Pelayan wanita itu mengangguk dengan kaku sembari bersujud memohon ampun pada Terry. Pria yang berstatus sebagai Ketua Mafia di kelompok Black panther itu memutar mata malas. Dengan hentakkan kaki yang kuat dan kasar, Terry meninggalkan ruang makan karena emosinya sudah terlanjur naik. Selain itu, napsu makannya juga sudah hilang.Keadaan menjadi hening seketika. Tak ada satupun yang ingin berbicara untuk sekedar memecah keheningan yang tercipta akibat insiden barusan. Di sisi lain, ancaman yang ditujukan untuk pelayan wanita yang baru saja Terry tampar justru membuat Jessy ketakutan. Jane benar, jika Terry tak akan segan melakukan hukuman fisik jika ada yang membuatnya kesal ataupun marah. Pelayan tadi menatap Jessy dengan tatapan amarah penuh dendam, sementara Jessy membalas tatapan itu dengan penuh kebingungan. Tak lama kemudian, pelayan wanita berambut merah itu pun pergi meninggalkan Jessy sendirian di meja makan."Jessy! Kau baik baik saja? Aku mendengar teriakan tuan Terry ba
Mata Jessy membulat sempurna mendengar pertanyaan itu. Tubuhnya membeku dan menegang dan detak jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Wajahnya memucat disertai dengan lidah yang terasa kelu untuk bicara."Hukuman?" Tanya Jessy balik dengan nada tak percaya. Gadis itu ingin bertanya lebih banyak tentang perkataan Terry, tapi suaranya tak bisa ia keluarkan, seolah suaranya tertahan di tenggorokannya."Mengapa saya mendapat hukuman? Saya kan tak berbuat salah, Tuan,"Terry tertawa kencang mendengar perkataan polos yang keluar dari mulut Jessy. Pria itu bahkan sampai harus memegang perutnya sendiri seolah hal yang Jessy sampaikan adalah lelucon terbaru yang menghibur pria itu. Bahkan, singa yang berada satu tempat dengan Jessy saja sampai merasa tak nyaman dan menatap Terry dengan tatapan tajam karena terganggu dengan tawa keras itu."Tuan, kenapa anda tertawa? Apa ada yang salah dengan ucapan saya?" "Kau pikir saja sendiri,"Baik, Jessy kehabisan kesabaran menghadapi tingkah
Bagai sebuah pepatah, lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Itulah yang menggambarkan kondisi Jessy saat ini. Ia memang (mungkin) dibebaskan dari hukuman menjadi cemilan Leon, si singa peliharaan sekaligus kesayangan Terry, tapi pengganti hukuman ini juga tak kalah menyakitkan sekaligus sadis yang menyakiti mental serta fisiknya."Dicambuk?" Tanya Jessy dengan mimik wajah tak percaya. Gadis itu hampir menangis saat mendengar tawaran lain yang Terry berikan padanya."Iya, dicambuk menggunakan ikat pinggang. Kau bersedia?" Tanya Terry lagi, mencoba mempermainkan mental Jessy agar semakin jatuh sehingga gadis itu tak memiliki niat untuk memberontak.Sejujurnya, Terry tak mungkin juga melakukan hal itu pada Jessy, berbeda pada gadis lain yang sebelumnya menjadi mainannya.Selain cantik, Jessy juga memiliki sifat menarik yang berbeda daripada mainan sebelumnya. Rasanya seru sekaligus terhibur melihat wajah boneka Jessy yang tampak putus asa namun masih mencoba untuk merubah takdir
Peringatan itu membuat Jessy tertegun. Ia kebingungan sekaligus merasa aneh. Dilarang jatuh cinta pada sang ketua Mafia? Apa ini lelucon?Gadis itu mendengkus sambil melipat bibirnya. Ia menaruh tangannya di pinggang. Dengan wajah kesal dan pipi yang menggembung, ia melihat Yuki dengan tatapan kesal yang kentara di wajah cantiknya."Aku tak akan jatuh cinta pada pria gila seperti dia. Lagipula, dia hampir membuatku mati ketakutan," Ucapan Jessy membuat ketiga gadis itu menghela napas lega. Mereka bertiga memeluk Jessy dengan erat, membuat sang gadis merasa sesak napas dan juga merasa tak nyaman karena sebelumnya jarang sekali orang yang memeluknya seerat ini saat berada di panti asuhan, kecuali Jane."Syukurlah kalau begitu. Justru, kau harus membuat tuan Terry bertekuk lutut padamu, nona boneka. Aku akan menjadi penonton yang paling keras untuk mentertawakan pria sinting itu jika ia cinta mati padamu," ujar Leah dengan nada berapi api, membuat Jessy tertawa kecil.Tawa yang begitu r
Terry segera menuju ke klub yang berada cukup dekat dengan mansionnya begitu mendapat panggilan dari sahabatnya. Pria itu menginjak pedal gas mobilnya agar bisa segera sampai.Selain untuk bertemu dan berbincang, Terry pergi ke tempat itu juga karena ingin meminum Vodka yang tersedia disana. Dirinya sudah cukup lama tak mencicipi minuman beralkohol itu akibat kesibukan bekerja dan melindungi kelompok yang ia pimpinHanya membutuhkan waktu 20 menit untuk pria yang berstatus sebagai ketua Mafia itu sampai di Klub ternama yang berada di kota Washington. Bangunan megah nan elit itu menjadi bangunan yang paling mencolok daripada bangunan lainnya . Walter's Club adalah nama yang Terry kunjungi saat ini.Dari namanya saja sudah ketahuan jika ini adalah klub milik Terry pribadi, tanpa campur tangan orang tuanya. Dengan langkah santai, pria yang berstatus sebagai ketua Mafia itu berjalan masuk ke klub dan membuka ruangan VIP, tempat para sahabatnya menunggu kedatangan dirinya."Kau lama sekali
Terry mengerutkan dahinya saat gadis yang ia tawan malah bertanya balik padanya. Tatapan polos dan wajah lugu itu seolah ia tak mengetahui apapun, membuat Terry hampir saja lengah. Pria itu segera menggenggam lengan atas Jessy, membuat sang gadis agar bisa bertatapan dengannya."Jangan memainkan wajah lugumu di hadapanku. Aku membenci ekspresi itu," ancam Terry dengan suara rendah. Mata coklatnya menatap tajam Jessy yang kini mengerjapkan mata, terlihat bingung dengan mata membulat yang tampak begitu lucu dan menggemaskan."Tapi...aku memang tak mengerti apa yang kau maksud, tuan. Karena sedari tadi, aku tengah membaca buku dongeng yang diberikan oleh kepala pelayan di mansion ini," balas Jessy pelan dengan nada selembut mungkin. Gadis itu segera menolehkan kepalanya ke arah buku yang tergeletak di dekat meja rias dalam keadaan terbalik.Terry memegang dagu Jessy agar gadis itu berhadapan kembali dengannya, mencari celah kebohongan di mata hijau cerah bagaikan batu zamrud yang begitu
Jessy merasa canggung dan juga takut tidur satu tempat dengan Terry. Pria itu bahkan memeluknya begitu erat seolah enggan melepaskan tubuhnya. Jessy menghela napas, kebingungan mencoba keluar dari situasi ini. Karena terlalu lama berpikir, rasa kantuk pun mulai menyerangnya. Gadis itu pun terlelap dalam dekapan pria asing yang menahan dirinya.Suara deringan ponsel berbunyi begitu keras, membangunkan Terry dari tidurnya. Pria itu mengerjapkan mata sejenak, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam retinanya. Begitu bisa melihat dengan jelas, pria itu meraih ponsel yang berada di saku celananya dan mematikan alarm yang berdering.Terry melirik ke bawah, melihat Jessy yang tertidur cukup pulas dengan tubuh meringkuk seperti anak kucing. Pria itu mengelus pelan rambut milik Jessy dan memeluk sang gadis semakin erat. Udara dingin di pagi hari di musim gugur tak terasa karena kehangatan tubuh Jessy yang berada dalam dekapannya. Terry hendak melanjutkan kembali tidurnya sebelum seseor
Jessy membulatkan mata hijaunya dengan lebar saat pistol itu diarahkan ke arah dagunya. Tubuh gadis itu memegang, seolah membeku. Suaranya tercekat di tenggorokan sehingga sulit berkata satu patah katapun.Jessy meneguk ludahnya paksa melihat ujung pistol yang sudah menempel di dagunya itu. Iris mata hijaunya berkaca kaca."Kenapa kau menodongku dengan pistol, Tuan Daniel?"Daniel menghela napas panjang. Pria itu mengalihkan tatapannya sejenak, lalu memusatkan kembali atensinya pada Jessy yang saat ini memasang wajah ketakutan."Ini hanya sebagai pengingat jika anda tak akan melampaui batas, nona. Jadi lebih baik anda bekerja sama dengan saya untuk mematuhi aturan tuan Terry daripada nyawa anda melayang," jelas Daniel dengan wajah datar.Dengan gemetar, tangan Jessy meraih pistol itu dan segera menjauhkan benda itu dari dagunya, menutup lubang peluru menggunakan telapak tangan mungilnya yang bergetar hebat yang membuat Daniel terperanjat kaget. Baru kali ini Daniel menemukan ada oran