Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya.
“Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. “Kalau begitu, jangan menyentuhku duluan,” balas Rea dengan nada dingin tetapi menggoda. Marcus menyeringai, seringai kecil yang hampir tidak terlihat tetapi cukup untuk mengirimkan gelombang ketegangan ke seluruh ruangan. “Kau bermain-main dengan api, Rea.” Rea tertawa pelan, suara tawanya seperti lonceng kecil yang memecah keheningan. “Dan kau, Marcus, terlalu terbiasa memadamkan api dengan kekerasan. Mungkin sudah waktunya seseorang membuatmu terbakar.” Marcus terdiam. Kata-kata Rea seperti tantangan yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Wanita ini bukan hanya berani, tetapi juga penuh teka-teki. Ia tidak seperti orang-orang yang biasanya tunduk di bawah kendalinya. Bleshhh!! Reflek Rea bergerak cepat saat sebuah belati meluncur tajam ke arah Marcus. Dengan gerakan gesit, tangannya menangkap bilah belati itu hanya beberapa inci dari wajah Marcus. Darah menetes dari telapak tangannya yang teriris, tetapi ekspresi Rea tetap tenang seolah tak terjadi apa-apa. Marcus sendiri terpaku selama sepersekian detik, mata elangnya menyaksikan bagaimana Rea dengan mudahnya menghentikan serangan belati itu dengan tangan kosong. Sebelum siapa pun sempat bergerak, Rea memutar tubuhnya sedikit dan melemparkan kembali belati itu ke arah datangnya dengan kecepatan dan akurasi yang mengerikan. Bleshhh!! Takkk!! Belati itu menembus udara seperti anak panah dan menancap tepat di mata seorang pria botak berbadan besar yang menyeringai di kejauhan. Arghhhhh!! Pria itu mengerang kesakitan, berguling memegangi mata berlubangnya yang mengucurkan darah segar. Teman-temannya, sekelompok pria kekar dengan tato mengerikan memenuhi tubuh mereka, tersentak syok beberapa detik sebelum berteriak menghunus senjata mereka. "Bunuh mereka!" raung salah seorang dari mereka, mengacungkan pisaunya yang berkilauan dalam cahaya remang-remang. Detik berikutnya, sekitar delapan pria besar dan berbahaya itu berlari maju dengan senjata terhunus dan wajah menyeramkan diliputi amarah buta. Mereka sudah bersiap-siap membunuh Rea dan siapa pun yang ada di dekatnya. Tanpa rasa takut, Rea berbalik menghadapi ancaman. Sorot mata hijaunya tak tergoyahkan, hanya berkilat dingin dengan senyum kecil menantang di bibirnya, bak seorang iblis menanti mangsanya. "Dengar, Sayang," ujarnya tenang tanpa melepaskan pandangan dari para penyerangnya. "Masih ada yang ingin kau katakan padaku? Kita bisa lanjutkan nanti!" Kedip genit Rea ke arah Marcus. Marcus menarik napas panjang untuk menenangkan diri, bersiaga dengan kepalan tangan terkepal. Dia meneliti Rea dari sudut matanya, seolah melihat wanita itu dalam cahaya baru yang lebih menakutkan sekaligus mengagumkan. "Kau bisa menangani ini?" tanyanya singkat. Rea tertawa mengejek, menatap berkeliling para pria bertubuh besar yang semakin mendekat dengan pandangan mencela. "Aku bisa menangani yang lebih buruk dari ini. Tapi, lanjutkan saja pembicaraan kita tadi," senyumnya menantang, sama sekali tidak tampak terganggu oleh situasi yang mengancam nyawa mereka. Rea memang gila!! Marcus melemparkan tatapan tajam pada para penyerang, lalu menggeleng singkat pada Dean yang bersiap menyerang, seakan-akan ia ingin lihat bagaimana tangkasnya gadis di depannya ini. Senyum asimetris tersungging di bibirnya saat matanya kembali menatap wajah Rea. "Baiklah, wanita berbahaya. Tunjukkan apa yang bisa kau lakukan!" Desis Marcus mengeluarkan satu rokoknya. Bllaaarrr!!! Salah satu dari pria bertato itu melompat maju, mengayunkan tongkat besinya ke arah kepala Rea. Namun dengan tangkas, Rea memiringkan tubuhnya seperti ular meliuk hingga tongkat itu meleset. BRAKKKK!! Tangannya dengan cepat mencengkeram lengan si pria dan memelintirnya hingga tulang berderak. Krakkk Arghhhhh! Lengkingan kesakitan membelah udara saat Rea menghempaskan tubuh pria itu ke lantai dengan suara berdebum keras. DEGG Kelompok pria besar itu tampak terkejut hanya sesaat sebelum salah satu dari mereka menyerang kembali. Kali ini, dua orang berlari menerjang Rea dengan pisau terhunus dan auman menggelegar mengisi lorong gelap itu. Mata Rea menyala waspada, berkilat dingin bagai es. Dengan satu kaki kokoh tertancap di lantai, ia memutar tubuh rampingnya seperti mesin tempur yang dioles minyak, menyambut kedua penyerangnya. Lengannya mencuat seperti cambuk, melayangkan pukulan membabi-buta pada titik-titik saraf vital di tubuh lawannya. Brukk Brakkk Tak butuh waktu lama hingga dua pria besar itu tersungkur di lantai dengan erangan menyakitkan. Darah segar memercik dari luka-luka sayatan di tubuh mereka dari serangan Rea yang efisien dan kuat, meski tanpa senjata. Keributan terjadi di mana-mana. Sisa para penyerang berteriak liar, menghunus senjata mereka dan berlari kalap hendak menyergap Rea. Tetapi Rea berputar lincah, bergerak seperti pesilat yang gesit sekaligus seperti prediktor maut. Pukulan, tendangan, lemparan dan kuncian kematiannya bersahutan menumbangkan lawan satu per satu. Di sudut lain, dua penyerang berlari mengepung Marcus dalam gerombolan beringas. Tanpa berkata, Marcus melayangkan dua pukulan keras yang menghantam dagu mereka hingga pria-pria itu terpelanting ke belakang. Saat itulah, si Botak yang kehilangan sebelah matanya, muncul di belakang Rea dengan sebilah belati terhunus. Ia meraung penuh dendam, bersiap menghunuskan belati itu dari belakang. "Rea, awas!!" seru Sasa dari kejauhan, tetapi terlambat. Belati itu mengayun turun ke punggung Rea. Namun di detik terakhir, Rea menengok dan membungkukkan tubuhnya dalam gerakan hampir mustahil. Tubuhnya meliuk seperti tarian ular hingga bilah belati hanya menyayat udara kosong di atasnya. Dengan ayunan tangan yang menyambar, Rea mencengkeram tangan pria itu dan memelintir hingga tulang berderak. Belati terlempar ke udara. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Rea melayangkan satu tendangan berputar yang menghantam rusuk si Botak dengan telak. BRAKKKK!! Dentaman keras bergema saat tubuh pria itu terpelanting ke dinding dengan suara nyaring memekakkan telinga. "Inilah jadinya bermain-main dengan ku!" Rea memiringkan kepalanya sedikit saat mengambil kembali belati yang terlempar, lalu melemparkannya dengan gerakan ringan. Tusukan belati yang dalam menghunjam ke perut si Botak. Jeritan kesakitannya membahana menembusi kebisingan pertempuran, sampai akhirnya tersengal dan tubuhnya melemas. Tiba-tiba, dari balik bayangan, sesosok besar menyergap Marcus dari belakang. Tanpa bisa menghindar, tendangan kuat menghantam punggung Marcus, membuatnya terhuyung beberapa langkah. Darah segar mengucur dari bibirnya yang terluka. "Tuan!" seru Dean kalut. Dia segera menghunuskan Beretta-nya dan membidik si penyerang. Namun, detik berikutnya, tubuh besar itu ambruk setelah Rea muncul dari balik bayangan dan menyerangnya dengan sabetan tangan secepat kilat ke leher. Pria itu tersungkur tak sadarkan diri dengan gertakan leher yang berbunyi memilukan. Semua terjadi begitu cepat hingga Dean dan Sasa tak mampu mengikuti. Pertarungan itu hanya berlangsung beberapa menit. Namun semua penyerang Marcus telah ditumbangkan oleh Rea, terkapar tak berdaya di sekitar mereka. Rea berdiri di tengah-tengah para korbannya, rambut panjangnya sedikit berantakan dan peluh membasahi pelipisnya. Napasnya sedikit terengah, tetapi sorot matanya tetap tajam seperti elang siaga. Saat itu, Marcus melangkah maju dengan mata terpaku pada Rea. Ekspresinya datar, tetapi ada sinar kebingungan dalam tatapannya seperti dia baru saja menyaksikan hantu. Rea melemparkan senyum kecil ke arahnya, tetap anggun di tengah-tengah lika-liku tubuh tak berdaya di sekelilingnya. Tangannya yang terluka mengambil sapu tangan dari mantelnya dan membersihkan darah yang masih menetes segar. "Well?" tanya Rea dengan nada santai, seolah semua keributan itu hanyalah permainan kecil baginya. "Haruskah kita lanjutkan pembicaraan tadi,sayang? Atau kau sudah berubah pikiran?" Seringai Rea. Marcus mengamati Rea dengan tatapan tak terbaca, seolah menimbang sesuatu dalam benaknya. Lalu tanpa peringatan, ia melangkah maju dan dalam satu gerakan cepat mengangkat tubuh ramping Rea dalam gendongan ala pengantin. Deg Rea tersentak kaget, matanya membelalak namun cepat-cepat ia menutupinya dengan seringai menggoda. Tanpa ragu, tangannya membelai dada bidang Marcus yang keras seperti batu. "Kau tidak main-main rupanya," bisik Rea parau, matanya berkilat menantang. Marcus tidak menjawab. Dengan langkah tegap, ia membawa Rea meninggalkan lorong gelap menuju sebuah tangga sempit yang naik ke lantai dua. Rea tidak memberontak, hanya mengamati wajah Marcus dengan seksama, seolah ingin membaca pikirannya. Di lantai dua yang remang-remang, Marcus melangkah menyusuri koridor panjang hingga tiba di sebuah pintu kayu kokoh. Membukanya dengan satu tendangan, ia membawa Rea masuk ke dalam ruangan gelap yang hanya diterangi obor temaram. Baru ketika pintu ditutup dan mereka berada di dalam kesunyian, Rea mulai gelisah. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu kembali menatap Marcus dengan sorot bertanya-tanya. "Apa yang akan kau lakukan?" desisnya pelan penuh ancaman, namun terselip nada ragu di baliknya. Marcus tidak langsung menjawab. Dengan perlahan, ia menurunkan Rea hingga kaki jenjangnya menginjak lantai dingin ruangan itu. Lalu tanpa berkata, ia bergerak menuju meja kayu di sudut dan menuangkan dua gelas anggur merah yang terlihat tua. Rea mengawasi dalam diam, tubuhnya sedikit menegang was-was saat Marcus berbalik dan melangkah menghampirinya dengan dua gelas di tangannya. Pria itu menyerahkan satu gelas pada Rea tanpa melepas tatapannya. "Duduklah," kata Marcus dengan nada tenang yang tak bisa ditafsirkan. Rea mengernyit curiga, namun pada akhirnya menurut dan duduk di tepi tempat tidur kayu yang sedikit berkeriut. Marcus mengambil kursi kayu di dekatnya dan duduk berhadapan dengan Rea, tak lebih dari beberapa kaki memisahkan mereka. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan remang itu, hanya ditemani deru napas pelan dan detak jantung yang berpacu. Rea meneguk anggurnya perlahan, matanya tak pernah lepas dari sosok Marcus yang kokoh dan mengintimidasi di hadapannya. "Jadi?" Rea memecah kesunyian. "Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" Marcus tidak terburu-buru menjawab. Direguknya anggur merahnya, lalu meletakkan gelas itu di lantai di sampingnya. Matanya yang sejernih batu shappire menatap Rea lekat-lekat. "Kenapa kau berasumsi aku merencanakan sesuatu?" Marcus balas bertanya dengan nada rendah dan tenang. Rea tertawa kering. "Oh ayolah! Jangan sekali-kali berpikir aku tidak mengenalimu, Marcus. Seorang pria sepertimu tidak akan melakukan tindakan tanpa maksud tertentu." Sudut bibir Marcus sedikit terangkat, membentuk senyum tipis yang lebih mirip seringai mengancam. "Kau cukup cerdas untuk seorang wanita," ujarnya pelan. Matanya berkilat penuh makna yang tak terbaca. "Dan kau benar, aku memang memiliki maksud membawamu kemari." Rea menegang, bersiaga penuh awas saat Marcus bergeser mendekat. Namun dengan gerakan lembut, pria itu hanya mengulurkan tangan dan menyibak helaian rambut Rea yang jatuh menutupi wajahnya. "Aku ingin melihat seperti apa sebenarnya dirimu," bisik Marcus parau, suaranya seperti bisikan hantu yang menggoda. "Tanpa kepura-puraan... tanpa topeng..." Jemarinya yang kasar dan besar membelai lembut pipi Rea yang sedikit berpeluh. Mata biru esnya menatap lekat, seolah berupaya menembus hingga ke relung terdalam diri Rea. Rea terdiam, tak mampu berkata-kata. Dadanya naik-turun dengan cepat, namun matanya menatap balik Marcus dengan sorot menantang. Tangannya bergerak perlahan, menyusuri dada bidang Marcus dan berhenti tepat di jantungnya yang berdetak kuat. "Kau juga sama sepertiku," bisik Rea rendah. "Kau menyembunyikan sesuatu di balik topeng arogansi dan ambisimu itu." Tanpa peringatan, Rea mencondongkan tubuhnya ke depan hingga wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah Marcus. Napas hangatnya menyapu kulit pria itu. "Kita sama-sama predator, Marcus. Hanya saja..." Rea berbisik dengan nada rendah penuh bahaya, seringai menantang bermain di bibirnya. "Aku tak segan untuk merobek mangsaku menjadi cerai-berai!!"Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar
Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas
Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan
Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me
DOORRR!! Letupan pistol membelah keheningan malam. Pelurunya menembus tengkorak si tawanan, meninggalkan lubang menganga di kepalanya. Pria malang itu terjatuh ke tanah, darah segar mengalir dari lukanya yang mengerikan. "Astaga, Rea! Apa yang kau lakukan?" Sasa, asisten Rea, memekik ngeri. Matanya terbelalak menatap mayat di depannya. Rea menjatuhkan punting rokoknya, menginjaknya dengan sepatu bot berkulit kuatnya. Wajahnya tenang bak permukaan danau, seolah membunuh adalah kegiatan rutin semembosankan menguap. "Melakukan tugasku," ujarnya datar. Ia meniup kepulan asap dari rokoknya yang baru dinyalakan. "Tapi dia seharusnya dibawa ke kantor polisi! Bukan ditembak begitu saja!" Rea mendengus angkuh. "Sejak kapan kantor polisi bisa menangani kasus seperti ini? Bajingan itu telah memperkaos anak-anak tak berdosa. Membunuh kedua orangtua kecil itu dengan keji. Menurutmu hukuman apa yang sepantasnya dia terima?" Sasa menggigil, teringat foto-foto mengerikan dari TKP yang m
Sasa menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya bisa duduk diam, menyaksikan pertumpahan darah di depannya sambil berharap situasinya tidak menjadi lebih buruk. Di tengah kekacauan itu, salah satu pria dari kelompok musuh berteriak, memberi aba-aba untuk melancarkan serangan terakhir. Anak buah pria dingin itu mulai mundur, beberapa dari mereka terluka parah, tetapi masih berusaha melindungi diri dengan posisi bertahan. Pria dingin di mobil sport tetap tak bergerak, ekspresinya sedingin es, seperti seorang raja yang mengamati bidak-bidaknya di medan perang.Ia tidak suka bergerak ke tengah-tengah pertarungan Jika menurutnya lawannya tidak seimbang. Rea menyeringai, mematikan rokoknya di asbak kecil di mobil. “Saatnya bersenang-senang.” “Apa maksudmu? Rea, kau tidak serius, kan?” Sasa bertanya panik, tetapi Rea tidak menjawab. Ia sudah keluar dari mobil, sepatu botnya menginjak genangan air dengan suara pelan. “Rea! Tunggu!” Sasa bergegas mengejarnya, tetapi
Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas
Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t
Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me
Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan
Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas
Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar
Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye
“Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika
Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger
Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t
Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas