup kuping.
Tak pelak nampan digenggaman terjatuh membentur lantai menimbulkan bunyi pecahan cangkir yang keras.
Prangg!
Bab 2Prangg!Mata Cinta melebar. Sebelah tangannya turun membekap mulut. Sementara tubuhnya bergetar hebat lantaran tidak bisa menahan keterkejutan."Cinta?!" Dan lebih terperanjat lagi saat Zaki menoleh ke arahnya dengan tatapan menguliti."Siapa yang mengizinkanmu menguping obrolanku, hmm?" Zaki berjalan maju. Di usia yang mencapai kematangan sempurna, pria itu terlihat seperti sedang berhadapan dengan keponakannya.Cinta mundur beberapa langkah, tetapi amarahnya mendesak lidah untuk melawan."Menjijikkan!" pekiknya tidak terkendali mengubah paras dingin pria tersebut menjadi berang."Berhenti mengumpat!" ujarnya memberi peringatan. "Sekarang dengarkan aku." Seperti biasa, dia bertitah datar. Namun, wanita itu sudah siap menghadapinya."Mau menjelaskan apa? Aku bisa melakukan semua yang kau inginkan selama ini, tapi kau seenaknya merusak pernikahan dengan hasrat masa lalumu?"Perasaannya benar-benar hancur melihat kenyataan bahwa Zaki menyembunyikan aib di balik rumah tangga mereka
Bab 3Cinta terdiam. Zaki lanjut berkata, "Ketahuilah, Cinta! Apa yang kau lihat tidak seperti yang kau bayangkan!" Tangannya liar menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukan.Napas lelah pria itu membawa tiupan angin nakal menyentuh telinga menyertai aroma mint ke indra penciuman, Cinta berupaya menarik diri."Aku benci kalian!" Namun, raganya cukup letih dan tak sanggup lagi bergeser. Sedang Zaki dengan ringisan lelah mencoba beringsut, menggeserkan diri, lalu bangkit di sela napas tersengal."Apa kau perlu bukti untuk merasakan seberapa perkasa diriku?" desak Zaki lagi seolah menghendaki Cinta percaya kepadanya.Wanita itu mendecak. Tungkainya sudah tidak bisa digerakkan. Juga tubuh indahnya menggigil parah, tetapi mulutnya masih mampu berkonfrontasi meski terdengar seperti meracau dan sangat lirih. Nyaris tidak terdengar."K-kudengar F-farhan memintamu memanggilnya Farah. B-bukankah nama itu mirip dengan ma —""Hentikan pikiran konyolmu!" potong Zaki cepat.Di balik remang, Zaki bis
Bab 4"Setelah itu, aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi." Cinta memelas.Kini dia menoleh dengan mengangkat dagu. Menatap kelopak mata tajam yang masih memadangnya lekat.Sejenak, pria itu menyapu keningnya dan berkata, "Well! Itu tidak sulit. Tapi, sebelumnya aku kutawari beberapa pilihan yang wajib kau kerjakan dan semuanya akan menjadi mudah."Cinta mendecak malas. Bagaimana mungkin ada pilihan yang wajib dikerjakan semuanya? Itu sama saja dengan menghukum atau memerintah."Apa itu?""Pertama, Ibumu masih dalam perawatan ICU, tinggal bilang padanya soal perceraian ini, lalu lihat hasilnya."Dua tangan dialihkan ke saku celana yang dikenakan."Kedua, jangan lupa mengembalikan semua asetku yang selama ini melindungi perusahaan mendiang ayahmu. Aku berencana membuat perusahaan itu kembali ke posisi awal seperti waktu ayahmu datang memohon kepadaku."Cinta tertegun. Sungguh pilihan sulit. Memilih salah satu di antaranya saja susah apalagi mengerjakan keduanya.'Bagaimana aku bisa
Bab 5 Satu bogem berhasil mendarat ke wajah Farhan hingga sudut bibirnya berdarah. Lelaki itu meringis. "Kau melukai aset berhargaku, Bro?" Farhan menyapu pelan bagian bibirnya yang terluka. "Jika begini, para wanitaku akan menjauh!" protesnya tidak terima, memicu amukan dari Zaki. Zaki menyeringai, gelegarnya merambat hingga menusuk pori-pori. "Bahkan menjauhnya seribu wanitamu tidak akan sama dengan nyawa istriku, bodoh!" hardiknya bertambah berang. Berulang kali Zaki menyerang. Pemuda itu meringis pasrah saat dirinya ditinju keras oleh tangan amarah tersebut, tanpa ingin membalasnya. "Argh!" Akhirnya Zaki sendiri yang menyudahi perbuatannya lalu memilih pergi dari sana dengan sisa gemuruh di dada yang belum tuntas. "Awas, kalau sampai berbuat onar lagi!" Zaki tidak main-main dengan ancamannya dan Farhan tahu itu. Pria lima tahun di bawahnya itu mulai terbahak getir. "Ya! Aku mengerti sekarang!" pekiknya lantang mengikuti arah punggung Zaki. Dengan kelakar dia kembali
Bab 6"Tunggu! Ini mencurigakan.""Kau menyamakanku dengan asisten pribadimu, menempatkanku di belakang demi memuluskan tujuan? Zaki mengedikkan bahu. "Selama itu membuatku tenang, kenapa tidak?""Jadi kau membawaku malam ini bukan sebagai istri melainkan ingin menghukumku di sana?"Lagi, Zaki melempar ekspresi serupa. Penuh kelakar."Mungkin." Balasan acuh tak acuh itu membuat Cinta mendengkus kasar. Batinnya terus saja berperang.'Sebenarnya apa rencana ini orang?'Pikirannya kacau, antara rasa dongkol ditinggal sendirian dan bayang-bayang tangan kekar Zaki yang menyentuh titik vital tubuhnya seminggu lalu, sangat lihai bermain di kepala membuatnya hampir gila.'Oh! Shit.'Membuncahkan rasa kesal di dada bagai terpaan gelombang pasang dan siap menghantam jiwa yang membatu."Kalau aku menolak masuk ke acara itu, gimana?"Padahal Alfian, asisten Zaki telah memberi bocoran kalau di acara peresmian channel TV terbaru milik mitra bisnis PT. Arsyandi Buana itu bakal dihadiri oleh banya
"Bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu?" tekan Cinta pelan demi membuat orang-orang sekitarnya tidak curiga.Kini dia menyadari sesuatu dan mata indahnya seketika membulat penuh, lalu turun menelisik penampilannya sendiri. Pakaian juga riasan yang dia kenakan saat ini benar-benar jauh dari seleranya.Cinta seperti melihat orang lain dalam dirinya sendiri."Kenapa? Apa kau berpikir bakal mendapat hak sebesar itu dariku?" Pertanyaan Zaki memberondong, tetapi tidak langsung dibalas olehnya.Ya, karena Cinta lebih fokus pada busana apa yang dikenakannya sekarang. Sore tadi, Alfian sang asisten datang ke rumah bersama seorang penata rias yang membawa setelan busana. Lalu memintanya berdandan menurut keinginan Zaki.Parahnya, dia baru menyadari kalau penampilan tersebut sangat mirip dengan wanita yang baru dilihatnya tadi, Farahdina. Kini Cinta mulai menangkap celah."Bisa dijelaskan kenapa aku harus berdandan seperti ini?" desaknya dengan tatapan tajam meminta penjelasan.Zaki berdehem, m
Cinta menyeringai saat wanita bernama Farahdina itu berjalan mendekat. Keduanya saling beradu tatap membuat udara di ruangan seketika memanas. "Ya, kau benar! Aku ini wanita berkualitas dan mana mungkin berselera pada barang bekas apalagi suami dari orang rendahan," cibirnya. Jika di pertemuan awal mereka Farah memamerkan keanggunan dan kelembutan hatinya, maka pada detik ini semua kelembutan itu berbalik seratus delapan puluh derajat. Cinta ikut menarik sudut bibirnya. "Maka dari itu, biarkan orang rendahan ini membawa pulang suaminya tanpa harus bertungkus lumus menjemputnya kemari," balasnya tak mau kalah. Farah terbahak elegan di sela pancaran wajah angkuh. "Ah, baiklah. Kurasa sebaiknya kita bicara," ujarnya sambil bertepuk tangan ala pebisnis handal dan itu mencerminkan jati dirinya sebagai pemilik Farah Beauty Salon yang sudah melanglang buana. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nona Farah. Katakan saja, aku tidak punya banyak waktu," tukas Cinta tidak sabar. "Kudengar kau
"Zaki! Kau di mana?" racaunya serak memicu seringai licik di bibir pria yang memapahnya pergi dari sana. Area basement, Zaki sudah tak sabar menunggu kedatangan istri kecilnya. Dia memilih pergi ke mobil setelah Cinta memergokinya sedang berpelukan dengan Farah. "Bukankah tadi dia yang meminta pulang?" protesnya tidak sabar sambil memosisikan duduk di moncong mobil dengan kedua kaki saling bertaut. Jemarinya tidak lepas dari mengutak-atik benda sejuta umat di tangan demi menghubungi istrinya. Namun, yang dihubungi tak kunjung mengangkat ponsel. "Ke mana lagi dia?" desisnya di sela rasa kesal yang mulai membumbung. Tak lama, muncul suara-suara mencurigakan dari belakang dan Zaki langsung menoleh ke sumbernya. "P-ponsel. Ang-kat! Hhh ...." Suara celetukan gagap dibarengi tawa sumbang itu bermunculan membuat Zaki mulai menajamkan pendengaran. "Kau minum terlalu banyak. Bagaimana bisa menyambut panggilan dalam kondisi begini?" ujar seorang pria saat tengah memapah wanitanya yang did