Jessy bersama 31 gadis lainnya memasuki ruangan utama tempat para wanita yang sudah ditangkap dikumpulkan. Begitu masuk kedalam, Jessy sedikit terkesima dengan ruangan tempat ia berdiri.
Ruangan ini begitu megah dengan ukiran antik di tiap dindingnya yang berwarna emas. Selain itu, di ruangan ini terdapat beberapa patung estetik yang diletakkan di sudut ruangan. Sangat jauh berbeda dengan tampilan luarnya yang terlihat seperti pabrik terbengkalai yang terlihat menakutkan.
Tak lama kemudian, dari arah pintu yang berbeda terlihat seorang pria dengan pakaian formal datang memasuki ruangan tempat Renata dan para gadis lain berdiri saat ini. Kedatangannya diikuti beberapa pria gagah dengan pakaian serba hitam yang memegang senjata berupa pistol yang tersampir apik di kaki sebelah kiri.
Pria itu memiliki wajah yang yang cukup tampan dengan tatapan mata yang begitu tajam dan mengintimidasi, membuat Renata ketakutan hingga menundukkan kepalanya.
"Selamat datang di camp milikku para gadis cantik. Semoga kalian tak takut dengan tempat ini," pria itu berkata dengan nada sedingin es yang membuat bulu kuduk merinding ketakutan.
Sambutan yang terdengar mengerikan itu disambut dengan gelak tawa beberapa pria yang berdiri di setiap pintu, menjaga agar tak ada satupun tawanan yang bisa meninggalkan tempat ini.
"Kalian adalah gadis terpilih yang akan menjalani kehidupan seperti neraka sedari sekarang. Maka dari itu, persiapkan mental dan tubuh kalian," pria itu menyeringai lebar dengan tatapan tajam yang senantiasa membuat para gadis meringkuk ketakutan.
Jessy menelan ludah paksa mendengar kalimat mengerikan itu. Sang gadis menahan air matanya agar tak jatuh. Tubuhnya bergetar dengan detak jantung yang begitu cepat seperti hendak keluar dari tempatnya. Tangannya bertaut satu sama lain dibalik ikatannya, berdoa agar tidak menarik perhatian pria mengerikan itu.
"Wah lihat, ada boneka manis yang tertangkap disini,"
Suara maskulin dan dominan itu terdengar diseluruh penjuru ruangan. Para gadis yang berada disana saling melirik satu sama lain menggunakan isyarat mata, menanyakan siapa yang pria itu maksud.
Pria itu berjalan ke arah samping kiri dekat dinding dengan langkah pelan, membuat suara gesekan antara sepatu dan lantai begitu terdengar jelas di ruangan yang senyap ini. Suara menggema itu terasa sangat menakutkan layaknya musik kematian bagi yang mendengarnya.
Tubuh Jessy bergetar ketakutan karena pria mengerikan itu ternyata berjalan kearahnya. Ia ingin berlari kencang saat ini, meringkuk dibawah selimut dan berharap semua ini hanyalah bagian dari mimpi buruknya. Akan tetapi, rasa takut mengalahkan segalanya hingga sang gadis merasa jika kakinya menempel pada lantai yang ia pijak saat ini .
"Angkat kepalamu," perintah pria itu seraya menyalakan satu buah rokok dan menghisapnya dengan perlahan.
Jessy tak menuruti perintah pria di hadapannya karena ketakutan. Bahkan, sang gadis semakin menundukkan kepalanya, hingga poni yang ia miliki menutupi wajah cantiknya.
Pria itu menatap kesal pada Jessy karena gadis itu tak menuruti ucapannya. Maka dari itu, ia memegang dagu Renata dengan kasar lalu mengangkat kepalanya yang tengah menunduk agar bertatapan dengannya.
"Kenapa kau mengabaikan perintahku? Apa kau sudah bosan hidup, gadis kecil?"
Mulut Jessy sedikit terbuka. Akan tetapi, tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mungilnya yang berwarna merah alami itu. Pria itu kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan asap rokok itu pada Renata. Hal ini membuat sang gadis terbatuk dengan tindakan gila yang pria itu lakukan.
Pria itu makin mencengkeram dagu Jessy seraya memangkas jarak diantara keduanya hingga tersisa satu jengkal saja. Jessy menahan napas saat jarak dirinya dengan pria itu begitu pendek.
"Kenapa ada berlian ditengah kubangan lumpur?"
Pertanyaan aneh itu keluar dari mulut pria itu dengan seringai iblis yang tercetak di wajah tampannya yang seperti seorang aktor ternama. Mata coklat tajamnya bertatapan langsung dengan mata hijau milik Jessy yang terlihat ketakutan. Mata doe gadis itu terlihat berkaca kaca dengan bibir yang bergetar.
"T-tuan..."
"Sebut namaku, Terry Walter,"
Jantung Jessy berdetak kencang karena yang menghampiri nya adalah ketua Mafia yang paling ditakuti dan paling kejam seperti kata teman temannya. Lidah gadis itu terasa kelu, sangat sulit untuk bicara seolah pita suaranya tengah rusak.
"Tuan Terry, aku mohon lepaskan aku," cicit Jessy pelan hampir seperti bisikan halus Jika Terry tak mendengarnya dengan baik.
"Kenapa aku harus melepaskanmu, boneka manis?"
Terry mengelus pipi Jessy yang begitu halus layaknya porselen mahal yang mudah pecah. Sentuhan seringan bulu itu membuat Jessy ketakutan dalam diamnya. Terry tertawa puas melihat gadis yang tengah ia pegang dagunya merasa terintimidasi dan berada dibawah kendalinya. Perasaan senang dan puas menyeruak di hati pemuda itu.
"Karena..." Jessy menggantungkan kalimatnya mencari kata yang pas untuk menjawab pertanyaan dari Terry. Mata Jessy melirik ke arah lain, berusaha menghindar dari tatapan tajam pria itu.
"Karena anda tak memiliki alasan apapun untuk menahan saya dan teman teman saya disini,"
Terry tertawa kencang mendengar jawaban dari Jessy, diikuti oleh beberapa pria yang merupakan anak buahnya. Tawa Terry terdengar mengerikan di telinga Jessy.
"Tak memiliki alasan apapun untuk menahanmu?" Ulang Terry menekankan jawaban Jessy yang terasa menggelikan untuknya. Pria itu berkata dengan nada mengejek yang tak bisa ia sembunyikan.
"Jawabanmu terdengar lucu, boneka kecil. Tapi aku hargai keberanianmu untuk menjawab perkataanku," ejek Terry dengan nada rendah, membuat Jessy merasa malu sekaligus merasa tak nyaman disaat yang bersamaan.
"Hanya saja, aku tak perlu alasan apapun untuk menahanmu, boneka kecil. Kau mau tahu alasannya?"
Terry memainkan rambut hitam panjang milik Jessy dengan pelan sambil sesekali menghisap rokoknya. Ia bertanya dengan nada main main agar suasana tak terlihat tegang. Namun, nada suara Terry yang seperti ini justru terdengar lebih menakutkan untuk Jessy dibandingkan dengan saat Terry berbicara dengan nada dingin.
Jessy menganggukkan kepalanya dengan kaku, sedikit penasaran mengapa pria itu berani menangkap para gadis ditempatnya tinggal.
"Karena kau tak memiliki jaminan apapun untuk dibebaskan. Kau tak berharga dan tak akan ada yang mencarimu saat kau hilang. Itulah alasanku menahanmu dan teman temanmu disini, bukankah yang aku katakan itu benar, boneka kecil?" bisik Terry dengan nada rendah. Ia menjauhkan wajahnya dari telinga Jessy untuk melihat respon gadis itu.
Perkataan Terry membuat hati Jessy hancur berkeping-keping layaknya batu yang dihantam oleh palu. Kata kata itu sangat tajam dan mematikan. Wajah Jessy terlihat terluka dengan bibir yang melengkung turun. Melihat sang lawan bicara tak bisa berkutik lagi membuat senyuman tercetak lebar di bibir milik pria itu.
" Jadi, terima takdirmu untuk berada dibawah kendaliku jika kau mau dicintai, boneka kecil,"
"Aku tak akan pernah menuruti keinginanmu, Tuan Terry!"
Perkataan Jessy yang terdengar berani membuat Terry marah. Pria itu mengepalkan tangannya seraya menatap gadis berwajah boneka itu dengan tatapan tajam dan mengintimidasi."Kau berani melawanku, boneka kecil?" Tanya Terry setengah menggeram marah dengan nada rendah, merasa terusik dengan perkataan Jessy yang terlalu berani."Ya, saya berani melawan anda. Anda tak memiliki hak untuk menahan saya disini!"Jessy berteriak sekuat yang ia bisa, berusaha memberanikan diri untuk melawan pria itu, mengabaikan kakinya yang tampak gemetar. Raut wajahnya ia buat segarang mungkin agar tak diremehkan oleh Terry.Terry tertawa kencang untuk kedua kalinya mendengar perlawanan Jessy. Ia melempar rokok yang tersisa setengah ke lantai lalu menginjaknya dengan kasar, membuat para pria yang merupakan bawahannya meneguk ludah paksa melihat bosnya yang kini sedang dalam kondisi tak baik."Oh, kau berani menyahutiku rupanya. Bukankah barusan kau terlihat ketakutan? Kenapa sekarang mendadak menjadi berani, h
"Bawa para gadis ini ke sel tahanan yang berada di daerah Utara. Beri mereka makan dan lepaskan ikatan mereka. Aku akan memilahnya nanti," ujar Terry dengan nada dingin lalu melepaskan tangannya dari wajah Jessy. Setelah itu, Terry pergi keluar dari ruangan ini, diikuti beberapa pria gagah tadi yang Jessy perkirakan adalah pengawalnya. Jessy menghela napas lega saat Terry kini meninggalkannya. Jujur saja, berdekatan dengan Terry membuat Jessy begitu lelah.Para gadis tadi termasuk Jessy kembali digiring menuju sebuah bangunan besar yang berada di sebelah Utara gedung yang tadi ia pakai untuk berkumpul. Gedung yang ia masuki saat ini tak seluas gedung sebelumnya. Di ruangan ini, terdapat beberapa cctv dan pagar listrik yang menjulang begitu tinggi. Itu artinya, tak ada sedikitpun celah untuk kabur.Ikatan tali yang membelenggu Jessy dan teman temannya pun dilepaskan. Setelah itu, mereka semua diberi makan yang menunya berupa satu buah burger dengan satu botol air mineral. Makanan ini
Jessy diam membeku mendengar perkataan Terry yang membuatnya tak mengerti. Mainan? Apa maksud pria itu? Gadis itu memiringkan kepalanya menatap Terry dengan tatapan polos sekaligus penasaran. Ia ingin bertanya kembali namun terlalu takut untuk mengeluarkan suaranya. Berkaca dari pengalaman, sang gadis tak mau mengalami lagi kesalahan untuk ketiga kalinya. "Aku Terry Walter, orang yang berkuasa disini. Tugasmu adalah menuruti semua perkataanku dan jangan membantah perintahku jika tak ingin dihukum," Terry kembali mencengkeram dagu Jessy yang memar hingga sang gadis kembali merintih kesakitan. Pria itu tersenyum miring melihat Jessy menggigit bibirnya untuk meredam lenguhan sakit yang ia rasakan saat ini. "T-tuan," panggil Jessy pelan berusaha untuk menetralkan suaranya agar tak terdengar seperti orang kesakitan. "Tolong lepaskan tangan anda. Aku mohon," Jessy berkata dengan nada penuh harap. Wajahnya terlihat memelas dengan mata yang tertutup. Tubuh sang gadis juga tampak gemetar
Jessy menggigit bibirnya saat Terry mengatakan aturan yang harus ia patuhi selama menjadi tawanan pria itu. Ekspresi kaget, terluka dan sedih bercampur aduk di wajah bonekanya. Napas sang gadis terasa berat dengan tubuh yang terasa lemas."Kau tahu apa artinya, boneka kecil?" Tanya Terry dengan nada main main seraya menyeringai ke arah Jessy. Gadis itu tak menjawab pertanyaan dari sang ketua Mafia."Artinya kau tak memiliki kebebasan apapun dalam hidupmu karena aku yang akan mengendalikan semuanya. Jadi, bersiaplah dan jadilah boneka yang baik untukku," Terry mengelus lagi rambut hitam Jessy dengan lembut dan mencium aroma lembut yang keluar dari tubuh gadis itu, mengendusnya perlahan dengan senyum penuh makna yang tak pernah absen dari wajah tampannya."Karena kau sudah berada dalam kendaliku, aku akan memberikanmu tugas pertama, boneka kecil," Jessy mendongakkan kepala menatap Terry dengan tatapan kosong. Wajahnya yang terlihat sedih dengan mata hijau yang berkaca kaca. Terry juga
Jessy terkejut karena orang itu ada disini. Gadis itu tak bisa menyembunyikan senyuman dan rasa senangnya karena kehadiran orang itu.Terry ikut tersenyum tipis saat melihat senyuman Jessy yang merekah begitu indah layaknya bunga mawar. Pria itu mengira jika Jessy senang akan kedatangannya. Maka dari itu, ia mendekati Jessy dan menepuk kepala sang gadis dengan perlahan."Aku tahu aku tampan, jadi kau tak perlu tersenyum riang seperti itu saat aku datang menghampirimu," ujar Terry dengan begitu percaya diri serta mengusap rambut pirang miliknya yang menggunakan gaya rambut potongan undercut dengan percaya diri.Senyum yang terlukis di wajah Jessy memudar, digantikan dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di paras cantiknya. Gadis itu mengedipkan mata dua kali layaknya boneka yang tengah kebingungan."Apa maksud anda, Tuan?""Kau tersenyum karena aku datang. Benar?"Jessy menggaruk pipinya yang tak gatal saat mendengar pertanyaan Terry yang tampak begitu percaya diri. Mata doe hi
Jessy meneguk ludah paksa saat mendengar perkataan Jane. Tubuh Jessy menegang dengan wajah memucat mendengar ancaman itu. Bukan hanya mental yang diserang sebagai hukuman jika tak menuruti perintah Terry, tapi fisik juga?!Baiklah, Jessy merasa jika Terry adalah pria yang jauh lebih menakutkan dari yang ia kira. Jessy tak menyangka jika ia juga akan menghadapi peristiwa yang sama persis dengan novel yang ia baca di perpustakaan kota kemarin. Apakah ini hanya kebetulan atau takdir memang sengaja mempermainkannya?"Tapi kau tahu darimana jika tuan Terry juga memberlakukan hukuman fisik mengerikan seperti yang kau katakan? Tolong jangan menakutiku, Jane," Bisik Jessy penasaran namun juga takut akan jawaban yang keluar dari mulut Jane. Jane menghela napas melihat Jessy yang ragu akan ucapannya."Aku tak menakutimu, Jessy sayang. Hanya saja, tadi aku melihat dua orang wanita yang punggungnya penuh dengan luka cambuk saat akan datang kemari. Bukankah itu juga bisa men
"Kurasa telingamu masih berfungsi dengan baik, boneka kecil. Kita akan melakukan hal intim seperti ini sesering mungkin saat berada di mansion utama,"Terry berkata dengan nada sarkas seraya mengulangi apa yang ia ucapkan barusan. Mata coklatnya memindai wajah Jessy untuk melihat reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh gadis manis berwajah boneka itu.Kaget. Itu adalah satu hal yang bisa menggambarkan keadaan Jessy sekarang. Mata hijau itu membulat sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka. Pegangan gadis itu pada tangan Terry juga terasa sedikit melemah.Mulut Jessy sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mungil yang berwarna merah itu. Lidah gadis itu terasa kelu untuk bicara satu kata saja pada Terry.Terry menikmati wajah kaget dari gadis yang berada dalam dekapannya. Ekspresi yang Jessy tampilkan padanya selalu menarik perhatian, membuat pria itu merasa terhibur seolah te
Jessy meneguk ludahnya dengan gugup saat pertanyaan bernada dingin itu dilayangkan padanya. Jessy melirik ke arah lain, tak ingin bertatapan dengan Terry yang terlihat menakutkan saat ini."Lebih baik jangan memberontak jika kau tak mau dihukum, boneka kecil. Aku serius dengan ucapanku,"Tak mendapat respon dari lawan bicaranya, Terry meneruskan langkahnya menuju kamar yang akan Jessy tempati. Kaki pria itu dengan tegap melangkah di tangga dengan hati hati.Jessy bisa melihat ada 3 buah pintu di atas sana. Warna pintunya pun berbeda. Ada yang berwarna biru muda, hijau dan coklat muda. Gadis itu bertanya tanya dalam hati, mungkinkah ada maksud terselubung dari berbedanya warna dari ketiga pintu itu? Atau ini hanyalah bagian dari seni? Entahlah, tak ada yang bisa memberi Jessy jawaban. Ingin bertanya pun sang gadis segan.Setelah sampai di lantai kedua, Terry melangkahkan kakinya sebentar dan saat ini tengah berdiri di sebuah depan pintu berwarn