"Bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu?" tekan Cinta pelan demi membuat orang-orang sekitarnya tidak curiga.
Kini dia menyadari sesuatu dan mata indahnya seketika membulat penuh, lalu turun menelisik penampilannya sendiri. Pakaian juga riasan yang dia kenakan saat ini benar-benar jauh dari seleranya.
Cinta seperti melihat orang lain dalam dirinya sendiri.
"Kenapa? Apa kau berpikir bakal mendapat hak sebesar itu dariku?" Pertanyaan Zaki memberondong, tetapi tidak langsung dibalas olehnya.
Ya, karena Cinta lebih fokus pada busana apa yang dikenakannya sekarang. Sore tadi, Alfian sang asisten datang ke rumah bersama seorang penata rias yang membawa setelan busana. Lalu memintanya berdandan menurut keinginan Zaki.
Parahnya, dia baru menyadari kalau penampilan tersebut sangat mirip dengan wanita yang baru dilihatnya tadi, Farahdina. Kini Cinta mulai menangkap celah.
"Bisa dijelaskan kenapa aku harus berdandan seperti ini?" desaknya dengan tatapan tajam meminta penjelasan.
Zaki berdehem, mendorong Saliva ke tenggorokan bersamaan jakun maskulinnya bergerak sensual.
"Untuk membayar tuntas semua fasilitas yang telah kau nikmati selama berada di rumahku."
Sekali lagi mulut Cinta nyaris mengumpat kata yang tidak seharusnya. Namun, dia memilih menahan diri karena saat ini beberapa mata sudah mulai memerhatikan gelagat mereka.
"Padahal aku berharap bisa memakai gaun hasil desainku sendiri. Merias wajah dengan ciri khas yang kumiliki demi memperkenalkan karya terbaruku kepada dunia. Tapi, kau malah merusaknya dengan busana tak jelas begini?"
Jiwa berontaknya meronta. Merasa dipermainkan oleh suami sendiri.
Zaki mencela, "Aku tak peduli dan tidak mau tahu soal itu."
Celaan yang menampakkan sisi acuh tak acuh begitu melekat dalam dirinya.
Cinta menggerutu kesal. Dia hampir saja meraih kesempatan besar seperti yang sudah-sudah, mengenalkan terobosan baru karyanya kepada semua orang. Namun, kemunculan Farahdina memboyong dandanan menyerupai dirinya secara tidak langsung telah membalikkan semua harapan.
"Gila saja dia mengubah penampilanku menjadi seperti wanita itu?!" celetuknya geram dan sangat pelan, lebih tepat berbicara pada diri sendiri.
Zaki mengangguk samar seolah paham. "Dengar Cinta. Sebelumnya kau yang telah menantangku." Tatapannya berubah dingin.
Cinta melirik singkat. Dilihatnya pemilik rahang tegas itu menyeringai dengan salah satu sudut bibir terangkat.
"Sekarang lihat, apa yang bakal kulakukan kepadamu," tekannya angkuh.
Cinta mendecak merutuki kebodohannya. Dia bahkan sampai melupakan ucapannya sendiri. Minggu lalu dia memang telah mengusir Zaki dengan kasar. Namun, Cinta tidak menduga bakal dibalas Zaki dengan cara begini.
Wanita pemilik rambut coklat itu kini mendongak mantap, tidak ingin terlihat lemah.
"Tidak! Pokoknya kau tidak boleh bertindak seenaknya."
"Cinta Papilaya!” Nama lengkapnya dipanggil, pertanda Zaki tidak main-main. “Kau bahkan sudah mengusirku waktu itu. Lalu apa yang sedang ingin kau tunjukkan dari sikapmu ini?” lanjutnya dengan seringai jahat. Memamerkan kebekuan pada tampang berewoknya yang mulai melebat.
Cinta ikut tenggelam dalam kebekuan.
"Apa kau mulai mengharapkan perhatianku?"
Celetukan Zaki itu kembali terdengar kelakar dan meremehkan. Apa daya, Cinta sudah berupaya menahan, tetapi pria itu lebih berkuasa di atasnya.
Kini dia hanya bisa tercenung memandang punggung Zaki yang menjauh. Ucapan sinis suaminya tadi terus saja mengganggu pikiran.
"Tidak. Ini tidak normal. Untuk apa terpancing dengan umpanannya?"
Meski begitu, perkataan Zaki ada benarnya. Giliran sekarang diabaikan, Cinta malah merasa seolah tidak dipedulikan oleh seorang suami.
Sebenarnya apa yang dia harapkan dari pria yang telah mengungkung hidupnya ini? Mungkinkah dia menginginkan perhatian Zaki?
'Apa aku mulai gila?' batinnya terbahak. Satu yang pasti, dia tidak suka dipermak menjadi seperti wanita bernama Farahdina karena secara tidak langsung wanita itu telah menjadi rivalnya.
Sepanjang malam ini menjadi momen paling membosankan bagi Cinta sebab Zaki pergi sejak tadi dan enggan kembali, seolah benar-benar telah melupakannya.
"Oh! Enak sekali dia bersenang-senang di sana."
Cinta hanya bisa merutuk keadaannya sambil menikmati kesendirian di sudut paling sepi. Menonton dari jauh pasangan-pasangan elit berdansa ria tanpa bisa berbuat apapun. Berulang kali mata kuyunya turun melirik arloji di tangan.
Cinta mulai gusar dan memutuskan untuk mencari keberadaan Zaki. Saat dia mulai bergerak menyisir lorong di luar area ballroom, terdengar obrolan dari sekumpulan wanita modis yang membicarakan perihal hubungannya dengan Zaki.
“Beruntungnya jadi istri belia apalagi punya suami seperti Zaki.” Seorang wanita berbadan kurus kembali berucap, “Asyiknya dimanjai terus.”
Cinta meringis dalam hati. Hidupnya sungguh ironi. Penilaian yang didengar dari semua orang tentang rumah tangganya sangat berbeda dengan fakta yang dialaminya.
“Lebih beruntung Farah. Padahal sudah bertahun-tahun dia meninggalkan Zaki, tetapi masih saja dikekep,” balas salah satunya lagi yang memakai gaun seksi. Pernyataan kali ini lebih alami Aketimbang sebelumnya. Dia seperti memahami realita yang ada.
“Ah, yang benar saja?”
“Benar, kok. Orang istrinya juga ditinggal sejak tadi cuma buat mengejar mantan.”
Obrolan sumbang tersebut cukup membuat telinga panas. Sepertinya dia harus secepat mungkin bertemu dengan suaminya agar tak ada lagi gunjingan pedas.
“Aku harus mencarinya.” Dengan cepat dia menyisir area luar ballroom yang terlihat lengang sebab sudah banyak tamu yang mulai pulang.
Belum juga emosinya mereda, Cinta kembali ditampar kenyataan. Suara yang menggaung di balik dinding itu sepertinya suara Zaki yang sangat dia hafal, tetapi sedikit berbeda.
“Kemana saja selama ini? Aku sangat merindukanmu.”
Suara parau yang selama ini menurutnya selalu kasar dan kaku itu, malam ini terdengar begitu lembut dan penuh penghayatan.
“Maaf membuatmu menunggu lama. Tapi, kenapa kau tega menikah sebelum aku kembali, Zaki?” Cinta tahu, itu suara wanita yang tadi membawa pergi suaminya.
“Maafkan aku, Farah. Itu hanya untuk memenuhi permintaan ayahku saja.”
“Tapi kau sudah membuatku cemburu, Zaki.”
“Hei, kau itu wanita berstandard. Mana mungkin bisa cemburu melihat aku dekat dengan gadis kecil seperti dia?”
Cinta kalap. Zaki menyebutnya sebagai gadis kecil di depan wanita masa lalunya.
“Ini tidak bisa dibiarkan.” Cinta memaksa mendekat. Yang membuatnya lebih terperanjat lagi saat mendapati Zaki dalam keadaan memeluk erat wanita bernama Farahdina tersebut.
Cinta berdehem keras. Zaki yang melihatnya serentak melepas pelukan. Tatapan ala predatornya mendominasi seperti biasa. Namun, Cinta sudah terpancing emosi hingga dia merasa tatapan tersebut berubah menjadi tatapan seekor kucing liar yang tidak perlu diladeni.
“Suamiku, kurasa ini sudah waktunya untuk pulang.” Cinta sengaja menekan kata ‘suami’ sembari mengangkat tangan memperlihatkan arloji di tangannya. Zaki hanya bungkam dan memilih meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun.
Cinta melangkah maju dan berdiri tepat di depan wanita tersebut.
“Sangat tidak pantas mengganggu privasi orang lain tanpa permisi, Gadis kecil.” Sindiran pedas itu membuatnya seketika terbahak sumbang.
“Maaf, Nona. Kurasa Anda wanita dewasa yang berilmu. Seperti kata suamiku, Anda juga wanita berstandard. Maka sangat tidak pantas meminjam suami orang lain dari istrinya hanya untuk dicumbui. Iya, kan?”
Cinta menyeringai saat wanita bernama Farahdina itu berjalan mendekat. Keduanya saling beradu tatap membuat udara di ruangan seketika memanas. "Ya, kau benar! Aku ini wanita berkualitas dan mana mungkin berselera pada barang bekas apalagi suami dari orang rendahan," cibirnya. Jika di pertemuan awal mereka Farah memamerkan keanggunan dan kelembutan hatinya, maka pada detik ini semua kelembutan itu berbalik seratus delapan puluh derajat. Cinta ikut menarik sudut bibirnya. "Maka dari itu, biarkan orang rendahan ini membawa pulang suaminya tanpa harus bertungkus lumus menjemputnya kemari," balasnya tak mau kalah. Farah terbahak elegan di sela pancaran wajah angkuh. "Ah, baiklah. Kurasa sebaiknya kita bicara," ujarnya sambil bertepuk tangan ala pebisnis handal dan itu mencerminkan jati dirinya sebagai pemilik Farah Beauty Salon yang sudah melanglang buana. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nona Farah. Katakan saja, aku tidak punya banyak waktu," tukas Cinta tidak sabar. "Kudengar kau
"Zaki! Kau di mana?" racaunya serak memicu seringai licik di bibir pria yang memapahnya pergi dari sana. Area basement, Zaki sudah tak sabar menunggu kedatangan istri kecilnya. Dia memilih pergi ke mobil setelah Cinta memergokinya sedang berpelukan dengan Farah. "Bukankah tadi dia yang meminta pulang?" protesnya tidak sabar sambil memosisikan duduk di moncong mobil dengan kedua kaki saling bertaut. Jemarinya tidak lepas dari mengutak-atik benda sejuta umat di tangan demi menghubungi istrinya. Namun, yang dihubungi tak kunjung mengangkat ponsel. "Ke mana lagi dia?" desisnya di sela rasa kesal yang mulai membumbung. Tak lama, muncul suara-suara mencurigakan dari belakang dan Zaki langsung menoleh ke sumbernya. "P-ponsel. Ang-kat! Hhh ...." Suara celetukan gagap dibarengi tawa sumbang itu bermunculan membuat Zaki mulai menajamkan pendengaran. "Kau minum terlalu banyak. Bagaimana bisa menyambut panggilan dalam kondisi begini?" ujar seorang pria saat tengah memapah wanitanya yang did
"Huh! Rencana busuk apa lagi ini?"Alhasil, Cinta tidak bisa terlelap di sisa malam. Rasa kantuk menjalar. Akan tetapi, dia memilih untuk terus mengganjal mata hingga tak menyadari kapan dirinya terlelap, lalu kembali terjaga saat merasa ada beban besar menimpanya."Segitu nyamankah ragaku ini hingga jam segini pun kau masih betah memeluknya?"Cinta membeliak. Benda yang dipeluk berkali-kali, dikira bantal guling. Ternyata bodi menantang milik suami matangnya."Akh!" Cinta mendorong keras tubuh itu, tetapi kungkungan Zaki lebih kuat hingga dia tak mampu melepaskan diri.Cinta tertegun sejenak sebelum tangannya kembali bergerak menolak."Zaki, tolong. Jangan bercanda," pintanya memelas.Dengan gaya serupa, Zaki membalas, "Cinta, please! Ini, kan, yang kamu mau?" Dan bagi Cinta itu sindiran yang membuatnya jengah."Kau salah paham, Zaki. Aku tidak menginginkan apa-apa darimu selain membayar hutang keluargaku." Kali ini giliran Zaki yang mendorongnya kasar. Cinta langsung menghindar leg
Bab 11Sementara Zaki sudah siap memasang kacamata hitam untuk menutupi kelopak matanya yang tampak tanpa ekspresi. Tidak ada senyum di bibir, juga tak ada seringai di wajah. Semuanya beku."Cinta!" Suara Zaki kembali menggelegar memaksa Cinta menghentikan langkah dan menoleh. Zaki duduk di kursi penumpang, menatapnya dari balik kaca mobil yang terbuka."Jangan berani kelayapan selama aku di luar kota! Juga jangan coba-coba berbohong karena aku bisa melihatmu dari sisi mana pun!" Zaki memberi peringatan sebelum benar-benar menutup kembali kaca mobilnya. Cinta mengangguk meski tahu bahwa Zaki tidak membutuhkan jawabannya."Baiklah!" balasnya bersamaan dengan menghilangnya wajah Zaki di balik kaca yang sengaja ditutup. Pun seiring hadirnya Helena dengan kostum casual dan sneakers sambil mencolek pinggangnya."Hai, Cantik."Pada detik itu, matanya menangkap pergerakan mobil Zaki mulai bertolak dari parkiran membuat dadanya kembali berdesir."Cie! Cie! Yang nyium pipi suami," goda Hele
"Bisa kita bicara sebentar?"Cinta masih tertegun dan Abi tak menunggu jawaban darinya, langsung mengambil posisi duduk berseberangan dengannya.*Balada Hotel, Zaki sudah melakukan pertemuan dengan klien sejak pagi. Membahas agenda proyek properti yang merupakan cikal bakal bisnis keluarga Arsyandi Buana."Dengan membangun gedung-gedung indah dan fungsional di lahan kosong ini, diharap dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta memberi kontribusi positif bagi lingkungan.""Untuk itu, mari tetap fokus pada tujuan dalam mengembangkan proyek ini. Kita perlu terus mempelajari pasar, beradaptasi dengan perubahan, dan bekerja sama sebagai tim yang solid demi menghasilkan kesuksesan yang luar biasa."Beberapa agenda dilewati dengan sangat mulus hingga kesepakatan jadwal seminggu terpangkas menjadi tiga hari dan ini merupakan pagi penutupan. Masih ada waktu yang cukup lama untuk menikmati matahari meninggi."Mau bertahan dulu atau pulang saja, Pak?" Alfian sudah siaga di depan meja b
Cinta mau tak mau harus meninggalkan obrolan langkanya bersama Abi dan lebih menyedihkan, dia harus pergi tanpa berpamitan pada sang ibu yang sedang tertidur pulas. Hanya sebuah kecupan manis mendarat di keningnya."Kamu pulang cepat, Zaki?" Cinta yang masih penasaran mengulangi pertanyaan dan ini membuat Zaki berkeruh hati dan langsung berpandangan miring.Zaki tidak menggubris dan tak ada obrolan selama perjalanan pulang. Bahkan bungkamnya benar-benar mencipta suasana mencekam seisi kediaman elit mereka saat baru menginjakkan kaki di pintu utama."Ya, karena kau suka membuatku kerepotan." Zaki mendorong keras tubuh Cinta hingga membentur dinding. "Jadi begini kelakuanmu saat aku tidak ada?" tuduhnya dengan tangan yang sudah mencekal kasar lengan mungil itu.Cinta menggeleng menahan sakit."Kau salah paham, Zaki. Aku kebetulan bertemu dengannya karena sama-sama membesuk keluarga," terangnya meronta."Dan kami hanya berbincang soal peluang pekerjaan buat aku," dalihnya lagi sambil te
Pergerakan tangan berotot itu cukup gesit. Tak terasa mulai bergerilya seenak jidat, lalu dengan tubuh jantannya menekan raga indah tersebut di kasur, membuatnya seketika tak berkutik."Hentikan, Zaki!" Meski raga sudah tidak sejalan dengan akal, tetapi mulut masih mengajak konfrontasi.Cinta menggeram kecewa dengan sikap Zaki yang seenaknya. Pulang-pulang langsung menyerangnya membabi buta.Zaki tidak seperti biasanya. Entah setan dari mana, kali ini dia seperti menutup pendengaran."Menurutlah gadis kecil," desahnya lirih di sela napas memburu dan keinginan mengungkung tanpa ampun. Memaksa Cinta tunduk pada perintah dan pasrah menerima setiap gerakan maut membobol dinding. Memberi sedikit jeda kala dia meringis kesakitan. Terus membawanya terbang ke gerbang puncak kenikmatan, lalu dengan brengsek melolongkan nama orang lain dalam pergulatan rasa."Farahdinaa!"Sesakit itu perasaan Cinta, bagai tersiram lahar panas mematikan. Harapan bisa memenangi hati lelaki yang selalu membuat ja
Debar penantian mendesir ramah menyapa dada saat Cinta menyalakan lilin terakhir di ujung meja dinner."Semoga ini bukan jebakan," gumam lirih hatinya.Tak berselang lama, Zaki datang dari arah pintu utama. Seluruh ruangan mendadak senyap. Hanya terdengar bunyi sepatu pantofel membentur lantai marmer, menimbulkan irama khas langkah lebar."Dekorasi yang bagus!" ucap Zaki sambil memandang setangkai mawar hidup yang menancap dalam vas di tengah meja. "Wow! Mawarnya sangat cantik," komentarnya lagi.Tangan jantan Zaki bergerak meraih mawar tersebut untuk dihidu.Cinta hanya mengangguk kecil. Dipastikan saat ini dandanan dan kecantikannya sudah melebihi kelopak mawar yang dimaksud Zaki. Namun, pujian terlontar dari mulut Zaki hanya seputar dekorasi juga mawar indah yang tertancap di dalam vas dan bukan dirinya."Ya, semua sudah tersedia di rumah ini dan aku tinggal menatanya saja." Cinta berterus terang.Dia lalu menyadari kalau di ruangan itu tidak hanya dirinya berdua dengan Zaki melain
"Lepaskan dia! Cinta tidak bersalah!"Zaki berteriak lantang. Hatinya tercabik mendapati bagian tubuh Cinta yang terbuka mulai disakiti oleh beberapa lelaki yang jelalatan memandangnya. Wanita itu terlihat masih meronta walau dalam keadaan tidak berdaya."Dia harus membayar lunas semua kesalahanmu, Zaki! Farahdina istriku, tetapi kau menidurinya seenak napsu bejatmu. Maka istrimu yang polos ini juga harus menerima akibat dari perbuatan burukmu!"Antonio bergerak mendekati Cinta. Zaki tahu betul karakter bajingan nekad itu. Tak dapat dibayangkan jika lelaki itu sampai menyakiti istrinya, sedang dia sendiri tidak mampu menyelamatkan wanita yang sering dia sakiti itu. Mengingatnya, hati Zaki tiba-tiba mencelos."Tidak! Jangan sakiti dia! Aku tidak akan memaafkan kalian, Biadap!"Dadanya bergemuruh, kini amarahnya mulai meledak seperti gunung aktif yang memuntahkan material batu dan lahar panas. Zaki sigap memainkan dua kaki dan berhasil mengelabui dua bodyguard yang mencekal tubuhnya. Hi
"Kalau bukan Dion, lalu bangsat mana yang mencoba bermain-main denganku?!" Tiba-tiba Zaki teringat sesuatu dan lekas berbalik ke kamar untuk berganti seragam kerja dengan jeans dan long sleeve. Dengan cepat dia meraih kunci mobil dan beberapa perlengkapan jalan lainnya, lalu berlari keluar menuju garasi. Buru-buru mencapai mobil, menghidupkan mesin, lalu sigap melaju ke rumah sakit tempat Ari dirawat."Semoga ada petunjuk di sana."Sesuai petunjuk dari Alfian, Zaki tiba di rumah sakit lewat jalan tikus dan gegas mendatangi Ari di ruang rawat inap. Namun, yang dicari justru tidak terlihat batang hidungnya."Ke mana dia?" Zaki bercelinguk kanan dan kiri saat tidak menemukan siapa-siapa, baik di ruang utama maupun toilet."Apa Ari hanya pura-pura terluka, lalu sengaja mengelabui Cinta? Atau dia memang telah dibawa kabur oleh seseorang dari sini?"Zaki meneliti brankar yang kosong, mencoba mencari petunjuk dari sana. Dan benar, ada secarik kertas yang terselip di bawah bantal. Zaki mera
"Tolong!" teriak Cinta sebelum mulutnya benar-benar tersekap dan semua pandangan seketika menjadi gelap."Putri Agus Dikara."Terdengar suara sangar seseorang bertopeng yang tampak sudah menyekap jalur pernapasan Cinta hingga tak sadarkan diri. "Akhirnya kita bertemu lagi," desisnya kemudian dalam suasana sekitar yang gelap dan sepi, lalu diam-diam menyeret tubuh lemah itu pergi dari sana. Pergerakan cepat tersebut tidak membuahkan curiga bagi siapapun yang melewati tempat itu. *Tengah malamnya, Zaki tampak masih berkutat dengan laptop di kursi teras lantai dua sebab suhu ruangan di dalam rumahnya mendadak panas membakar. Barangkali pemicunya dari perasaan yang tiba-tiba tidak tenang, tetapi dia memaksakan diri untuk tetap memantau perkembangan bisnis properti yang dia geluti. "Huh!" Zaki mendengkus sambil menutup kasar layar laptop lalu memilih bangkit bersandar di dinding teras demi menatap langit malam tanpa bintang. Satu jam yang lalu, dia pulang dan mendapati Cinta tidak b
Cinta segera beranjak kembali ke kamar. Dia masih terpuruk dengan keterangan yang baru saja didapatkan dari Ari. Lelaki tua berfisik sehat dan kuat itu seolah membuka sisi lain dari ayah dan ibunya yang selama ini tidak dia ketahui. "Padahal ibu tidak pernah bercerita hal buruk mengenai hubungannya dengan ayah."Hal paling mendasar yang dipegangnya saat itu, sang ibu cukup bahagia di ujung kepergiannya. Wanita renta tersebut pergi dengan menitipkan pesan terakhirnya agar dia dan Zaki saling melindungi."Keluarga Arsyandi Buana yang lain telah mengorbankan nyawa kakakmu Gita demi membayar kematian saudara kandung Zaki. Ibu juga tak punya pilihan untuk tidak menyerahkanmu kepada keluarga itu, Nak. Sebab cuma Zaki yang bisa melindungimu dari orang-orang jahat itu."Cinta masih mencerna maksud dari perkataan mendiang sang ibu."Orang-orang itu? Siapa mereka? Apa ibu diancam oleh banyak pihak?"Di sela memikirkan cara untuk mencari kebenaran, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara berisik di
"Ah, barangkali cuma terbawa cerita Helena saja," pikirnya.Tidak ingin berpikiran buruk tentang hal ini, Cinta terus saja memasuki rumah mendiang sang ayah sambil bersenandung kecil. Senandung yang biasa didengungkan oleh mendiang ayah, ibu dan juga sang kakak."Nona Cinta, apa kamu ingin menikmati sesuatu untuk minum petang ini?" tanya Ari saat dirinya hendak memasuki kamar di lantai atas. Lagi, panggilan Ari berhasil membuatnya nyaris terperanjat. Diam-diam Cinta istighfar dalam hati. Ada apa dengan dirinya saat ini? Kenapa berhadapan dengan Ari saja rasanya seperti menghadapi seorang penjahat yang sedang mengancam?"Apa saja, boleh. Asal Paman yang bikin." Cinta membalas sambil melempar senyum manis seperti biasa. Meski hatinya cukup berkecamuk, namun dia tetap menunjukkan sikap biasa saja di depan pria tua yang masih awet itu."Oh, ya. Sediakan seperlunya saja, biar nanti aku yang buatkan kopi petang untuk kita berdua. Paman pasti penasaran dengan air tanganku juga, kan?"Cinta
Zaki diam-diam pulang lebih dulu karena tidak ingin berdebat panjang dengan Cinta sebab pikirannya sedang kacau. Kini, dia sedang berada di ruang kerjanya dan tidak ingin diganggu oleh siapapun. Dalam setiap detiknya, dia masih saja mengeluh sambil terus memantau kamera."Bahkan dia merusak agenda pekerjaanku."Zaki menyesalkan pertemuan tiba-tiba dengan Cinta saat sedikit lagi dia akan mengetahui dalang di balik gagalnya proyek Edelweis. Diyakininya bahwa Nyonya Leny Tang selaku mitra kala menyimpan bukti mengenai hal tersebut."Tapi kenapa?"Sayangnya, pertemuan itu harus terhenti di longue. Sementara agenda selanjutnya ke Taman Moana harus gagal sebab belum apa-apa, acaranya sudah dikacau oleh Cinta."Ada apa dengan dia? Dia pergi ke longue itu untuk bertemu dengan karib ayahnya?"Zaki menghela napas berat. "Siapa lagi karib ayahnya selain aku? Mana mungkin dia sengaja mengikutiku."Rencana Zaki untuk menuntaskan masalah proyek Edelweis, malah berbuntut kepada penudingan terhadap
Cinta melirik pria yang kini terlelap di samping. Air mata perlahan mulai deras dan semakin tidak terbendung seiring kelopak mata yang memberat. Dalam hatinya meneriaki kata, "Tolong jangan sakiti aku dengan cara begini ...."Hingga akhirnya dia terlelap, pun kalimat itu masih terucap dalam bentuk racauan.Pagi harinya, Cinta menggeliat meraih ponsel di nakas yang berbunyi nyaring. Kelopak matanya terasa sangat berat, tetapi jemarinya terpaksa menekan tombol hijau saat menyadari itu panggilan dari Sekretaris Alfian."Hallo." [Hallo. Selamat pagi, Bu Cinta. Pak Zaki meminta saya menjemput Anda dan sekarang sedang menunggu di luar hotel Kelana.]"Em, Pagi ...."[Hallo, Bu Cinta. Apa Anda baik-baik saja?]"Em, Ya ... apa?! Memangnya Zaki kemana?"[Pak Zaki ada urusan mendadak hingga dia terpaksa berangkat sebelum fajar.]Cinta segera menutup ponsel. Kelopak mata yang berat, kalimat racau antara tidur dan jaga, semuanya lenyap begitu saja. Dengan cepat dia melompat turun dari ranjang dan
"Beraninya kau datang ke tempat ini? Siapa yang mengizinkanmu, hm?" Dua orang itu sama-sama terjebak amarah hingga tak ada yang mau mengalah. Bahkan Zaki yang terkenal paling profesional dalam urusan apa pun, kini terlihat seperti sedang labil."Katakan, siapa yang ingin kau temui di tempat seperti ini?" desaknya pula."Sahabat karib ayahku!""Ayahmu tidak memiliki teman dekat selain aku, Cinta!" bentak Zaki kasar. Hal ini memicu tanggapan dari Nyonya Leny, wanita berambut pirang."Sorry, Tuan Zaki. Sungguh, kami tidak bermaksud menyinggung siapapun," ucapnya menengahi. "Kami hanya berbicara sesuai bukti di tangan," tambahnya lagi. Namun, Zaki yang masih dalam amarah besar memaksa keluar dari agenda pertemuan."Maaf, Nyonya Leny. Aku akan kembali setelah semuanya kondusif.""Baik, Tuan Zaki. Kami sangat berharap Anda kembali hadir ke tempat ini, agar proyek Edelweis segera bebas."Zaki memutuskan untuk menyerah mandat kepada Alfian untuk melanjutkan agenda pertemuan. Sambil mencekal
"Paman?!"Cinta tertegun melihat kelihaian Ari. Lelaki tua itu seperti memiliki sisi lain yang tidak pernah diketahui oleh siapapun termasuk dirinya."Ya, Nona. Ada apa?" Ari menjawab sambil berbalik menatap lekat wajah Cinta yang tampak kebingungan tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun selain bingung dengan panggilan mendadak yang baru saja dilakukan oleh Cinta."Kenapa Paman lewat di sini?" tanyanya dengan kening mengerut tajam. "Ini jalur khusus presdir, bukan?" ulang pertanyaan Cinta yang masih bingung melihat Ari dengan lihai memasuki area khusus owner."Oh, itu. Bukan apa-apa, Nona. Dulu tempat ini kerap kami lalui bersama Tuan Dikara untuk pertemuan khusus bersama Nyonya Tang dan setelah itu, dia memberiku hak untuk melewatinya hanya untuk informasi darurat."Cinta semakin dibuat bingung."Oh, ya? Nyonya Tang? Paman punya kenalan sekelas Nyonya Tang?" Pria tua di depannya yang selama puluhan tahun tinggal bersama keluarganya itu mengangguk. Hari ini, dia seperti membuktikan s