Happy Reading
***** "Saya, Pak," ucap Kiran gemetaran disertai jari telunjuk yang mengarah ke wajah. Amir menutup teleponnya dan menatap gadis itu lekat. "Iya kamu. Siapa lagi yang ada di sini selain dirimu, dasar cewek aneh." "Ada apa, Pak?" Kiran masih gemetaran, tangannya meremas ujung blazer. "Taruh kunci ini di meja ruanganku," kata Amir yang langsung berbalik arah menuju parkiran. Namun, beberapa langkah kemudian, dia berbalik menoleh pada Kiran. "Terima kasih." Setelahnya dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari si gadis. "Untung dia enggak marah karena kejadian tadi," kata Kiran. Gadis itu bernapas lega karena si bos tidak mengungkit kejadian di kafe tadi. Sepeningal si bos, Kiran tak langsung memenuhi permintaan tersebut. Gadis itu memilih berdiam di pos satpam beberapa menit, berusaha menetralkan ketakutannya. Beberapa saat setelahnya, barulah masuk dan menuju ruangan si bos. Takut-takut perempuan berjilbab itu membuka pintu berwarna biru wardah yang bertuliskan direktur. Sekalipun sang pemilik ruangan tidak berada di tempat, tetap saja rasa ngeri itu hadir apalagi mengingat wajah seram dan suara menggelegar bosnya. Mengendap-endap seperti ada Amir di dalam sana, Kiran memelankan langkah kaki. Menaruh kunci yang diamanahkan tepat di depan sebuah foto. Si gadis tertegun menatap senyum manis dalam bingkai. Ternyata Pak Amir sudah menikah, anaknya cantik. Senyumnya gemesin. Kiran tersenyum sendiri melihatnya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dia segera keluar ruangan, menuju tempat kerjanya sendiri ketika wajah Amir dengan segala kuasa dan suara yang mengelegar terlintas. Sepersekian detik sebelum kepergian si gadis, Syaif melihatnya. Rasa penasaran di hati sang manajer HRD makin besar. Ada hubungan apa antara dua insan itu? "Ngapain dia di ruangan Amir? Pasti mereka memiliki hubungan spesial kalau nggak mana mungkin Amir membiarkan seseorang memasuki ruagannya di saaat dia nggak ada," gumam sang manajer HRD dengan segala asumsinya. Oleh karena penasaran dengan hubungan kedua insan berbeda jenis tersebut, Syaif pun menghubungi Amir. Beberapa kali, panggilan sang manajer HRD tidak digubris. Syaif pun memutuskan kembali ke ruangannya, ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini. Namun, pikirannya selalu mengarah pada keanehan yang diperlihatkan oleh Kiran sehingga jemarinya bergerak lincah menekan kontak Amir pada ponsel. "Halo," sapa lelaki yang dihubungi Syaif dengan suara khasnya. "Apa ada masalah di kantor?" "Kamu di mana? Kok, nggak balik ke ruangan setelah makan siang?" tanya Syaif. "Aku ada kerjaan di luar kantor. Katakan ada apa?" Kembali, Amir mengulang pertanyaan yang sama. "Aku lihat ada cewek masuk ruanganmu? Apa kalian ada hubungan spesial? Kok, kamu nggak pernah cerita, Mir? Malah tadi sok-sokan nggak kenal. Eh, ternyata di belakangku kalian begitu, ya." Syaif tertawa lirih. "Kamu ngomong apa? Aku nggak ngerti. Cewek siapa yang berani masuk ruanganku? Apa dia karyawan kita?" Suara Amir mulai terdengar meninggi. "Nggak usah pura-pura gitu, Mir. Aku yakin kamu pasti pernah punya hubungan khusus sama karyawan baru utusan Om Wijananto." "Dih, nggak jelas. Kalau tujuanmu cuma mau gosipin cewek itu. Maaf, deh. Aku nggak punya waktu, masih ada pekerjaan yang jauh lebih penting yang harus aku rampungkan. Aku tutup dulu, deh. Bye." "Mir, tunggu!" cegah Syaif. "Apalagi, Sya?" tanya Amir mulai lelah dengan sikap absurd sahabatnya itu. "Aku nggak punya banyak waktu." "Jawab dulu pertanyaanku tadi kalau kamu beneran nggak punya hubungan apa-apa sama Kirani?" tuntut Syaif untuk memuaskan rasa penasarannya. "Nggak ada!" bentak Amir dan langsung memutus sambungan mereka. Syaif menggaruk kepala yang tak gatal. Benar-benar penasaran dengan sikap dua orang itu. Berbeda dengan Syaif yang makin penasaran. Kiran masuk ke ruangannya dengan degup jantung berdetak cepat. Sampai-sampai gadis itu tidak mendengar sapaan dari sang sahabat. "Ran, kamu kenapa?" tanya Fitri sambil menyentuh pundak gadis berjilbab yang terlihat melamun. "Heh?" Kiran menatap sahabatnya, cengo. "Kenapa? Aku enggak papa, kok?" "Ish." Fitri menggeser kursinya lebih dekat pada Kiran. "Kalau nggak ada apa-apa, kenapa kamu lari seperti orang ketakutan tadi pas di kafe? Terus sekarang, kamu malah melamun padahal sudah jam kerja. Kamu nggak biasanya gini, lho." "Prasangkamu aja, Fit. Aku enggak ketakutan, kok." "Beneran? Terus kamu dari mana? Kok, baru masuk ruangan? Jam kerja udah masuk dari tadi, lho?" Fitri memainkan kedua alisnya. Sengaja, menggoda sang sahabat yang terlihat resah dan tidak baik-baik saja. "Oh, itu. Aku dari ruangannya Pak Amir. Beliau memintaku ke sana." Setelah menjawab pertanyaan Fitri, Kiran mulai menghidupkan layar komputer di depannya. Kening Fitri berkerut, senyumnya mulai terlihat apalagi ketika teringat perkataan si manajer HRD. "Jadi, kalian berdua beneran punya hubungan spesial, ya?" Reflek, Kiran menggerakkan kepalanya menatap aneh pada sang sahabat. "Siapa yang punya hubungan spesial? Maksudmu apa, Fit. Enggak usah aneh-aneh, ya," peringatnya. "Siapa yang aneh, sih? Aku cuma mengatakan apa yang terlihat dengan begitu jelasnya di antara kamu sama Pak Amir. Lagian bukan cuma aku yang berasumsi seperti itu. Pak Syaif juga memiliki pemikiran demikian." "Fitri ...," teriak Kiran lepas kendali. "Apa? Ngaku, deh." "Kamu, ya ...."Happy Reading*****Kiran memukul lengan sahabatnya pelan. Gemas sekali karena Fitri terus mengolok-oloknya memiliki hubungan spesial dengan si bos. Mereka berdua terus bersenda gurau hingga Kiran mendapat chat dari Wijananto."Kerja, yuk. Big Father udah ngasih warning," ucap Kiran."Sayang banget kayaknya beliau sama kamu. Jangan-jangan, kamu benar-benar punya hubungan spesial sama sang putra mahkota." Fitri mencolek dagu sahabatnya, menggoda Kiran."Berhenti, enggak!" Tangan Kiran siap memukul Fitri, sengaja menakuti gadis itu. Fitri menjulurkan lidah ketika pukulan sahabatnya bisa ditangkis. Dia lebih cepat menggerakkan kursi, pindah posisi."Kerja ... kerja biar nggak ditelpon si bos lagi. Ntar dikata kita bercanda terus," ucap Fitri setelah puas menggoda sahabatnya."Hmm, padahal dia sendiri yang ngajak guyon dari tadi," sahut Kiran. Walau mulutnya berkata demikian, tetapi tangannya sudah mulai menari dia tas keyboard komputer, menyelesaikan tugas dari sang atasan di pusat.Ke
Happy Reading*****Pulang dengan rasa jengkel, Kiran melajukan motornya dengan cepat. "Kok, ada lelaki menyebalkan seperti itu?" gerutunya sepanjang perjalanan. Mungkin, jika bukan karena ingin dekat dengan Fitri, Kiran akan minta mutasi lagi ke pusat. Dia tidak mau bekerja dalam tekanan dan bertemu dengan Amir setiap hari.Mengucap salam ketika memasuki rumah, Kiran melihat wajah teduh perempuan yang telah melahirkannya. Segera memeluk perempuan paruh baya itu dengan segenap jiwa. "Eh, ini kenapa?""Bentar saja, Bu." Kiran mengeratkan pelukannya."Tumben, sih." Perempuan paruh baya dengan daster rumahan itu mengajak putrinya duduk di sofa ruang tengah sambil memeluk. "Lagi ada masalah di kantor, ya? Nggak biasanya kamu pulang kerja manja gini."Bukannya malu dikatakan manja, Kiran malah meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu. "Enggak ada masalah, Bu. Cuma agak capek saja. Maklum, pertama kerja di kantor baru, butuh banyak penyesuaian."Selalu, Kiran berusaha menutupi semua yan
Happy Reading*****Semua mata kini tertuju pada si gadis berjilbab. Wajah Kiran memucat seperti kekurangan darah. Dia tidak bisa lagi mengelak. Melihat sang sahabat dengan keadaan menyedihkan seperti itu, Fitriya bangkit dari tempat duduk, mendekati sahabatnya. "Ran, kenapa kamu melakukan kesalahan ini?" bisik Fitriya ketika berhasil memeluk sang sahabat.Kiran berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Tatapannya kini mengarah pada si bos. Sekuat tenaga, Kiran bersikap kuat dan tidak takut."Saya cuma mau ke toilet. Apa pantas Bapak bertanya sekeras tadi?" Kiran langsung membuka pintu ruang meeting tanpa mendengar jawaban dari Amir. Amir menatap kepergian Kiran dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Mencoba menetralkan suasana dengan melanjutkan pembahasan sebelumnya. Suasana ruangan tersebut kembali tegang. Si bos bersikukuh untuk melanjutkan peraturan baru yang sudah dia utarakan sebelumnya. Walau banyak yang keberatan, nyatanya hal tersebut tidak membuat Amir menguba
Happy Reading*****"Auw," ucap Kiran. Memegang lututnya yang terasa begitu nyeri. "Hati-hati, Mbak," ucap salah satu karyawan bagian pengemasan yang berada tak jauh dari Kiran."Iya, Bu. Terima kasih sudah membantu." Kiran langsung berjalan cepat menjauh Amir padahal jelas-jelas kakinya terseok-seok saat berjalan."Sepertinya, dia ketakutan ketika bertemu Pak Amir. Siapa dia?" tanya tamu yang dibawa Amir tadi."Dia salah satu karyawan saya yang mengepalai bagian produksi," terang si bos. Berusaha menjawab pertanyaan tamunya senormal munkin karena dia sendiri tidak tahu sebab pastinya mengapa Kiran selalu bertinkah aneh saat bertemu."Oh. Harusnya, dia nggak perlu lari seperti tadi. Jika dia menyapa Anda dan berkolaborasi untuk menjelaskan semua detail produksi yang dilakukan di perusahaan ini, tentunya akan semakin bagus. Saya pasti lebih puas mendengar penjelasan dari kalian berdua." Lelaki berkemeja navy itu tersenyum."Dia masih baru di sini, Pak. Walau sudah lama bekerja di kant
Happy Reading*****Amir memencet hidung si kecil, gemas. "Seneng banget godain Papi, ya," ucapnya.Si kecil menutup muka dengan kedua tangannya supaya sang papi tidak bertindak berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan si bos pada putrinya jika gemas akan melakukan hal-hal berlebihan, misalnya saja menciumi seluruh wajah si kecil. "Pi, Tante tadi cantik juga, kok," cicit si kecil di balik kedua tangannya yang menutupi wajah."Kok, gitu?" tanya Amir merasa aneh dengan perkataan putrinya."Kalian ngapain sih di sini?" kata seseorang perempuan paruh baya yang sudah berdiri di belakang mereka."Eh, mama sudah selesai belanjanya?" tanya Amir setelah melihat kehadiran perempuan yang telah melahirkannya itu."Sudah. Dari tadi, Mama nyariin kalian berdua. Ngapain coba sembunyi di sini?" Perempuan paruh baya itu menatap curia pada putranya. Tidak biasanya, Amir meninggalkannya untuk berbelanja sendirian. Biasanya si bos akan menjadi bodyguard pribadi perempuan paruh baya tersebut."Papi lagi ngint
Happy Reading*****"Sorry, Mir. Aku nggak tahu kalau kalian lagi bahas masalah serius," ucap Syaif, "aku kembali lagi nanti." Si manajer HRD segera keluar dari ruangan sahabatnya walau banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala."Aneh, sejak kapan Amir begitu marah saat aku nggak mengetuk pintu pas masuk ruangannya," gerutu Syaif. Tatapan Amir kini kembali fokus pada gadis di hadapannya. "Duduk! Saya belum selesai denganmu."Kiran terpaksa kembali ke tempatnya semula. Meremas jemarinya di bawah meja sambil merutuki sikap kasar sang atasan. "Saya nggak tahu mesti mulai dari mana. Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang ingin saya ajukan tentang sikapmu pada saya, tapi karena ada hal yang jauh lebih penting, saya akan mengabaikan hal tersebut." Amir menghela napas. Lalu, beberapa detik kemudian setelah menatap lawan bicaranya yangg tidak bereaksi apa pun, dia melanjutkan kalimantnya. "Saya butuh bantuanmu saat ini."Tanpa Amir duga, Kiran mendongakkan kepala. Netra mereka semp
Happy Reading*****Kiran segera menuju ruangannya untuk menenangkan hati padahal dia belum tahu apa yang harus dilakukan setelah mendapat perintah Amir."Kamu kenapa kayak orang habis dikejar hantu gitu, Ran?" tanya Fitri yang melihat sahabatnya minum dengan tergesa-gesa."Enggak ada apa-apa. Aku cuma kehausan saja.""Apa kata Pak Amir?" Fitri mulai menunjukkan keingintahuannya yang besar."Dia minta bantuanku.""Bantuan apa?" Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sahabatnya, suara telepon di meja produksi terdengar. Fitri terpaksa mengangkatnya lebih dulu."Halo, ada yang bisa dibantu?""Fit, tolong kasihkan ke Kiran," ucap suara di seberan sana yang tak lain adalah Amir. Rupanya, lelaki itu sudah hafal dengan suara Firti.Tak perlu banyak pertanyaan lagi, Fitri langsung memberikan gagang telepon pada Kiran. "Siapa?" tanya Kiran berbisik."Pak Amir."Gemetar, Kiran mengambil gagang telepon dari tangan sahabatnya. "Iya, Pak. Ada apa?""Bersiaplah. Sopir sudah menunggumu untuk meng
Happy Reading*****Naumira menarik pergelangan tangan Kiran, mendongakkan kepala dan berkata, "Apa benar begitu, Tante?"Penuh pengharapan supaya gadis di depannya mendukungnya, Amir mengedipkan mata beberapa kali. Kiran melihat kode yang diberikan si bos. "Iya, benar. Rara enggak perlu khawatir. Kalau memang enggak menang, bisa berusaha lebih baik lagi di perlombaan selanjutnya. Bukankah keberhasilan itu berawal dari kegagalan. Jadi, enggak perlu patah semangat, ya." Kiran bahkan memberanikan diri mengelus puncak kepala si kecil penuh kasih sayang. "Kapan sih Papi pernah bohong sama Rara? Apa yang Rara minta, Papi pasti turuti."Naumira berbalik arah mendekati sang papi, menjulurkan kedua tangannya. Mengerti jika gadis kecilnya minta gendong, Amir pun menangkap sosok mungil tersebut dengan cepat. Mencium kembali seluruh wajahnya."Nggak usah sedih lagi, ya, Sayang. Di hati Papi, Rara tetap pemenangnya," ucap Amir."Papi emang terbaik." Naumira mengalungkan kedua tangannya pada leh
Happy Reading*****Kiran mundur, tubuhnya bergetar hebat ketika mendengar suara keras suaminya. Tersadar, Amir merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan."Maafkan, Mas, Sayang," ucap si bos ketika menyadari kesalahannya yang sudah berkata keras tadi.Mengalungkan tangannya pada leher sang suami, Kiran menyembunyikan wajahnya. "Mas, aku cuma mau ngomong. Biar aku aja yang mimpin, tapi sepertinya njenengan enggak suka. Malah bentak tadi."Amir kembali membulatkan mata, tetapi bibirnya malah tersenyum, tak menyangka jika sang istri akan berkata demikian. Dia benar-benar salah sangka akan sikap Kiran. "Terus, sayannya Mas ini takut, ya, mendengar suara keras tadi?"Kiran menggeleng. "Takut, sih, enggak. Cuma agak syok aja. Kok, suamiku ini ternyata enggak bisa nahan keinginannya. Kalau enggak dituruti marah. Jadinya, persis kayak Rara." Perempuan mencubit pelan hidung Amir.Manja, Amir mulai menciumi bagian leher sang istri. Tangannya mulai bergerilya secara aktif memberikan rangsangan di t
Happy Reading*****Semua orang tertawa mendengar balasan Farel pada saudara perempuannya. Namun, hal berbeda terjadi pada Agung. Lelaki itu mu lai merasa canggung ketika semua orang meninggalkannya cuma berdua dengan Rini. Seluruh keberanian bahkan semangatnya yang ingin terus berdekatan dengan dokter cantik itu mendadak lenyap karena menatap kecantikan sang istri. "Mas," panggil Rini. Dia sudah duduk, kembali ke tempatnya semula."Ya." Agung menatap perempuan yang baru dinikahinya itu dengan kagum. Seperti di film-film kartun jika sedang jatuh cinta yang akan terdapat gambar hati di kelopak mata ketika melihat orang yang dicintai. Maka, hal sama pun terjadi pada saudara sulung Kiran. Cinta itu begitu jelas terlihat di matanya ketika menatap sang istri."Njenengan nggak capek berdiri terus. Sini, duduk." Rini menepuk sisi kosong pada sofa yang didudukinya. Seperti sapi yang dicocok hidungnya, Agung menuruti semua perkataan sang istri. Tatapannya masih sama seperti, tadi bahkan mung
Happy Reading*****Sebelum prosesi akad dilanjutkan, beberapa orang masuk dengan didampingi karyawan yang dipekerjakan oleh keluarga Rini. Ternyata sang pemilik rumah sengaja mengundang beberapa tetangga untuk menyaksikan prosesi pernikahan putri semata wayang mereka yang terbilang sederhana.Rini duduk di sofa terpisah dari Agung. Para wanita juga melakukan hal sama,mereka berkumpul di ruang tengah sambil menunggu Agung mengucapkan akad. "Baiklah karena semua ornag sudah hadir, kita bisa lanjut lagi prosesinya," kata sang penghulu yang mendapat angukan serta ucapan setuju dari semua orang.Agung benar-benar tidak menyangka jika pernikahannya akan berlangsung mendadak seperti pernikahan Kiran dan Amir. Dia sedih sekaligus bahagia. Sedih karena tidak bisa memberikan pernikahan yang berkesan dan bahagia karena statusnya sebentar lagi akan berubah menjadi suami.Setelah mengucap basmalah, papanya Rini mulai mengucap akad dipandu oleh sang penghulu yang duduk tepat di sampingnya. Tak bu
Happy Reading*****Agung mulai resah, pasalnya tidak pernah menyangka kalau akan ditodong dengan pertanyaan seperti tadi. Selain itu, dirinya juga tidak memiliki persiapan apa pun juga untuk menikah. Melihat ke arah ibunya, Nur cuma menjawab dengan senyuman. Mungkin sama seperti dirinya, perempuan paruh baya itu juga syok mendengar permintaan papanya Rini. Agung pun beralih menatap Kiran dan Amir, mereka berdua langsung menganggukkan kepala tanda setuju. Demikian juga dengan Farel, si bungsu juga mengangguk sebagai tanda persetujuan dengan rencana papanya Rini."Jadi, gimana Mas Agung?" tanya sang kepala keluarga, memastikan bahwa putri dimiliki oleh orang yang tepat ketika dia meninggalkan negaranya."Ehmm," gumam Agung sambil menggaruk kepala yang tak gatal."Gini aja, Gung. Kalau kamu ragu dengan mahar yang diberikan pada dokter Rini, kamu bisa memberikan cincin berlian yang tadi dibawa sebagai maharnya," saran Wijananto seolah mengerti keresahan hati sulung keluarga Kiran.Senyu
Happy Reading*****Ketika sampai di rumahnya, Nur tidak diperkenankan sama sekali ikut berbelanja oleh-oleh yang akan dibawa ke rumah Rini. Sebagai gantinya, pihak keluarganya meminta bantuan Laila. "Kenapa, sih, Ibu nggak boleh ikut? Ibu, kan juga pengen memilih barang-barang yang akan diberikan pada calon istrimu, Mas," protes Nur pada putra sulungnya."Ibu di rumah saja, kan, belum benar-benar sehat. Nanti, kalau Ibu ikut nyari oleh-oleh terus kecapean dan sakit lagi. Mas, juga akan kena marah sama calon menantu Ibu. Kiran sama Farel pasti ikut memarahi, Mas," jelas Agung."Hmm, padahal calon menantu Ibu sendiri yang ngomong kalau kondisi Ibu sudah sangat sehat," protes Nur, masih kekeh supaya diperkenankan ikut berbelanja. "Kalau Ibu ikut kami berbelanja sekarang, nanti malam nggak bisa ikut ke rumahnya Dokter Rini, ya," sahut Kiran yang sudah berdiri di belakang saudara sulungnya. "Ibu sama Farel aja. Adik, nggak ikut, kok. Mbak Kiran juga nggak ikut," tambah si bungsu. "Kam
Happy Reading*****Semua orang menjadi tegang setelah mendengar suara lelaki paruh baya yang diketahui adalah papanya Rini. Kiran bahkan sampai memeluk suaminya erat saking takutnya mendengar perkataan tadi. Trauma yang dimilikinya belum sepenuhnya sembuh, Kiran terkadang masih sedikit bergetar ketika mendengar suara keras yang dikeluarkan seseorang. "Mas, kenapa papanya dokter Rini, kok, marah," kata Kiran di pelukan sang suami. "Mas, juga nggak tahu kenapa, Sayang. Sstt. Jangan takut, ya.Pasti ada kesalahpahaman, kita lihat saja," bisik Amir sambil mengelus puncak kepala sang istri penuh kasih sayang.Sementara itu, Agung menatap Satya penuh permohonan supaya ponsel yang dipegang beralih ke tangannya. Rini sendiri juga kaget melihat dan mendengar reaksi sang papa yang terkesan marah padahal semalam lelaki berkumis itu begitu bahagia mendengar semua ceritanya tentang Agung.Satya menjulurkan ponselnya pada saudara tertua Kiran. Ketika Agung bisa bertatap muka secara langsung denga
Happy Reading*****Satya melepaskan tangannya dari leher si dokter tampan. Senyumnya makin lebar ketika mendengar penuturan Agung. Dia semakin yakin jika lelaki di sebelahnya itu adalah orang yang tepat untuk mendampingi adiknya. Memberikan isyarat mata untuk segera pergi, Agung mengikuti langkah calon kakak iparnya. Di persimpangan lorong rumah sakit, mereka berpisah setelah Satya memberikan kontaknya."Aku tunggu kedatanganmu di rumah Papa," ucap si dokter sebelum benar-benar meninggalkan Agung."Insya Allah, besok sore aku akan berkunjung. Sampaikan salamku pada kedua orang tua dokter Rini," sahut Agung.Kembali ke ruang UGD untuk mengecek keadaan ibunya, Agung tak menemukan satu pun anggota keluarganya. "Eh, ke mana mereka semua?" gumam Agung. Mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi salah satu anggota keluarganya, Agung memutuskan menelepon Farel."Ya, Mas," kata Farel di seberang sana."Dik, kalian ada di mana? Kenapa Mas nggak melihat Ibu dan lainnya.""Ibu sudah dipindahkan
Happy Reading*****Kali ini, reaksi berbeda ditunjukkan oleh Rini. Perempuan itu terlihat seperti takut dan tidak nyaman mendengar sapaan seorang dokter lelaki berperawakan tinggi serta berkacamata."Masih berani gangguin adikku?" kata Satya dengan raut muka marah dan menyeramkan."Siapa juga yang gangguin adikmu. Aku cuma menyapa saja. Apa nggak boleh?" Bukannya takut, lelaki yang berprofesi sama seperti Rini dan Satya itu malah memasang senyuman."Nggak boleh. Ingat, ya, aku bisa saja melaporkan lagi perbuatanmu yang dulu itu," sahut Rini sambil menggeser posisi berdirinya agak ke belakang sehingga tubuh saudara sepersusuannya menjadi tameng penghalang dari lelaki yang baru saja menyapanya.Sementara itu, Agung masih diam terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap dan mendengarkan apa yang diobrokan oleh ketiga dokter di depannya. Dia juga mulai menyimpulkan sendiri bahwa dokter yang baru saja menyapa Rini tersebut pasti memiliki suatu hubungan di masa lalau dengan gadis yang ingi
Happy Reading*****Agung dengan cepat menjulurkan tangannya. "Kenalkan, nama saya Agung. Saya adalah lelaki yang sedang mencoba mendekati Dokter Rini dan berniat menjadikan beliau istri," ucapnya penuh percaya diri.Perempuan berpakaian serba putih itu membulatkan mata ketika mendengar pengakuan Agung. Heran juga kenapa lelaki yang baru dikenalnya itu bisa begitu percaya diri mengatakan hal demikian. "Saya, Satya," ucap lelaki yang berpakaian sama seperti Rini. Setelah memperkenalkan diri dan menjabat tangan Agung. Lelaki pemilik nama Satya itu menoleh pada Rini. "Selamat, ya, Dek. Akhirnya ada lelaki yang berani dengan tegas mengatakan sedang ingin mendekatimu.""Ih, Mas Satya apaan, sih." Rini terlihat makin manja dengan melingkarkan kedua tangannya pada pergelangan Satya.Tangan Agung terkepal. Walau perempuan di depannya belum resmi mengakatan menerima ajakannya menikah, tetapi tal seharusnya dia bertindak kelewat mesra di depan Agung seperti sekarang. Lelaki mana yang tidak ak