Share

bab 4

Author: Muliani
last update Last Updated: 2025-02-25 20:47:45

Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.”

Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?”

Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli.

“Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.”

Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?”

Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!"

Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea.

“Jadi, apa rencanamu sekarang?” tanya Sasa akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Rea tersenyum kecil, matanya kembali fokus pada jalan di depan mereka. “Sekarang? Kita pulang dulu. Aku punya beberapa hal untuk dipersiapkan.”

“Persiapan untuk apa?” tanya Sasa dengan curiga.

Rea hanya menyeringai, seringai yang begitu licik hingga membuat bulu kuduk Sasa meremang. “Untuk membuat Marcus Dexa Cruz akhirnya keluar dari zona nyaman dinginnya.”

Mobil melaju dengan mulus di jalan raya yang mulai dipenuhi oleh lampu-lampu kota. Di dalamnya, Sasa melirik ke arah Rea dari kursi penumpang.

“Kau serius dengan Marcus Dexa Cruz itu?” tanya Sasa, memecah keheningan.

“Tentu saja,” jawab Rea tanpa ragu. “Dia tantangan terbesar yang pernah kutemui.”

Sasa mendesah, memijat pelipisnya. “Kau tahu, Rea, aku benar-benar tidak habis pikir. Kau ini sudah cukup sibuk sebagai agen, desainer terkenal, dan sekarang kau ingin bermain-main dengan pria seperti Marcus? Kau sadar, kan, dia itu bukan orang sembarangan?”

Rea mengangkat bahu ringan. “Itulah yang membuatnya menarik. Dia berbeda. Dingin, tak tersentuh, dan penuh rahasia. Aku ingin tahu seberapa jauh aku bisa membuatnya kehilangan kendali.”

“Ini lebih seperti obsesi,” gumam Sasa.

“Mungkin,” jawab Rea santai. “Tapi kau tahu apa yang membuat hidup ini menyenangkan, Sasa?”

Sasa menatapnya dengan bingung. “Apa?”

“Permainan,” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh arti. “Hidup ini hanya permainan, dan aku selalu menang.”

Sasa hanya bisa menggelengkan kepala. Ada sesuatu dalam cara Rea mengatakan itu—kombinasi antara kepercayaan diri yang tak tergoyahkan dan kedinginan yang membuatnya merinding

Hingga tak butuh waktu lama

Ketika mereka akhirnya sampai di apartemen, Rea langsung masuk ke ruang kerjanya yang penuh dengan desain dan peralatan high-tech. Di satu sudut ruangan, ada papan tulis besar yang penuh dengan sketsa dan catatan tentang target terbaru CBI.

Di sisi lain, ada meja kaca yang bersih dan teratur, tempat Rea biasa bekerja sebagai desainer.

Sasa mengikutinya dari belakang, menatap Rea dengan curiga. “Jadi, apa rencanamu sebenarnya?”

Rea membuka laci meja dan mengambil sebuah tablet. Ia mengaktifkannya, menampilkan serangkaian dokumen dan foto Marcus Dexa Cruz. “Aku ingin tahu segala sesuatu tentang pria ini. Kelemahannya, kekuatannya, apa yang membuatnya bergerak.”

“Kau yakin itu ide yang bagus? Kalau dia tahu kau mempelajarinya, kau bisa berada dalam bahaya besar.”

Rea hanya tersenyum kecil. “Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Sayang. Tanpa itu, hidup ini terlalu membosankan.”

Sasa menghela napas panjang, lalu duduk di sofa di sudut ruangan. “Kau benar-benar agen paling gila yang pernah ada.”

“Gila?” Rea terkekeh. “Mungkin. Tapi kau tetap di sini bersamaku, bukan?”

Sasa hanya mendesah, tidak bisa membantah. Rea benar—meskipun betapa sulitnya wanita ini, ada sesuatu tentangnya yang membuat orang tidak bisa pergi.

Rea duduk dengan fokus penuh di depan komputernya. Layar besar menampilkan informasi yang ia kumpulkan tentang Marcus Dexa Cruz—dari latar belakang bisnis hingga jaringan bawah tanahnya. Tangan Rea bergerak cepat di atas keyboard, sesekali mencatat poin penting di tablet di sampingnya.

Namun, suasana tenang itu terusik oleh suara dering ponsel di meja. Sudah sejak tadi ponselnya bergetar tanpa henti, tetapi Rea tidak bergeming sama sekali.

“Rea,” gumam Sasa yang duduk di sofa, menatap ponsel itu dengan kesal. “Angkat teleponnya. Itu sudah berbunyi sejak tadi.”

Rea hanya mengangkat bahu sambil melanjutkan pekerjaannya. “Kalau penting, mereka akan menelepon lagi.”

Sasa mendengus dan meraih ponsel itu. “Kalau begitu, biar aku saja yang jawab.”

Rea melirik sekilas dengan seringai kecil, tetapi tetap membiarkan Sasa melakukan pekerjaannya.

“Hallo?” kata Sasa sambil mengangkat telepon. Namun, beberapa detik kemudian, wajahnya berubah pucat. Matanya melebar saat mendengar suara di ujung telepon.

“Siapa?” tanya Rea santai tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya.

Sasa menelan ludah sebelum menjawab, suaranya hampir berbisik.

“Marcus.”

Nama itu membuat Rea berhenti sejenak, entah mengapa jantungnya terasa berdetak cepat, padahal baru namanya saja di sebut.

Namun Ia menoleh dengan senyum miring, lalu mengulurkan tangan. “Berikan padaku.”

Sasa menyerahkan ponsel itu dengan enggan, masih syok dengan siapa yang baru saja menelepon.

Rea menempelkan ponsel ke telinganya, nada bicaranya berubah menjadi penuh kepastian.

“Marcus Dexa Cruz, kehormatan apa yang membuatmu meneleponku?”

Di ujung telepon, suara dingin dan dalam Marcus langsung terdengar, membuat udara di sekitar Rea terasa lebih berat, Rea bahkan merasakan sesuatu yang berbeda ketika mendengar suaranya.

“Aku ingin bertemu denganmu, Nona Rea. Ada hal yang perlu kita bicarakan.”

Rea menyeringai lebar, meskipun Marcus tidak bisa melihatnya. “Begitu langsung, ya? Kau bahkan tidak bertanya apakah aku sedang sibuk.”

“Tidak peduli kau sibuk atau tidak,” balas Marcus dengan nada penuh dominasi. “Aku ingin bertemu. Malam ini. Di restoran La Monarch, pukul delapan!"

"tidak ada penolakan!" dingin Marcus.

Rea menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengangkat kakinya ke meja dengan santai. Ia tahu Marcus bukan tipe pria yang suka menunggu atau ditolak, tetapi justru itulah bagian yang menyenangkan.

"Waktunya bermain!"

“Malam ini?” ulang Rea dengan nada menggoda. “Sayangnya, aku tidak punya waktu. Kalau kau ingin bertemu, kau bisa datang ke apartemenku.”

"Astaga kau memang pemancing bahaya nomor satu REA!!! itu Sasa yang bicara.

Di ujung telepon, ada jeda sejenak. Marcus tidak terbiasa ditantang seperti ini, dan itu membuat darahnya sedikit mendidih.

“Rea,” kata Marcus akhirnya, suaranya lebih rendah tetapi penuh peringatan. “Aku tidak datang ke orang lain. Mereka datang kepadaku. Kau tahu itu.”

Rea tertawa pelan, suara yang terdengar lebih seperti provokasi.

“Oh, aku tahu. Tapi sayangnya, aku tidak termasuk dalam kategori ‘mereka.’ Kau ingin bertemu denganku, kau yang datang. Atau tidak sama sekali.”

Dia yang butuh toh!

Sasa, yang mendengarkan percakapan itu dari sofa, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Astaga, Rea,” gumamnya pelan.

Di sisi lain telepon, Marcus tidak langsung menjawab. Diamnya terasa seperti badai yang sedang dikumpulkan, dan Rea tahu ia baru saja menyentuh saraf pria itu.

“Baik,” kata Marcus akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri. “Kau tidak tahu dengan siapa kau bermain, Rea. Aku akan datang. Jangan menyesal.”

Senyum di wajah Rea semakin lebar. “Aku menunggu, Marcus.”

Tanpa menunggu jawaban, ia menutup telepon dan melempar ponselnya ke sofa di samping Sasa.

Sasa menatapnya dengan tatapan campuran antara ketakutan dan ketidakpercayaan.

“Kau benar-benar gila, Rea. Itu Marcus Dexa Cruz yang baru saja kau tantang!”

Rea menyeringai sambil melipat tangannya di belakang kepala. “Tentu saja. Kalau tidak seperti itu, di mana menyenangkannya?”

Sasa menghela napas panjang. “Rea, kau benar-benar memancing bahaya.”

“Itulah hidup, Sayang,” jawab Rea santai.

“Bahaya adalah bumbu yang membuat semuanya menarik!" kekeh Rea menuju kamarnya, ia sungguh tidak menyangka bisa secepat itu terhubung dengan Pria bahaya seperti Marcus.

"sial, semoga ini bukan jebakan!" gumamnya merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk, memikirkan rencana selanjutnya

sedangkan di sisi lain...

Di ruang kerjanya yang gelap dan megah, Marcus Dexa Cruz berdiri di depan jendela besar, memandang ke luar dengan ekspresi tanpa emosi. Teleponnya masih di tangannya, tetapi pikirannya jauh melayang.

Wanita itu, Rea Ardinata Alexander, adalah sesuatu yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Berani, licik, dan tidak takut menghadapi dirinya—pria yang biasanya membuat orang gemetar hanya dengan kehadirannya.

“Dia pikir dia bisa bermain denganku,” gumam Marcus pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Di belakangnya, Dean berdiri dengan gugup, menunggu perintah. “Tuan, apa yang harus kita lakukan?”

Marcus berbalik, tatapannya tajam seperti pisau. “Kita akan bermain sesuai permainannya. Tapi pastikan dia tahu siapa yang memegang kendali.”

Dean mengangguk, tetapi dalam hati ia bertanya-tanya apakah Rea benar-benar bisa dikendalikan. Wanita itu adalah teka-teki, dan Dean tidak yakin apakah Marcus menyadari betapa rumitnya permainan ini akan menjadi.

*

*

*

Malam itu, apartemen mewah Rea berkilauan oleh cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit tinggi. Aroma bunga segar memenuhi ruangan, berpadu dengan asap rokok yang tipis melayang di udara. Rea Ardinata Alexander duduk anggun di sofa besar berlapis beludru, mengenakan gaun merah dengan potongan panjang di samping yang memperlihatkan kakinya yang jenjang. Gaun itu sempurna untuk menggambarkan keanggunan dan kekuatan yang mendominasi dirinya.

Dia mengangkat batang rokok ke bibirnya, menghisapnya perlahan sambil memejamkan mata. Dengan setiap kepulan asap, dia menghitung dalam hati, seolah-olah mengetahui apa yang akan terjadi.

“...Satu…”

“...Dua…”

“...Tiga…”

Ding! Ding! Ding!

Bel pintu berbunyi tepat setelah hitungan ketiga. Rea membuka matanya perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang penuh makna.

“Sasa,” katanya lembut tetapi penuh otoritas, sambil melirik asistennya yang duduk di sudut ruangan.

Sasa, yang sejak tadi hanya duduk dengan gelisah, segera berdiri. Ia menelan ludah, menyeka kedua telapak tangannya yang mulai berkeringat, lalu melangkah menuju pintu dengan langkah ragu-ragu.

Ketika pintu itu terbuka, Sasa tertegun. Di hadapannya berdiri seorang pria setinggi hampir dua meter, mengenakan jas hitam sempurna yang membungkus tubuhnya yang tegap. Marcus Dexa Cruz. Wajahnya keras, rahang tegas seperti diukir dari batu, dengan sepasang mata biru sedingin es yang mampu membuat siapa pun membeku di tempat. Rambutnya yang gelap ditata rapi, memberikan kesan pria yang selalu mengontrol segalanya.

Sasa mundur tanpa sadar, membiarkan pria itu masuk. Marcus melangkah masuk dengan langkah panjang yang tenang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menguasai ruangan dengan kehadirannya yang mendominasi.

Marcus melirik sekeliling apartemen itu—luas, rapi, dan dihiasi dengan cita rasa tinggi. Namun, tatapannya segera tertuju pada wanita yang duduk di sofa, matanya seperti dua zamrud yang bersinar di bawah cahaya lampu. Rea, dengan seringai kecil di wajahnya, menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum meniupkan asap ke udara dengan elegan.

“Marcus Dexa Cruz,” kata Rea dengan nada rendah, suaranya seperti bisikan menggoda tetapi penuh ketenangan.

“Rea Ardinata Alexander,” balas Marcus dingin, suaranya dalam dan mematikan.

Marcus tidak duduk. Ia tetap berdiri, matanya mengunci pandangan pada Rea. Aura mereka bertabrakan di udara, menciptakan ketegangan yang hampir terasa fisik.

“Saya datang,” Marcus akhirnya membuka pembicaraan. “Untuk membayar hutangku.”

Rea menyandarkan tubuhnya ke belakang, mengangkat dagunya sedikit sambil memainkan rokoknya di antara jari-jarinya. “Oh, begitu?” katanya, seringainya semakin lebar. “Dan apa yang kau tawarkan, Tuan Dexa Cruz?”

Marcus meraih sesuatu dari dalam saku jasnya—sebuah amplop tebal. Ia meletakkannya di meja kaca di depan Rea.

“Jumlah yang cukup besar,” katanya dengan nada dingin. “Lebih dari cukup untuk membayar bantuanmu malam itu.”

Rea melirik amplop itu tanpa minat, lalu mengembalikan tatapannya ke Marcus. “Kau pikir aku membutuhkan uangmu?” tanyanya, suaranya tetap tenang tetapi dengan nada mengejek.

Marcus mengerutkan kening. “Jika bukan uang, apa yang kau inginkan?”

Rea menghisap rokoknya lagi, lalu mematikan puntungnya di asbak kristal di atas meja. Ia berdiri perlahan, mengambil langkah anggun menuju Marcus. Mata hijau dan biru mereka bertemu dalam pertempuran senyap yang penuh intensitas.

“Aku ingin sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang,” katanya sambil berhenti tepat di depan Marcus, hanya beberapa inci dari tubuh pria itu.

Marcus tidak bergerak, meskipun setiap insting dalam dirinya memberi peringatan. “Apa itu?” tanyanya, suaranya tetap dingin meskipun ia bisa merasakan ketegangan yang meningkat.

Rea tersenyum kecil, seringai yang licik tetapi begitu memikat. Ia mendekatkan wajahnya ke Marcus, cukup dekat hingga ia bisa merasakan napasnya.

“Aku ingin kau menjadi suamiku.”

Kata-kata itu jatuh seperti petir di udara. Untuk pertama kalinya, ekspresi Marcus berubah. Dahinya sedikit berkerut, dan matanya menyipit.

“Suami?” ulangnya, nadanya rendah tetapi penuh ancaman.

“Ya,” jawab Rea dengan percaya diri. “Kau ingin membayar hutangmu? Ini cara yang bisa kau lakukan.”

Marcus tertawa kecil, suara yang lebih mirip geraman daripada tawa. “Kau bercanda.”

“Apakah aku terlihat seperti orang yang bercanda?” balas Rea, matanya bersinar tajam.

Marcus menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari tanda-tanda kelemahan atau ketidakseriusan, tetapi yang ia temukan hanyalah tekad. Wanita ini tidak bermain-main.

“Aku tidak menikah,” kata Marcus akhirnya, nadanya seperti bilah es yang tajam.

“Tidak sekarang,” balas Rea cepat, senyumnya melebar. “Tapi kau akan menikah denganku. Cepat atau lambat.”

Marcus menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ia melangkah mundur sedikit, menjaga jarak antara dirinya dan Rea.

“Dengar, Rea,” katanya dengan suara rendah tetapi penuh otoritas. “Aku tidak masuk ke dalam permainan seperti ini. Kau telah membantuku, dan aku telah menawarkan pembayaran. Itu seharusnya cukup.”

“Tidak untukku,” potong Rea dengan nada santai. “Aku tidak ingin uangmu, Marcus. Aku ingin sesuatu yang lebih menarik.”

Marcus mendekat lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih tajam.

“Dan kenapa aku harus menyetujuinya? Apa yang membuatmu berpikir kau bisa memaksaku? Apa yang menarik darimu?!" Desis Marcus menatap wajah cantik alami Milik Rea.

Rea menyunggingkan senyum miring yang penuh makna. Matanya yang cemerlang berkilat-kilat seakan menertawakan pertanyaan Marcus.

Sebelum Marcus bisa bereaksi, Rea menggerakkan tangannya dengan gesit dan mencengkeram kerah kemeja Marcus.

Dengan satu sentakan kuat, dia menarik tubuh tinggi besar pria itu menunduk hingga wajah mereka hanya beberapa inci berjauhan. Marcus tersentak, terkejut dengan gerak cepat dan tenaga Rea yang tak terduga.

Rea menatap lurus ke dalam mata biru Marcus yang sedingin es kutub. Namun sorot matanya sama sekali tidak mengisyaratkan ketakutan sedikitpun. Sebaliknya, tatapannya memancarkan determinasi dan percaya diri yang tak tergoyahkan.

"Apa yang menarik dariku, kau tanya?" bisik Rea dengan nada rendah yang membuat bulu kuduk Marcus meremang.

"Aku adalah satu-satunya hal paling menarik yang akan kau temui di dunia ini, Marcus."

Marcus menelan ludah, mengeraskan rahangnya. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, bersiap untuk mendorong Rea menjauh. Namun ada sesuatu dalam nada suara dan tatapan Rea yang membuatnya tertahan.

Rea tersenyum miring melihat keraguan di mata Marcus. Dia semakin mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, hingga hembusan napasnya dapat dirasakan Marcus menggelitik lehernya.

"Aku tahu semua rahasiamu, Marcus," bisik Rea dengan nada seperti ular berbisa yang merayap. "Aku mengenal baik semua sisi gelapmu yang kau sembunyikan di balik topeng CEO rupawan itu."

Marcus tertegun, matanya melebar. Rea memanfaatkan keterkejutan itu untuk berbisik lebih jauh.

"Ya, aku tahu tentang aktivitas bisnismu yang 'ilegal'. Tentang koneksimu dengan dunia bawah tanah. Tentang perusahaanmu yang sesungguhnya bergerak di bidang penjualan senjata ilegal dan perdagangan narkoba."

Sengaja Rea menghembuskan napas panas di telinga Marcus, membuatnya bergidik.

"Tak ada yang luput dari pengamatanku, Marcus sayang," desah Rea menggoda.

"Aku tahu semua rahasia tergelapmu yang bisa menjatuhkanmu kapan saja. Jadi, kau takkan punya pilihan selain menerima... permintaanku."

Marcus tercekat, lalu mendorong tubuh Rea menjauh dengan satu hentakan kasar hingga wanita itu terhuyung ke belakang. Mata birunya membara marah.

"Beraninya kau mengancamku!" gertaknya mengintimidasi.

Rea hanya terkekeh pelan sambil membetulkan gaunnya yang kusut. Dia melempar tatapan mencemooh pada Marcus.

"Aku tidak mengancam, Sayang. Hanya menunjukkan fakta bahwa aku tak semudah didapatkan seperti wanita-wanita di kehidupanmu selama ini."

Marcus menggeram jengkel. Dengan langkah lebar, dia mendekati Rea lagi hingga tubuh tingginya memayungi wanita itu. Matanya memancarkan kemarahan yang tak tertutupi.

"Tak seorang pun bisa mengancamku dan keluar dengan selamat," desisnya mengancam.

"Apa yang kau miliki sama sekali tidak berarti apa-apa untukku!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 5

    Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger

    Last Updated : 2025-02-25
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 6

    “Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika

    Last Updated : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 7

    Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye

    Last Updated : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 8

    Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar

    Last Updated : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 9

    Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas

    Last Updated : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 10

    Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan

    Last Updated : 2025-03-11
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 11

    Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me

    Last Updated : 2025-04-18
  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 1

    DOORRR!! Letupan pistol membelah keheningan malam. Pelurunya menembus tengkorak si tawanan, meninggalkan lubang menganga di kepalanya. Pria malang itu terjatuh ke tanah, darah segar mengalir dari lukanya yang mengerikan. "Astaga, Rea! Apa yang kau lakukan?" Sasa, asisten Rea, memekik ngeri. Matanya terbelalak menatap mayat di depannya. Rea menjatuhkan punting rokoknya, menginjaknya dengan sepatu bot berkulit kuatnya. Wajahnya tenang bak permukaan danau, seolah membunuh adalah kegiatan rutin semembosankan menguap. "Melakukan tugasku," ujarnya datar. Ia meniup kepulan asap dari rokoknya yang baru dinyalakan. "Tapi dia seharusnya dibawa ke kantor polisi! Bukan ditembak begitu saja!" Rea mendengus angkuh. "Sejak kapan kantor polisi bisa menangani kasus seperti ini? Bajingan itu telah memperkaos anak-anak tak berdosa. Membunuh kedua orangtua kecil itu dengan keji. Menurutmu hukuman apa yang sepantasnya dia terima?" Sasa menggigil, teringat foto-foto mengerikan dari TKP yang m

    Last Updated : 2025-02-25

Latest chapter

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 11

    Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 10

    Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 9

    Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 8

    Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 7

    Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 6

    “Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 5

    Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 4

    Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 3

    Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status