Jessy menggigit bibirnya saat Terry mengatakan aturan yang harus ia patuhi selama menjadi tawanan pria itu. Ekspresi kaget, terluka dan sedih bercampur aduk di wajah bonekanya. Napas sang gadis terasa berat dengan tubuh yang terasa lemas.
"Kau tahu apa artinya, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada main main seraya menyeringai ke arah Jessy. Gadis itu tak menjawab pertanyaan dari sang ketua Mafia.
"Artinya kau tak memiliki kebebasan apapun dalam hidupmu karena aku yang akan mengendalikan semuanya. Jadi, bersiaplah dan jadilah boneka yang baik untukku,"
Terry mengelus lagi rambut hitam Jessy dengan lembut dan mencium aroma lembut yang keluar dari tubuh gadis itu, mengendusnya perlahan dengan senyum penuh makna yang tak pernah absen dari wajah tampannya.
"Karena kau sudah berada dalam kendaliku, aku akan memberikanmu tugas pertama, boneka kecil,"
Jessy mendongakkan kepala menatap Terry dengan tatapan kosong. Wajahnya yang terlihat sedih dengan mata hijau yang berkaca kaca. Terry juga bisa melihat genangan air mata yang bersiap untuk jatuh dari kedua mata indah itu.
"Sebelum kita ke mansion utama, aku akan menyuruhmu untuk mandi dan mengganti baju lusuhmu dengan sesuatu yang lebih pantas untuk dipakai. Wanitaku tak boleh terlihat seperti orang miskin yang tak memiliki baju yang pantas untuk dikenakan,"
Terry bangkit dari kursinya dan mengambil sebuah paper bag warna coklat yang berada di dekat lemari barang antik. Pria itu menyerahkan paper bag pada Jessy dengan wajah datar. Jessy melirik Terry sejenak dan menerima paper bag itu dengan tangan gemetar.
Senyum tipis Terry kembali terbit saat Jessy yang terlihat lebih patuh saat ini, tak melawan seperti sebelumnya. Wajah tanpa harapan dan terlihat tertekan yang terlukis di wajah Jessy terlihat seperti hiburan yang menyegarkan matanya. Ia suka melihat Jessy tak berdaya dalam kendalinya.
"Bagus. Kenakan apa yang ada didalamnya dan jangan berpikir untuk bisa kabur dari sini, boneka kecil. Orang suruhan ku akan membantumu nanti."
Setelah memberikan paper bag itu pada Jessy, Terry keluar dari ruangan itu untuk melanjutkan tugasnya, memilah gadis yang tadi ditangkap oleh anak buahnya untuk dijadikan aset sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Suara langkah kaki dari sepatu pantofel yang beradu dengan tanah terasa begitu nyaring terdengar di telinga Terry. Hal ini dikarenakan tak ada siapapun selain dirinya yang berjalan disana, sehingga menghasilkan bunyi gema yang khas. Seperti biasa, Terry memasukkan kedua tangannya di saku celana, berjalan dengan santai menuju ruangan para tahanan yang berada di Utara pabrik terbengkalai yang ia sulap menjadi markas Mafia.
Begitu sampai di depan pagar listrik yang membatasi dunia luar dengan bangunan yang menjulang tinggi di hadapannya, Terry meminta anak buahnya untuk membuka pagar itu agar ia bisa masuk. Para bawahan pria itu mengangguk dan menuruti perintah Terry.
"Halo semua, kita bertemu lagi untuk kedua kalinya," ujar Terry membuka percakapan dengan nada dingin dan dominan begitu masuk ke aula pertemuan.
Mata coklat itu memicing ketika para gadis yang saat ini sedang duduk berjajar di dekat tembok sedang berbisik satu sama lain. Terry berdehem keras untuk mendapatkan atensi mereka.
Terbukti, para gadis itu berhenti berbisik dan segera memusatkan perhatian padanya dengan wajah ketakutan. Terry mengabaikan raut wajah mereka dan memilih untuk melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda.
"Seperti yang sudah tadi aku katakan sebelumnya, hidup kalian berada di tanganku. Jadi, persiapkan mental kalian untuk menemui takdir baru yang kalian jalani," Terry menyeringai. Mata tajam miliknya sedikit menyipit senang saat melihat para gadis itu terlihat ketakutan dan juga pasrah.
Dengan cepat, Terry mulai memilah para gadis itu sesuai dengan standar yang ia tentukan. Setelah selesai, para gadis tadi digiring menuju ke sebuah bangunan terpisah sesuai dengan kelompok yang sudah ditetapkan, yang tentu saja dikawal oleh anak buahnya agar tak bisa memberontak.
Saat Jane hendak pergi keluar bersama dengan kelompoknya, Terry menahan bahu gadis berambut ikal itu, membuat Jane menoleh pada sang ketua Mafia dengan tatapan bertanya.
"Kau akan menemani boneka kecilku selama berada di mansion utama. Jadi, ikutlah denganku,"
Sebelum Jane menjawab perkataan Terry, ia sudah diseret oleh pria itu untuk mengikuti langkahnya menuju bangunan timur tempat Jessy berada saat ini.
***
Jessy duduk diatas kursi meja rias dengan gugup sekaligus takut. Saat ini, penampilan Jessy sudah jauh lebih dari sebelumnya. Baju lusuh yang tadi ia gunakan kini berganti dengan rok pendek sepaha berwarna hitam dengan kemeja biru muda polos yang membalut tubuh rampingnya.
Gadis itu bergerak gelisah seraya terus menarik rok pendeknya kebawah. Jujur saja, Jessy merasa tak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan saat ini. Rambutnya sedang disisir oleh Belle, seorang pengawal wanita yang tadi menyeretnya kemari.
Kenapa Belle ada bersama dengan Jessy?
Jawabannya sederhana. Wanita itu diminta oleh Terry untuk mendandani Jessy dan menjaga agar gadis itu tidak kabur.
"Ung, Miss, kenapa aku harus menggunakan baju seperti ini? Apa tidak ada baju yang lebih panjang yang bisa menutup tubuhku?" Tanya Jessy seraya melirik pahanya yang terekspos akibat pakaian mini yang ia kenakan.
"Itu karena tuan menginginkan anda menggunakan baju seperti ini," jawab Belle singkat sambil mengikat rambut samping Jessy agar terlihat lebih rapi. "Lebih baik anda menurut saja jika tuan Terry memerintahkan sesuatu pada anda,"
"Tapi ini sama saja kebebasanku dirampas, Miss. Aku ingin protes tapi terlalu takut untuk melawan karena ia terus mengancamku," ujar Jessy pelan dengan memainkan ujung kemeja yang ia pakai. Jujur saja, Jessy rasanya ingin menangis lagi jika mengingat takdir yang harus dijalaninya begitu buruk.
"Jangan banyak mengeluh dan turuti saja keinginan tuan Terry jika kau tak ingin dihukum," jawab Belle dingin dengan nada datar dan tatapan tajam yang wanita itu layangkan untuk Jessy.
Jessy cemberut saat melihat reaksi Belle yang sangat sulit untuk diajak berbagi pikiran mengenai kesulitan yang saat ini ia rasakan. Gadis itu menghela napas berat. Ia melirik ke arah cermin dan melihat pantulan dirinya disana.
Jessy mengakui jika ia terlihat sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. Wajahnya dirias sedemikian rupa dengan make up mahal. Baju yang ia kenakan juga tampak begitu berkelas. Akan tetapi, Jessy merasa tak bahagia karena ini semua hanyalah topeng yang ia pakai untuk menyenangkan Terry saja.
Tak lama kemudian, Jessy telah selesai di dandani oleh Belle. Gadis itu tampak seperti boneka sungguhan jika sedang tak melakukan apapun. Belle sejujurnya sangat iri dengan kecantikan yang Renata miliki, namun memilih untuk memendamnya saja karena takut dihukum oleh Terry apabila melakukan sesuatu pada Jessy yang notebene adalah "mainan" pria itu.
"Kau tampak cantik sekali, boneka kecil. Aku merasa takjub melihatmu yang tak lagi lusuh seperti tadi," ujar Terry yang baru datang dari arah pintu. Terry ternyata tak datang sendirian karena ia datang bersama dengan seseorang. Orang yang mengikuti sang ketua Mafia
Kedatangan orang itu membuat Renata tak bisa berkata kata. Wajahnya terlihat senang dengan tatapan berbinar.
"Kenapa kau ada disini?"
Jessy terkejut karena orang itu ada disini. Gadis itu tak bisa menyembunyikan senyuman dan rasa senangnya karena kehadiran orang itu.Terry ikut tersenyum tipis saat melihat senyuman Jessy yang merekah begitu indah layaknya bunga mawar. Pria itu mengira jika Jessy senang akan kedatangannya. Maka dari itu, ia mendekati Jessy dan menepuk kepala sang gadis dengan perlahan."Aku tahu aku tampan, jadi kau tak perlu tersenyum riang seperti itu saat aku datang menghampirimu," ujar Terry dengan begitu percaya diri serta mengusap rambut pirang miliknya yang menggunakan gaya rambut potongan undercut dengan percaya diri.Senyum yang terlukis di wajah Jessy memudar, digantikan dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di paras cantiknya. Gadis itu mengedipkan mata dua kali layaknya boneka yang tengah kebingungan."Apa maksud anda, Tuan?""Kau tersenyum karena aku datang. Benar?"Jessy menggaruk pipinya yang tak gatal saat mendengar pertanyaan Terry yang tampak begitu percaya diri. Mata doe hi
Jessy meneguk ludah paksa saat mendengar perkataan Jane. Tubuh Jessy menegang dengan wajah memucat mendengar ancaman itu. Bukan hanya mental yang diserang sebagai hukuman jika tak menuruti perintah Terry, tapi fisik juga?!Baiklah, Jessy merasa jika Terry adalah pria yang jauh lebih menakutkan dari yang ia kira. Jessy tak menyangka jika ia juga akan menghadapi peristiwa yang sama persis dengan novel yang ia baca di perpustakaan kota kemarin. Apakah ini hanya kebetulan atau takdir memang sengaja mempermainkannya?"Tapi kau tahu darimana jika tuan Terry juga memberlakukan hukuman fisik mengerikan seperti yang kau katakan? Tolong jangan menakutiku, Jane," Bisik Jessy penasaran namun juga takut akan jawaban yang keluar dari mulut Jane. Jane menghela napas melihat Jessy yang ragu akan ucapannya."Aku tak menakutimu, Jessy sayang. Hanya saja, tadi aku melihat dua orang wanita yang punggungnya penuh dengan luka cambuk saat akan datang kemari. Bukankah itu juga bisa men
"Kurasa telingamu masih berfungsi dengan baik, boneka kecil. Kita akan melakukan hal intim seperti ini sesering mungkin saat berada di mansion utama,"Terry berkata dengan nada sarkas seraya mengulangi apa yang ia ucapkan barusan. Mata coklatnya memindai wajah Jessy untuk melihat reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh gadis manis berwajah boneka itu.Kaget. Itu adalah satu hal yang bisa menggambarkan keadaan Jessy sekarang. Mata hijau itu membulat sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka. Pegangan gadis itu pada tangan Terry juga terasa sedikit melemah.Mulut Jessy sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mungil yang berwarna merah itu. Lidah gadis itu terasa kelu untuk bicara satu kata saja pada Terry.Terry menikmati wajah kaget dari gadis yang berada dalam dekapannya. Ekspresi yang Jessy tampilkan padanya selalu menarik perhatian, membuat pria itu merasa terhibur seolah te
Jessy meneguk ludahnya dengan gugup saat pertanyaan bernada dingin itu dilayangkan padanya. Jessy melirik ke arah lain, tak ingin bertatapan dengan Terry yang terlihat menakutkan saat ini."Lebih baik jangan memberontak jika kau tak mau dihukum, boneka kecil. Aku serius dengan ucapanku,"Tak mendapat respon dari lawan bicaranya, Terry meneruskan langkahnya menuju kamar yang akan Jessy tempati. Kaki pria itu dengan tegap melangkah di tangga dengan hati hati.Jessy bisa melihat ada 3 buah pintu di atas sana. Warna pintunya pun berbeda. Ada yang berwarna biru muda, hijau dan coklat muda. Gadis itu bertanya tanya dalam hati, mungkinkah ada maksud terselubung dari berbedanya warna dari ketiga pintu itu? Atau ini hanyalah bagian dari seni? Entahlah, tak ada yang bisa memberi Jessy jawaban. Ingin bertanya pun sang gadis segan.Setelah sampai di lantai kedua, Terry melangkahkan kakinya sebentar dan saat ini tengah berdiri di sebuah depan pintu berwarn
"Hah?"Jessy kelepasan bicara saat Terry tengah menodongkan pistol pada pria yang akan dijadikan pengawalnya itu. Sang gadis segera menutup mulutnya menggunakan tangan, saat melihat Terry menatap dirinya dengan tajam dan intens. Dalam sekian detik, suasana tampak mencekam layaknya film horor.Jantung Jessy berdetak kencang saat ia sadar telah melakukan kesalahan yang berkemungkinan membuat Terry marah. Napasnya terasa berat dan suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Maka dari itu, Jessy memaksakan diri dan segera membuka suara lagi, mencoba menetralkan situasi yang sempat terasa mencekam dan menakutkan."Maaf, Tuan. Saya hanya kaget," ujar Jessy menundukkan kepalanya, berusaha memutus kontak mata dengan Terry, berharap agar sang ketua Mafia tak lagi memperhatikannya."Kaget?" Ulang Terry dengan nadanya yang sedingin es, terdengar tidak suka dengan perkataan sang gadis. Jessy menganggukkan kepala seraya meneguk ludah paksa mendengar suara penuh int
"Apa maksud anda, Tuan?" Tanya Jessy dengan nada gugup seraya tertawa canggung menanggapi pertanyaan dari Terry.Gadis itu tak mau berasumsi ataupun berburuk sangka pada pria yang saat ini mengukung dirinya. Namun, pikirannya sulit sekali untuk diajak bekerja sama karena pada dasarnya perkataan Terry membuatnya berpikir negatif. Kalimat itu begitu ambigu, membuat Jessy tampak kebingungan harus menjawab apa.Terry tertawa kecil, tak menyangka jika gadis yang ia tawan terlihat begitu polos dan murni layaknya remaja yang tak tahu apapun. Ini cukup bagus untuk rencananya. Pria itu mengelus pipi Jessy dengan sebelah tangan dengan gerakan lembut, seolah Jessy adalah porselen mahal yang mudah sekali untuk pecah ataupun hancur."Kau tak mengerti maksud dari ucapanku, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada menggoda, berusaha membuat Jessy mengeluarkan sifat aslinya dan ingin tahu seberapa liar gadis yang ia tawan.Jessy menggelengkan kepala. Bukannya tak tah
Terry memundurkan kembali tubuhnya begitu melihat wajah Jessy yang sudah memucat dengan tubuh membeku. Pria itu menyeringai lebar , berhasil membuat Jessy tak lagi berbicara hal yang tak penting padanya. Terkadang menyenangkan juga menekan mental orang sampai sang lawan bicara tak bisa berkata apa apa."Jangan terkejut seperti itu. Cepat pasang kembali kancing bajumu dengan rapi seperti semula," perintah Terry yang masih memusatkan atensinya pada tulang selangka milik Jessy.Pria itu meneguk ludahnya dengan kasar dan memalingkan wajahnya ke arah lain, menghindari kontak mata dengan Jessy. Jessy tentu saja bingung dengan tingkah Terry yang berubah begitu cepat. Gadis itu menaruh jari telunjuknya di dagu serta menatap Terry dengan tatapan penasaran."Tuan, anda baik baik saja?" Tanya Jessy dengan nada lugunya yang begitu merdu laksana musik klasik yang menenangkan. Terry tak menoleh pada sang gadis dan lebih memilih untuk melihat jam tangan yang meling
Jessy membulatkan mata saat mendengar pertanyaan itu. Wajahnya menunjukkan raut wajah terkejut dan juga bingung. Sang gadis menarik napas panjang dan menatap Taehyun yang saat ini tengah bersidekap dada, menunjukkan aura dominan yang ia miliki."Tentu saja saya khawatir sebagai sesama manusia, Tuan. Wajah pria yang akan menjadi pengawal saya begitu merah. Darimana anda bisa berpikir saya memiliki perasaan lebih pada pria itu, sedangkan saya baru hari ini bertemu dengannya?" Tanya Jessy balik. Terry terdiam mendengarnya, tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu.Untuk mengembalikan situasi yang sempat menegang, Terry berdehem pelan, kemudian berjalan kembali menuju meja makan tanpa menjawab pertanyaan Jessy terlebih dahulu, meninggalkan sang gadis dalam kebingungan yang menjebak otaknya."Tuan, tolong jawab pertanyaan saya," desak sang gadis tak sabaran sekaligus penasaran. Terry tak menggubris perkataan dari gadis yang ia tawan dan lebih memilih untuk mengabaikannya. Terry kembali b