Bab 6
"Tunggu! Ini mencurigakan."
"Kau menyamakanku dengan asisten pribadimu, menempatkanku di belakang demi memuluskan tujuan?
Zaki mengedikkan bahu.
"Selama itu membuatku tenang, kenapa tidak?"
"Jadi kau membawaku malam ini bukan sebagai istri melainkan ingin menghukumku di sana?"
Lagi, Zaki melempar ekspresi serupa. Penuh kelakar.
"Mungkin."
Balasan acuh tak acuh itu membuat Cinta mendengkus kasar. Batinnya terus saja berperang.
'Sebenarnya apa rencana ini orang?'
Pikirannya kacau, antara rasa dongkol ditinggal sendirian dan bayang-bayang tangan kekar Zaki yang menyentuh titik vital tubuhnya seminggu lalu, sangat lihai bermain di kepala membuatnya hampir gila.
'Oh! Shit.'
Membuncahkan rasa kesal di dada bagai terpaan gelombang pasang dan siap menghantam jiwa yang membatu.
"Kalau aku menolak masuk ke acara itu, gimana?"
Padahal Alfian, asisten Zaki telah memberi bocoran kalau di acara peresmian channel TV terbaru milik mitra bisnis PT. Arsyandi Buana itu bakal dihadiri oleh banyak utusan dari luar negeri.
Zaki hanya menjawab dengan kedikan bahu dan setelah itu, semuanya menjadi semakin menyebalkan sebab Zaki tidak lagi merespons apapun dan memilih benar-benar mengabaikannya di sepanjang perjalanan hingga mobil mereka berhenti tepat di parkiran basement hotel Bombastic.
"Jujur, ini lebih sakit daripada dimarah-marah sepanjang tahun!" rutuknya keras, sesaat membuat yang di samping ikut menoleh.
"Ada masalah?" tanyanya kedengaran tidak sabar membawa Cinta serentak berbalik menatapnya.
Sebuah fakta membuktikan, Cinta paling pantang didiami apalagi diabaikan.
Hal ini membuat mood-nya semakin memburuk.
'Oh! My ghost!'
Sesekali dia hanya perlu sedikit agresif, bukan? Toh, Zaki sendiri mempertahankan agar dirinya tetap berada di sana untuk mendampinginya.
"Seminggu ini kau ke mana? Kenapa meninggalkanku sendirian di rumah setelah ...," Cinta menghentikan ucapannya. Tenggorokannya serasa tercekat, dengan cepat dia meramas erat tas selempang di tangannya sembari menahan napas lalu berkata, "setelah kau menyentuh tubuhku sembarangan!"
Akhirnya ganjalan terbesar di dadanya terluahkan juga. Patut diakui, sentuhan Zaki seminggu yang lalu terasa begitu membekas sebab itu pertama kalinya Zaki menyentuh tanpa kekerasan.
Zaki terlihat menarik salah satu sudut bibir. Menyindir wanita yang menjadi alasan dia menyingkir dari kediamannya sendiri belakangan ini.
"Cinta, Cinta! Baru seminggu, tetapi kau sudah tak tahan dan ingin disentuh lagi? Murahan sekali."
Zaki tak mau kalah. Dia perlu penindasan itu karena hatinya memang masih dendam.
Cinta memberengut. "Kau salah paham, Zaki. A-aku hanya tawananmu! Pelunas hutang ayahku. M-mana mungkin aku tertarik dengan sentuhan kasarmu itu? Aku bahkan telah melupakannya."
"Tapi kau baru saja membahasnya. Itu artinya kau terus menerus mengingat dan membayangkannya."
Berulang kali Zaki menampakkan wajah ironinya membuat Cinta tersulut.
"Kenapa kau menyebalkan sekali, Zaki? Konsepnya kau menawanku di penjaramu, lalu kau pergi dan
membiarkanku leluasa menikmati kemudahan yang ada di dalamnya. Kau pikir aku bodoh?""Ya, kau benar! Semua itu tidak gratis dan malam ini kau harus tuntas membayarnya."
"Hah! Sudah kuduga," sentak Cinta jengkel. Ini yang ingin dia cari tahu sejak tadi. Zaki memang berniat membalas dendam kepadanya.
'Pasti dia sudah merencanakan sesuatu di dalam sana,' gerutu batinnya kesal. Cinta tahu siapa pria itu sesungguhnya. Dia perlu berhati-hati dalam hal ini karena sesuatu di mata Zaki tidak pernah gratis.
Dengkusan kasar terdengar memecah hening seiring tangannya berpindah menarik gagang pintu agar segera keluar dari sana. Membawa langkah dengan penuh elegan. Pun pinggulnya bak gitar spanyol, meliuk indah dalam balutan gaun merah pekat kesukaannya.
"Saatnya membual." Cinta berceletuk.
Disusul Zaki yang muncul dari pintu kemudi membawa langkahnya bertemu Cinta di moncong mobil. Sejenak mereka saling beradu tatap, lalu mulai bergandengan tangan sebelum melangkah.
"Saatnya berlakon," ucap Zaki datar.
Reflek keduanya saling menatap mendamba. Cinta turut menggerakkan dagu yang telah sedia terangkat, menampakkan ekspresi senyum terindah meski hatinya terbakar.
Zaki kembali menekan, "Ingat! Tetap bersikap baik di tengah keramaian sana. Bukan cuma keluarga dan kolega, tetapi juga para awak media yang mengintai setiap saat."
Ultimatum itu hanya ditanggapi Cinta dengan kedipan sebelah mata, terlihat nakal dan energik. Sementara Zaki sudah kembali ke mode awal, dingin.
"Come on, baby!" Tak lama, penguasa bisnis terbesar sekota Mahardika ini ikut memasang senyum tipis yang meluluhlantakkan jiwa wanitanya.
Cinta mengumpat sendirian.
"Sialan!"
Kini pemilik tubuh indah ini sudah bergelayut anggun di lengan pria matang miliknya, beriringan menyisir lorong menuju red carpet. Memicu riuh gemuruh seluruh peserta menyambut sang panutan yang sepak terjangnya membumi.
"Sangat serasi!" Kira-kira begitu makna keriuhan yang tercipta.
Untuk sesaat, Cinta merasa seolah sedang di alam mimpi kala mendapat perlakuan lembut Zaki dan juga tatapan hangat penuh cinta dari suaminya tersebut.
'Ah, perasaan ini.' Hatinya tiba-tiba menghangat.
Dia seperti ikut merasakan euforia yang berlebihan. Mendadak gejolak samar yang bersemayam selama ini kembali memainkan peranan besar, mendesirkan onggokan daging rawan luka di balik dadanya, entahlah.
'Apa ini pertanda aku harus memperjuangkan Zaki?' batinnya kembali berperang di sela sapaan seseorang.
"Hei, Zaki! Akhirnya kau datang juga!" Entah dari mana awal kemunculannya, pemilik suara lembut itu tiba-tiba sudah berdiri tepat di depan meja tempat Cinta dan Zaki berada.
Cinta ikut menoleh dan mendapati seorang wanita muda yang sangat cantik dengan penampilan memukau. Dari gestur tubuhnya, dia wanita berstandard. Ya, katakanlah bukan saingan.
"K-kau?" Zaki tertegun dan seketika melongo menatap wajah wanita modis tersebut. Sementara yang ditatap seolah masa bodoh dan dengan lihainya menyapa Cinta.
"Hai! Kamu pasti Cinta, kan? Aku Farahdina. Panggil saja Farah," ucapnya sambil mengangguk tersenyum.
Meski sempat terperanjat, tetapi Cinta harus tetap profesional, bukan? Di sini bukan cuma dirinya yang disorot, tetapi harga diri suaminya dipertaruhkan.
"Senang bertemu denganmu," balasnya ramah lalu memilih fokus pada benda pipih di tangannya sebab dari mendengar namanya saja, mood Cinta langsung memburuk.
Wanita tersebut terlihat membincangkan sesuatu dengan Zaki lalu kembali berkata kepada Cinta.
"Oh, ya. Aku pinjam suamimu sebentar, ya." Farahdina tertawa kecil. "Ada hal penting yang harus dibahas. Soal pekerjaan, sih." Dia menambahkan di sela tawa yang belum memudar.
'Oh God! Bahkan suaranya saja berhasil memikat siapa pun yang mendengarnya. Pantas saja Zaki gagal move on, orang mereka sangat cocok bagai pinang dibelah dua.'
Batin Cinta kembali gamang mengingat bagaimana suaminya, Zaki begitu tenggelam dalam pesona Farahdina selama satu tahun ini.
Cinta lalu mengangguk samar. Dia tidak tertarik dan tidak mau tahu apa yang hendak dibahas oleh orang yang tiba-tiba membuat hatinya gusar apalagi yang ingin dibahas bersama suaminya sendiri.
"Baiklah, Cinta. Terima kasih. Silakan menikmati ramah tamah pesta ini," ucap wanita itu lagi sebelum benar-benar mengambil langkah menjauh.
Tak berselang lama, Zaki ikut pamit.
"Aku ke sana dulu." Cinta tersulut amarah.
"Kau mau ke mana?" serangnya sinis meski di bibir masih memamerkan senyum. Ya, senyuman palsu. Sedang Zaki menyeringai kecil.
"Bukan urusanmu," balasnya memancing kobaran besar di dada Cinta.
"Ingat! Kita masih di mode saling mencintai, Suamiku." Cinta mengingatkan sembari menggenggam erat telapak tangan Zaki.
"Bagaimana jika aku tidak menginzinkanmu?"
"Bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu?" tekan Cinta pelan demi membuat orang-orang sekitarnya tidak curiga.Kini dia menyadari sesuatu dan mata indahnya seketika membulat penuh, lalu turun menelisik penampilannya sendiri. Pakaian juga riasan yang dia kenakan saat ini benar-benar jauh dari seleranya.Cinta seperti melihat orang lain dalam dirinya sendiri."Kenapa? Apa kau berpikir bakal mendapat hak sebesar itu dariku?" Pertanyaan Zaki memberondong, tetapi tidak langsung dibalas olehnya.Ya, karena Cinta lebih fokus pada busana apa yang dikenakannya sekarang. Sore tadi, Alfian sang asisten datang ke rumah bersama seorang penata rias yang membawa setelan busana. Lalu memintanya berdandan menurut keinginan Zaki.Parahnya, dia baru menyadari kalau penampilan tersebut sangat mirip dengan wanita yang baru dilihatnya tadi, Farahdina. Kini Cinta mulai menangkap celah."Bisa dijelaskan kenapa aku harus berdandan seperti ini?" desaknya dengan tatapan tajam meminta penjelasan.Zaki berdehem, m
Cinta menyeringai saat wanita bernama Farahdina itu berjalan mendekat. Keduanya saling beradu tatap membuat udara di ruangan seketika memanas. "Ya, kau benar! Aku ini wanita berkualitas dan mana mungkin berselera pada barang bekas apalagi suami dari orang rendahan," cibirnya. Jika di pertemuan awal mereka Farah memamerkan keanggunan dan kelembutan hatinya, maka pada detik ini semua kelembutan itu berbalik seratus delapan puluh derajat. Cinta ikut menarik sudut bibirnya. "Maka dari itu, biarkan orang rendahan ini membawa pulang suaminya tanpa harus bertungkus lumus menjemputnya kemari," balasnya tak mau kalah. Farah terbahak elegan di sela pancaran wajah angkuh. "Ah, baiklah. Kurasa sebaiknya kita bicara," ujarnya sambil bertepuk tangan ala pebisnis handal dan itu mencerminkan jati dirinya sebagai pemilik Farah Beauty Salon yang sudah melanglang buana. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nona Farah. Katakan saja, aku tidak punya banyak waktu," tukas Cinta tidak sabar. "Kudengar kau
"Zaki! Kau di mana?" racaunya serak memicu seringai licik di bibir pria yang memapahnya pergi dari sana. Area basement, Zaki sudah tak sabar menunggu kedatangan istri kecilnya. Dia memilih pergi ke mobil setelah Cinta memergokinya sedang berpelukan dengan Farah. "Bukankah tadi dia yang meminta pulang?" protesnya tidak sabar sambil memosisikan duduk di moncong mobil dengan kedua kaki saling bertaut. Jemarinya tidak lepas dari mengutak-atik benda sejuta umat di tangan demi menghubungi istrinya. Namun, yang dihubungi tak kunjung mengangkat ponsel. "Ke mana lagi dia?" desisnya di sela rasa kesal yang mulai membumbung. Tak lama, muncul suara-suara mencurigakan dari belakang dan Zaki langsung menoleh ke sumbernya. "P-ponsel. Ang-kat! Hhh ...." Suara celetukan gagap dibarengi tawa sumbang itu bermunculan membuat Zaki mulai menajamkan pendengaran. "Kau minum terlalu banyak. Bagaimana bisa menyambut panggilan dalam kondisi begini?" ujar seorang pria saat tengah memapah wanitanya yang did
"Huh! Rencana busuk apa lagi ini?"Alhasil, Cinta tidak bisa terlelap di sisa malam. Rasa kantuk menjalar. Akan tetapi, dia memilih untuk terus mengganjal mata hingga tak menyadari kapan dirinya terlelap, lalu kembali terjaga saat merasa ada beban besar menimpanya."Segitu nyamankah ragaku ini hingga jam segini pun kau masih betah memeluknya?"Cinta membeliak. Benda yang dipeluk berkali-kali, dikira bantal guling. Ternyata bodi menantang milik suami matangnya."Akh!" Cinta mendorong keras tubuh itu, tetapi kungkungan Zaki lebih kuat hingga dia tak mampu melepaskan diri.Cinta tertegun sejenak sebelum tangannya kembali bergerak menolak."Zaki, tolong. Jangan bercanda," pintanya memelas.Dengan gaya serupa, Zaki membalas, "Cinta, please! Ini, kan, yang kamu mau?" Dan bagi Cinta itu sindiran yang membuatnya jengah."Kau salah paham, Zaki. Aku tidak menginginkan apa-apa darimu selain membayar hutang keluargaku." Kali ini giliran Zaki yang mendorongnya kasar. Cinta langsung menghindar leg
Bab 11Sementara Zaki sudah siap memasang kacamata hitam untuk menutupi kelopak matanya yang tampak tanpa ekspresi. Tidak ada senyum di bibir, juga tak ada seringai di wajah. Semuanya beku."Cinta!" Suara Zaki kembali menggelegar memaksa Cinta menghentikan langkah dan menoleh. Zaki duduk di kursi penumpang, menatapnya dari balik kaca mobil yang terbuka."Jangan berani kelayapan selama aku di luar kota! Juga jangan coba-coba berbohong karena aku bisa melihatmu dari sisi mana pun!" Zaki memberi peringatan sebelum benar-benar menutup kembali kaca mobilnya. Cinta mengangguk meski tahu bahwa Zaki tidak membutuhkan jawabannya."Baiklah!" balasnya bersamaan dengan menghilangnya wajah Zaki di balik kaca yang sengaja ditutup. Pun seiring hadirnya Helena dengan kostum casual dan sneakers sambil mencolek pinggangnya."Hai, Cantik."Pada detik itu, matanya menangkap pergerakan mobil Zaki mulai bertolak dari parkiran membuat dadanya kembali berdesir."Cie! Cie! Yang nyium pipi suami," goda Hele
"Bisa kita bicara sebentar?"Cinta masih tertegun dan Abi tak menunggu jawaban darinya, langsung mengambil posisi duduk berseberangan dengannya.*Balada Hotel, Zaki sudah melakukan pertemuan dengan klien sejak pagi. Membahas agenda proyek properti yang merupakan cikal bakal bisnis keluarga Arsyandi Buana."Dengan membangun gedung-gedung indah dan fungsional di lahan kosong ini, diharap dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta memberi kontribusi positif bagi lingkungan.""Untuk itu, mari tetap fokus pada tujuan dalam mengembangkan proyek ini. Kita perlu terus mempelajari pasar, beradaptasi dengan perubahan, dan bekerja sama sebagai tim yang solid demi menghasilkan kesuksesan yang luar biasa."Beberapa agenda dilewati dengan sangat mulus hingga kesepakatan jadwal seminggu terpangkas menjadi tiga hari dan ini merupakan pagi penutupan. Masih ada waktu yang cukup lama untuk menikmati matahari meninggi."Mau bertahan dulu atau pulang saja, Pak?" Alfian sudah siaga di depan meja b
Cinta mau tak mau harus meninggalkan obrolan langkanya bersama Abi dan lebih menyedihkan, dia harus pergi tanpa berpamitan pada sang ibu yang sedang tertidur pulas. Hanya sebuah kecupan manis mendarat di keningnya."Kamu pulang cepat, Zaki?" Cinta yang masih penasaran mengulangi pertanyaan dan ini membuat Zaki berkeruh hati dan langsung berpandangan miring.Zaki tidak menggubris dan tak ada obrolan selama perjalanan pulang. Bahkan bungkamnya benar-benar mencipta suasana mencekam seisi kediaman elit mereka saat baru menginjakkan kaki di pintu utama."Ya, karena kau suka membuatku kerepotan." Zaki mendorong keras tubuh Cinta hingga membentur dinding. "Jadi begini kelakuanmu saat aku tidak ada?" tuduhnya dengan tangan yang sudah mencekal kasar lengan mungil itu.Cinta menggeleng menahan sakit."Kau salah paham, Zaki. Aku kebetulan bertemu dengannya karena sama-sama membesuk keluarga," terangnya meronta."Dan kami hanya berbincang soal peluang pekerjaan buat aku," dalihnya lagi sambil te
Pergerakan tangan berotot itu cukup gesit. Tak terasa mulai bergerilya seenak jidat, lalu dengan tubuh jantannya menekan raga indah tersebut di kasur, membuatnya seketika tak berkutik."Hentikan, Zaki!" Meski raga sudah tidak sejalan dengan akal, tetapi mulut masih mengajak konfrontasi.Cinta menggeram kecewa dengan sikap Zaki yang seenaknya. Pulang-pulang langsung menyerangnya membabi buta.Zaki tidak seperti biasanya. Entah setan dari mana, kali ini dia seperti menutup pendengaran."Menurutlah gadis kecil," desahnya lirih di sela napas memburu dan keinginan mengungkung tanpa ampun. Memaksa Cinta tunduk pada perintah dan pasrah menerima setiap gerakan maut membobol dinding. Memberi sedikit jeda kala dia meringis kesakitan. Terus membawanya terbang ke gerbang puncak kenikmatan, lalu dengan brengsek melolongkan nama orang lain dalam pergulatan rasa."Farahdinaa!"Sesakit itu perasaan Cinta, bagai tersiram lahar panas mematikan. Harapan bisa memenangi hati lelaki yang selalu membuat ja
"Lepaskan dia! Cinta tidak bersalah!"Zaki berteriak lantang. Hatinya tercabik mendapati bagian tubuh Cinta yang terbuka mulai disakiti oleh beberapa lelaki yang jelalatan memandangnya. Wanita itu terlihat masih meronta walau dalam keadaan tidak berdaya."Dia harus membayar lunas semua kesalahanmu, Zaki! Farahdina istriku, tetapi kau menidurinya seenak napsu bejatmu. Maka istrimu yang polos ini juga harus menerima akibat dari perbuatan burukmu!"Antonio bergerak mendekati Cinta. Zaki tahu betul karakter bajingan nekad itu. Tak dapat dibayangkan jika lelaki itu sampai menyakiti istrinya, sedang dia sendiri tidak mampu menyelamatkan wanita yang sering dia sakiti itu. Mengingatnya, hati Zaki tiba-tiba mencelos."Tidak! Jangan sakiti dia! Aku tidak akan memaafkan kalian, Biadap!"Dadanya bergemuruh, kini amarahnya mulai meledak seperti gunung aktif yang memuntahkan material batu dan lahar panas. Zaki sigap memainkan dua kaki dan berhasil mengelabui dua bodyguard yang mencekal tubuhnya. Hi
"Kalau bukan Dion, lalu bangsat mana yang mencoba bermain-main denganku?!" Tiba-tiba Zaki teringat sesuatu dan lekas berbalik ke kamar untuk berganti seragam kerja dengan jeans dan long sleeve. Dengan cepat dia meraih kunci mobil dan beberapa perlengkapan jalan lainnya, lalu berlari keluar menuju garasi. Buru-buru mencapai mobil, menghidupkan mesin, lalu sigap melaju ke rumah sakit tempat Ari dirawat."Semoga ada petunjuk di sana."Sesuai petunjuk dari Alfian, Zaki tiba di rumah sakit lewat jalan tikus dan gegas mendatangi Ari di ruang rawat inap. Namun, yang dicari justru tidak terlihat batang hidungnya."Ke mana dia?" Zaki bercelinguk kanan dan kiri saat tidak menemukan siapa-siapa, baik di ruang utama maupun toilet."Apa Ari hanya pura-pura terluka, lalu sengaja mengelabui Cinta? Atau dia memang telah dibawa kabur oleh seseorang dari sini?"Zaki meneliti brankar yang kosong, mencoba mencari petunjuk dari sana. Dan benar, ada secarik kertas yang terselip di bawah bantal. Zaki mera
"Tolong!" teriak Cinta sebelum mulutnya benar-benar tersekap dan semua pandangan seketika menjadi gelap."Putri Agus Dikara."Terdengar suara sangar seseorang bertopeng yang tampak sudah menyekap jalur pernapasan Cinta hingga tak sadarkan diri. "Akhirnya kita bertemu lagi," desisnya kemudian dalam suasana sekitar yang gelap dan sepi, lalu diam-diam menyeret tubuh lemah itu pergi dari sana. Pergerakan cepat tersebut tidak membuahkan curiga bagi siapapun yang melewati tempat itu. *Tengah malamnya, Zaki tampak masih berkutat dengan laptop di kursi teras lantai dua sebab suhu ruangan di dalam rumahnya mendadak panas membakar. Barangkali pemicunya dari perasaan yang tiba-tiba tidak tenang, tetapi dia memaksakan diri untuk tetap memantau perkembangan bisnis properti yang dia geluti. "Huh!" Zaki mendengkus sambil menutup kasar layar laptop lalu memilih bangkit bersandar di dinding teras demi menatap langit malam tanpa bintang. Satu jam yang lalu, dia pulang dan mendapati Cinta tidak b
Cinta segera beranjak kembali ke kamar. Dia masih terpuruk dengan keterangan yang baru saja didapatkan dari Ari. Lelaki tua berfisik sehat dan kuat itu seolah membuka sisi lain dari ayah dan ibunya yang selama ini tidak dia ketahui. "Padahal ibu tidak pernah bercerita hal buruk mengenai hubungannya dengan ayah."Hal paling mendasar yang dipegangnya saat itu, sang ibu cukup bahagia di ujung kepergiannya. Wanita renta tersebut pergi dengan menitipkan pesan terakhirnya agar dia dan Zaki saling melindungi."Keluarga Arsyandi Buana yang lain telah mengorbankan nyawa kakakmu Gita demi membayar kematian saudara kandung Zaki. Ibu juga tak punya pilihan untuk tidak menyerahkanmu kepada keluarga itu, Nak. Sebab cuma Zaki yang bisa melindungimu dari orang-orang jahat itu."Cinta masih mencerna maksud dari perkataan mendiang sang ibu."Orang-orang itu? Siapa mereka? Apa ibu diancam oleh banyak pihak?"Di sela memikirkan cara untuk mencari kebenaran, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara berisik di
"Ah, barangkali cuma terbawa cerita Helena saja," pikirnya.Tidak ingin berpikiran buruk tentang hal ini, Cinta terus saja memasuki rumah mendiang sang ayah sambil bersenandung kecil. Senandung yang biasa didengungkan oleh mendiang ayah, ibu dan juga sang kakak."Nona Cinta, apa kamu ingin menikmati sesuatu untuk minum petang ini?" tanya Ari saat dirinya hendak memasuki kamar di lantai atas. Lagi, panggilan Ari berhasil membuatnya nyaris terperanjat. Diam-diam Cinta istighfar dalam hati. Ada apa dengan dirinya saat ini? Kenapa berhadapan dengan Ari saja rasanya seperti menghadapi seorang penjahat yang sedang mengancam?"Apa saja, boleh. Asal Paman yang bikin." Cinta membalas sambil melempar senyum manis seperti biasa. Meski hatinya cukup berkecamuk, namun dia tetap menunjukkan sikap biasa saja di depan pria tua yang masih awet itu."Oh, ya. Sediakan seperlunya saja, biar nanti aku yang buatkan kopi petang untuk kita berdua. Paman pasti penasaran dengan air tanganku juga, kan?"Cinta
Zaki diam-diam pulang lebih dulu karena tidak ingin berdebat panjang dengan Cinta sebab pikirannya sedang kacau. Kini, dia sedang berada di ruang kerjanya dan tidak ingin diganggu oleh siapapun. Dalam setiap detiknya, dia masih saja mengeluh sambil terus memantau kamera."Bahkan dia merusak agenda pekerjaanku."Zaki menyesalkan pertemuan tiba-tiba dengan Cinta saat sedikit lagi dia akan mengetahui dalang di balik gagalnya proyek Edelweis. Diyakininya bahwa Nyonya Leny Tang selaku mitra kala menyimpan bukti mengenai hal tersebut."Tapi kenapa?"Sayangnya, pertemuan itu harus terhenti di longue. Sementara agenda selanjutnya ke Taman Moana harus gagal sebab belum apa-apa, acaranya sudah dikacau oleh Cinta."Ada apa dengan dia? Dia pergi ke longue itu untuk bertemu dengan karib ayahnya?"Zaki menghela napas berat. "Siapa lagi karib ayahnya selain aku? Mana mungkin dia sengaja mengikutiku."Rencana Zaki untuk menuntaskan masalah proyek Edelweis, malah berbuntut kepada penudingan terhadap
Cinta melirik pria yang kini terlelap di samping. Air mata perlahan mulai deras dan semakin tidak terbendung seiring kelopak mata yang memberat. Dalam hatinya meneriaki kata, "Tolong jangan sakiti aku dengan cara begini ...."Hingga akhirnya dia terlelap, pun kalimat itu masih terucap dalam bentuk racauan.Pagi harinya, Cinta menggeliat meraih ponsel di nakas yang berbunyi nyaring. Kelopak matanya terasa sangat berat, tetapi jemarinya terpaksa menekan tombol hijau saat menyadari itu panggilan dari Sekretaris Alfian."Hallo." [Hallo. Selamat pagi, Bu Cinta. Pak Zaki meminta saya menjemput Anda dan sekarang sedang menunggu di luar hotel Kelana.]"Em, Pagi ...."[Hallo, Bu Cinta. Apa Anda baik-baik saja?]"Em, Ya ... apa?! Memangnya Zaki kemana?"[Pak Zaki ada urusan mendadak hingga dia terpaksa berangkat sebelum fajar.]Cinta segera menutup ponsel. Kelopak mata yang berat, kalimat racau antara tidur dan jaga, semuanya lenyap begitu saja. Dengan cepat dia melompat turun dari ranjang dan
"Beraninya kau datang ke tempat ini? Siapa yang mengizinkanmu, hm?" Dua orang itu sama-sama terjebak amarah hingga tak ada yang mau mengalah. Bahkan Zaki yang terkenal paling profesional dalam urusan apa pun, kini terlihat seperti sedang labil."Katakan, siapa yang ingin kau temui di tempat seperti ini?" desaknya pula."Sahabat karib ayahku!""Ayahmu tidak memiliki teman dekat selain aku, Cinta!" bentak Zaki kasar. Hal ini memicu tanggapan dari Nyonya Leny, wanita berambut pirang."Sorry, Tuan Zaki. Sungguh, kami tidak bermaksud menyinggung siapapun," ucapnya menengahi. "Kami hanya berbicara sesuai bukti di tangan," tambahnya lagi. Namun, Zaki yang masih dalam amarah besar memaksa keluar dari agenda pertemuan."Maaf, Nyonya Leny. Aku akan kembali setelah semuanya kondusif.""Baik, Tuan Zaki. Kami sangat berharap Anda kembali hadir ke tempat ini, agar proyek Edelweis segera bebas."Zaki memutuskan untuk menyerah mandat kepada Alfian untuk melanjutkan agenda pertemuan. Sambil mencekal
"Paman?!"Cinta tertegun melihat kelihaian Ari. Lelaki tua itu seperti memiliki sisi lain yang tidak pernah diketahui oleh siapapun termasuk dirinya."Ya, Nona. Ada apa?" Ari menjawab sambil berbalik menatap lekat wajah Cinta yang tampak kebingungan tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun selain bingung dengan panggilan mendadak yang baru saja dilakukan oleh Cinta."Kenapa Paman lewat di sini?" tanyanya dengan kening mengerut tajam. "Ini jalur khusus presdir, bukan?" ulang pertanyaan Cinta yang masih bingung melihat Ari dengan lihai memasuki area khusus owner."Oh, itu. Bukan apa-apa, Nona. Dulu tempat ini kerap kami lalui bersama Tuan Dikara untuk pertemuan khusus bersama Nyonya Tang dan setelah itu, dia memberiku hak untuk melewatinya hanya untuk informasi darurat."Cinta semakin dibuat bingung."Oh, ya? Nyonya Tang? Paman punya kenalan sekelas Nyonya Tang?" Pria tua di depannya yang selama puluhan tahun tinggal bersama keluarganya itu mengangguk. Hari ini, dia seperti membuktikan s