Jessy meneguk ludah paksa saat mendengar perkataan Jane. Tubuh Jessy menegang dengan wajah memucat mendengar ancaman itu. Bukan hanya mental yang diserang sebagai hukuman jika tak menuruti perintah Terry, tapi fisik juga?!Baiklah, Jessy merasa jika Terry adalah pria yang jauh lebih menakutkan dari yang ia kira. Jessy tak menyangka jika ia juga akan menghadapi peristiwa yang sama persis dengan novel yang ia baca di perpustakaan kota kemarin. Apakah ini hanya kebetulan atau takdir memang sengaja mempermainkannya?"Tapi kau tahu darimana jika tuan Terry juga memberlakukan hukuman fisik mengerikan seperti yang kau katakan? Tolong jangan menakutiku, Jane," Bisik Jessy penasaran namun juga takut akan jawaban yang keluar dari mulut Jane. Jane menghela napas melihat Jessy yang ragu akan ucapannya."Aku tak menakutimu, Jessy sayang. Hanya saja, tadi aku melihat dua orang wanita yang punggungnya penuh dengan luka cambuk saat akan datang kemari. Bukankah itu juga bisa men
"Kurasa telingamu masih berfungsi dengan baik, boneka kecil. Kita akan melakukan hal intim seperti ini sesering mungkin saat berada di mansion utama,"Terry berkata dengan nada sarkas seraya mengulangi apa yang ia ucapkan barusan. Mata coklatnya memindai wajah Jessy untuk melihat reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh gadis manis berwajah boneka itu.Kaget. Itu adalah satu hal yang bisa menggambarkan keadaan Jessy sekarang. Mata hijau itu membulat sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka. Pegangan gadis itu pada tangan Terry juga terasa sedikit melemah.Mulut Jessy sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mungil yang berwarna merah itu. Lidah gadis itu terasa kelu untuk bicara satu kata saja pada Terry.Terry menikmati wajah kaget dari gadis yang berada dalam dekapannya. Ekspresi yang Jessy tampilkan padanya selalu menarik perhatian, membuat pria itu merasa terhibur seolah te
Jessy meneguk ludahnya dengan gugup saat pertanyaan bernada dingin itu dilayangkan padanya. Jessy melirik ke arah lain, tak ingin bertatapan dengan Terry yang terlihat menakutkan saat ini."Lebih baik jangan memberontak jika kau tak mau dihukum, boneka kecil. Aku serius dengan ucapanku,"Tak mendapat respon dari lawan bicaranya, Terry meneruskan langkahnya menuju kamar yang akan Jessy tempati. Kaki pria itu dengan tegap melangkah di tangga dengan hati hati.Jessy bisa melihat ada 3 buah pintu di atas sana. Warna pintunya pun berbeda. Ada yang berwarna biru muda, hijau dan coklat muda. Gadis itu bertanya tanya dalam hati, mungkinkah ada maksud terselubung dari berbedanya warna dari ketiga pintu itu? Atau ini hanyalah bagian dari seni? Entahlah, tak ada yang bisa memberi Jessy jawaban. Ingin bertanya pun sang gadis segan.Setelah sampai di lantai kedua, Terry melangkahkan kakinya sebentar dan saat ini tengah berdiri di sebuah depan pintu berwarn
"Hah?"Jessy kelepasan bicara saat Terry tengah menodongkan pistol pada pria yang akan dijadikan pengawalnya itu. Sang gadis segera menutup mulutnya menggunakan tangan, saat melihat Terry menatap dirinya dengan tajam dan intens. Dalam sekian detik, suasana tampak mencekam layaknya film horor.Jantung Jessy berdetak kencang saat ia sadar telah melakukan kesalahan yang berkemungkinan membuat Terry marah. Napasnya terasa berat dan suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Maka dari itu, Jessy memaksakan diri dan segera membuka suara lagi, mencoba menetralkan situasi yang sempat terasa mencekam dan menakutkan."Maaf, Tuan. Saya hanya kaget," ujar Jessy menundukkan kepalanya, berusaha memutus kontak mata dengan Terry, berharap agar sang ketua Mafia tak lagi memperhatikannya."Kaget?" Ulang Terry dengan nadanya yang sedingin es, terdengar tidak suka dengan perkataan sang gadis. Jessy menganggukkan kepala seraya meneguk ludah paksa mendengar suara penuh int
"Apa maksud anda, Tuan?" Tanya Jessy dengan nada gugup seraya tertawa canggung menanggapi pertanyaan dari Terry.Gadis itu tak mau berasumsi ataupun berburuk sangka pada pria yang saat ini mengukung dirinya. Namun, pikirannya sulit sekali untuk diajak bekerja sama karena pada dasarnya perkataan Terry membuatnya berpikir negatif. Kalimat itu begitu ambigu, membuat Jessy tampak kebingungan harus menjawab apa.Terry tertawa kecil, tak menyangka jika gadis yang ia tawan terlihat begitu polos dan murni layaknya remaja yang tak tahu apapun. Ini cukup bagus untuk rencananya. Pria itu mengelus pipi Jessy dengan sebelah tangan dengan gerakan lembut, seolah Jessy adalah porselen mahal yang mudah sekali untuk pecah ataupun hancur."Kau tak mengerti maksud dari ucapanku, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada menggoda, berusaha membuat Jessy mengeluarkan sifat aslinya dan ingin tahu seberapa liar gadis yang ia tawan.Jessy menggelengkan kepala. Bukannya tak tah
Terry memundurkan kembali tubuhnya begitu melihat wajah Jessy yang sudah memucat dengan tubuh membeku. Pria itu menyeringai lebar , berhasil membuat Jessy tak lagi berbicara hal yang tak penting padanya. Terkadang menyenangkan juga menekan mental orang sampai sang lawan bicara tak bisa berkata apa apa."Jangan terkejut seperti itu. Cepat pasang kembali kancing bajumu dengan rapi seperti semula," perintah Terry yang masih memusatkan atensinya pada tulang selangka milik Jessy.Pria itu meneguk ludahnya dengan kasar dan memalingkan wajahnya ke arah lain, menghindari kontak mata dengan Jessy. Jessy tentu saja bingung dengan tingkah Terry yang berubah begitu cepat. Gadis itu menaruh jari telunjuknya di dagu serta menatap Terry dengan tatapan penasaran."Tuan, anda baik baik saja?" Tanya Jessy dengan nada lugunya yang begitu merdu laksana musik klasik yang menenangkan. Terry tak menoleh pada sang gadis dan lebih memilih untuk melihat jam tangan yang meling
Jessy membulatkan mata saat mendengar pertanyaan itu. Wajahnya menunjukkan raut wajah terkejut dan juga bingung. Sang gadis menarik napas panjang dan menatap Taehyun yang saat ini tengah bersidekap dada, menunjukkan aura dominan yang ia miliki."Tentu saja saya khawatir sebagai sesama manusia, Tuan. Wajah pria yang akan menjadi pengawal saya begitu merah. Darimana anda bisa berpikir saya memiliki perasaan lebih pada pria itu, sedangkan saya baru hari ini bertemu dengannya?" Tanya Jessy balik. Terry terdiam mendengarnya, tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu.Untuk mengembalikan situasi yang sempat menegang, Terry berdehem pelan, kemudian berjalan kembali menuju meja makan tanpa menjawab pertanyaan Jessy terlebih dahulu, meninggalkan sang gadis dalam kebingungan yang menjebak otaknya."Tuan, tolong jawab pertanyaan saya," desak sang gadis tak sabaran sekaligus penasaran. Terry tak menggubris perkataan dari gadis yang ia tawan dan lebih memilih untuk mengabaikannya. Terry kembali b
Pelayan wanita itu mengangguk dengan kaku sembari bersujud memohon ampun pada Terry. Pria yang berstatus sebagai Ketua Mafia di kelompok Black panther itu memutar mata malas. Dengan hentakkan kaki yang kuat dan kasar, Terry meninggalkan ruang makan karena emosinya sudah terlanjur naik. Selain itu, napsu makannya juga sudah hilang.Keadaan menjadi hening seketika. Tak ada satupun yang ingin berbicara untuk sekedar memecah keheningan yang tercipta akibat insiden barusan. Di sisi lain, ancaman yang ditujukan untuk pelayan wanita yang baru saja Terry tampar justru membuat Jessy ketakutan. Jane benar, jika Terry tak akan segan melakukan hukuman fisik jika ada yang membuatnya kesal ataupun marah. Pelayan tadi menatap Jessy dengan tatapan amarah penuh dendam, sementara Jessy membalas tatapan itu dengan penuh kebingungan. Tak lama kemudian, pelayan wanita berambut merah itu pun pergi meninggalkan Jessy sendirian di meja makan."Jessy! Kau baik baik saja? Aku mendengar teriakan tuan Terry ba