Share

bab 5

Penulis: Muliani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-25 20:48:22

Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah.

"Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu."

Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar.

"Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?"

Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar.

Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel.

"Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan segera terbongkar dan merusak seluruh kehidupan yang telah kau bangun bertahun-tahun."

Marcus mengepalkan rahangnya begitu kuat hingga urat-urat di lehernya menonjol. Tatapannya terpaku lurus ke arah Rea.

"Apa maumu?" tanyanya dengan nada teramat dingin dan mengancam.

Seringai lebar tersungging di bibir Rea. Dia mematikan layar ponselnya, lalu bersandar santai ke sofa di belakangnya seakan menguasai situasi sepenuhnya.

"Sudah kukatakan tadi," ujarnya dengan percaya diri. "Aku ingin kau menjadi suamiku. Bukan tawanan atau budak, tapi pasangan sehidup semati. Itulah syarat untuk menjaga semua rahasiamu tetap aman."

Marcus menyunggingkan senyum iblis yang menyimpan begitu banyak ancaman di baliknya.

Tanpa banyak basa-basi, pria itu mulai mengitari tubuh Rea yang duduk di sofa dengan angkuh. Setiap langkahnya anggun namun menghantui, seperti predator yang mengintai mangsanya.

Rea mengikuti gerakan Marcus dari sudut matanya. Seringainya tetap terpampang, seolah menantang pria itu untuk berbuat lebih jauh.

Tiba-tiba Marcus membungkuk, mendekatkan wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Rea. Napas panasnya yang berbau mint mengembun di kulit Rea.

Secara naluriah, Rea memundurkan kepalanya untuk menjaga jarak. Namun dengan gesit, tangan besar Marcus mencengkeram dagunya, menguncinya di tempat.

"Berani sekali wanita bodoh sepertimu bermain-main denganku!" desis Marcus dengan nada sedingin es yang mencekam.

Mata birunya yang semula memandang Rea dengan campuran ketertarikan dan kemarahan, berubah menjadi tatapan penuh ancaman. Senyum iblisnya telah lenyap, digantikan oleh kerutan ketegangan di keningnya yang menyiratkan bahaya.

"Kau tahu, detik ini juga aku bisa meledakkan kepala bodohmu ini!" Tangan Marcus meremas sedikit lebih kuat di dagu Rea, membuat wanita itu tidak bisa berkelit.

"please jangan lemah Rea, kau harus bisa!" batinya.

Dengan gerakan yang sangat berani, Rea memajukan wajahnya hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Deru napas hangat mereka saling bersahutan dalam jarak yang begitu dekat.

"Aku bodoh?" Rea tertawa mengejek. "Tapi kenapa orang bodoh ini sepertinya membuatmu marah?"

Seringai Rea melebar, menampakkan deretan giginya yang putih dan memikat. Matanya berkilat-kilat bagai dua bongkahan zamrud yang disepuh api, menatap lurus ke dalam kobaran amarah di mata Marcus.

Pria itu menggeram rendah, giginya mengerat hingga rahangnya menegang kaku. Rea merasakan tekanan di dagunya menguat, tetapi tatapannya tetap tak gentar balas menatap mata Marcus yang menyala-nyala marah.

"Kau bahkan tak tahu sedang bermain dengan siapa, Rea," ancamnya dengan suara berbahaya. "Tak seorang pun bisa mengancamku dan hidup untuk menceritakannya."

Rea tertawa kembali, tawanya mengalun sensual dan menggelitik telinga seperti alunan melodi menggoda.

"Kalau begitu, lakukanlah," tantangnya dengan percaya diri luar biasa. "Bunuh aku sekarang juga, jika itu bisa membebaskanmu dari cengkeramanku."

Hening sejenak. Mata Marcus menyipit penuh selidik, seakan mencoba membaca pikiran Rea di balik sorot angkuhnya. Rea balas menatapnya tanpa gentar, seolah melemparkan tantangan yang sama kuatnya.

"Tidak semudah itu," akhirnya Marcus berkata dengan rahang mengerat rapat. "Kau tidak akan mati secepat itu."

"Ah, akhirnya kau mengerti," Rea tersenyum puas dengan sedikit seringai melengkung di sudut bibirnya. "Eksistensiku saat ini adalah peganganku atas nyawamu sendiri."

Ucapan Rea layaknya tamparan keras di wajah Marcus. Cengkeraman pria itu di dagu Rea menguat hingga menyakitkan, seakan ingin menghancurkan tulang rahangnya. Namun Rea tetap kokoh menatapnya tanpa berkedip sedikitpun.

"Kau akan menyesali ini, Rea," geram Marcus dengan mata menyala membara. "Kau akan menyesali hari di mana kau berani menjerat seorang Marcus Dexa Cruz."

Rea tersenyum miring dengan angkuh. "Kita lihat saja nanti siapa yang akan menyesal, Sayang," bisiknya mengejek. "Permainan baru saja dimulai."

Sekali lagi hening melanda, ketegangan di udara terasa nyaris dapat diiris dengan pisau. Dua pasang mata saling mengunci, seakan mencoba saling mengintimidasi dan meremehkan. Perjuangan kekuatan ego yang intens dan tak terbendung.

Rea yang pertama melunakkan tatapannya. Dia menjauhkan wajahnya sedikit, lalu mengangkat tangannya yang ringkih namun anggun untuk menangkup tangan Marcus yang mencengkeram dagunya.

"Terimalah ini, Marcus sayang," ujarnya lembut, dengan nada sensual yang kontradiktif dari seluruh sikap berontaknya sebelumnya. "Ikuti kemauanku, dan aku berjanji akan menjadikanmu pria paling berkuasa dan disegani di seluruh dunia."

Lidahnya bermain di bibir bawahnya dengan gerakan menggoda yang refleks membuat mata Marcus terpaku sesaat di sana. Rea tersenyum melihatnya.

"Sebaliknya jika kau menentangku, aku tak segan-segan untuk menjatuhkanmu ke dalam kehancuran yang bahkan tak pernah kau impikan."

Marcus menarik napas panjang, mencoba mengatur emosinya yang membara. Kemarahannya masih terukir jelas di wajahnya yang keras. Namun sedikit demi sedikit, kepalan tangannya di dagu Rea mulai melonggar.

Rea mengambil momentum itu untuk melepaskan diri perlahan dari cengkeraman Marcus. Dengan gerakan anggun, dia berdiri menghadap pria itu dengan tatapan lembut namun menguasai situasi.

"Keputusanmu?" tanya Rea pelan, seperti melemparkan jaring yang siap menangkap mangsanya.

Marcus terdiam lama, menatap Rea lekat-lekat seakan berusaha membaca strategi tersembunyi di balik mata hijau itu. Kilatan ketidakpercayaan masih membayang di sorot birunya. Namun perlahan, senyum miring penuh kemenangan tersungging di bibirnya yang tegas.

"Aku menyenangi tantangan," ujarnya akhirnya, suaranya rendah dan sedikit berat.

"Dan kau sepertinya patut untuk dipertaruhkan."

Tawa renyah Rea bergema di seluruh ruangan, lepas dan anggun seperti dentingan lonceng kristal. Marcus memandangnya dengan tatapan tak terbaca.

"Kurasa inilah awal dari sesuatu yang indah, Marcus sayang," Rea melemparkan senyum penuh makna. Tangannya terangkat mengusap pipi Marcus yang keras dengan belaian lembut.

"Sebuah petualangan baru menanti," lanjutnya menatap lurus ke mata Marcus.

Senyum Marcus melebar sedikit, menampakkan sedikit kerutan di sudut matanya. Sesuatu dalam sorotnya berubah dari kebencian menjadi semacam ketertarikan.

"Oh, percayalah," balasnya rendah, tangannya merengkuh pinggang Rea mendekat, "kaulah yang akan menyesal terlibat denganku."

Kedua tubuh mereka menempel erat, deru napas saling bersahutan dalam jarak sedekat itu. Mata Rea dan Marcus terkunci dalam ketegangan elektrik.

"Kita lihat saja nanti," balas Rea dengan tatapan menantang. "Kuharap kau tidak mengecewakan, Marcus Dexa Cruz."

Marcus hanya menyeringai mendengarnya. Perlahan, dia mulai membungkukkan tubuhnya ke arah Rea yang terpaku menantikan gerakannya.

"Dengan senang hati, calon istriku," bisiknya di telinga Rea, sebelum mendaratkan ciuman intens penuh dominasi di bibir merah Rea namun yang kena Malah pipi Rea.

"Kenapa?" Tanyanya dingin penuh dominasi.

"Belum saatnya, sayang!" Seringai Rea berkedip ke arah Marcus.

*

*

*

Rea melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, melewati ibunya yang menatapnya dengan sorot mata tajam seperti ingin melemparkan sesuatu.

Namun, Rea tidak peduli. Ia hanya menyeringai kecil ke arah ibunya sebelum menghempaskan tubuhnya ke kursi besar di ujung meja, kursi yang jelas menunjukkan posisinya sebagai penguasa ruangan itu.

“Ayo, duduk,” katanya santai kepada para klien yang masih berdiri. “Kita mulai rapat ini. Waktu saya berharga.”

Beberapa klien duduk dengan enggan, masih terlihat kesal. Salah satu pria Italia yang sejak tadi paling vokal akhirnya angkat bicara.

“Miss Alexander,” katanya dengan nada yang jelas-jelas menyindir. “Saya tidak tahu bagaimana budaya profesional di sini, tetapi di Italia, CEO tidak datang terlambat satu jam dan memberikan alasan seperti ‘pesta’.”

Rea menatap pria itu dengan mata hijaunya yang tajam, tetapi ia tetap tenang. Ia mengangkat alis sedikit, lalu tersenyum kecil.

“Di sini, Tuan...” jawabnya dengan nada dingin tetapi penuh kekuatan, “…CEO tidak membuang-buang waktu dengan omong kosong. Jika saya terlambat, itu karena saya tahu semua yang terjadi di perusahaan ini berjalan sempurna tanpa saya. Dan pesta tadi malam adalah bagian dari pekerjaan saya—memastikan bahwa koneksi bisnis kami tetap kuat.”

Pria itu terdiam, terlihat sedikit terkejut dengan respons langsung Rea. Namun, ia tidak menyerah begitu saja.

“Meski begitu,” tambah pria itu dengan nada lebih tajam, “ini tidak bisa diterima. Sebagai mitra, kami berhak atas rasa hormat.”

Rea mencondongkan tubuhnya ke depan, menyandarkan sikunya di atas meja sambil menatap pria itu tanpa berkedip. Senyum kecil muncul lagi di bibirnya.

“Tuan,” katanya pelan tetapi penuh ancaman,

“rasa hormat itu bukan sesuatu yang Anda tuntut. Itu sesuatu yang Anda dapatkan… ketika Anda pantas mendapatkannya. Dan sejauh ini, saya belum melihat apa pun dari Anda yang pantas dihormati."

Ruangan itu langsung hening. Para klien lain hanya bisa saling bertukar pandang, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara itu, pria Italia itu terlihat memerah, tetapi ia tidak bisa menemukan kata-kata untuk membalas.

Di sudut ruangan, Nyonya Betty menghela napas panjang, menutup wajahnya dengan tangan. “Oh, Tuhan,” gumamnya pelan.

Namun, Rea tidak berhenti. Ia menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi, mengambil tablet di meja dan mulai memeriksa data yang ditampilkan di layar.

“Sekarang, jika Anda semua sudah selesai dengan keluhan dan komentar tidak relevan, mari kita bicarakan tentang proyek ini,” katanya dengan nada dingin tetapi tetap tenang. “Waktu saya terbatas, dan saya yakin Anda tidak ingin membuangnya lebih banyak lagi.”

Para klien, meskipun masih kesal, mulai mengikuti arahan Rea. Mereka tahu bahwa wanita ini tidak seperti CEO lain yang pernah mereka temui. Mungkin caranya tidak konvensional, bahkan kasar, tetapi tidak bisa disangkal bahwa ia mengendalikan situasi dengan sempurna.

Sementara itu, Rea menatap mereka satu per satu, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. Ia tahu, permainan ini baru saja dimulai.

***

Rapat di Alexander Designs akhirnya selesai. Para klien, termasuk delegasi dari Italia dan Prancis, mulai beranjak dari ruang konferensi dengan wajah lega, meskipun beberapa dari mereka masih menyimpan rasa kesal.

Rea Ardinata Alexander, seperti biasa, melangkah keluar ruangan terakhir.

Mantel panjangnya melambai di belakangnya, memberikan kesan anggun yang mendominasi. Rambutnya yang diikat rapi kini sedikit berantakan, tetapi itu justru semakin menambah daya tariknya.

Saat ia berjalan menyusuri koridor menuju ruang pribadinya, telinganya menangkap suara percakapan dari sudut lorong.

“Dia tidak punya etika,” kata pria Italia itu dengan nada tajam. “Datang terlambat satu jam, lalu berbicara seolah-olah dia dewi yang tidak bisa disentuh. Tidak berpendidikan.”

“Apa yang kau harapkan dari seseorang seperti dia? Mungkin dia pikir karena cantik, semua orang akan memaafkan tingkah lakunya.” Wanita Prancis itu tertawa kecil, suaranya terdengar seperti ejekan.

“Tapi CEO macam apa yang datang terlambat karena pesta?” pria Italia itu menambahkan, kali ini dengan nada penuh hinaan. “Kalau di Italia, dia tidak akan bertahan sehari pun.”

Wanita Prancis itu tertawa lagi. “Oh, sayang, aku yakin dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menjalankan perusahaan sebesar ini. Mungkin ini semua karena ibunya. Atau, siapa tahu, dia punya ‘cara lain’ untuk mendapatkan posisinya.”

Tawa mereka memenuhi koridor, tidak menyadari bahwa Rea ada di belakang mereka, berdiri dengan seringai dingin di wajahnya.

Para karyawan yang berada di dekat situ langsung terdiam, beberapa bahkan menutup mulut mereka dengan tangan, takut dengan apa yang akan terjadi.

Tatapan mereka bergantian antara Rea dan dua klien yang masih sibuk mengobrol tanpa sadar bahaya mengintai di belakang mereka.

Rea melangkah maju, hak sepatu botnya beradu dengan lantai, menciptakan suara klik yang menggetarkan koridor. Kedua klien itu menghentikan percakapan mereka dan perlahan-lahan berbalik. Wajah mereka langsung memucat ketika melihat siapa yang berdiri di belakang mereka.

“Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 6

    “Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 7

    Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 8

    Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 9

    Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 10

    Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 11

    Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-18
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 1

    DOORRR!! Letupan pistol membelah keheningan malam. Pelurunya menembus tengkorak si tawanan, meninggalkan lubang menganga di kepalanya. Pria malang itu terjatuh ke tanah, darah segar mengalir dari lukanya yang mengerikan. "Astaga, Rea! Apa yang kau lakukan?" Sasa, asisten Rea, memekik ngeri. Matanya terbelalak menatap mayat di depannya. Rea menjatuhkan punting rokoknya, menginjaknya dengan sepatu bot berkulit kuatnya. Wajahnya tenang bak permukaan danau, seolah membunuh adalah kegiatan rutin semembosankan menguap. "Melakukan tugasku," ujarnya datar. Ia meniup kepulan asap dari rokoknya yang baru dinyalakan. "Tapi dia seharusnya dibawa ke kantor polisi! Bukan ditembak begitu saja!" Rea mendengus angkuh. "Sejak kapan kantor polisi bisa menangani kasus seperti ini? Bajingan itu telah memperkaos anak-anak tak berdosa. Membunuh kedua orangtua kecil itu dengan keji. Menurutmu hukuman apa yang sepantasnya dia terima?" Sasa menggigil, teringat foto-foto mengerikan dari TKP yang m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-25
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 2

    Sasa menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya bisa duduk diam, menyaksikan pertumpahan darah di depannya sambil berharap situasinya tidak menjadi lebih buruk. Di tengah kekacauan itu, salah satu pria dari kelompok musuh berteriak, memberi aba-aba untuk melancarkan serangan terakhir. Anak buah pria dingin itu mulai mundur, beberapa dari mereka terluka parah, tetapi masih berusaha melindungi diri dengan posisi bertahan. Pria dingin di mobil sport tetap tak bergerak, ekspresinya sedingin es, seperti seorang raja yang mengamati bidak-bidaknya di medan perang.Ia tidak suka bergerak ke tengah-tengah pertarungan Jika menurutnya lawannya tidak seimbang. Rea menyeringai, mematikan rokoknya di asbak kecil di mobil. “Saatnya bersenang-senang.” “Apa maksudmu? Rea, kau tidak serius, kan?” Sasa bertanya panik, tetapi Rea tidak menjawab. Ia sudah keluar dari mobil, sepatu botnya menginjak genangan air dengan suara pelan. “Rea! Tunggu!” Sasa bergegas mengejarnya, tetapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-25

Bab terbaru

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 11

    Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 10

    Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 9

    Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 8

    Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 7

    Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 6

    “Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 5

    Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 4

    Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 3

    Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status