Jessy diam membeku mendengar perkataan Terry yang membuatnya tak mengerti. Mainan? Apa maksud pria itu?
Gadis itu memiringkan kepalanya menatap Terry dengan tatapan polos sekaligus penasaran. Ia ingin bertanya kembali namun terlalu takut untuk mengeluarkan suaranya. Berkaca dari pengalaman, sang gadis tak mau mengalami lagi kesalahan untuk ketiga kalinya.
"Aku Terry Walter, orang yang berkuasa disini. Tugasmu adalah menuruti semua perkataanku dan jangan membantah perintahku jika tak ingin dihukum,"
Terry kembali mencengkeram dagu Jessy yang memar hingga sang gadis kembali merintih kesakitan. Pria itu tersenyum miring melihat Jessy menggigit bibirnya untuk meredam lenguhan sakit yang ia rasakan saat ini.
"T-tuan," panggil Jessy pelan berusaha untuk menetralkan suaranya agar tak terdengar seperti orang kesakitan. "Tolong lepaskan tangan anda. Aku mohon,"
Jessy berkata dengan nada penuh harap. Wajahnya terlihat memelas dengan mata yang tertutup. Tubuh sang gadis juga tampak gemetar jika dilihat dengan seksama.
"Kenapa aku harus melepaskannya? Apa ini terasa sakit?"
Jessy tak menjawab pertanyaan itu karena ia tahu jika Terry tengah memancing dirinya untuk bicara. Buktinya, saat tadi Jessy memohon untuk dilepaskan, pria itu malah menguatkan cengkraman pada dagunya. Tanpa sadar, air mata mengalir begitu deras dari mata hijaunya yang indah.
Terry tersenyum melihat gadis di depannya menangis. Ia mengelap air mata itu dengan perlahan. Gerakannya begitu lembut seolah jika Terry menyayangi gadis itu. Terry melepas tangannya di dagu Jessy dan menangkup wajah sang gadis dengan kedua telapak tangannya yang besar.
"Berhentilah menangis sebelum aku benar benar melemparmu ke kandang singa, boneka kecil,"
Air mata Jessy keluar makin deras mendengar ancaman itu. Hidung sang gadis memerah dengan napas tersengal karena menangis tanpa suara di hadapan sang ketua Mafia. Tenggorokan Jessy terasa kering dan sakit.
Dengan sekuat tenaga, Jessy berhasil menghentikan tangisannya. Jessy mengusap air matanya dengan kasar. Ia menatap Terry yang masih diam memperhatikan dirinya.
Sejujurnya, Jessy merasa malu menangis dihadapan pria ini. Tapi rasa sakit yang ia rasakan tak bisa ditoleransi oleh tubuhnya. Jessy membenci pria itu. Walaupun tampan, Terry tak lebih dari seorang pria gila. Mungkin Jessy harus menyebut jika Terry adalah psikopat karena kelakuannya itu.
"Kau sudah puas menangis? Jika iya segera ikuti aku. Jangan membuatku mengatakan kalimat yang sama untuk ketiga kalinya, boneka kecil,"
Terry menggelengkan kepalanya dan segera masuk menuju ke dalam bangunan paling megah yang berada di kawasan itu, diikuti oleh Jessy yang berjalan dibelakangnya.
Tak ada satupun diantara Terry dan Jessy yang memulai percakapan untuk memecah keheningan yang terjebak diantara keduanya. Terry masih setia diam seraya berjalan dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana hitam yang ia gunakan. Berbeda dengan Jessy yang berjalan pelan dengan menundukkan kepala.
Pria itu memasukkan kata sandi ketika berada di depan pintu. Setelah selesai, ia pun berjalan masuk menuju salah satu sofa yang berada di sudut ruangan, diikuti oleh Jessy di belakangnya.
Ruangan itu begitu indah dengan kesan minimalis. Tak terlalu banyak perabotan yang berada di ruangan yang dimasuki oleh Jessy. Ada satu set kursi berwarna hitam dengan meja bulat di tengah ruangan dengan karpet kecil berwarna coklat muda yang melapisi lantai disekitar kursi itu. Selain itu, terdapat dua buah lemari pajangan yang berisi barang barang antik disamping jendela.
Di dinding ruangan yang berwarna biru muda, terdapat satu buah jam dinding bulat yang cukup besar dengan beberapa foto Terry yang sedang berpose dengan latar suasana pantai. Sedikitnya, Jessy terkesima, karena ia bisa melihat secara langsung beberapa benda mahal yang sering ia lihat di etalase toko ketika tengah menjual bunga.
"Duduklah dilantai, aku akan memberi tahu aturan selama kau tinggal di mansionku ketika kita sudah meninggalkan tempat ini," perintah Terry sambil duduk di salah satu sofa berwarna hitam yang tampak begitu mahal dan berkelas. Jessy yang sedang melihat barang di ruangan itu mengalihkan perhatiannya pada Terry. Tak memiliki pilihan lain, Jessy pun akhirnya menurut. Ia duduk dilantai di depan Terry.
Mata hijau gadis itu tak berani menatap pria di depannya. Ia menundukkan kepala seraya merapatkan kakinya dan menyimpan tangannya di paha, persis seperti seorang anak yang tengah dihukum oleh ibunya.
Terry berdehem pelan untuk mendapatkan perhatian Jessy. Pria itu menyilangkan kakinya dengan tangan yang diletakkan diatas lutut, lalu menatap Jessy dengan tatapan tajam.
"Sebelum aku memberitahu aturan yang harus kau patuhi, ada baiknya aku tahu dulu nama gadis yang berani membentak diriku," ujar Terry dengan nada angkuh diakhir kalimat. Jessy mendongak menatap Terry dengan tatapan malu, sebelum akhirnya memalingkan wajah kearah lain.
"Jadi, siapa namamu, boneka kecil? Dan berapa usiamu? Kau terlihat sangat muda dibanding para gadis yang tadi dibawa oleh anak buahku,"
Jessy menghela napas seraya berusaha menetralkan detak jantungnya yang begitu cepat seperti habis berlari. Rasa gugup dan takut menyelimuti gadis itu. Akan tetapi, Jessy berusaha menepisnya agar tak dipermalukan lebih jauh.
"Jessy Campbell, 22 tahun," jawab Jessy singkat.
Terry terdiam mendengar jawaban gadis yang berada di depannya ini. 22 tahun? Ia hampir saja tertawa mengingat wajah Jessy yang tampak jauh lebih muda dari usianya. Terry menyeringai mendengar jawaban itu. Ia akan berbicara dengan Jessy nanti .
"Baiklah, nona Campbell, aku—"
"Panggil saja Jessy, tuan," sela Jessy cepat.
Terry menatap tajam gadis di depannya. Ia tak suka dengan perempuan yang suka menyela perkataan orang lain. Jessy yang sadar jika kebiasaan buruknya kembali kambuh langsung menepuk mulutnya dengan pelan seraya memejamkan mata.
"Nona, tolong jangan jaga sifat anda di depan saya. Saya tak suka dengan gadis yang tak beretika," sindiran Terry berhasil menohok hati Jessy, membuat pipi sang gadis memerah karena malu ditegur seperti itu.
"Maaf,"
Terry mengabaikan permintaan maaf itu dan lebih memilih mengutarakan maksudnya. "Dalam situasi mu sekarang, kau tak akan aku jual ke pelelangan ataupun aku lempar untuk menjadi jalang di klub. Kau akan aku angkat menjadi wanitaku di mansion yang akan kita tempati nanti. Kau harus berterima kasih karena aku masih berbaik hati padamu sekalipun kau gadis yang kurang ajar, boneka kecil,"
Jessy sedikit terkejut dengan keputusan Terry. Ia tak menyangka jika dirinya tak akan dijadikan jalang ataupun dilelang. Hanya saja, ia mengerti maksud kalimat pertama pria itu. Gadis itu memiringkan kepala dengan mata mengerjap lucu.
"Maksudnya apa, tuan?"
"Maksudnya, kau hanya melayaniku saja, tidak melayani pria lainnya," ujar Terry seraya tersenyum miring.
Baik, Jessy semakin tak mengerti arah pembicaraan ini. Otaknya tak mampu memproses apa yang Terry sampaikan padanya. Maka dari itu, ia bertanya hal lain dengan harapan bisa memberi petunjuk tentang apa yang diinginkan oleh pria itu.
"Lalu, aturan apa yang tadi anda maksud?"
" Pertanyaanmu bagus sekali, boneka kecil," Terry tersenyum kecil saat Terry menanyakan hal itu. Ia lebih suka memanggil Jessy dengan sebutan yang ia buat daripada memanggil gadis itu dengan nama aslinya.
"Itu adalah peraturan yang harus kau patuhi selama berada di sampingku. Aturan nomor satu, dilarang membantah ataupun mempertanyakan setiap keputusan yang aku buat. Nomor dua, dilarang keluar dari mansion ini tanpa pengawal ataupun orang yang mendampingi mu dan nomor terakhir, dilarang berkomunikasi berlebihan dengan pria lain selain diriku,"
Jessy menggigit bibirnya saat Terry mengatakan aturan yang harus ia patuhi selama menjadi tawanan pria itu. Ekspresi kaget, terluka dan sedih bercampur aduk di wajah bonekanya. Napas sang gadis terasa berat dengan tubuh yang terasa lemas."Kau tahu apa artinya, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada main main seraya menyeringai ke arah Jessy. Gadis itu tak menjawab pertanyaan dari sang ketua Mafia."Artinya kau tak memiliki kebebasan apapun dalam hidupmu karena aku yang akan mengendalikan semuanya. Jadi, bersiaplah dan jadilah boneka yang baik untukku," Terry mengelus lagi rambut hitam Jessy dengan lembut dan mencium aroma lembut yang keluar dari tubuh gadis itu, mengendusnya perlahan dengan senyum penuh makna yang tak pernah absen dari wajah tampannya."Karena kau sudah berada dalam kendaliku, aku akan memberikanmu tugas pertama, boneka kecil," Jessy mendongakkan kepala menatap Terry dengan tatapan kosong. Wajahnya yang terlihat sedih dengan mata hijau yang berkaca kaca. Terry juga
Jessy terkejut karena orang itu ada disini. Gadis itu tak bisa menyembunyikan senyuman dan rasa senangnya karena kehadiran orang itu.Terry ikut tersenyum tipis saat melihat senyuman Jessy yang merekah begitu indah layaknya bunga mawar. Pria itu mengira jika Jessy senang akan kedatangannya. Maka dari itu, ia mendekati Jessy dan menepuk kepala sang gadis dengan perlahan."Aku tahu aku tampan, jadi kau tak perlu tersenyum riang seperti itu saat aku datang menghampirimu," ujar Terry dengan begitu percaya diri serta mengusap rambut pirang miliknya yang menggunakan gaya rambut potongan undercut dengan percaya diri.Senyum yang terlukis di wajah Jessy memudar, digantikan dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di paras cantiknya. Gadis itu mengedipkan mata dua kali layaknya boneka yang tengah kebingungan."Apa maksud anda, Tuan?""Kau tersenyum karena aku datang. Benar?"Jessy menggaruk pipinya yang tak gatal saat mendengar pertanyaan Terry yang tampak begitu percaya diri. Mata doe hi
Jessy meneguk ludah paksa saat mendengar perkataan Jane. Tubuh Jessy menegang dengan wajah memucat mendengar ancaman itu. Bukan hanya mental yang diserang sebagai hukuman jika tak menuruti perintah Terry, tapi fisik juga?!Baiklah, Jessy merasa jika Terry adalah pria yang jauh lebih menakutkan dari yang ia kira. Jessy tak menyangka jika ia juga akan menghadapi peristiwa yang sama persis dengan novel yang ia baca di perpustakaan kota kemarin. Apakah ini hanya kebetulan atau takdir memang sengaja mempermainkannya?"Tapi kau tahu darimana jika tuan Terry juga memberlakukan hukuman fisik mengerikan seperti yang kau katakan? Tolong jangan menakutiku, Jane," Bisik Jessy penasaran namun juga takut akan jawaban yang keluar dari mulut Jane. Jane menghela napas melihat Jessy yang ragu akan ucapannya."Aku tak menakutimu, Jessy sayang. Hanya saja, tadi aku melihat dua orang wanita yang punggungnya penuh dengan luka cambuk saat akan datang kemari. Bukankah itu juga bisa men
"Kurasa telingamu masih berfungsi dengan baik, boneka kecil. Kita akan melakukan hal intim seperti ini sesering mungkin saat berada di mansion utama,"Terry berkata dengan nada sarkas seraya mengulangi apa yang ia ucapkan barusan. Mata coklatnya memindai wajah Jessy untuk melihat reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh gadis manis berwajah boneka itu.Kaget. Itu adalah satu hal yang bisa menggambarkan keadaan Jessy sekarang. Mata hijau itu membulat sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka. Pegangan gadis itu pada tangan Terry juga terasa sedikit melemah.Mulut Jessy sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mungil yang berwarna merah itu. Lidah gadis itu terasa kelu untuk bicara satu kata saja pada Terry.Terry menikmati wajah kaget dari gadis yang berada dalam dekapannya. Ekspresi yang Jessy tampilkan padanya selalu menarik perhatian, membuat pria itu merasa terhibur seolah te
Jessy meneguk ludahnya dengan gugup saat pertanyaan bernada dingin itu dilayangkan padanya. Jessy melirik ke arah lain, tak ingin bertatapan dengan Terry yang terlihat menakutkan saat ini."Lebih baik jangan memberontak jika kau tak mau dihukum, boneka kecil. Aku serius dengan ucapanku,"Tak mendapat respon dari lawan bicaranya, Terry meneruskan langkahnya menuju kamar yang akan Jessy tempati. Kaki pria itu dengan tegap melangkah di tangga dengan hati hati.Jessy bisa melihat ada 3 buah pintu di atas sana. Warna pintunya pun berbeda. Ada yang berwarna biru muda, hijau dan coklat muda. Gadis itu bertanya tanya dalam hati, mungkinkah ada maksud terselubung dari berbedanya warna dari ketiga pintu itu? Atau ini hanyalah bagian dari seni? Entahlah, tak ada yang bisa memberi Jessy jawaban. Ingin bertanya pun sang gadis segan.Setelah sampai di lantai kedua, Terry melangkahkan kakinya sebentar dan saat ini tengah berdiri di sebuah depan pintu berwarn
"Hah?"Jessy kelepasan bicara saat Terry tengah menodongkan pistol pada pria yang akan dijadikan pengawalnya itu. Sang gadis segera menutup mulutnya menggunakan tangan, saat melihat Terry menatap dirinya dengan tajam dan intens. Dalam sekian detik, suasana tampak mencekam layaknya film horor.Jantung Jessy berdetak kencang saat ia sadar telah melakukan kesalahan yang berkemungkinan membuat Terry marah. Napasnya terasa berat dan suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Maka dari itu, Jessy memaksakan diri dan segera membuka suara lagi, mencoba menetralkan situasi yang sempat terasa mencekam dan menakutkan."Maaf, Tuan. Saya hanya kaget," ujar Jessy menundukkan kepalanya, berusaha memutus kontak mata dengan Terry, berharap agar sang ketua Mafia tak lagi memperhatikannya."Kaget?" Ulang Terry dengan nadanya yang sedingin es, terdengar tidak suka dengan perkataan sang gadis. Jessy menganggukkan kepala seraya meneguk ludah paksa mendengar suara penuh int
"Apa maksud anda, Tuan?" Tanya Jessy dengan nada gugup seraya tertawa canggung menanggapi pertanyaan dari Terry.Gadis itu tak mau berasumsi ataupun berburuk sangka pada pria yang saat ini mengukung dirinya. Namun, pikirannya sulit sekali untuk diajak bekerja sama karena pada dasarnya perkataan Terry membuatnya berpikir negatif. Kalimat itu begitu ambigu, membuat Jessy tampak kebingungan harus menjawab apa.Terry tertawa kecil, tak menyangka jika gadis yang ia tawan terlihat begitu polos dan murni layaknya remaja yang tak tahu apapun. Ini cukup bagus untuk rencananya. Pria itu mengelus pipi Jessy dengan sebelah tangan dengan gerakan lembut, seolah Jessy adalah porselen mahal yang mudah sekali untuk pecah ataupun hancur."Kau tak mengerti maksud dari ucapanku, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada menggoda, berusaha membuat Jessy mengeluarkan sifat aslinya dan ingin tahu seberapa liar gadis yang ia tawan.Jessy menggelengkan kepala. Bukannya tak tah
Terry memundurkan kembali tubuhnya begitu melihat wajah Jessy yang sudah memucat dengan tubuh membeku. Pria itu menyeringai lebar , berhasil membuat Jessy tak lagi berbicara hal yang tak penting padanya. Terkadang menyenangkan juga menekan mental orang sampai sang lawan bicara tak bisa berkata apa apa."Jangan terkejut seperti itu. Cepat pasang kembali kancing bajumu dengan rapi seperti semula," perintah Terry yang masih memusatkan atensinya pada tulang selangka milik Jessy.Pria itu meneguk ludahnya dengan kasar dan memalingkan wajahnya ke arah lain, menghindari kontak mata dengan Jessy. Jessy tentu saja bingung dengan tingkah Terry yang berubah begitu cepat. Gadis itu menaruh jari telunjuknya di dagu serta menatap Terry dengan tatapan penasaran."Tuan, anda baik baik saja?" Tanya Jessy dengan nada lugunya yang begitu merdu laksana musik klasik yang menenangkan. Terry tak menoleh pada sang gadis dan lebih memilih untuk melihat jam tangan yang meling