Jessy menggigit bibirnya saat Terry mengatakan aturan yang harus ia patuhi selama menjadi tawanan pria itu. Ekspresi kaget, terluka dan sedih bercampur aduk di wajah bonekanya. Napas sang gadis terasa berat dengan tubuh yang terasa lemas.
"Kau tahu apa artinya, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada main main seraya menyeringai ke arah Jessy. Gadis itu tak menjawab pertanyaan dari sang ketua Mafia.
"Artinya kau tak memiliki kebebasan apapun dalam hidupmu karena aku yang akan mengendalikan semuanya. Jadi, bersiaplah dan jadilah boneka yang baik untukku,"
Terry mengelus lagi rambut hitam Jessy dengan lembut dan mencium aroma lembut yang keluar dari tubuh gadis itu, mengendusnya perlahan dengan senyum penuh makna yang tak pernah absen dari wajah tampannya.
"Karena kau sudah berada dalam kendaliku, aku akan memberikanmu tugas pertama, boneka kecil,"
Jessy mendongakkan kepala menatap Terry dengan tatapan kosong. Wajahnya yang terlihat sedih dengan mata hijau yang berkaca kaca. Terry juga bisa melihat genangan air mata yang bersiap untuk jatuh dari kedua mata indah itu.
"Sebelum kita ke mansion utama, aku akan menyuruhmu untuk mandi dan mengganti baju lusuhmu dengan sesuatu yang lebih pantas untuk dipakai. Wanitaku tak boleh terlihat seperti orang miskin yang tak memiliki baju yang pantas untuk dikenakan,"
Terry bangkit dari kursinya dan mengambil sebuah paper bag warna coklat yang berada di dekat lemari barang antik. Pria itu menyerahkan paper bag pada Jessy dengan wajah datar. Jessy melirik Terry sejenak dan menerima paper bag itu dengan tangan gemetar.
Senyum tipis Terry kembali terbit saat Jessy yang terlihat lebih patuh saat ini, tak melawan seperti sebelumnya. Wajah tanpa harapan dan terlihat tertekan yang terlukis di wajah Jessy terlihat seperti hiburan yang menyegarkan matanya. Ia suka melihat Jessy tak berdaya dalam kendalinya.
"Bagus. Kenakan apa yang ada didalamnya dan jangan berpikir untuk bisa kabur dari sini, boneka kecil. Orang suruhan ku akan membantumu nanti."
Setelah memberikan paper bag itu pada Jessy, Terry keluar dari ruangan itu untuk melanjutkan tugasnya, memilah gadis yang tadi ditangkap oleh anak buahnya untuk dijadikan aset sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Suara langkah kaki dari sepatu pantofel yang beradu dengan tanah terasa begitu nyaring terdengar di telinga Terry. Hal ini dikarenakan tak ada siapapun selain dirinya yang berjalan disana, sehingga menghasilkan bunyi gema yang khas. Seperti biasa, Terry memasukkan kedua tangannya di saku celana, berjalan dengan santai menuju ruangan para tahanan yang berada di Utara pabrik terbengkalai yang ia sulap menjadi markas Mafia.
Begitu sampai di depan pagar listrik yang membatasi dunia luar dengan bangunan yang menjulang tinggi di hadapannya, Terry meminta anak buahnya untuk membuka pagar itu agar ia bisa masuk. Para bawahan pria itu mengangguk dan menuruti perintah Terry.
"Halo semua, kita bertemu lagi untuk kedua kalinya," ujar Terry membuka percakapan dengan nada dingin dan dominan begitu masuk ke aula pertemuan.
Mata coklat itu memicing ketika para gadis yang saat ini sedang duduk berjajar di dekat tembok sedang berbisik satu sama lain. Terry berdehem keras untuk mendapatkan atensi mereka.
Terbukti, para gadis itu berhenti berbisik dan segera memusatkan perhatian padanya dengan wajah ketakutan. Terry mengabaikan raut wajah mereka dan memilih untuk melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda.
"Seperti yang sudah tadi aku katakan sebelumnya, hidup kalian berada di tanganku. Jadi, persiapkan mental kalian untuk menemui takdir baru yang kalian jalani," Terry menyeringai. Mata tajam miliknya sedikit menyipit senang saat melihat para gadis itu terlihat ketakutan dan juga pasrah.
Dengan cepat, Terry mulai memilah para gadis itu sesuai dengan standar yang ia tentukan. Setelah selesai, para gadis tadi digiring menuju ke sebuah bangunan terpisah sesuai dengan kelompok yang sudah ditetapkan, yang tentu saja dikawal oleh anak buahnya agar tak bisa memberontak.
Saat Jane hendak pergi keluar bersama dengan kelompoknya, Terry menahan bahu gadis berambut ikal itu, membuat Jane menoleh pada sang ketua Mafia dengan tatapan bertanya.
"Kau akan menemani boneka kecilku selama berada di mansion utama. Jadi, ikutlah denganku,"
Sebelum Jane menjawab perkataan Terry, ia sudah diseret oleh pria itu untuk mengikuti langkahnya menuju bangunan timur tempat Jessy berada saat ini.
***
Jessy duduk diatas kursi meja rias dengan gugup sekaligus takut. Saat ini, penampilan Jessy sudah jauh lebih dari sebelumnya. Baju lusuh yang tadi ia gunakan kini berganti dengan rok pendek sepaha berwarna hitam dengan kemeja biru muda polos yang membalut tubuh rampingnya.
Gadis itu bergerak gelisah seraya terus menarik rok pendeknya kebawah. Jujur saja, Jessy merasa tak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan saat ini. Rambutnya sedang disisir oleh Belle, seorang pengawal wanita yang tadi menyeretnya kemari.
Kenapa Belle ada bersama dengan Jessy?
Jawabannya sederhana. Wanita itu diminta oleh Terry untuk mendandani Jessy dan menjaga agar gadis itu tidak kabur.
"Ung, Miss, kenapa aku harus menggunakan baju seperti ini? Apa tidak ada baju yang lebih panjang yang bisa menutup tubuhku?" Tanya Jessy seraya melirik pahanya yang terekspos akibat pakaian mini yang ia kenakan.
"Itu karena tuan menginginkan anda menggunakan baju seperti ini," jawab Belle singkat sambil mengikat rambut samping Jessy agar terlihat lebih rapi. "Lebih baik anda menurut saja jika tuan Terry memerintahkan sesuatu pada anda,"
"Tapi ini sama saja kebebasanku dirampas, Miss. Aku ingin protes tapi terlalu takut untuk melawan karena ia terus mengancamku," ujar Jessy pelan dengan memainkan ujung kemeja yang ia pakai. Jujur saja, Jessy rasanya ingin menangis lagi jika mengingat takdir yang harus dijalaninya begitu buruk.
"Jangan banyak mengeluh dan turuti saja keinginan tuan Terry jika kau tak ingin dihukum," jawab Belle dingin dengan nada datar dan tatapan tajam yang wanita itu layangkan untuk Jessy.
Jessy cemberut saat melihat reaksi Belle yang sangat sulit untuk diajak berbagi pikiran mengenai kesulitan yang saat ini ia rasakan. Gadis itu menghela napas berat. Ia melirik ke arah cermin dan melihat pantulan dirinya disana.
Jessy mengakui jika ia terlihat sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. Wajahnya dirias sedemikian rupa dengan make up mahal. Baju yang ia kenakan juga tampak begitu berkelas. Akan tetapi, Jessy merasa tak bahagia karena ini semua hanyalah topeng yang ia pakai untuk menyenangkan Terry saja.
Tak lama kemudian, Jessy telah selesai di dandani oleh Belle. Gadis itu tampak seperti boneka sungguhan jika sedang tak melakukan apapun. Belle sejujurnya sangat iri dengan kecantikan yang Renata miliki, namun memilih untuk memendamnya saja karena takut dihukum oleh Terry apabila melakukan sesuatu pada Jessy yang notebene adalah "mainan" pria itu.
"Kau tampak cantik sekali, boneka kecil. Aku merasa takjub melihatmu yang tak lagi lusuh seperti tadi," ujar Terry yang baru datang dari arah pintu. Terry ternyata tak datang sendirian karena ia datang bersama dengan seseorang. Orang yang mengikuti sang ketua Mafia
Kedatangan orang itu membuat Renata tak bisa berkata kata. Wajahnya terlihat senang dengan tatapan berbinar.
"Kenapa kau ada disini?"
Jessy terkejut karena orang itu ada disini. Gadis itu tak bisa menyembunyikan senyuman dan rasa senangnya karena kehadiran orang itu.Terry ikut tersenyum tipis saat melihat senyuman Jessy yang merekah begitu indah layaknya bunga mawar. Pria itu mengira jika Jessy senang akan kedatangannya. Maka dari itu, ia mendekati Jessy dan menepuk kepala sang gadis dengan perlahan."Aku tahu aku tampan, jadi kau tak perlu tersenyum riang seperti itu saat aku datang menghampirimu," ujar Terry dengan begitu percaya diri serta mengusap rambut pirang miliknya yang menggunakan gaya rambut potongan undercut dengan percaya diri.Senyum yang terlukis di wajah Jessy memudar, digantikan dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di paras cantiknya. Gadis itu mengedipkan mata dua kali layaknya boneka yang tengah kebingungan."Apa maksud anda, Tuan?""Kau tersenyum karena aku datang. Benar?"Jessy menggaruk pipinya yang tak gatal saat mendengar pertanyaan Terry yang tampak begitu percaya diri. Mata doe hi
Jessy meneguk ludah paksa saat mendengar perkataan Jane. Tubuh Jessy menegang dengan wajah memucat mendengar ancaman itu. Bukan hanya mental yang diserang sebagai hukuman jika tak menuruti perintah Terry, tapi fisik juga?!Baiklah, Jessy merasa jika Terry adalah pria yang jauh lebih menakutkan dari yang ia kira. Jessy tak menyangka jika ia juga akan menghadapi peristiwa yang sama persis dengan novel yang ia baca di perpustakaan kota kemarin. Apakah ini hanya kebetulan atau takdir memang sengaja mempermainkannya?"Tapi kau tahu darimana jika tuan Terry juga memberlakukan hukuman fisik mengerikan seperti yang kau katakan? Tolong jangan menakutiku, Jane," Bisik Jessy penasaran namun juga takut akan jawaban yang keluar dari mulut Jane. Jane menghela napas melihat Jessy yang ragu akan ucapannya."Aku tak menakutimu, Jessy sayang. Hanya saja, tadi aku melihat dua orang wanita yang punggungnya penuh dengan luka cambuk saat akan datang kemari. Bukankah itu juga bisa men
"Kurasa telingamu masih berfungsi dengan baik, boneka kecil. Kita akan melakukan hal intim seperti ini sesering mungkin saat berada di mansion utama,"Terry berkata dengan nada sarkas seraya mengulangi apa yang ia ucapkan barusan. Mata coklatnya memindai wajah Jessy untuk melihat reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh gadis manis berwajah boneka itu.Kaget. Itu adalah satu hal yang bisa menggambarkan keadaan Jessy sekarang. Mata hijau itu membulat sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka. Pegangan gadis itu pada tangan Terry juga terasa sedikit melemah.Mulut Jessy sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mungil yang berwarna merah itu. Lidah gadis itu terasa kelu untuk bicara satu kata saja pada Terry.Terry menikmati wajah kaget dari gadis yang berada dalam dekapannya. Ekspresi yang Jessy tampilkan padanya selalu menarik perhatian, membuat pria itu merasa terhibur seolah te
Jessy meneguk ludahnya dengan gugup saat pertanyaan bernada dingin itu dilayangkan padanya. Jessy melirik ke arah lain, tak ingin bertatapan dengan Terry yang terlihat menakutkan saat ini."Lebih baik jangan memberontak jika kau tak mau dihukum, boneka kecil. Aku serius dengan ucapanku,"Tak mendapat respon dari lawan bicaranya, Terry meneruskan langkahnya menuju kamar yang akan Jessy tempati. Kaki pria itu dengan tegap melangkah di tangga dengan hati hati.Jessy bisa melihat ada 3 buah pintu di atas sana. Warna pintunya pun berbeda. Ada yang berwarna biru muda, hijau dan coklat muda. Gadis itu bertanya tanya dalam hati, mungkinkah ada maksud terselubung dari berbedanya warna dari ketiga pintu itu? Atau ini hanyalah bagian dari seni? Entahlah, tak ada yang bisa memberi Jessy jawaban. Ingin bertanya pun sang gadis segan.Setelah sampai di lantai kedua, Terry melangkahkan kakinya sebentar dan saat ini tengah berdiri di sebuah depan pintu berwarn
"Hah?"Jessy kelepasan bicara saat Terry tengah menodongkan pistol pada pria yang akan dijadikan pengawalnya itu. Sang gadis segera menutup mulutnya menggunakan tangan, saat melihat Terry menatap dirinya dengan tajam dan intens. Dalam sekian detik, suasana tampak mencekam layaknya film horor.Jantung Jessy berdetak kencang saat ia sadar telah melakukan kesalahan yang berkemungkinan membuat Terry marah. Napasnya terasa berat dan suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Maka dari itu, Jessy memaksakan diri dan segera membuka suara lagi, mencoba menetralkan situasi yang sempat terasa mencekam dan menakutkan."Maaf, Tuan. Saya hanya kaget," ujar Jessy menundukkan kepalanya, berusaha memutus kontak mata dengan Terry, berharap agar sang ketua Mafia tak lagi memperhatikannya."Kaget?" Ulang Terry dengan nadanya yang sedingin es, terdengar tidak suka dengan perkataan sang gadis. Jessy menganggukkan kepala seraya meneguk ludah paksa mendengar suara penuh int
"Apa maksud anda, Tuan?" Tanya Jessy dengan nada gugup seraya tertawa canggung menanggapi pertanyaan dari Terry.Gadis itu tak mau berasumsi ataupun berburuk sangka pada pria yang saat ini mengukung dirinya. Namun, pikirannya sulit sekali untuk diajak bekerja sama karena pada dasarnya perkataan Terry membuatnya berpikir negatif. Kalimat itu begitu ambigu, membuat Jessy tampak kebingungan harus menjawab apa.Terry tertawa kecil, tak menyangka jika gadis yang ia tawan terlihat begitu polos dan murni layaknya remaja yang tak tahu apapun. Ini cukup bagus untuk rencananya. Pria itu mengelus pipi Jessy dengan sebelah tangan dengan gerakan lembut, seolah Jessy adalah porselen mahal yang mudah sekali untuk pecah ataupun hancur."Kau tak mengerti maksud dari ucapanku, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada menggoda, berusaha membuat Jessy mengeluarkan sifat aslinya dan ingin tahu seberapa liar gadis yang ia tawan.Jessy menggelengkan kepala. Bukannya tak tah
Terry memundurkan kembali tubuhnya begitu melihat wajah Jessy yang sudah memucat dengan tubuh membeku. Pria itu menyeringai lebar , berhasil membuat Jessy tak lagi berbicara hal yang tak penting padanya. Terkadang menyenangkan juga menekan mental orang sampai sang lawan bicara tak bisa berkata apa apa."Jangan terkejut seperti itu. Cepat pasang kembali kancing bajumu dengan rapi seperti semula," perintah Terry yang masih memusatkan atensinya pada tulang selangka milik Jessy.Pria itu meneguk ludahnya dengan kasar dan memalingkan wajahnya ke arah lain, menghindari kontak mata dengan Jessy. Jessy tentu saja bingung dengan tingkah Terry yang berubah begitu cepat. Gadis itu menaruh jari telunjuknya di dagu serta menatap Terry dengan tatapan penasaran."Tuan, anda baik baik saja?" Tanya Jessy dengan nada lugunya yang begitu merdu laksana musik klasik yang menenangkan. Terry tak menoleh pada sang gadis dan lebih memilih untuk melihat jam tangan yang meling
Jessy membulatkan mata saat mendengar pertanyaan itu. Wajahnya menunjukkan raut wajah terkejut dan juga bingung. Sang gadis menarik napas panjang dan menatap Taehyun yang saat ini tengah bersidekap dada, menunjukkan aura dominan yang ia miliki."Tentu saja saya khawatir sebagai sesama manusia, Tuan. Wajah pria yang akan menjadi pengawal saya begitu merah. Darimana anda bisa berpikir saya memiliki perasaan lebih pada pria itu, sedangkan saya baru hari ini bertemu dengannya?" Tanya Jessy balik. Terry terdiam mendengarnya, tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu.Untuk mengembalikan situasi yang sempat menegang, Terry berdehem pelan, kemudian berjalan kembali menuju meja makan tanpa menjawab pertanyaan Jessy terlebih dahulu, meninggalkan sang gadis dalam kebingungan yang menjebak otaknya."Tuan, tolong jawab pertanyaan saya," desak sang gadis tak sabaran sekaligus penasaran. Terry tak menggubris perkataan dari gadis yang ia tawan dan lebih memilih untuk mengabaikannya. Terry kembali b
Jessy menolehkan kepalanya pada sumber suara, yakni Terry yang saat ini menatap tajam ke arahnya. Jessy merasa ciut dan ketakutan melihatnya, hingga ia memeluk Alfred kembali dengan sangat erat sembari menyembunyikan wajahnya. Gadis itu merasa terintimidasi dengan tatapan Terry yang terlihat sangat mematikan."Jessy, aku sedang bicara padamu. Tolong lihat aku,"Terry berkata dengan nada tegas dan juga dominan, membuat jiwa submissive Jessy keluar begitu saja. Jessy membalikkan tubuhnya hingga kini berhadapan dengan pria berambut pirang itu.Gadis itu menundukkan kepalanya hingga poni miliknya yang sudah memanjang menutupi wajahnya. Gadis itu memegang erat ujung baju yang ia kenakan, pertanda jika tengah takut dan juga gugup. Terry menghela napas kasar lalu mengangkat dagu Jessy dengan jari telunjuknya agar gadis itu bisa bertatapan dengannya.Tatapan keduanya bertemu. Mata doe hijau milik Jessy yang saat ini memerah karena sedang menangis kini bertatapan dengan manik coklat milik Terr
"Apa ini semacam taruhan?" Terry menggelengkan kepalanya, lalu segera mendekati Jessy yang saat ini tengah memiringkan kepalanya, tak mengerti dengan pembicaraan diantara dua pria berbeda generasi itu.Begitu sampai di hadapan Jessy, Terry meletakkan salah satu tangannya di perut milik gadis itu, lalu mengusapnya dengan cara melingkar. Pria itu memejamkan mata seolah menikmati kegiatan yang ia lakukan.Jessy tentu saja kaget mendapat perlakuan lembut seperti itu. Terry memang baik padanya, tapi dia pasti selalu memiliki niat terselubung. Makanya ia curiga jika Terry tengah merencanakan sesuatu padanya.Akan tetapi, sekalipun Jesy tengah mencurigai Terry, Jessy tak menepis tangan milik Terry dari perutnya dan membiarkan Terry berbuat sesukanya, selama masih berada di batas wajar. Entah kenapa, ada rasa senang yang hinggap di hatinya. Seperti ada kupu kupu yang berterbangan dalam perutnya, menimbulkan sensasi menyenangkan yang tak diketahui sebabnya. Apakah ia senang dengan usapan itu
"Apa maksudmu jika Jessy tengah hamil?" Alfred kini menatap Terry dengan tatapan tajam.Pria bermata hijau itu tak terima jika Terry mengatakan hal yang tidak tidak pada Jessy yang baru saja siuman. Terry tersenyum, lalu menolehkan kepalanya pada Jessy yang saat ini menatapnya penuh kebingungan.Mata gadis itu tampak mengerjap lucu dengan bibir mengerucut lucu karena tak mengerti alasan Terry malah membahas "hal itu". Kepalanya terlihat dimiringkan yang membuat Jessy tampak begitu menggemaskan. Terry tertawa kecil melihat tingkah Jessy yang begitu menghibur dirinya. Setelah itu, Terry memusatkan kembali perhatiannya pada Alfred yang menunggu jawabannya. Percakapan diantara keduanya tampak begitu intens seolah ini adalah meja perang (meja debat)."Kurasa anda tak terlalu bodoh untuk mengerti arti ucapan saya, tuan," ujar Terry dengan senyuman tipis yang terpatri di wajah tampannya.Nada suara setenang air itu sedikitnya mengusik hati Alfred. Apa pria di depannya itu tak merasa bersala
Terry kini sudah tiba di depan rumah sakit yang kabarnya tempat Jessy dirawat. Pria berambut pirang itu segera turun dari mobil dan melangkah dengan gagah menuju ke depan gerbang rumah sakit, diikuti oleh para anggotanya yang lain yang mengikuti dari belakang.Saat berada di depan gerbang, langkah Terry harus terhenti karena seorang pria berpakaian serba merah dengan aksen lambang harimau putih mencegahnya masuk. Terry menatap tajam orang itu dengan mata cokelatnya, karena perjalanannya harus tertunda. Ini sama artinya dengan membuang waktunya yang berharga untuk mencari Jessy."Mengapa aku dihentikan seperti ini, heh?""Maaf, Tuan. Tapi anda tak diizinkan masuk ke wilayah ini," ujar pria yang tengah mengenakan kacamata itu dengan suara berat.Terry tersenyum miring. Ia yang tak terima dengan perkataan itu langsung merogoh saku celananya dan menodongkan pistol tepat di dahi pria itu. Bisa dilihat jika salah satu anak buah dari kelompok White Tiger yang berhadapan dengannya meneguk lu
Alfred menghela napas melihat reaksi yang Jessy berikan padanya. Gadis itu tak merasa senang ataupun gembira dengan berita ini, tapi malah menunjukkan sikap ketidak percayaan dan juga ragu.Hal ini tentu saja menggores hari Alfred. Wajah pria itu tampak menyendu dengan alis mata yang terlihat turun. Raut wajah Alfred terlihat murung dengan tubuh terkulai lemas seolah tak memiliki tenaga.Jessy menggaruk pipinya yang tak terasa gatal, bingung harus melakukan apa di situasi sekarang ini. Rasa canggung menyergap keduanya, membuat Jessy tampak tak nyaman. Tangan mungilnya dengan ragu menyentuh wajah Alfred yang kini tengah melihat ke tanah. Merasakan sentuhan kecil dan halus itu, Alfred mendongakkan kepala, kembali menatap wajah Jessy dengan tatapan sedih. Bibir pria itu terlihat terkunci dengan mata sayu yang membuat kondisi Alfred terlihat begitu menyedihkan."Apa bisa anda jelaskan lagi padaku apa yang anda katakan sebelumnya?" Tanya Jessy dengan nada sehalus sutera sembari mengusap
"Ayah yang menculik anak Alfred?" Tanya Terry lagi memastikan, takut jika ia salah mendengar."Benar, tuan. Selain itu, ayah anda hampir melecehkan Rosemary saat wanita itu tengah mengandung. Maka dari itu, tuan Alfred murka besar dan berakibat memusuhi kelompok Black Panther sampai sekarang," jawab Adiaz lagi yang membuat Terry tampak tercengang.Pria itu hampir saja menjatuhkan ponselnya ke bawah andai tak diraih oleh Daniel. Dengan sigap, tangan milik pria berdarah Korea itu menangkap ponsel yang saat ini masih tersambung.Ia ingin tahu mengapa sedari dulu kelompok White Tiger selalu membuat masalah dengan kelompok Black Panther. Tak mungkin jika hanya alasan itu saja yang menjadi pemicunya."Lalu, apa ada hal lain yang ingin kau laporkan pada kami?""Ada. Kelompok Black Panther yang waktu itu dipimpin oleh ayah anda adalah pengacau sekaligus pengkhianat di masa lalu saat kelompok White Tiger masih berjaya. Tuan Barbara membuat fitnah bahwa kelompok White Tiger adalah kelompok yan
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam untuk pergi ke Las Vegas menggunakan pesawat, Terry segera memerintahkan anak buahnya yang berada disana untuk segera menjemputnya dan beberapa orang yang ia bawa dari Washington, termasuk Daniel.Selama menunggu kira kira setengah jam, mobil yang di pesan oleh Terry pun datang. Ia dan Daniel langsung masuk ke dalam mobil itu, sementara para anak buahnya yang lain menaiki mobil yang berbeda. Mobil pun meninggalkan kawasan bandara menuju rumah sakit tempat Jessy di rawat."Kau yakin jika Jessy ada disana? Bisa saja ini adalah trik murahan yang digunakan oleh kelompok White Tiger untuk mengecoh kita semua," Terry yang sedang memeriksa beberapa file yang masuk di ponselnya pun menolehkan kepala pada sang lawan bicara. Dirinya tertegun dalam sesaat.Benar juga, karena panik dan merasa senang karena Jessy telah ditemukan membuatnya membuat keputusan bodoh dengan langsung datang ke Las Vegas tanpa mencari tahu terlebih dahulu apakah
"Hah? Apa maksud anda?" Tanya Jessy yang saat ini tengah membulatkan mata mendengar fakta yang baru saja ia dengar.Janet Fransisca? Rasanya ia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Keningnya berkerut dalam mencoba mengingat nama itu. Matanya ya menyipit lucu dengan ekspresi yang begitu menggemaskan.Akan tetapi, seberapa keras usaha Jessy untuk mengingatnya, ingatan itu tak muncul di kepalanya. Jessy mengerang kesal sekaligus frustrasi karena tak bisa mengingat informasi yang terbilang cukup penting untuk keadaan sekarang.Gadis itu menatap Alfred dengan tatapan polos miliknya karena ia tak mengingat nama yang terasa familiar itu, seolah meminta bantuan pada Alfred. Alfred terkekeh pelan, lalu menyendokkan satu sendok bubur pada mulut Jessy yang terbuka agar gadis itu bisa makan.Jessy tentu saja kesal karena Alfred memasukan makanan ke dalam mulutnya tanpa permisi. Dengan terpaksa, gadis itu pun menelan bubur yang disodorkan tanpa mengunyahnya karena bubur yang ia makan sangatlah lem
"Terry," panggil Daniel yang baru saja masuk ke ruangan milik sang pria berambut pirang yang kini tengah berkutat dengan laptopnya. Terry tampak begitu serius, terlihat dari keningnya yang berkerut dalam dan beberapa kali mengeluarkan umpatan kecil yang tak jelas.Mendengar ada yang memanggil namanya, Terry menolehkan kepala pada sumber suara, mengabaikan sejenak laptop yang ada di depannya dan memusatkan seluruh atensinya pada Daniel yang saat ini tengah memasang wajah lelah.Wajah pria berdarah Korea itu tampak sangat berantakan, dengan kantung mata hitam yang melingkar jelas di wajahnya. Selain itu, wajah Daniel tampak begitu kusam, menandakan jika ia kurang istirahat selama beberapa hari terakhir."Ada apa Daniel?" Tanya Terry singkat, padat dan jelas dengan nada suara dinginnya.Daniel menghela napas panjang, lalu menyodorkan sebuah file yang berisi tentang beberapa kerja sama yang harus Terry periksa. Bagaimanapun, Terry adalah orang yang berkuasa disini. "Ada beberapa kerja sa