“Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.
Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai. BRAK! Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar. “Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastikan kau tidak pernah pulang ke Italia! Pria tua Bangka!!" Desisnya. Pria itu tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya gemetar di bawah tatapan Rea yang seperti mata elang, siap mencabik mangsanya kapan saja. Berani sekali para binatang ini!! Rea kemudian berdiri tegak, membiarkan pria itu tergeletak di lantai. Ia berbalik ke arah wanita Prancis yang sejak tadi hanya bisa berdiri mematung, wajahnya pucat pasi. “Apa yang kau katakan tadi, cantik?” seringai Rea, langkahnya perlahan mendekati wanita itu. Wanita itu mundur beberapa langkah, tetapi Rea lebih cepat. Ia mencengkeram rambut wanita itu, menjambaknya dengan keras hingga wanita itu menjerit kecil. “Tidak tahu bagaimana cara menjalankan perusahaan, ya?” Rea menyeringai lebih lebar, wajahnya berubah menjadi sesuatu yang hampir menyerupai iblis. “Kau pikir kau tahu lebih baik dariku? Kau pikir aku sampai di sini karena orang lain?” Wanita itu berusaha melepaskan diri, tetapi Rea menarik rambutnya lebih keras, membuatnya meringis kesakitan. "ARKHH!!" “Dengar baik-baik, jal*ng bodoh,” bisik Rea dengan nada dingin. “Aku sudah memimpin perusahaan ini lebih lama dari yang bisa kau bayangkan. Aku tidak peduli kau datang dari Prancis, Italia, atau planet lain sekalipun. Kalau kau ingin dihormati di sini, kau harus tahu di mana tempatmu, dasar sampah!" Rea melepaskan wanita itu dengan kasar, membuatnya terhuyung mundur. Wanita itu langsung merapikan rambutnya sambil menahan air mata. “Sekarang,” kata Rea, suaranya kembali tenang tetapi penuh otoritas. “Keluar dari gedungku. Dan pastikan aku tidak melihat wajah kalian lagi.” "Kalau tidak!! Ku pastikan mulut kalian ku robek!!" Pria Italia itu dengan susah payah bangkit dari lantai, dan wanita Prancis itu membantunya berdiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berdua bergegas pergi, meninggalkan koridor dengan langkah tergesa-gesa. Para karyawan yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa terdiam, beberapa dari mereka bahkan menahan napas. Rea berbalik, matanya menatap karyawan-karyawannya yang langsung menunduk, tidak berani menatap langsung ke arahnya. “Kalau ada yang ingin ikut-ikutan bicara di belakangku,” katanya dengan nada santai tetapi dingin, “pikirkan lagi.” "Karena dengan senang hati, aku membanting kalian!" Ia kemudian melangkah pergi, meninggalkan suasana tegang di belakangnya. Senyum kecil kembali muncul di wajahnya. “Orang-orang seperti mereka selalu lupa satu hal,” gumam Rea pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan pernah mengusik, kecuali mereka yang mengusikku lebih dulu!!" Langit siang mulai mendung ketika Rea melangkah keluar dari gedung Alexander Designs dengan langkah cepat dan penuh kemarahan. Mantel panjangnya berkibar, seolah menggambarkan amarah yang membara di dalam dirinya. Beberapa karyawan yang lewat hanya menunduk, tidak berani menyapa atau bahkan melihat ke arahnya. “Dasar bajingan,” gumamnya sambil menggertakkan gigi. Wajahnya masih dihiasi seringai licik, tetapi matanya yang hijau memancarkan kilatan dingin. Saat ponselnya mulai berdering lagi, ia langsung mengangkatnya tanpa melihat layar, hanya untuk melemparkan ponsel itu ke arah Sasa, yang baru saja keluar dari mobil dan berdiri menunggu di pinggir jalan. “Angkat,” perintah Rea singkat. Sasa dengan refleks menangkap ponsel itu, meskipun wajahnya menunjukkan kebingungan. Ia langsung membukakan pintu mobil untuk bosnya, tetapi rasa penasaran membuatnya berbicara lebih dulu. “Ada apa? Kau seperti ingin memangsa seseorang.” Rea meliriknya sekilas sebelum masuk ke mobil, wajahnya tetap tanpa emosi. “Kita ke pasar gelap.” Sasa mematung mendengar itu. “K-kau yakin? Di sana sangat berbahaya! Juga, kita belum makan. Jangan aneh-aneh, Rea!” serunya mencoba membujuk. Namun, Rea hanya menyeringai kecil, seringai yang membuat Sasa tahu ia tidak punya pilihan. “Akhir-akhir ini kenapa kau cerewet sekali, asistenku?” katanya dengan nada santai tetapi penuh sindiran. Sasa menelan ludah. Ketika Rea menyebutnya “asistenku,” itu berarti ia tidak mau mendengar alasan apa pun. “Siap, Boss!” balasnya dengan nada cepat, menyalakan mesin mobil dan segera meluncur ke jalan. Di kursi penumpang, Rea menyandarkan tubuhnya, membiarkan mantel panjangnya terlipat rapi di pangkuannya. Matanya yang tajam menatap lurus ke depan, pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Pasar gelap. Tempat itu bukan untuk orang lemah, tetapi bagi Rea, itu hanyalah medan lain yang harus ia kuasai. **** Di Sisi Lain Di sebuah gedung tua dengan lorong-lorong gelap, Pria dingin itu melangkah keluar dari ruang bawah tanahnya yang dipenuhi dengan jeritan dan aroma darah. Wajahnya dingin seperti biasa, tanpa emosi, meskipun bercak darah menghiasi rahangnya yang tegas. Jas hitam yang dikenakannya juga tidak luput dari noda darah, tetapi pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu. Di belakangnya, seorang pria dengan wajah lebam terduduk di kursi kayu, tubuhnya terkulai tak berdaya. Jeritan yang tadi menggema kini berubah menjadi erangan pelan yang hampir tidak terdengar. Dean, tangan kanan Marcus, menunggu di luar ruangan dengan ekspresi gugup. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan brutal ini, tetapi aura mematikan tuannya selalu berhasil membuatnya merasa kecil. Ketika Marcus membuka pintu, Dean langsung meluruskan tubuhnya dan membukakan pintu keluar untuknya. Udara dingin dari luar menyambut mereka, tetapi itu tidak cukup untuk mengusir aura panas dari Marcus yang baru saja selesai memberikan “pelajaran” kepada tahanannya. “Mobil sudah siap, Tuan,” kata Dean dengan nada hormat sambil mengikuti Marcus menuju sedan hitam mewah yang terparkir di depan gedung. Marcus tidak berkata apa-apa. Ia hanya melirik sekilas ke arah Dean sebelum masuk ke dalam mobil, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan mata yang tetap dingin. Dean segera masuk ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin. Mobil itu meluncur dengan mulus keluar dari kompleks gedung, memasuki jalan utama dengan kecepatan tinggi. “Ke pasar gelap,” kata Marcus tiba-tiba, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. Dean menatap tuannya melalui kaca spion, sedikit terkejut. “Pasar gelap, Tuan? Tempat itu cukup jauh. Kita mungkin baru tiba sore nanti.” Marcus mengangguk pelan, wajahnya tetap tak terbaca. “Aku tahu.” Dean tidak bertanya lebih jauh. Ketika Marcus sudah memutuskan sesuatu, tidak ada gunanya mempertanyakan alasannya. Namun, dalam hati, Dean bertanya-tanya apa yang membuat Marcus tertarik untuk pergi ke pasar gelap, tempat yang biasanya hanya ia kirimkan anak buahnya untuk menyelesaikan urusan kecil. Sementara itu, di dalam mobil SUV yang melaju di jalan raya, suasana antara Rea dan Sasa jauh dari hening. Sasa sesekali melirik Rea, mencoba membaca ekspresi bosnya yang tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Rea,” kata Sasa akhirnya, memecah keheningan. “Apa yang sebenarnya kau cari di pasar gelap? Kau tahu tempat itu penuh dengan bahaya.” Rea menyeringai kecil, tetapi tidak langsung menjawab. Ia memutar-mutar pena kecil di antara jari-jarinya, matanya tetap menatap ke depan. “Aku hanya ingin mengambil sesuatu,” jawabnya akhirnya, nadanya santai tetapi penuh misteri. Sasa mendesah panjang. “Kau tahu, kau bisa saja mengirim seseorang untuk melakukannya. Kenapa harus pergi sendiri?” “Karena terkadang, Sasa, ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh pemilik permainan. Dan aku, Sayang, selalu memastikan permainanku berjalan sesuai rencana.” Sasa tidak bisa membantah. Ia tahu betapa keras kepala bosnya ini, dan meskipun ia khawatir, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa Rea selalu berhasil keluar dari situasi apa pun dengan kemenangan. Ketika matahari mulai tenggelam, kedua mobil yang berbeda—SUV Rea dan sedan Marcus—tiba hampir bersamaan di gerbang pasar gelap. Tempat itu tersembunyi di dalam sebuah kompleks tua yang dikelilingi oleh pagar tinggi dan penjaga bersenjata. Rea keluar dari mobilnya dengan langkah percaya diri, mantel panjangnya berkibar tertiup angin. Di belakangnya, Sasa berjalan dengan ragu-ragu, matanya terus mengawasi sekitar. Di sisi lain, Marcus melangkah keluar dari sedannya, masih mengenakan jas hitamnya yang sedikit berlumuran darah. Kehadirannya langsung menarik perhatian beberapa penjaga di dekat pintu masuk, tetapi tidak ada yang berani menghentikannya. Saat Rea dan Marcus akhirnya memasuki pasar, jalan mereka berpapasan di sebuah lorong sempit yang penuh dengan kios-kios ilegal. Mata hijau Rea bertemu dengan mata biru Marcus. Keduanya berhenti, suasana di antara mereka berubah menjadi tegang. Marcus mengangkat alis, sedikit terkejut. “Kau?” Rea menyeringai kecil, tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel. “Kita bertemu lagi, Tuan Dexa Cruz.” Dean, yang berdiri di belakang Marcus, langsung merasa gugup. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, seperti dua predator yang siap saling menyerang. “Kau juga ada urusan di sini?” tanya Marcus, nadanya datar tetapi matanya tidak pernah lepas dari Rea. Rea hanya tertawa pelan, seringainya semakin lebar. “Tentu saja. Dunia ini terlalu kecil untuk kita tidak saling bertemu, bukan?” Marcus tidak menjawab. Ia hanya menatap Rea dengan intensitas yang hampir mematikan, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya wanita ini inginkan. Sementara itu, Rea tetap tenang, menikmati setiap detik permainan ini. Ia tahu, pertemuan ini adalah kesempatan emas untuk memutar situasi sesuai keinginannya. Lorong pasar gelap yang penuh dengan bayangan gelap itu mendadak terasa lebih sempit ketika Marcus perlahan mendekati Rea. Langkahnya tegas, matanya biru dingin menembus langsung ke mata hijau Rea yang berkilauan dalam cahaya redup. Sasa, yang berdiri di belakang Rea, menatap bosnya dengan ekspresi bingung. “Rea…” bisiknya pelan, tetapi Rea mengangkat satu jari tanpa menoleh, memberi isyarat agar asistennya diam. Di sisi lain, Dean juga tampak terkejut. Sebagai orang kepercayaan Marcus, ia sudah terbiasa melihat bosnya yang dingin dan tak tersentuh. Namun, sekarang ia menyaksikan sesuatu yang sangat berbeda. Marcus mendekati wanita itu dengan cara yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Marcus berhenti tepat di depan Rea, hanya beberapa inci memisahkan tubuh mereka. Tinggi tubuhnya yang menjulang membuat Rea harus sedikit mendongak untuk mempertahankan kontak mata. Tetapi Rea tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sebaliknya, seringai kecil muncul di bibir merah alaminya. Marcus memperhatikan wajahnya dengan detail, lalu pandangannya turun ke bibir Rea. Tangan kanannya yang besar dan berurat terangkat perlahan, menyentuh lembut bibir kenyal Rea dengan ujung jarinya. “Kau ceroboh sekali,” kata Marcus dengan nada serak, tetapi penuh otoritas. Seringai kecil muncul di wajah tampannya saat ia menjilat ujung jarinya sendiri, memakan sisa krim roti yang menempel di bibir Rea. Sasa menutup mulutnya dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. “Astaga, apa-apaan ini?” gumamnya nyaris tanpa suara. Dean, yang berdiri sedikit di belakang Marcus, terlihat hampir kehilangan keseimbangan. Ia memandang bosnya dengan mata melebar, bertanya-tanya apakah ia benar-benar melihat Marcus melakukan itu. Namun, reaksi Rea lebih tak terduga. Ia tidak terkejut, tidak marah, bahkan tidak tersipu. Sebaliknya, seringai kecil di wajahnya berubah menjadi senyum penuh godaan. Dengan santai, ia mengangkat tangannya, mencengkeram kerah kemeja Marcus dan menarik pria besar itu lebih dekat. Kini, wajah mereka begitu dekat hingga napas mereka saling bersentuhan. Mata hijau Rea bersinar dengan tantangan, sementara mata biru Marcus tetap dingin seperti es. “Sepertinya Nona suka sekali menarik kerah baju orang,” desis Marcus, suaranya rendah dan serak, penuh dominasi. Rea mengangkat satu alis, lalu tersenyum menggoda. “Dan sepertinya Tuan suka sekali menyentuh sesuatu yang bukan miliknya.” Ia mengitari wajah Marcus dengan tatapannya, mengamati setiap lekukan tajam rahangnya, garis dagunya yang sempurna, hingga sorot matanya yang menakutkan tetapi memikat. Bibirnya hampir menyentuh telinga Marcus ketika ia berbisik dengan nada pelan tetapi penuh ancaman. “Lain kali,” kata Rea, suaranya dingin seperti pisau, “jangan sembarangan menyentuhku tanpa izinku. Aku tidak suka!!" Desisnya. Sebelum Marcus sempat menjawab, Rea mendorong tubuh besar pria itu dengan keras hingga Marcus harus melangkah mundur. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tetapi ada kilatan tak terduga di matanya, seolah-olah ia terhibur oleh tantangan yang baru saja diberikan Rea. .Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye
Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar
Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas
Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan
Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me
DOORRR!! Letupan pistol membelah keheningan malam. Pelurunya menembus tengkorak si tawanan, meninggalkan lubang menganga di kepalanya. Pria malang itu terjatuh ke tanah, darah segar mengalir dari lukanya yang mengerikan. "Astaga, Rea! Apa yang kau lakukan?" Sasa, asisten Rea, memekik ngeri. Matanya terbelalak menatap mayat di depannya. Rea menjatuhkan punting rokoknya, menginjaknya dengan sepatu bot berkulit kuatnya. Wajahnya tenang bak permukaan danau, seolah membunuh adalah kegiatan rutin semembosankan menguap. "Melakukan tugasku," ujarnya datar. Ia meniup kepulan asap dari rokoknya yang baru dinyalakan. "Tapi dia seharusnya dibawa ke kantor polisi! Bukan ditembak begitu saja!" Rea mendengus angkuh. "Sejak kapan kantor polisi bisa menangani kasus seperti ini? Bajingan itu telah memperkaos anak-anak tak berdosa. Membunuh kedua orangtua kecil itu dengan keji. Menurutmu hukuman apa yang sepantasnya dia terima?" Sasa menggigil, teringat foto-foto mengerikan dari TKP yang m
Sasa menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya bisa duduk diam, menyaksikan pertumpahan darah di depannya sambil berharap situasinya tidak menjadi lebih buruk. Di tengah kekacauan itu, salah satu pria dari kelompok musuh berteriak, memberi aba-aba untuk melancarkan serangan terakhir. Anak buah pria dingin itu mulai mundur, beberapa dari mereka terluka parah, tetapi masih berusaha melindungi diri dengan posisi bertahan. Pria dingin di mobil sport tetap tak bergerak, ekspresinya sedingin es, seperti seorang raja yang mengamati bidak-bidaknya di medan perang.Ia tidak suka bergerak ke tengah-tengah pertarungan Jika menurutnya lawannya tidak seimbang. Rea menyeringai, mematikan rokoknya di asbak kecil di mobil. “Saatnya bersenang-senang.” “Apa maksudmu? Rea, kau tidak serius, kan?” Sasa bertanya panik, tetapi Rea tidak menjawab. Ia sudah keluar dari mobil, sepatu botnya menginjak genangan air dengan suara pelan. “Rea! Tunggu!” Sasa bergegas mengejarnya, tetapi
Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas
Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me
Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan
Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas
Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar
Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye
“Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika
Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger
Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t
Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas