Di Northbridge Enterprises
Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas meja sambil memandang Dean dengan tatapan dingin. Mata hitamnya seperti jurang tanpa dasar, mampu membuat siapa pun kehilangan kata-kata. “Lapor!" ujar Marcus singkat nan dingin, suaranya rendah dan serak, tetapi cukup mendominasi untuk membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat. Dean menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. “Saya baru saja menemui Rea Ardinata Alexander, wanita yang membantu kita semalam. Saya menawarkan kartu ATM berisi jutaan dolar sebagai tanda terima kasih Anda tuan." Marcus mengangkat alis tebalnya, tanda kecil bahwa ia mendengarkan dengan seksama. “Tapi…” Dean melanjutkan dengan hati-hati, “…dia menolaknya, tuan." sungguh Dean menelan ludahnya mengatakan ini pada tuannya, karena ia sejujurnya takut dengan Aura seorang Marcus! Marcus menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Dean dengan tatapan yang sulit diartikan. “Dia menolak?” ulangnya, nada suaranya tidak berubah, tetapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Dean meremang. “Ya, Tuan. Dia mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan uang. Dia hanya ingin… Anda datang secara pribadi untuk berterima kasih kepadanya.” Keheningan memenuhi ruangan. Dean menahan napas, menunggu respons Marcus. Akhirnya, pria itu berbicara dengan nada datar yang membeku. “Seberapa pentingkah dia hingga aku harus turun tangan sendiri?" senyuman devil terukir di bibirnya. Nada suaranya begitu dingin dan dalam, membuat Dean merasa kecil. Bahkan tanpa nada marah, suara Marcus cukup untuk membuat siapa pun merasa terintimidasi. “Dia… luar biasa, Tuan. Rea Ardinata adalah wanita yang berbahaya. Saya tidak tahu apa yang dia rencanakan, tetapi saya rasa kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja.” Marcus menatap Dean selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Akhirnya, ia menghela napas pelan, lalu menatap keluar jendela besar yang menghadap ke kota. “Kita lihat saja apakah dia benar-benar sehebat yang kau katakan!" seringainya memainkan batang rokok merek Mahal itu. *** Di Kantor CBI Di sisi lain kota, gedung Kantor Pusat CBI (Central Bureau of Investigation) sedang sibuk seperti biasa. Para agen sibuk dengan dokumen dan laporan, tetapi ada ketegangan yang terasa di ruangan rapat utama. Kepala CBI, seorang pria bertubuh besar bernama Direktur Jonathan, duduk dengan wajah merah padam, memandang jam dinding di atas pintu dengan kesal. Beberapa agen lain duduk di sekeliling meja, saling melirik dengan gugup. “Di mana dia?!” bentak Jonathan akhirnya, menghentak meja dengan tangannya yang besar. “Rea Ardinata seharusnya ada di sini dua jam yang lalu!” “Saya sudah mencoba menghubunginya, Pak,” ujar salah satu agen dengan nada gemetar. “Tapi dia tidak menjawab teleponnya.” Sebelum Jonathan sempat meledak lagi, pintu ruangan itu terbuka dengan suara lembut. Semua kepala langsung menoleh, dan di sana berdiri Rea, tampak tenang seperti biasa. Ia mengenakan blazer hitam ramping yang dipadukan dengan celana panjang, terlihat profesional tetapi tetap memikat. Di tangannya, ia membawa sebuah apel hijau yang ia gigit dengan santai. “Maaf terlambat,” ujarnya sambil melangkah masuk, suaranya tenang tanpa sedikit pun nada penyesalan. “Terlambat?!” Jonathan hampir berdiri dari kursinya. “Kau terlambat dua jam, Rea!” Rea hanya mengangkat bahu kecil. “Lalu? Aku di sini sekarang.” "hanya dua jam juga.." gumamya. Beberapa agen mendesah kesal, tetapi tidak ada yang berani mengatakan apa-apa. Rea berjalan ke kursinya dengan langkah santai, lalu duduk tanpa terburu-buru. Ia menggigit apelnya lagi, membuat suara kriuk kecil yang hampir seperti provokasi. “Rea,” ujar Jonathan dengan nada penuh peringatan. “Ini adalah kasus besar. Kita tidak bisa menunggu seenaknya hanya karena kau merasa istimewa.” Rea menatapnya dengan mata hijaunya yang dingin. “Kalau ini benar-benar mendesak, kalian tidak akan menunggu aku, kan?” katanya, nada suaranya setajam pisau. Semua orang terdiam. Bahkan Jonathan tidak bisa membantah logika itu. “Baiklah,” kata Rea akhirnya, menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai. “Mari kita mulai. Apa yang sudah kalian temukan tanpa aku?” Para agen saling bertukar pandang, bingung antara marah dan kagum pada wanita ini. Dalam waktu singkat, ia telah mengambil alih ruangan, meskipun ia datang terlambat. Sementara itu, di pikiran Rea, ia hanya memikirkan satu hal, kapan Marcus Dexa Cruz akan bergerak? Ia tahu, pertemuan mereka hanya masalah waktu dan ia ingin memastikan bahwa ketika saat itu tiba, ia yang akan memegang kendali, tapi tidak mungkin juga! sedang mengingat wajah dan tatapan elangnya saja membuat Rea menelan ludahnya diam-diam. Suara pintu ruang rapat yang tertutup dengan keras menggema, menandai dimulainya pertemuan penting. Namun, ketegangan di dalam ruangan itu tidak ada hubungannya dengan topik yang akan dibahas. Sebagian besar berasal dari satu orang: Rea Ardinata Alexander. Ia duduk di ujung meja panjang, kursinya sedikit dimiringkan ke belakang, satu kaki menyilang santai di atas yang lain. Di tangannya, apel hijau yang ia gigit pelan-pelan seolah tidak ada apa pun yang lebih penting daripada buah itu. Setiap suara "kriuk" saat ia menggigit memicu gelombang kesal di wajah para agen lain. “Astaga, Rea,” gumam salah satu agen wanita dengan nada nyaris putus asa. “Bisakah kau berhenti makan? Ini rapat, bukan ruang makan.” Rea hanya mengangkat bahu kecil tanpa melihat ke arah si agen, lalu menggigit apelnya lagi. Ia bahkan tidak repot-repot menyembunyikan ekspresi bosannya. “Kau benar-benar tidak punya rasa hormat, ya?” gerutu agen pria yang duduk di seberangnya. Rea akhirnya menatap mereka, mata hijaunya bersinar dingin. “Rasa hormat harus diperoleh, Sayang. Bukan sesuatu yang kuberikan cuma-cuma,” ujarnya, suaranya lembut tetapi menusuk. Brakk! Kepala CBI, Direktur Jonathan, memukul meja dengan keras untuk mengalihkan perhatian semua orang. Wajahnya sudah memerah sejak awal rapat, tetapi kini terlihat semakin frustasi. “Cukup!” bentaknya. “Rea, kalau kau tidak berniat serius, kau bisa keluar!" Rea menatap Jonathan, seringai kecil muncul di sudut bibirnya. Ia mengunyah potongan terakhir apelnya dengan pelan sebelum meletakkan sisa buah itu di meja. Lalu ia melipat tangan di depan dada, tubuhnya condong ke depan sedikit, menunjukkan perhatian palsu. “Maaf, Direktur,” katanya dengan nada manis yang jelas-jelas tidak tulus. “Aku serius. Lanjutkan saja.” Jonathan menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Ia tahu betul siapa Rea—agen terbaik yang pernah dimiliki CBI, tetapi juga yang paling sulit diatur. “Baiklah,” katanya akhirnya, sambil memberi isyarat kepada salah satu agen untuk memulai presentasi. “Ini adalah misi kita berikutnya.” Di layar besar di depan mereka, muncul gambar-gambar sebuah fasilitas penelitian rahasia yang tersembunyi di pedalaman. Agen yang berbicara menjelaskan detail tentang ancaman keamanan dan target mereka, tetapi perhatian Rea sudah menghilang. Di Dalam Pikiran Rea Sementara para agen lain sibuk mencatat dan menanggapi presentasi, pikiran Rea melayang ke tempat lain. Ia memikirkan pertemuannya dengan Dean pagi ini dan bagaimana pria itu menyampaikan pesan Marcus Dexa Cruz. "Dia tidak akan datang," pikir Rea dengan seringai kecil. "Setidaknya tidak sampai aku memaksanya, sial kenapa aku jadi seperti tergila-gila padanya, tapi...dia memang sangat tampan!" Marcus bukan tipe pria yang bergerak hanya karena seseorang memintanya. Itu justru yang membuatnya menarik bagi Rea. Ia ingin tahu sejauh mana pria dingin itu bisa didorong. Ia tahu, permainan ini hanya akan semakin menarik jika ia memancing Marcus dengan cara yang tepat. Tangan Rea tanpa sadar memainkan pena di atas meja, seringai di wajahnya semakin lebar saat rencana mulai terbentuk di kepalanya. “Rea!” Suara Jonathan yang keras memotong lamunannya. Rea mengangkat alis, menoleh ke arah bosnya dengan ekspresi datar. “Apa?” tanyanya, suaranya nyaris malas. Jonathan menghela napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak melempar map di tangannya ke arah wanita itu. “Apa kau bahkan mendengarkan? Kami membutuhkan strategimu untuk menyerang fasilitas ini.” Rea melirik layar presentasi dengan cepat, lalu kembali bersandar di kursinya. “Ah, fasilitas itu. Mudah saja,” katanya santai. “Masuk dari sisi barat, keluarkan penjaga dengan racun neurotoxin, dan ambil data yang diperlukan. Mudah.” Agen lain saling bertukar pandang dengan ekspresi bingung dan frustasi. “Racunnya dari mana?” tanya salah satu agen dengan nada skeptis. Rea menyeringai lebar. “Dari laboratorium bawah tanah yang kalian sita minggu lalu. Jangan bilang kalian tidak tahu cara memanfaatkannya.” Para agen terdiam, sebagian karena malu, sebagian lagi karena terkejut dengan betapa cepatnya Rea menyusun strategi, padahal tadi ia terlihat tidak mendengarkan. “Lihat? Tidak sulit,” tambahnya sambil mengambil apel dari meja dan menggigitnya lagi. “Rea, kau benar-benar membuatku gila,” gumam Jonathan sambil memijat pelipisnya. Rea hanya terkekeh pelan. “Itulah yang membuatku istimewa, Direktur.” Di Sisi Lain! Sementara itu, di markas besar Northbridge Enterprises, Marcus Dexa Cruz berdiri di depan jendela besar di ruangannya, menatap pemandangan kota dengan mata dingin. Di belakangnya, Dean berdiri dengan gugup, menunggu perintah lebih lanjut. “Dia benar-benar bilang itu?” tanya Marcus akhirnya, tanpa menoleh. “Ya, Tuan,” jawab Dean cepat. “Dia bilang dia tidak membutuhkan uang Anda. Dia hanya ingin Anda datang sendiri.” Marcus menyandarkan tangannya di pinggir jendela, ekspresinya tetap tidak berubah. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya berputar. “Wanita itu… Rea Ardinata…” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. “Ya, Tuan,” Dean mengangguk. “Dia sepertinya tidak seperti orang lain.” Marcus akhirnya berbalik, matanya menatap Dean dengan tajam. “Tidak seperti orang lain?” ulangnya. “Dia berani menantangku. Itu perbedaan yang cukup besar.” Dean merasa tenggorokannya mengering di bawah tatapan Marcus. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Marcus berbicara lagi. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia,” katanya dingin. “Segala sesuatu, masa lalunya, kelemahannya, apa yang dia inginkan. Dan pastikan dia tahu bahwa aku tidak bermain-main.” Dean mengangguk cepat. “Ya, Tuan. Saya akan segera mengatur itu.” Marcus kembali menatap keluar jendela, seringai tipis muncul di sudut bibirnya. “Jika dia ingin permainan ini, aku akan memberinya permainan yang tak akan pernah dia lupakan." Sedangkan di ruang rapat, suasana mulai mereda ketika Jonathan akhirnya memutuskan untuk menutup pertemuan. “Baiklah,” katanya dengan nada tegas. “Strategi ini harus sempurna. Semua orang tahu apa yang harus dilakukan?” Semua agen mengangguk kecuali Rea, yang masih sibuk dengan apel terakhirnya. “Rea!” panggil Jonathan dengan nada tajam. “Aku mendengar,” jawab Rea tanpa melihatnya. Jonathan menggelengkan kepala, frustrasi. “Kau benar-benar agen paling menyebalkan yang pernah kumiliki.” “Tapi aku yang terbaik,” balas Rea dengan seringai. Rapat akhirnya bubar, tetapi di kepala Rea, pertempuran baru saja dimulai. Marcus Dexa Cruz tidak akan bisa mengabaikannya lebih lama lagi. Dan Rea? Ia tidak sabar untuk melihat pria dingin itu kehilangan kendali untuk pertama kalinya. **** Langit siang kota mulai memudar ke warna jingga ketika Rea Ardinata Alexander melangkah keluar dari gedung CBI. Kacamata hitam melindungi matanya yang tajam, rambut panjangnya melambai tertiup angin. Wajahnya seperti biasa, tanpa emosi, seperti patung marmer yang tidak bisa diganggu oleh apa pun. Di belakangnya, beberapa agen masih berdiri di dekat pintu, berbicara pelan satu sama lain sambil melirik ke arah Rea. “Dia benar-benar tidak punya rasa hormat,” gumam salah seorang agen dengan nada kesal. “Aku bahkan tidak yakin dia memperhatikan selama rapat,” timpal yang lain sambil menggelengkan kepala. “Dia terlalu percaya diri,” komentar agen lain. “Tapi, ya, siapa yang bisa menyangkal bahwa dia adalah agent the best di antara kita?” Namun, semua bisik-bisik itu hanya seperti angin lalu bagi Rea. Ia bahkan tidak melirik mereka. Dengan langkah santai, ia menuruni tangga marmer menuju parkiran, seolah tidak ada hal di dunia yang lebih penting daripada dirinya sendiri. Di ujung jalan, SUV hitam miliknya sudah terparkir dengan rapi. Di sampingnya, Sasa, asisten setianya, berdiri dengan tangan di pinggul dan ekspresi kesal di wajahnya. “Rea, kau akhirnya keluar juga,” kata Sasa, suaranya terdengar seperti seseorang yang sudah menunggu terlalu lama. “Aku sudah di sini selama satu jam!”Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t
Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger
“Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika
Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye
Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar
Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas
Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan
Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me
Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me
Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan
Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas
Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar
Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye
“Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika
Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger
Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t
Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas