Langkah demi langkah telah ditempuh hingga hampir berada di tengah-tengah hutan. Embun-embun pagi menutupi pepohonan, udara terasa sangat dingin sehingga membuat gadis berambut merah jahe itu mengigil. Gadis cantik itu bernama Lily Harperwood. “Ibu. Ini dingin sekali.” “Bertahanlah sebentar. Kita akan mati jika berhenti di sini,” balas Rosby Harperwood, Ibu tiri gadis itu. Sekarang wanita itu berwajah sangat muram. Lily menghela nafas berat, dia merasakan semakin lama kakinya semakin sakit karena terus dipaksakan melangkah. Gadis itu bahkan tak menemukan apa pun yang ibu tirinya takuti. Dia tak bisa memahami wanita tua itu. Dia pun mulai memikirkan sesuatu yang mungkin akan menambah pendapatannya. “Bu, apakah kau masih menyimpan uangku?” “Masih. Memangnya kenapa?” tanya Rosby dengan membentak. Gadis itu terlalu banyak bertanya sepanjang perjalanan. “Aku akan ambil uangku lima juta untuk menanam cabai di kebun. Aku dengar-dengar banyak yang mengatakan jika beberapa bulan lagi har
“Tuan! Tolong jangan lakukan itu. Aku tidak punya salah apa pun,” mohon gadis itu tanpa menolehnya. Tuan Kendrick tersenyum tipis. “Akan melakukan apa, hm?” “Tangannya,” ucap gadis itu dengan air mata yang menetes. Kali ini dia menatapnya. Sudut bibir Kendrick terangkat tipis. “Oh, maaf,” ucapnya melepaskan pundak gadis itu. Kendrick menghela nafas. Tiba-tiba dia teringat dengan masa-masa indah bersama wanita yang paling dicintainya, Marry Jasmine Bahesmana. Dia adalah ibu pria itu sekaligus dunianya. “Siapa namamu?” “Li-Lily,” jawab gadis itu malu-malu. Kendrick menatap padanya. Sehingga kedua mata saling bertemu. “Nama yang cantik,” puji Kendrick dengan lembut. Dia mengalihkan pandangannya lagi ke depan. Senyumnya mengembang. Lagi-lagi, dia mengingat momentum indah itu. “Lily. Bagaimana perasaanmu ketika ibumu dibunuh secara sadis di depan matamu?” Air mata gadis itu mulai menetes. Dia gemetar saat mengingat kejadian sadis itu. Dengusannya mulai terdengar, tangisan sekara
Perlahan mata Lily terbuka. Entah mengapa tatapannya buram, gadis itu menggosok matanya. Dia kemudian membukanya perlahan.Gadis itu menatap ke seluruh penjuru kamar, dia sangat bingung. Lily tak mengingat apa pun yang terjadi. Dia tak mengerti mengapa dia bisa berada di kamar ini.Kamar yang mewah nan megah. Lily tak pernah melihat kamar sebesar ini kecuali di televisi. Desain kamar itu sangat modern dengan bernuansa alam, putih dan coklat kayu.Lily menyentuh kepalanya. Rasanya kepala seperti berdenyut-denyut. Sekujur tubuhnya juga terasa sakit semua.“Apa yang telah terjadi?”Derap kaki seseorang mulai terdengar. Lily kembali ketakutan, dengan cepat dia menutup tubuhnya dengan selimut. Semakin lama suara itu semakin mendekat.Sorot matanya terus menatap ke arah pintu. Sekarang tubuh gadis itu bergetar. Namun, dia juga seperti tak bisa menggerakkan tubuhnya.Benar saja, yang datang adalah Tuan Kendrick. Dia memegang jas hitamnya di lengan kiri. Dasinya tampak berantakan, deng
“Sudah siap!”Aroma masakannya tercium sangat kuat. Lily sampai menelan ludah, saat Kendrick membawa makanannya di depan Lily. Tumis daging iris bumbu kecap dengan beberapa sayuran kukus membuatnya tak sabar ingin makan.Gadis itu tersenyum menatap makanannya, dia lalu menatap Kendrick dengan sangat senang. Kendrick memberikan sepiring nasi pada gadis itu. “Terima kasih, Tuan.”Kendrick menatapnya lembut dengan sedikit senyuman. Dia suka melihat gadis itu tersenyum. Rasanya tak sampai hati jika dia menyakiti gadis polos yang tak tahu apa pun itu.Gadis itu makan sangat lahap. Tampaknya dia sangat menyukai sayuran hijau.“Bagaimana?”“Ini makanan terenak yang pernah ada!” ucap Lily dengan mulut terisi.Kendrick hanya tersenyum. Dia mencicipi makanannya sendiri. Rasanya memang enak, tapi tidak terlalu spesial bagi dia.“Lebih enak dari pada masakan Rosby?”Gadis itu langsung terdiam dengan wajah muram. Dia langsung teringat kejadian memilukan itu.“Dia tak bisa memasak.”“A
Melangkah dengan terus memerhatikan peta. Kendrick masih sangat bingung dengan peta itu. Entahlah, dia benar-benar tidak tahu di mana tempat itu berada meskipun dia sering berkeliling ke semua tempat di negaranya dan dia juga telah mengunjungi semua negara.Dia masuk ke kamar Lily. Gadis itu sedikit terkejut atas kedatangan Kendrick. Pria itu menuju ranjang, duduk di samping Lily.Perhatian Kendrick terus tertuju pada peta itu. Wajahnya tampak resah serta muram. Itu membuat Lily penasaran dengan apa yang Tuan Kendrick lihat.Dia mendekat dengan perlahan. Gadis itu berusaha mencuri pandang pada petanya.“Apa itu?” gumam Lily penasaran karena pandangannya tak jelas.Kendrick tiba-tiba menoleh padanya. Secepat kilat gadis itu mengalihkan pandangan. Saat itu jantung Lily berdebar-debar.“Kau Penasaran?”Lily hanya menggeleng. Dia tak berani menatap Kendrick.“Mendekatlah. Aku ingin tanya sesuatu.”Barulah Lily berani menatap. Tatapan mata gadis itu terlihat polos dan lugu, apalag
Duduk bersama di depan dapur, Lily dan Liza tak sabar menantikan gurami bumbu asam manis buatan Bibi Sartika.Di samping itu, Liza menoleh pada Lily dengan tangan kanannya yang menopang kepala. Dia menatapnya dengan pikiran yang bertanya-tanya. “Hei.”“Padahal kamu suka makan, kok gak gendut-gendut, sih?” tanya Liza yang sebenarnya iri. Berat badan gadis itu memang mudah naik.“Udah gen DNA. Kenapa? Kau Iri?” balas Lily dengan raut menyebalkannya. Tapi dia juga bermaksud bercanda.“Idih!” cela Liza memutarkan matanya ke samping. Dia mengalihkan pandangan, menurunkan tangan kanannya dan kembali menopang kepala dengan tangan kiri.“Aku hanya becanda, Liza,” bujuk Lily tertawa ringan padanya. Liza tak memedulikannya, tapi sebenarnya dia tersenyum.Gurami itu pun sudah siap. Bibi Sartika membawakannya ke atas meja. Kedua gadis itu langsung berebutan mengambil dagingnya, mereka memang sama-sama suka ikan tawar. Sampai akhirnya bagian itu dagingnya habis, Bibi Sartika pun membalik g
“Tuan, kau menungguku?” Saat itu Kendrick membakar rokoknya, tatapannya tajam pada Lily. Pria itu tak menjawab pertanyaannya, tiba-tiba dia beranjak. Pria itu masuk ke dalam mobil. Lily menghela nafas berat. Dia melangkah memasuki mobil, mengambil posisi duduk di samping Kendrick. “Kita akan ke mana?” Pria itu tak menjawab, dia tetap fokus pada setirnya. Lily lelah dengannya, gadis itu pun mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Kau marah karena aku tak menjawabmu?” Lily itu tak memedulikannya. Dia hanya menoleh sebentar, lalu mengabaikannya lagi. Pria itu melirik padanya. Dia tersenyum. Sebuah kafe out door yang berdampingan dengan laut lepas. Saat itu udaranya sejuk dan anginnya bertiup tak terlalu kencang. Kendrick sering berkunjung ke kafe ini karena menyukai pemandangannya. Duduk bersama sambil menikmati pemandangan laut, Kendrick melirik pada gadis yang masih marah itu. Wajahnya tetap murung, dia bahkan tak mau menoleh sedikit pun pada Kendrick. Padahal tadi Kendrick
Alarm berdering tepat di pukul 5 pagi. Mata Lily membuka perlahan, dia bangun dengan meregangkan otot-ototnya. Setelah mematikan alarm, gadis itu menggaruk-garuk kepala, saat itu dia masih setengah sadar. Matanya dalam kondisi terpejam. Lily membuka mata, dia pun dikejutkan oleh dua potong roti dan juga segelas susu di samping alarm itu. Itu adalah sandwich isi sayur selada, tomat, bawang bombai dan irisan daging sapi. Gadis itu mengambil satu potong roti dan susu itu. Dia tersenyum dengan perasaan heran. “Siapa yang meletakkannya di sini?” Lily melahap potongan roti itu hingga habis. Dia merasa seperti putri raja jika dilayani seperti itu. Gadis itu menginginkannya setiap hari. Setelah puas menghabiskan sandwich itu, dia meneguk susu hangatnya hingga habis. Dia menghela nafas lega. Tanpa sengaja dia juga bersendawa. “Ah. Aku makan lebih baik di sini daripada rumah sendiri.” Beranjak dari ranjangnya. Dia mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. “Andai saja dari dulu seperti
Lily menoleh pada jam dinding, tak terasa sudah pukul 17.54. Gadis itu menunggu selama berjam-jam hingga senja telah larut. Wajahnya menunduk dengan penuh rasa khawatir. Ibu Alexandria tidak datang-datang, sedangkan Kendrick masih belum pulang. Lily sangat bingung dengan apa yang terjadi.Bahkan dia telah menelepon Kendrick berulang kali, namun tak diangkat. Itu membuatnya semakin khawatir dan gelisah dengan keadaan pria itu. Lily takut dia adalah masalah di jalan atau yang lebih parahnya lagi kecelakaan.“Sebenarnya ini ada apaan, sih? Kok aneh banget?”“Apa jangan-jangan Ibu Alexandria menipuku, ya? Kenapa coba dia dia gak datang, padahal dia sudah berjanji dengan Kendrick.”Lily menghirup nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Itu membuat dirinya menjadi lebih tenang. Dia masih tak bisa percaya ibu Alexandria melakukan hal ini padanya, tanpa memberikan alasan yang jelas mengapa dia tak datang.“Sepertinya aku tidak boleh mempercayai siapa pun.”Gadis itu beranjak dari
“Eh ... sebenarnya memang benar jika Danielle adalah temanku, tapi itu dulu sekarang tidak. Itu karena terjadi sebuah pertengkaran antara aku dengannya, sehingga aku menghapus nomornya begitu saja. Maaf, saat itu aku terbawa emosi.”Lizy bahkan tak memejamkan matanya menatap mata laki-laki itu. Tatapan tajam gadis itu membuat Alvin takut untuk menoleh padanya. Lizy bisa melihat kebohongan pria itu dengan melalui ketidak tenangan rautnya.“Jangan berbohong! Apakah kau tidak lihat kau sedang berhadapan dengan siapa?” “Aku bisa membaca bahasa tubuh maupun pikiranmu dengan sekali lihat. Jangan pernah lupa jika aku kuliah jurusan psikologis.”Alvin mengangkat wajahnya, dia menatap sinis pada gadis itu. Dia akui apa pun yang Lizy katakan memang benar, tebakannya tak pernah luput. Oleh karena itu Lizy selalu dianggap ancaman.“Terserah kau saja, meski kau menganggapku munafik pun aku tak peduli,” bantah Alvin tak terima.Pria itu membuka ponselnya. Dia menekan bagian kontak dan mulai
Di dalam kamar Kendrick yang telah tertutup rapat, suara ponsel terus berdering di atas meja kerjanya. Tak seorang pun yang bisa mendengar karena luasnya kamar tersebut. Ponsel itu tertinggal karena Kendrick terburu-buru pergi demi menghindari pertanyaan Lily.Saat ini pria itu sedang duduk di sebuah kafe out door. Pandangannya begitu kosong, menatap polos pada keramaian orang-orang di jalan itu.Dia menarik nafas dengan berat, lalu menghembuskannya perlahan. Mengangkat secangkir kopi hangatnya, lalu menyeruput perlahan.“Andai saja saat itu aku tak meninggalkan ayah, semua ini mungkin tak akan terjadi.”Kendrick sangat menyesali perbuatannya saat itu. Hal paling menyakitkan dalam hidupnya adalah mengambil keputusan yang sering dianggap sepele. Kendrick tak mengerti mengapa semua hal yang dia anggap kecil selalu menjadi besar, seperti keputusannya untuk menyembunyikan Kakek Bretton dan ayahnya di ruangan yang dia anggap aman.Padahal mereka berdua masing-masing telah dia berikan
Bibir Lily semakin terangkat dengan sudutnya yang menurun. Sangat menyakitkan baginya untuk semua itu. Dia masih tak bisa meninggalkan Kendrick.Tanpa ragu-ragu lagi, Lily memeluk Kendrick dengan erat. Merasakan hangatnya tubuh Lily, membuat Kendrick merasa panas dingin. Kendrick meneguk salivanya sendiri saat merasakan kedua tangan kecil Lily yang melingkar ditubuhnya itu memberikan sensasi geli yang terangsang syahwatnya.Kendrick tak memedulikan apa yang sedang Lily pikirkan, dia sedang berusaha menahan dirinya untuk tak melakukan apa pun.“Tuan, kau tak mau bertemu denganku lagi bukan karena kau ingin pindah alam, kan?”Kendrick tak menyangkal apa yang dia katakan. Bisa-bisanya gadis itu berpikir seperti itu?“M-maksudnya?”Lily melepaskan pelukannya dan melihat pada Kendrick. Mata mereka saling bertemu dengan saling bertanya-tanya.“Tuan tidak paham?”Pria itu merasa malu dengan pertanyaan bodohnya itu. Mengalihkan pandangan ke hal lain sambil memikirkan cara untuk menjaw
“Melepasmu?”“Untuk apa aku takut melepasmu, Lily?”Kendrick tersenyum, lalu tertawa. Saat itu sebenarnya dia menertawakan dirinya sendiri yang berpikir aneh. Lily bukanlah segalanya, dia hanya gadis yang dia tawan di rumahnya dan dirinya malah menaruh perasaan pada gadis itu.Senyum pria itu memudar dengan begitu cepat. Dia menjadi tampak murung.“Selamat, Lily.”Kendrick menjulurkan tangannya pada gadis itu. Tapi Lily hanya memerhatikan tanpa menggerakkan tangannya sedikit pun.“Selamat akhirnya kau bertemu dengan orang tuamu. Hari ini adalah hari berakhir kita bertemu. Setelah ini kita akan benar-benar berpisah.”Kendrick bahkan tak menurunkan tangannya walaupun tahu Lily hanya diam saja.”Lily mulai mengerti dengan maksudnya, dia tak mengerti mengapa Kendrick tak mau menemuinya lagi setelah ini.Dengan senyum lebar dia menerima jabatan tangannya. “Terima kasih, Tuan. Terima kasih atas semuanya.”Kendrick merasa seperti berkeringat panas dingin. Dia merasa senang sekaligu
Kendrick merebahkan tubuh di sofa. Pandangan matanya kosong tertuju pada langit-langit atap. Dadanya terasa seperti panas, terkadang dia menghirup nafas dengan berat dan menghembuskannya seakan menghembuskan kesedihannya.Hari ini Lily dan Liza masih belum datang, padahal sudah jam dua siang. Entah ke mana kedua gadis itu sampai selama ini. Tapi Kendrick tak merasa khawatir karena ada Danielle yang menjaganya.Walau begitu Kendrick tetap tak bisa tenang. Di pikirannya hanya ada wajah Lily. Kendrick masih ingat saat pertama kali bertemu dengan gadis itu, Lily begitu ketakutan melihat dirinya kala itu. Bagi Kendrick gadis itu berbeda dengan gadis lainnya, yang selalu menginginkan uang, barang branded dan hidup yang mewah, sedangkan Lily yang terpenting hanya makan.Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, Kendrick masih merasa dia baru kemarin membawa Lily ke rumah ini. Sekarang Lily telah menemukan keluarganya. Sebentar lagi, Kendrick tak akan mendengarkan suaranya lagi di rumah ini.
“Iya. Aku sebenarnya sedih melihat Lily yang dirundung seperti itu. Sebenarnya Lizy sudah memperingatkan Lily untuk tidak curiga jika keluarga Hartberg itu keluarganya.” “Gadis itu seperti tidak ingin jika Lily itu benar-benar adik kandungnya. Dia bahkan sampai meneriaki Lily agar tidak mendekati keluarganya lagi di depan umum.” Darah Nyonya Alexandria sebenarnya memuncak sampai ubun-ubun sampai wajahnya sedikit memerah. Tangannya mengepal begitu erat. Dia menghela nafas, berusaha mengeluarkan udara panas dalam tubuh. “Maafkan dia, Kendrick. Kau pasti juga marah karena Lizy sangat jahat dengan Lily.” “Sifat Lizy memang begitu. Aku tidak tahu mengapa, aku bahkan tidak bisa mengubah sifatnya meskipun aku sendiri sering memarahi anak itu.” “Tapi mungkin setelah lama serumah dengan Lily, mungkin sifatnya akan berubah. Lily sepertinya gadis yang baik dan perhatian. Mungkin dia bisa mengubah sifat anak pertamaku itu.” Alexandria mengembangkan senyumnya, tapi dia tidak bisa
Pintu mobil terbuka. Pria bertubuh kekar dengan kemeja putih yang memperlihatkan tubuh indahnya keluar. Sorot pandangnya tertuju pada rumah wanita yang kerap di sapa Nyonya Alexandria. Dia bukanlah sembarang wanita, dia adalah memilik perusahaan brand pakaian terbesar di seluruh negeri.Mulai melangkahkan kaki. Hari ini Kendrick berniat mempermalukan Lizy di hadapan keluarganya langsung, gadis yang pernah menolak cintanya dan menghinanya saat masih kuliah. Mungkin berbalas dendam pada gadis seperti itu adalah tindakan pengecut yang tidak maskulin. Namun, demi memulangkan tawanan kesayangannya itu, Kendrick terpaksa melakukannya dan tak memikirkan apa yang akan terjadi padanya nanti.Kendrick tak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Dia sudah terlanjur mencintai Lily. Terlanjur sayang dan tak ingin kehilangan gadis itu.Dia mungkin bisa saja menikahi Lily setelah gadis itu resmi menjadi anggota keluarga Hartberg. Tapi dia tak bisa, itu semua karena dia telah membuat janji dengan s
“Maaf, Lizy. Aku tidak menyuruh ibumu untuk menemuiku. Dia sendiri yang tiba-tiba datang.”Tatapan Lizy semakin menajam sinis. “Aku tidak peduli akan itu.”“Di sini aku hanya mengingatkanmu, jika kau mengulangi kesalahan yang sama lagi, maka kau akan lihat sendiri nanti akibatnya!” Gadis tak beradap itu enyah dari hadapannya. Lily melihatnya dari bawah hingga ke atas, seringai licik menghiasi bibirnya.Liza masih bingung dengan apa yang sedang terjadi. Gadis yang tadi itu adalah salah satu pewaris kekayaan keluarga Hartberg. Permasalahan apa yang Lily hingga dia begitu marah?“Kau punya masalah apa dengan anak konglomerat itu?” tanya Liza begitu penasaran. Senyum Lily mengembang. “Masalah kecil. Lagi pula itu juga kesalah pahaman. Nanti dia akan menyadarinya sendiri, kok.”Hal yang mereka tidak ketahui. Di balik itu semua adalah pria dengan hoodie hitam, kacamata bening dan masker yang telah merekam semua kejadian itu. Dia adalah Danielle Perterson, pesuruh sekaligus mata-m