"Jessy, Lari!"
Gadis yang dipanggil Jessy tersentak kaget saat melihat beberapa temannya yang tengah merangkai bunga berlari ketakutan tak tentu arah. Karena tak tahu apa yang terjadi, gadis itu juga ikut berlari bersama dengan orang yang tadi meneriakinya, Jane.
"Jane, apa yang terjadi?" Tanya Jessy dengan nada bingungnya seraya terus berlari mengikuti gadis lain. Jane, si gadis berambut ikal melirik ke arah Jessy dengan wajah ketakutan yang begitu kentara di wajah manisnya.
"Ada anak buah dari kelompok Black panther datang untuk menangkap gadis muda seperti kita!"
Jane menarik Jessy ke sebuah gang sempit yang berada di tikungan dekat dengan toko roti di depan sana. Jessy yang tak siap otomatis hampir saja jatuh jika saja Jane tak menahan tubuhnya. Kedua gadis itu berhenti di gang itu sambil menetralkan napasnya yang memburu. Jantung keduanya berdetak kencang karena dipaksa berlari sejauh satu kilometer.
"Kelompok apa itu?" Tanya Jessy dengan napas terengah. Gadis manis itu memegang kedua kakinya yang terasa lelah setelah berlari sejauh itu.
"Kau tak tahu kelompok Black panther?"
Jessy menggelengkan kepalanya dengan polos menanggapi pertanyaan Jane. Gadis berambut itu mengerang frustasi. Ia menjambak rambutnya menatap Jessy tak percaya dengan wajah kesal.
"Black panther adalah kelompok Mafia yang menguasai daerah selatan kota ini. Kabarnya, kelompok itu akan menangkap gadis muda seperti kita untuk ditawan, entah dijual ke pelelangan, dijadikan ambil organnya untuk di pasar gelap bahkan dijadikan pegawai seks komersial," jelas Jane panjang lebar dengan nada pelan. Sesekali, gadis berambut ikal itu mengintip dibalik tembok untuk melihat apakah orang orang itu masih mengejarnya dan Jessy atau tidak.
"Tapi...kenapa mereka malah mengejar gadis seperti kita yang bahkan tak memiliki rupa yang cantik yang bisa menarik perhatian laki laki?" Tanya Jessy bingung seraya memiringkan kepalanya.
Jane melirik ke arah sahabatnya dengan wajah wajah jengkel sekaligus tak percaya. Jane mendekati Renata dengan langkah pelan sekaligus tatapan tajam.
"Tak memiliki rupa yang cantik? Itu tak berlaku untukmu, Jessy,"
"Apa maksudmu?"
"Apa kau tak sadar jika kau memiliki penampilan yang begitu mempesona? Aku dan gadis lain di panti asuhan bahkan sangat iri dengan kecantikan mu,"
"Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Jane. Aku malah merasa kalau aku adalah gadis terjelek diantara para gadis di panti asuhan," ujar Jessy dengan nada pelan. Napasnya sudah lebih teratur semenjak ia tak lagi berlari dari kawanan kelompok Mafia yang mengejar mereka.
"Jelek? Kau bercanda?" Tanya Jane dengan mata membelalak. Nada tak suka dengan bibir mengerucut ia tampilkan pada sahabatnya yang begitu lugu ini.
"Kau ini terlalu sempurna untuk seukuran manusia. Lihatlah dirimu, kau punya mata doe yang cantik berwarna hijau seperti zamrud. Hidungmu begitu kecil dan dan bulu matamu begitu lentik. Bibirmu Semerah cherry matang secara alami dan kulitmu seputih susu. Badanmu begitu bagus layaknya sudah operasi plastik dan rambut hitam milikmu begitu memukau. Dan kau bilang kau gadis yang paling jelek di antara para gadis di panti asuhan?!"
Jessy menggaruk pipinya yang terasa tak gatal mendengar pujian dari Jane yang menurutnya berlebihan. Gadis itu merasa jika ia tak secantik apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.
"Jane, aku rasa aku tak secantik—"
Ucapan Renata terhenti saat dua orang pria menemukan dirinya dan Jane di gang sempit itu. Mata hijau milik Jessy membulat sempurna dengan wajah horor yang tercetak di wajah cantiknya. Hal ini tentu membuat kedua gadis itu panik dan kembali berlari agar tak tertangkap oleh pria yang menggunakan pakaian serba hitam.
"Berhenti kalian berdua!" Teriak salah satu dari pria berpakaian hitam itu dengan keras, membuat Jessy dan Jane mempercepat laju larinya tanpa menoleh kebelakang.
Jarak diantara kedua gadis itu dan pria yang mengejar mereka sangatlah pendek. Tanpa banyak bicara, kedua pria itu berhasil menangkap bahu Jessy dan Jane dan menjatuhkan kedua gadis itu ke tanah.
"Akh! Lepaskan aku!" Teriak Jessy berusaha memberontak dan melepaskan diri dari cekalan pria yang menahannya. Tubuh gadis itu menggeliat, mencoba mencari celah agar bisa melepaskan diri.
"Jangan banyak bicara, nona! Ikutlah dengan kami dengan tenang atau kami akan melakukan hal yang lebih kasar untuk membawamu!"
Pria itu mengancam dengan mata melotot yang membuat Jessy dan Jane menciut ketakutan. Tubuh kedua gadis tak lagi memberontak dan kini bergetar ketakutan.
Setelah mengikat tangan kedua gadis itu dengan tali tambang, Jessy dan Jane dipaksa untuk mengikuti kedua pria itu menuju sebuah bus mini yang terparkir apik di pinggir jalan. Langkah Jessy terseok seok karena pria yang menarik tangannya begitu kasar dan berjalan sangat cepat.
"Masuk!" Perintah pria itu dengan nada membentak. Jessy dan Jane pun masuk mengikuti perintah dengan wajah ketakutan.
Didalam bus, Jessy bisa melihat jika banyak sekali gadis yang tertangkap, sekitar 30 orang. Para gadis itu menatap Jessy dengan tatapan terkejut dan juga iba.
"Aku tak menyangka jika kau tertangkap juga, Jessy ," sahut gadis berambut pirang yang berada di sisi jendela di kursi kedua. Jessy tersenyum miris mendengar kalimat itu.
"Aku juga tak menyangka jika akan berada disini. Tapi...kita akan dibawa kemana?" Tanya Jessy seraya duduk di kursi depan bersama dengan Jane, karena hanya kursi itu yang tersisa.
"Dari yang aku dengar, kita akan dibawa ke markas Mafia pusat yang berada di daerah Washington,"
"Oh, jika dibawa ke sana bukankah itu artinya kita berhadapan dengan ketua Mafia bernama Terry Walter?" Tanya Jane dengan wajah pias. Gadis yang berbicara tadi menganggukkan kepalanya dengan kaku.
"Terry Walter?" Tanya Jessy dengan nada bingung karena ia tak tahu nama pria yang disebut oleh teman temannya.
"Iya, Terry Walter. Dia adalah pria paling kejam yang pernah ada. Jika ada yang tak menuruti perintahnya, nyawa bisa jadi taruhannya!"
Wajah Jessy mendadak ikut memucat. Detak jantungnya seolah berhenti saat itu juga dan tubuhnya ikut bergetar ketakutan layaknya anak kucing yang melihat kawanan serigala.
"Kalian serius?"
"Iya, aku serius, Jessy. Saudara perempuanku juga ditemukan tewas karena mencoba kabur dari sana,"
Gadis berambut pirang menangis dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya. Jessy merasa iba sekaligus sedih mendengar cerita menyakitkan itu. Ia ingin menghapus air mata gadis itu jika saja tangannya tak di ikat menggunakan tambang seperti sekarang.
"Kalau sudah masuk ke dalam wilayah Terry Walter, kita tak bisa melarikan diri. Kita hanya bisa pasrah pada nasib buruk yang kita alami saat ini," timpal Jane dengan nada pasrah.
Jessy menghela napas panjang seraya melirik kearah jendela yang kini menampilkan hutan yang cukup lebat. Dalam hati ia berharap bisa melarikan diri walaupun itu tak mungkin.
Satu jam kemudian, bus mini itu sampai disebuah bangunan tua yang cukup besar, mirip seperti pabrik yang terbengkalai. Pria yang tadi menangkap mereka membuka pintu dan berteriak dengan nada angkuh.
"Kalian semua turun dan bersikaplah dengan baik saat berada di hadapan bos besar. Jika ada yang berani melarikan diri, maka kematianlah yang akan menghampiri kalian. Paham?!"
Semua gadis yang ada disana. Termasuk Jessy menganggukkan kepala dengan kaku, terlalu takut untuk bicara. Mereka semua turun memasuki gedung tua itu dengan langkah pelan. Saat memasuki gerbang tua yang menghubungkan jalanan dengan gedung tua itu, Jessy mendengar bisikan dari pria yang tadi menangkap dirinya dengan seringai lebar yang tercetak jelas di wajahnya.
"Selamat datang di neraka, dimana orang yang masuk tak akan bisa kembali lagi keluar, gadis manis,"
Jessy bersama 31 gadis lainnya memasuki ruangan utama tempat para wanita yang sudah ditangkap dikumpulkan. Begitu masuk kedalam, Jessy sedikit terkesima dengan ruangan tempat ia berdiri. Ruangan ini begitu megah dengan ukiran antik di tiap dindingnya yang berwarna emas. Selain itu, di ruangan ini terdapat beberapa patung estetik yang diletakkan di sudut ruangan. Sangat jauh berbeda dengan tampilan luarnya yang terlihat seperti pabrik terbengkalai yang terlihat menakutkan.Tak lama kemudian, dari arah pintu yang berbeda terlihat seorang pria dengan pakaian formal datang memasuki ruangan tempat Renata dan para gadis lain berdiri saat ini. Kedatangannya diikuti beberapa pria gagah dengan pakaian serba hitam yang memegang senjata berupa pistol yang tersampir apik di kaki sebelah kiri.Pria itu memiliki wajah yang yang cukup tampan dengan tatapan mata yang begitu tajam dan mengintimidasi, membuat Renata ketakutan hingga menundukkan kepalanya."Selamat datang di camp milikku para gadis ca
Perkataan Jessy yang terdengar berani membuat Terry marah. Pria itu mengepalkan tangannya seraya menatap gadis berwajah boneka itu dengan tatapan tajam dan mengintimidasi."Kau berani melawanku, boneka kecil?" Tanya Terry setengah menggeram marah dengan nada rendah, merasa terusik dengan perkataan Jessy yang terlalu berani."Ya, saya berani melawan anda. Anda tak memiliki hak untuk menahan saya disini!"Jessy berteriak sekuat yang ia bisa, berusaha memberanikan diri untuk melawan pria itu, mengabaikan kakinya yang tampak gemetar. Raut wajahnya ia buat segarang mungkin agar tak diremehkan oleh Terry.Terry tertawa kencang untuk kedua kalinya mendengar perlawanan Jessy. Ia melempar rokok yang tersisa setengah ke lantai lalu menginjaknya dengan kasar, membuat para pria yang merupakan bawahannya meneguk ludah paksa melihat bosnya yang kini sedang dalam kondisi tak baik."Oh, kau berani menyahutiku rupanya. Bukankah barusan kau terlihat ketakutan? Kenapa sekarang mendadak menjadi berani, h
"Bawa para gadis ini ke sel tahanan yang berada di daerah Utara. Beri mereka makan dan lepaskan ikatan mereka. Aku akan memilahnya nanti," ujar Terry dengan nada dingin lalu melepaskan tangannya dari wajah Jessy. Setelah itu, Terry pergi keluar dari ruangan ini, diikuti beberapa pria gagah tadi yang Jessy perkirakan adalah pengawalnya. Jessy menghela napas lega saat Terry kini meninggalkannya. Jujur saja, berdekatan dengan Terry membuat Jessy begitu lelah.Para gadis tadi termasuk Jessy kembali digiring menuju sebuah bangunan besar yang berada di sebelah Utara gedung yang tadi ia pakai untuk berkumpul. Gedung yang ia masuki saat ini tak seluas gedung sebelumnya. Di ruangan ini, terdapat beberapa cctv dan pagar listrik yang menjulang begitu tinggi. Itu artinya, tak ada sedikitpun celah untuk kabur.Ikatan tali yang membelenggu Jessy dan teman temannya pun dilepaskan. Setelah itu, mereka semua diberi makan yang menunya berupa satu buah burger dengan satu botol air mineral. Makanan ini
Jessy diam membeku mendengar perkataan Terry yang membuatnya tak mengerti. Mainan? Apa maksud pria itu? Gadis itu memiringkan kepalanya menatap Terry dengan tatapan polos sekaligus penasaran. Ia ingin bertanya kembali namun terlalu takut untuk mengeluarkan suaranya. Berkaca dari pengalaman, sang gadis tak mau mengalami lagi kesalahan untuk ketiga kalinya. "Aku Terry Walter, orang yang berkuasa disini. Tugasmu adalah menuruti semua perkataanku dan jangan membantah perintahku jika tak ingin dihukum," Terry kembali mencengkeram dagu Jessy yang memar hingga sang gadis kembali merintih kesakitan. Pria itu tersenyum miring melihat Jessy menggigit bibirnya untuk meredam lenguhan sakit yang ia rasakan saat ini. "T-tuan," panggil Jessy pelan berusaha untuk menetralkan suaranya agar tak terdengar seperti orang kesakitan. "Tolong lepaskan tangan anda. Aku mohon," Jessy berkata dengan nada penuh harap. Wajahnya terlihat memelas dengan mata yang tertutup. Tubuh sang gadis juga tampak gemetar
Jessy menggigit bibirnya saat Terry mengatakan aturan yang harus ia patuhi selama menjadi tawanan pria itu. Ekspresi kaget, terluka dan sedih bercampur aduk di wajah bonekanya. Napas sang gadis terasa berat dengan tubuh yang terasa lemas."Kau tahu apa artinya, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada main main seraya menyeringai ke arah Jessy. Gadis itu tak menjawab pertanyaan dari sang ketua Mafia."Artinya kau tak memiliki kebebasan apapun dalam hidupmu karena aku yang akan mengendalikan semuanya. Jadi, bersiaplah dan jadilah boneka yang baik untukku," Terry mengelus lagi rambut hitam Jessy dengan lembut dan mencium aroma lembut yang keluar dari tubuh gadis itu, mengendusnya perlahan dengan senyum penuh makna yang tak pernah absen dari wajah tampannya."Karena kau sudah berada dalam kendaliku, aku akan memberikanmu tugas pertama, boneka kecil," Jessy mendongakkan kepala menatap Terry dengan tatapan kosong. Wajahnya yang terlihat sedih dengan mata hijau yang berkaca kaca. Terry juga
Jessy terkejut karena orang itu ada disini. Gadis itu tak bisa menyembunyikan senyuman dan rasa senangnya karena kehadiran orang itu.Terry ikut tersenyum tipis saat melihat senyuman Jessy yang merekah begitu indah layaknya bunga mawar. Pria itu mengira jika Jessy senang akan kedatangannya. Maka dari itu, ia mendekati Jessy dan menepuk kepala sang gadis dengan perlahan."Aku tahu aku tampan, jadi kau tak perlu tersenyum riang seperti itu saat aku datang menghampirimu," ujar Terry dengan begitu percaya diri serta mengusap rambut pirang miliknya yang menggunakan gaya rambut potongan undercut dengan percaya diri.Senyum yang terlukis di wajah Jessy memudar, digantikan dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di paras cantiknya. Gadis itu mengedipkan mata dua kali layaknya boneka yang tengah kebingungan."Apa maksud anda, Tuan?""Kau tersenyum karena aku datang. Benar?"Jessy menggaruk pipinya yang tak gatal saat mendengar pertanyaan Terry yang tampak begitu percaya diri. Mata doe hi
Jessy meneguk ludah paksa saat mendengar perkataan Jane. Tubuh Jessy menegang dengan wajah memucat mendengar ancaman itu. Bukan hanya mental yang diserang sebagai hukuman jika tak menuruti perintah Terry, tapi fisik juga?!Baiklah, Jessy merasa jika Terry adalah pria yang jauh lebih menakutkan dari yang ia kira. Jessy tak menyangka jika ia juga akan menghadapi peristiwa yang sama persis dengan novel yang ia baca di perpustakaan kota kemarin. Apakah ini hanya kebetulan atau takdir memang sengaja mempermainkannya?"Tapi kau tahu darimana jika tuan Terry juga memberlakukan hukuman fisik mengerikan seperti yang kau katakan? Tolong jangan menakutiku, Jane," Bisik Jessy penasaran namun juga takut akan jawaban yang keluar dari mulut Jane. Jane menghela napas melihat Jessy yang ragu akan ucapannya."Aku tak menakutimu, Jessy sayang. Hanya saja, tadi aku melihat dua orang wanita yang punggungnya penuh dengan luka cambuk saat akan datang kemari. Bukankah itu juga bisa men
"Kurasa telingamu masih berfungsi dengan baik, boneka kecil. Kita akan melakukan hal intim seperti ini sesering mungkin saat berada di mansion utama,"Terry berkata dengan nada sarkas seraya mengulangi apa yang ia ucapkan barusan. Mata coklatnya memindai wajah Jessy untuk melihat reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh gadis manis berwajah boneka itu.Kaget. Itu adalah satu hal yang bisa menggambarkan keadaan Jessy sekarang. Mata hijau itu membulat sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka. Pegangan gadis itu pada tangan Terry juga terasa sedikit melemah.Mulut Jessy sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mungil yang berwarna merah itu. Lidah gadis itu terasa kelu untuk bicara satu kata saja pada Terry.Terry menikmati wajah kaget dari gadis yang berada dalam dekapannya. Ekspresi yang Jessy tampilkan padanya selalu menarik perhatian, membuat pria itu merasa terhibur seolah te