"Bawa para gadis ini ke sel tahanan yang berada di daerah Utara. Beri mereka makan dan lepaskan ikatan mereka. Aku akan memilahnya nanti," ujar Terry dengan nada dingin lalu melepaskan tangannya dari wajah Jessy.
Setelah itu, Terry pergi keluar dari ruangan ini, diikuti beberapa pria gagah tadi yang Jessy perkirakan adalah pengawalnya. Jessy menghela napas lega saat Terry kini meninggalkannya. Jujur saja, berdekatan dengan Terry membuat Jessy begitu lelah.
Para gadis tadi termasuk Jessy kembali digiring menuju sebuah bangunan besar yang berada di sebelah Utara gedung yang tadi ia pakai untuk berkumpul. Gedung yang ia masuki saat ini tak seluas gedung sebelumnya. Di ruangan ini, terdapat beberapa cctv dan pagar listrik yang menjulang begitu tinggi. Itu artinya, tak ada sedikitpun celah untuk kabur.
Ikatan tali yang membelenggu Jessy dan teman temannya pun dilepaskan. Setelah itu, mereka semua diberi makan yang menunya berupa satu buah burger dengan satu botol air mineral. Makanan ini cukup mewah untuk gadis "tahanan" seperti mereka. Setelah diberi makan siang, para pria tadi pun keluar dari ruangan itu, setelah mengunci pintu utama agar para gadis yang mereka tangkap tidak kabur.
"Jessy, apa kau baik baik saja?" Tanya Jane seraya mengunyah burger miliknya dengan rakus. Jessy yang masih syok dengan kejadian barusan menganggukkan kepalanya lalu seraya memberikan senyuman canggung.
"Ya, aku baik baik saja,"
Jessy mulai memakan burger itu dengan pelan. Gadis itu tersenyum saat burger itu menyentuh mulutnya. Ia suka rasa makanan ini. Ini adalah makanan termewah yang ia makan selama hidupnya, karena biasanya Jessy dan para gadis yang berada di panti asuhan akan memakan roti yang murah dan keras untuk mengganjal perut mereka.
"Jessy, kenapa kau berani sekali melawan pria seperti Terry? Kau sudah bosan hidup ya?" Tanya Jane kesal seraya menjitak kepala Jessy dengan kencang, membuat sang gadis meringis kesakitan. Pertanyaan yang Jane lontarkan sama dengan pertanyaan Terry saat tadi ia melawannya. "Jantungku hampir saja berhenti saat pria mengerikan itu bilang akan melemparmu ke kandang singa,"
Renata terdiam mendengar perkataan Jane sambil mengelus kepalanya yang sakit akibat dijitak oleh gadis berambut ikal itu.
"Karena aku ingin kita semua bebas, Jane,"
Perkataan polos Jessy membuat Jane jengkel. Ia memukul lengan Jessy kencang yang tentu saja mendapat erangan protes dari Jessy.
"Jane, kenapa kau memukulku?"
"Itu karena kau bodoh! Aku sudah bilang berkali kali padamu, berhati hatilah saat kau bicara dengan pria, terutama yang begitu mengerikan seperti Terry. Kau hampir saja menggali kuburanmu sendiri karena kebodohanmu, Renata!"
Jessy menundukkan kepala mendapati Omelan dari sahabatnya itu. Gadis itu akui jika ia sangatlah ceroboh melawan Terry tadi. Seperti kata Jane, ia memang gadis bodoh yang belum bisa mengontrol tindakannya.
"Lalu setelah ini apa yang akan kita lakukan, Jane? Jujur saja aku takut berada disini,"
"Aku juga tak tahu Jessy. Kejadian ini begitu tak terduga. Aku tak menyangka jika takdirku akan berakhir menjadi seburuk ini,"
Keduanya terdiam setelah mengatakan hal itu. Baik Jessy maupun Jane, keduanya larut dalam pikiran masing masing, begitu bingung apa yang akan terjadi setelah ini. Saat Jessy telah menyelesaikan makan siangnya, tiba tiba saja gadis itu di tarik oleh salah satu pengawal wanita yang entah sejak kapan muncul.
"H-hei, apa apaan ini?!" Tanya Renata mencoba memberontak. Pengawal wanita yang berambut bob itu mencengkeram pergelangan tangan Renata hingga sang gadis memekik kesakitan. Jane yang melihatnya tentu saja kaget karena melihat Jessy yang ditarik begitu kasar seperti hewan liar.
"Anda diminta untuk menemui tuan muda Terry di bangunan timur, nona," balas wanita itu singkat.
"Kenapa aku harus menemui pria itu?"
"Jangan banyak bertanya dan cepatlah berdiri sebelum saya menyeret anda lebih kasar dari ini!"
Bentakan wanita itu membuat Jessy memanyunkan bibir merahnya. Dengan lesu, ia berdiri dan segera diseret oleh wanita tadi dengan langkah lebar. Saat melewati jembatan, Jessy hampir saja terjatuh ke kolam penuh buaya jika saja ia tak berpegangan pada sisi pembatas jembatan itu.
"A-akh bisakah anda berjalan sedikit lebih pelan?"
Wanita itu tak menghiraukan ucapan Jessy dan memilih untuk terus berjalan, mengabaikan sang gadis yang hampir jatuh berkali kali. Tak lama, keduanya sampai disebuah bangunan mewah yang berada disebelah timur. Jessy tak menyangka jika di dalam sebuah pabrik tua terdapat bangunan indah seperti ini. Apa pabrik itu hanyalah kedok belaka agar bisa menipu para polisi?
"Oh, boneka kecilku sudah datang rupanya,"
Terry berkata dengan nada senang seraya menatap Jessy dari atas sampai bawah dengan teliti. Setelah itu, ia menarik tangan sang gadis dari cekalan gadis pengawal wanita yang menyeretnya tadi dengan kasar hingga membuat Jessy terjatuh tepat di depan kaki Terry. Pria itu menyeringai lebar saat melihat Jessy yang terjatuh di hadapannya, membuat sang gadis terlihat seolah tengah berlutut padanya.
"Terima kasih telah membawa boneka kecil ini, Belle. Kau bisa pergi dan melanjutkan tugasmu,"
Wanita berambut bob yang dipanggil Belle pun mengangguk singkat dan menunduk hormat dengan membungkukkan badan seperti kebiasaan orang Jepang. Setelah selesai memberikan hormat, Belle pergi dari hadapan Jessy dan Terry.
"Nah, boneka kecil. Sudah saatnya kau mengetahui posisimu disini," ujar Terry dengan nada datar.
Pria itu berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Jessy yang masih terduduk di tanah. Tangan pria itu mengelap saus bekas burger yang berada di sudut bibir Jessy dengan lembut, membuat rona merah muncul di pipi sang gadis.
"Bangunlah dan ikuti aku," perintah Terry seraya berdiri dari posisinya, menunggu Jessy untuk mengikutinya.
"Kenapa saya harus mengikuti anda?" Tanya Jessy seraya bangkit dari dan kini berdiri tepat di hadapan Terry.
Pria itu menyeringai mendengar pertanyaan polos yang terlontar dari bibir mungil Jessy. Terry berjalan mendekat kearah gadis itu dengan langkah perlahan hingga jarak keduanya tersisa satu jengkal saja. Dalam jarak sedekat ini, Jessy bisa mencium parfum mahal bercampur bau rokok dari tubuh Terry.
"Kau berani mempertanyakan keputusanku, boneka kecil?"
Terry berkata dengan nada dingin dan tatapan mata tajam yang begitu mengintimidasi. Jessy yang sadar dengan perubahan nada suara Terry langsung memukul pelan bibirnya karena sadar ia sudah salah bicara .
"Maksudku—"
"Kau tak tahu siapa aku?" Terry menyela perkataan Jessy sebelum sang gadis meneruskan ucapannya. Pria itu sedikit menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Jessy agar bisa menatap langsung mata doe hijau itu.
Jessy kembali menahan napas saat jarak wajah Terry terlampau dekat dengannya. Lagi lagi, ia harus kembali menatap mata coklat Terry yang begitu mengintimidasi dirinya.
"Bersikaplah baik di hadapanku, boneka kecil. Sadarilah posisimu. Kau tak lebih dari sekedar mainan ditempat ini,"
Jessy diam membeku mendengar perkataan Terry yang membuatnya tak mengerti. Mainan? Apa maksud pria itu? Gadis itu memiringkan kepalanya menatap Terry dengan tatapan polos sekaligus penasaran. Ia ingin bertanya kembali namun terlalu takut untuk mengeluarkan suaranya. Berkaca dari pengalaman, sang gadis tak mau mengalami lagi kesalahan untuk ketiga kalinya. "Aku Terry Walter, orang yang berkuasa disini. Tugasmu adalah menuruti semua perkataanku dan jangan membantah perintahku jika tak ingin dihukum," Terry kembali mencengkeram dagu Jessy yang memar hingga sang gadis kembali merintih kesakitan. Pria itu tersenyum miring melihat Jessy menggigit bibirnya untuk meredam lenguhan sakit yang ia rasakan saat ini. "T-tuan," panggil Jessy pelan berusaha untuk menetralkan suaranya agar tak terdengar seperti orang kesakitan. "Tolong lepaskan tangan anda. Aku mohon," Jessy berkata dengan nada penuh harap. Wajahnya terlihat memelas dengan mata yang tertutup. Tubuh sang gadis juga tampak gemetar
Jessy menggigit bibirnya saat Terry mengatakan aturan yang harus ia patuhi selama menjadi tawanan pria itu. Ekspresi kaget, terluka dan sedih bercampur aduk di wajah bonekanya. Napas sang gadis terasa berat dengan tubuh yang terasa lemas."Kau tahu apa artinya, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada main main seraya menyeringai ke arah Jessy. Gadis itu tak menjawab pertanyaan dari sang ketua Mafia."Artinya kau tak memiliki kebebasan apapun dalam hidupmu karena aku yang akan mengendalikan semuanya. Jadi, bersiaplah dan jadilah boneka yang baik untukku," Terry mengelus lagi rambut hitam Jessy dengan lembut dan mencium aroma lembut yang keluar dari tubuh gadis itu, mengendusnya perlahan dengan senyum penuh makna yang tak pernah absen dari wajah tampannya."Karena kau sudah berada dalam kendaliku, aku akan memberikanmu tugas pertama, boneka kecil," Jessy mendongakkan kepala menatap Terry dengan tatapan kosong. Wajahnya yang terlihat sedih dengan mata hijau yang berkaca kaca. Terry juga
Jessy terkejut karena orang itu ada disini. Gadis itu tak bisa menyembunyikan senyuman dan rasa senangnya karena kehadiran orang itu.Terry ikut tersenyum tipis saat melihat senyuman Jessy yang merekah begitu indah layaknya bunga mawar. Pria itu mengira jika Jessy senang akan kedatangannya. Maka dari itu, ia mendekati Jessy dan menepuk kepala sang gadis dengan perlahan."Aku tahu aku tampan, jadi kau tak perlu tersenyum riang seperti itu saat aku datang menghampirimu," ujar Terry dengan begitu percaya diri serta mengusap rambut pirang miliknya yang menggunakan gaya rambut potongan undercut dengan percaya diri.Senyum yang terlukis di wajah Jessy memudar, digantikan dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di paras cantiknya. Gadis itu mengedipkan mata dua kali layaknya boneka yang tengah kebingungan."Apa maksud anda, Tuan?""Kau tersenyum karena aku datang. Benar?"Jessy menggaruk pipinya yang tak gatal saat mendengar pertanyaan Terry yang tampak begitu percaya diri. Mata doe hi
Jessy meneguk ludah paksa saat mendengar perkataan Jane. Tubuh Jessy menegang dengan wajah memucat mendengar ancaman itu. Bukan hanya mental yang diserang sebagai hukuman jika tak menuruti perintah Terry, tapi fisik juga?!Baiklah, Jessy merasa jika Terry adalah pria yang jauh lebih menakutkan dari yang ia kira. Jessy tak menyangka jika ia juga akan menghadapi peristiwa yang sama persis dengan novel yang ia baca di perpustakaan kota kemarin. Apakah ini hanya kebetulan atau takdir memang sengaja mempermainkannya?"Tapi kau tahu darimana jika tuan Terry juga memberlakukan hukuman fisik mengerikan seperti yang kau katakan? Tolong jangan menakutiku, Jane," Bisik Jessy penasaran namun juga takut akan jawaban yang keluar dari mulut Jane. Jane menghela napas melihat Jessy yang ragu akan ucapannya."Aku tak menakutimu, Jessy sayang. Hanya saja, tadi aku melihat dua orang wanita yang punggungnya penuh dengan luka cambuk saat akan datang kemari. Bukankah itu juga bisa men
"Kurasa telingamu masih berfungsi dengan baik, boneka kecil. Kita akan melakukan hal intim seperti ini sesering mungkin saat berada di mansion utama,"Terry berkata dengan nada sarkas seraya mengulangi apa yang ia ucapkan barusan. Mata coklatnya memindai wajah Jessy untuk melihat reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh gadis manis berwajah boneka itu.Kaget. Itu adalah satu hal yang bisa menggambarkan keadaan Jessy sekarang. Mata hijau itu membulat sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka. Pegangan gadis itu pada tangan Terry juga terasa sedikit melemah.Mulut Jessy sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mungil yang berwarna merah itu. Lidah gadis itu terasa kelu untuk bicara satu kata saja pada Terry.Terry menikmati wajah kaget dari gadis yang berada dalam dekapannya. Ekspresi yang Jessy tampilkan padanya selalu menarik perhatian, membuat pria itu merasa terhibur seolah te
Jessy meneguk ludahnya dengan gugup saat pertanyaan bernada dingin itu dilayangkan padanya. Jessy melirik ke arah lain, tak ingin bertatapan dengan Terry yang terlihat menakutkan saat ini."Lebih baik jangan memberontak jika kau tak mau dihukum, boneka kecil. Aku serius dengan ucapanku,"Tak mendapat respon dari lawan bicaranya, Terry meneruskan langkahnya menuju kamar yang akan Jessy tempati. Kaki pria itu dengan tegap melangkah di tangga dengan hati hati.Jessy bisa melihat ada 3 buah pintu di atas sana. Warna pintunya pun berbeda. Ada yang berwarna biru muda, hijau dan coklat muda. Gadis itu bertanya tanya dalam hati, mungkinkah ada maksud terselubung dari berbedanya warna dari ketiga pintu itu? Atau ini hanyalah bagian dari seni? Entahlah, tak ada yang bisa memberi Jessy jawaban. Ingin bertanya pun sang gadis segan.Setelah sampai di lantai kedua, Terry melangkahkan kakinya sebentar dan saat ini tengah berdiri di sebuah depan pintu berwarn
"Hah?"Jessy kelepasan bicara saat Terry tengah menodongkan pistol pada pria yang akan dijadikan pengawalnya itu. Sang gadis segera menutup mulutnya menggunakan tangan, saat melihat Terry menatap dirinya dengan tajam dan intens. Dalam sekian detik, suasana tampak mencekam layaknya film horor.Jantung Jessy berdetak kencang saat ia sadar telah melakukan kesalahan yang berkemungkinan membuat Terry marah. Napasnya terasa berat dan suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Maka dari itu, Jessy memaksakan diri dan segera membuka suara lagi, mencoba menetralkan situasi yang sempat terasa mencekam dan menakutkan."Maaf, Tuan. Saya hanya kaget," ujar Jessy menundukkan kepalanya, berusaha memutus kontak mata dengan Terry, berharap agar sang ketua Mafia tak lagi memperhatikannya."Kaget?" Ulang Terry dengan nadanya yang sedingin es, terdengar tidak suka dengan perkataan sang gadis. Jessy menganggukkan kepala seraya meneguk ludah paksa mendengar suara penuh int
"Apa maksud anda, Tuan?" Tanya Jessy dengan nada gugup seraya tertawa canggung menanggapi pertanyaan dari Terry.Gadis itu tak mau berasumsi ataupun berburuk sangka pada pria yang saat ini mengukung dirinya. Namun, pikirannya sulit sekali untuk diajak bekerja sama karena pada dasarnya perkataan Terry membuatnya berpikir negatif. Kalimat itu begitu ambigu, membuat Jessy tampak kebingungan harus menjawab apa.Terry tertawa kecil, tak menyangka jika gadis yang ia tawan terlihat begitu polos dan murni layaknya remaja yang tak tahu apapun. Ini cukup bagus untuk rencananya. Pria itu mengelus pipi Jessy dengan sebelah tangan dengan gerakan lembut, seolah Jessy adalah porselen mahal yang mudah sekali untuk pecah ataupun hancur."Kau tak mengerti maksud dari ucapanku, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada menggoda, berusaha membuat Jessy mengeluarkan sifat aslinya dan ingin tahu seberapa liar gadis yang ia tawan.Jessy menggelengkan kepala. Bukannya tak tah