Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me
DOORRR!! Letupan pistol membelah keheningan malam. Pelurunya menembus tengkorak si tawanan, meninggalkan lubang menganga di kepalanya. Pria malang itu terjatuh ke tanah, darah segar mengalir dari lukanya yang mengerikan. "Astaga, Rea! Apa yang kau lakukan?" Sasa, asisten Rea, memekik ngeri. Matanya terbelalak menatap mayat di depannya. Rea menjatuhkan punting rokoknya, menginjaknya dengan sepatu bot berkulit kuatnya. Wajahnya tenang bak permukaan danau, seolah membunuh adalah kegiatan rutin semembosankan menguap. "Melakukan tugasku," ujarnya datar. Ia meniup kepulan asap dari rokoknya yang baru dinyalakan. "Tapi dia seharusnya dibawa ke kantor polisi! Bukan ditembak begitu saja!" Rea mendengus angkuh. "Sejak kapan kantor polisi bisa menangani kasus seperti ini? Bajingan itu telah memperkaos anak-anak tak berdosa. Membunuh kedua orangtua kecil itu dengan keji. Menurutmu hukuman apa yang sepantasnya dia terima?" Sasa menggigil, teringat foto-foto mengerikan dari TKP yang m
Sasa menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya bisa duduk diam, menyaksikan pertumpahan darah di depannya sambil berharap situasinya tidak menjadi lebih buruk. Di tengah kekacauan itu, salah satu pria dari kelompok musuh berteriak, memberi aba-aba untuk melancarkan serangan terakhir. Anak buah pria dingin itu mulai mundur, beberapa dari mereka terluka parah, tetapi masih berusaha melindungi diri dengan posisi bertahan. Pria dingin di mobil sport tetap tak bergerak, ekspresinya sedingin es, seperti seorang raja yang mengamati bidak-bidaknya di medan perang.Ia tidak suka bergerak ke tengah-tengah pertarungan Jika menurutnya lawannya tidak seimbang. Rea menyeringai, mematikan rokoknya di asbak kecil di mobil. “Saatnya bersenang-senang.” “Apa maksudmu? Rea, kau tidak serius, kan?” Sasa bertanya panik, tetapi Rea tidak menjawab. Ia sudah keluar dari mobil, sepatu botnya menginjak genangan air dengan suara pelan. “Rea! Tunggu!” Sasa bergegas mengejarnya, tetapi
Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas
Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t
Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger
“Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika
Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye
Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me
Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan
Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas
Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar
Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye
“Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika
Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger
Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t
Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas