Happy Reading*****Syaif salah tingkah, wajahnya tegang mendengar kalimat sahabatnya tadi. "Kok, kamu tahu, sih?""Nggak usah macam-macam, Sya. Fitri belum halal kamu sentuh-sentuh seenaknya. Apa susahnya nunggu besok," nasihat Amir. Jelas, dia tidak ingin sahabatnya salah jalan seperti kejadian lalu."Ish, aku nggak sentuh kok. Aku cuma pengen foto bareng dia yang make gaun pengantin saja, masak nggak boleh?" gerutu Syaif dengan wajah cemberut."Kamu itu kalau dibilangin kok ngeyel, sih. Lagian, cuma nunggu beberapa jam lagi masak nggak nahan." Amir benar-benar dibuat geram dengan tingkah sahabatnya. "Elah, Mir. Kamu juga pasti sering ngerasain kayak aku ke Kiran. Nggak bisa nahan pas lagi kangen banget. Solusinya, ya, cuma ketemuan walau cuma sebentar." Syaif menaikkan garis bibirnya. Sesaat kemudian, terlihat Fitri yang keluar dari kamar pas dengan gaun penganti. "Ish, aku sama Kiran udah halal. Kalau kamu sama Fitri belum ada segel itu. Jadi, jangan sembarangan."Syaif tidak be
Happy Reading*****Kiran menatap Fitri dan Syaif bergantian. "Hmm, anu, Tan," ucapnya tak tahu harus menjelaskan bagaimana pada perempuan paruh baya yang telah melahirkan Syaif."Anu apa, Ran?" tanya perempuan paruh baya tersebut. Fitri menarik ujung lengan kemeja kekasihnya. Wajahnya kini mulai dipenuhi keringat. Bukan cuma di dahi, tetapi seluruh wajah. Apa yang dia takutkan, terjadi. Kiran sudah mengetahui keberadaan Syaif di ruang pas tadi. "Itu, lho, Tan. Tadi, saya bertaruh dengan suami kalau Pak Syaif bakalan datang ke sini karena nggak bakalan bisa tahan untuk ketemu Fitri yang cantiknya kebangetan. Malah saya sengaja mengirimkan foto Fitri pada Pak Syaif supaya beliau cepat datang. Terbukti, beliau langsung datang ke kamar pas tanpa menyapa kita dulu," alibi Kiran. Dalam hati, dia merutuki dirinya sendiri. Akibat mulutnya yang tidak di rem, perempuan itu malah berbohong besar. "Iya, Ma, begitu," sahut Syaif. "Dasar kalian, ya, sahabat sendiri dipakai taruhan.""Sudah ...
Happy Reading*****"Papa?" Syaif menoleh, di belakangnya ada Wijananto dan lelaki paruh baya yang sangat dia hormati."Apa?" sahut lelaki paruh baya yang menggunakan kemeja batik senada dengan gamis yang dikenakan mamanya Syaif. "Malu-maluin aja pertanyaanmu. Masak iya, Papa harus selalu kalah dari Om Wijananto bahkan sampai anak keturunan Papa juga kalah dari anaknya."Orang yang disebut namanya itu tersenyum, merangkul sahabatnya yang sejak dulu memang ingin selalu unggul di atasnya. "Udahlah, Wir. Kamu dan anakmu nggak akan pernah bisa mengalahkan aku dan Amir," kata Wijananto."Papa," peringat Amir sambil tersenyum."Nggak usah ngejek gitu, Mir. Kebetulan saja, kalian berdua lebih dulu nikahnya. Jadi, untuk pengalaman yang begituan, kami harus belajar dari kalian," kata Wiranto, papanya Syaif."Nah, itu dia, Pa. Nanti, kita pasti bakalan menang, Pa," sahut Syaif. "Memang apaan?" timpal Amir agak terkejut. "Memang dalam hal anak. Pokoknya, begitu kata sah sudah terdengar, aku m
Happy Reading*****Setelan rok cokelat tua dan juga blazer dengan warna lebih muda dipadu dengan jilbab senada membuat perempuan pemilik nama Kirani Aina Apsarini mantap memasuki kantor baru. Sudah lama si gadis mengajukan perpindahan pada sang atasan agar bisa berkumpul satu kantor dengan sahabatnya yang bernama Fitriya. Sebelum turun dari motor, Kiran melirik arloji yang terpasang pada tangan sebelah kiri. "Alhamdulillah, aku enggak telat karena musibah tadi," katanya sendirian.Harusnya, gadis itu bisa datang lebih awal jika tidak ada tragedi ban bocor. Melangkah dengan mantap disertai bacaan basmalah, dia masuk ke kantor baru. Sampai di depan meja resepsionis, terdengar suara menggelegar oleh inderanya. "Kalian niat kerja apa nggak? Gimana perusahaan mau maju jika karyawan bekerja seenak udelnya. Dengar, ya! Disiplin itu kunci sukses. Jangan sepelekan!" ucap seorang lelaki dengan kemeja warna kuning gading. Keras disertai sorot tajam dan wajah menyeramkan. Kiran berdiri memat
Happy Reading*****Keluar dari ruangan si Bos, sekujur tubuh Kiran dibanjiri keringat. Jilbab yang dikenakannya saja terlihat basah di bagian kepala padahal dia menggunakan dalaman jilbab. Si gadis berjalan gontai menuju ruang produksi yang disiapkan untuknya, diantar Syaif. Satu senyuman diberikan oleh sang manajer HRD pada seorang perempuan yang mejanya bersebelahan dengan meja Kiran. Gadis itu melirik dan saat itulah wajahnya berubah. Dua perempuan itu saling melempar senyum."Apa kalian saling mengenal?" tanya Syaif."Dia sahabat saya, Pak," jawab gadis di hadapan si manajer yang bernama Fitriya."Oo, begitu. Tolong bantu dia, Fit. Jelaskan apa-apa yang harus dikerjakan di sini. Walau di pusat dia sudah ahlinya, tapi keadaan di cabang berbeda.""Siap, Pak." Fitri antusias menyambut sahabatnya. "Saya tinggal dulu. Selamat bekerja, semoga kamu betah berada di cabang ini," kata Syaif sambil mengulurkan tangan pada Kiran. Namun, ditolak secara halus oleh gadis dengan menangkupkan
Happy Reading*****"Saya, Pak," ucap Kiran gemetaran disertai jari telunjuk yang mengarah ke wajah. Amir menutup teleponnya dan menatap gadis itu lekat. "Iya kamu. Siapa lagi yang ada di sini selain dirimu, dasar cewek aneh.""Ada apa, Pak?" Kiran masih gemetaran, tangannya meremas ujung blazer. "Taruh kunci ini di meja ruanganku," kata Amir yang langsung berbalik arah menuju parkiran. Namun, beberapa langkah kemudian, dia berbalik menoleh pada Kiran. "Terima kasih." Setelahnya dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari si gadis."Untung dia enggak marah karena kejadian tadi," kata Kiran. Gadis itu bernapas lega karena si bos tidak mengungkit kejadian di kafe tadi.Sepeningal si bos, Kiran tak langsung memenuhi permintaan tersebut. Gadis itu memilih berdiam di pos satpam beberapa menit, berusaha menetralkan ketakutannya. Beberapa saat setelahnya, barulah masuk dan menuju ruangan si bos. Takut-takut perempuan berjilbab itu membuka pintu berwarna biru wardah yang bertuliskan
Happy Reading*****Kiran memukul lengan sahabatnya pelan. Gemas sekali karena Fitri terus mengolok-oloknya memiliki hubungan spesial dengan si bos. Mereka berdua terus bersenda gurau hingga Kiran mendapat chat dari Wijananto."Kerja, yuk. Big Father udah ngasih warning," ucap Kiran."Sayang banget kayaknya beliau sama kamu. Jangan-jangan, kamu benar-benar punya hubungan spesial sama sang putra mahkota." Fitri mencolek dagu sahabatnya, menggoda Kiran."Berhenti, enggak!" Tangan Kiran siap memukul Fitri, sengaja menakuti gadis itu. Fitri menjulurkan lidah ketika pukulan sahabatnya bisa ditangkis. Dia lebih cepat menggerakkan kursi, pindah posisi."Kerja ... kerja biar nggak ditelpon si bos lagi. Ntar dikata kita bercanda terus," ucap Fitri setelah puas menggoda sahabatnya."Hmm, padahal dia sendiri yang ngajak guyon dari tadi," sahut Kiran. Walau mulutnya berkata demikian, tetapi tangannya sudah mulai menari dia tas keyboard komputer, menyelesaikan tugas dari sang atasan di pusat.Ke
Happy Reading*****Pulang dengan rasa jengkel, Kiran melajukan motornya dengan cepat. "Kok, ada lelaki menyebalkan seperti itu?" gerutunya sepanjang perjalanan. Mungkin, jika bukan karena ingin dekat dengan Fitri, Kiran akan minta mutasi lagi ke pusat. Dia tidak mau bekerja dalam tekanan dan bertemu dengan Amir setiap hari.Mengucap salam ketika memasuki rumah, Kiran melihat wajah teduh perempuan yang telah melahirkannya. Segera memeluk perempuan paruh baya itu dengan segenap jiwa. "Eh, ini kenapa?""Bentar saja, Bu." Kiran mengeratkan pelukannya."Tumben, sih." Perempuan paruh baya dengan daster rumahan itu mengajak putrinya duduk di sofa ruang tengah sambil memeluk. "Lagi ada masalah di kantor, ya? Nggak biasanya kamu pulang kerja manja gini."Bukannya malu dikatakan manja, Kiran malah meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu. "Enggak ada masalah, Bu. Cuma agak capek saja. Maklum, pertama kerja di kantor baru, butuh banyak penyesuaian."Selalu, Kiran berusaha menutupi semua yan
Happy Reading*****"Papa?" Syaif menoleh, di belakangnya ada Wijananto dan lelaki paruh baya yang sangat dia hormati."Apa?" sahut lelaki paruh baya yang menggunakan kemeja batik senada dengan gamis yang dikenakan mamanya Syaif. "Malu-maluin aja pertanyaanmu. Masak iya, Papa harus selalu kalah dari Om Wijananto bahkan sampai anak keturunan Papa juga kalah dari anaknya."Orang yang disebut namanya itu tersenyum, merangkul sahabatnya yang sejak dulu memang ingin selalu unggul di atasnya. "Udahlah, Wir. Kamu dan anakmu nggak akan pernah bisa mengalahkan aku dan Amir," kata Wijananto."Papa," peringat Amir sambil tersenyum."Nggak usah ngejek gitu, Mir. Kebetulan saja, kalian berdua lebih dulu nikahnya. Jadi, untuk pengalaman yang begituan, kami harus belajar dari kalian," kata Wiranto, papanya Syaif."Nah, itu dia, Pa. Nanti, kita pasti bakalan menang, Pa," sahut Syaif. "Memang apaan?" timpal Amir agak terkejut. "Memang dalam hal anak. Pokoknya, begitu kata sah sudah terdengar, aku m
Happy Reading*****Kiran menatap Fitri dan Syaif bergantian. "Hmm, anu, Tan," ucapnya tak tahu harus menjelaskan bagaimana pada perempuan paruh baya yang telah melahirkan Syaif."Anu apa, Ran?" tanya perempuan paruh baya tersebut. Fitri menarik ujung lengan kemeja kekasihnya. Wajahnya kini mulai dipenuhi keringat. Bukan cuma di dahi, tetapi seluruh wajah. Apa yang dia takutkan, terjadi. Kiran sudah mengetahui keberadaan Syaif di ruang pas tadi. "Itu, lho, Tan. Tadi, saya bertaruh dengan suami kalau Pak Syaif bakalan datang ke sini karena nggak bakalan bisa tahan untuk ketemu Fitri yang cantiknya kebangetan. Malah saya sengaja mengirimkan foto Fitri pada Pak Syaif supaya beliau cepat datang. Terbukti, beliau langsung datang ke kamar pas tanpa menyapa kita dulu," alibi Kiran. Dalam hati, dia merutuki dirinya sendiri. Akibat mulutnya yang tidak di rem, perempuan itu malah berbohong besar. "Iya, Ma, begitu," sahut Syaif. "Dasar kalian, ya, sahabat sendiri dipakai taruhan.""Sudah ...
Happy Reading*****Syaif salah tingkah, wajahnya tegang mendengar kalimat sahabatnya tadi. "Kok, kamu tahu, sih?""Nggak usah macam-macam, Sya. Fitri belum halal kamu sentuh-sentuh seenaknya. Apa susahnya nunggu besok," nasihat Amir. Jelas, dia tidak ingin sahabatnya salah jalan seperti kejadian lalu."Ish, aku nggak sentuh kok. Aku cuma pengen foto bareng dia yang make gaun pengantin saja, masak nggak boleh?" gerutu Syaif dengan wajah cemberut."Kamu itu kalau dibilangin kok ngeyel, sih. Lagian, cuma nunggu beberapa jam lagi masak nggak nahan." Amir benar-benar dibuat geram dengan tingkah sahabatnya. "Elah, Mir. Kamu juga pasti sering ngerasain kayak aku ke Kiran. Nggak bisa nahan pas lagi kangen banget. Solusinya, ya, cuma ketemuan walau cuma sebentar." Syaif menaikkan garis bibirnya. Sesaat kemudian, terlihat Fitri yang keluar dari kamar pas dengan gaun penganti. "Ish, aku sama Kiran udah halal. Kalau kamu sama Fitri belum ada segel itu. Jadi, jangan sembarangan."Syaif tidak be
Happy Reading*****Syaif juga mulai gelisah karena pertanyan Kiran. Namun, dia berusaha tenang supaya bisa memikirkan jalan keluar agar dirinya dan Fitri tidak dipergoki berduaan di kamar pas yang mungkin akan menimbulkan prasangka negatif semua orang."Yang, gimana ini?" tanya Fitri, sekali lagi. Wajahnya memucat. "Semua ini gara-gara kamu." kelopak matanya mulai dipenuhi embun."Sayang, jangan nangis, dong. Gini aja, kamu buka pintunya. Ngomong sama Kiran kalau kamu baik-baik saja. Jangan biarkan dia masuk. Oke?" kata Syaif memberikan instruksi pada kekasihnya."Fit, kamu masih di dalam, kan?" tanya Kiran sekali lagi karena sahabatnya itu masih belum membalas perkataan sebelumnya. "Cepatan ngomong. Biar dia nggak makin curiga," pinta Syaif. Lelaki itu mulai mencari tempat yang sekiranya tidak akan dilihat oleh istri sahabatnya. Fitri mengangguk. Lalu, bergerak membuka pintu kamar pas, sekiranya cukup untuk memperlihatkan kepalanya pada Kiran. "Aku baik-baik saja. Cuma memang butu
Happy Reading*****Seseorang itu makin mengeratkan kedua tangannya di pinggang Fitri. "Siapa kamu?" tanya sang calon pengantin. Fitri begitu takut untuk menoleh ke arah belakang karena jarak wajahnya dan si pelaku cuma sekitar satu senti saja. Jika Fitri tetap memaksa menoleh, bisa jadi akan mencium seseorang yang melingkarkan tangannya begitu erat di pinggang. Tak tahan dengan tekanan yang ada, perempuan itu menginjak kaki orang yang di belakangnya."Aduh, Sayang. Sakit," rintih seseorang di belakang tubuh Fitri. Perempuan itu segera membalikkan badan saat pinggang terbebas. "Sayang. Kenapa bisa kamu?" Fitri mengerutkan kening dengan mata menyipit. Syaif menarik garis bibirnya ke atas. Menatap sang kekasih dari ujung kaki hingga rambut nyaris tanpa kedip. Fitri mulai risih dengan tatap kekasihnya yang seperti itu. Tangan kanannya pun menetup mata si lelaki. "Nggak boleh ngeliat aku kayak gitu. Natukin, ih," kata Fitri."Apa, sih, Yang." Syaif menepis tangan kekasihnya yang mene
Happy Reading*****Amir tertawa keras ketika mendengar perkataan sang istri. "Jahil banget kamu, Mir," kata Laila. "Dia itu nelpon pasti karena ada pentingnya. Kasihan Fitri.""Biarin, Ma. Dulu, pas kita mau nikah, kami nggak pernah merepotkan Syaif sama Fitri." Ternyata si bos sengaja melakukannya semata-mata karena iseng."Enggak boleh gitu, Mas. Kalau njenengan dibalas seperti tadi dengan Pak Syaif, pastinya marah. Teman akrab Fitri itu, ya, cuma aku. Karena dia juga, aku mengajukan diri rolling ke kantor cabang saat itu," terang Kiran seolah menegaskan jika bukan karena sahabat karibnya, mungkin dia tidak akan berada di kantor cabang dan bertemu dengannya."Dengarkan istrimu itu, Mir. Kalau bukan karena Fitri, maka kamu nggak akan pernah ketemu dengan Kiran dan kalian nggak akan bahagia seperti sekarang. Harusnya, kamu nggak jahil begitu sama orang yang sudah membuatmu menemukan cinta sejati," tambah Wijananto mempertegas apa yang diuucapkan sang menantu bahwa memang Fitri memil
Happy Reading*****Pada akhirnya Kiran tidak bisa menolak keinginan sang suami. Andai Wijananto tidak menelepon lelaki tersebut. Mungkin, saat ini Kiran masih berada di bawah kungkungan Amir. Beruntung sang papa mertua meminta mereka segera pulang karena Naumira tidak ada yang menemani."Ish, Papa ganggu anaknya aja. Katanya mau minta cucu, tapi setiap kali Mas berduaan sama kamu, pasti Papa ngerecoki," gerutu Amir sepanjang perjalanan mereka menuju rumah. "Enggak boleh gitu, Mas? Kita kan enggak pernah tahu kepentingan Papa apalagi beliau seorang pemimpin yang menghidupi puluhan orang. Jadi, kepentingan perusahaan jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi. Mungkin, jika Papa punya pilihan, beliau enggak mungkin mau menyusahkan kita seperti ini. Tapi, mau gimana lagi. Pertemuan dengan klien dari Australia itu jauh lebih penting untuk kemajuan dan pendapatan perusahaan," terang Kiran. Sangat bijak perempuan itu menjelaskan semuanya pada sang suami. Amir sangat kagum dengan pem
Happy Reading*****Kali ini, tawa Fitri makin menggema melihat tingkah aneh sang kekasih. "Masak kamu cemburu sama Pak Amir, sih, Yang. Dia itu mana mau melirikku. Cintanya sudah habis di Kiran. Nggak akan bisa pindah ke lain hati," terangnya.Tangan perempuan yang bekerja sebagai staf produksi tersebut menyentuh pipi kekasihnya. "Kamu nggak perlu khawatir, aku nggak akan pernah jatuh cinta pada lelaki selain dirimu. Jadi, nggak usah cemburu gitu.""Sayang, benarkah yang kamu katakan tadi?" tanya Syaif dengan muka dibuat seimut mungkin. Tangannya bergerak menangkup di atas tangan sang kekasih yang berada di pipinya. Fitri mengangguk mantap. "Seratus persen bener.""Terima kasih sudah mau menerima dan memberikan semua cinta itu untukku," kata Syaif.Laki-laki jika sudah terjerat cinta, maka lupa segalanya bahkan dia bisa bersikap manja sekali, melebihi anak kecil. Sama seperti keadaan sang manajer HRD saat. Manja sangat manja, Fitri saja sampai heran dengan sikap sang kekasih. ****
Happy Reading*****Syaif dan Fitri saling pandang, sementara Amir dan lelaki paruh baya itu tertawa bahagia cukup keras."Om, bisa aja," kata Amir."Eh, jangan salah apa yang Om katakan tadi benar adanya, sesuai dengan isi hati dan pikirannya, Om. Papamu sebentar lagi akan nambah cucu. Lha, Om? Satu aja belum dapat," kata papanya Syaif membuat putra dan calon menantunya mengerucutkan bibir."Memangnya punya cucu itu ajang perlombaan. Papa ngawur aja kalau ngomong. Dulu, nikahnya aja udah kalah sama Om Wijananto. Jadi, wajar kalau punya cucu juga terlambat," protes Syaif tak mau dijadikan kambing hitam oleh orang tuanya."Ngeles aja kamu.""Om, saya nggak bisa kalau dua hari lagi," protes Fitri."Kalau nggak mau nikah dua hari lagi, ya, nikah nanti sore aja. Gimana?""Om, saya," kata Fitri kembali ingin memprotes sang calon mertua. Namun, kalimat itu tidak diteruskan karena ponsel sahabatnya Kiran tersebut berbunyi nyaring. Ada notifikasi pemberitahuan masuk. Seketika, kelopak mata Fi