Happy Reading
***** "Auw," ucap Kiran. Memegang lututnya yang terasa begitu nyeri. "Hati-hati, Mbak," ucap salah satu karyawan bagian pengemasan yang berada tak jauh dari Kiran. "Iya, Bu. Terima kasih sudah membantu." Kiran langsung berjalan cepat menjauh Amir padahal jelas-jelas kakinya terseok-seok saat berjalan. "Sepertinya, dia ketakutan ketika bertemu Pak Amir. Siapa dia?" tanya tamu yang dibawa Amir tadi. "Dia salah satu karyawan saya yang mengepalai bagian produksi," terang si bos. Berusaha menjawab pertanyaan tamunya senormal munkin karena dia sendiri tidak tahu sebab pastinya mengapa Kiran selalu bertinkah aneh saat bertemu. "Oh. Harusnya, dia nggak perlu lari seperti tadi. Jika dia menyapa Anda dan berkolaborasi untuk menjelaskan semua detail produksi yang dilakukan di perusahaan ini, tentunya akan semakin bagus. Saya pasti lebih puas mendengar penjelasan dari kalian berdua." Lelaki berkemeja navy itu tersenyum. "Dia masih baru di sini, Pak. Walau sudah lama bekerja di kantor pusat." "Oh, dia pindahan dari kantor pusat?" Amir mengangukkan kepala sebagai jawabannya. Mari, Pak. Saya akan mengajak Anda melihat-lihat proses produksi kami." ***** Kiran merutuki dirinya sendiri yang begitu ceroboh hingga menimbulkan kekhawtiran semua orang. Dia begitu malu karena tingkah konyolnya tadi. "Bodoh," umpatnya, "kalau begini. Orang lain pasti mengira aku sedang mencari perhatian si bos galak itu padahal enggak gitu." Menyingsingkan roknya ke atas, Kiran menatap luka memar di lutut akibat kejadian tadi. "Duh, sampai kayak gini. Ibu pasti bertanya-tanya kalau tahu," gumamnya tanpa sadar jika sang sahabat masuk ruangan. "Lututmu kenapa, Ran?" tanya Fitri, panik. Kiran meringis sambil meniup-niup lukanya. Tangannya masih sibuk mengoleskan minyak supaya memar itu tidak begitu terlihat. "Jatuh di ruang packing," jawabnya. "Kok, bisa?" "Bisa aja, sih. Aku enggak hati-hati pas jalan. Jadi, kakiku nyangkut di kabel dan jatuh." Fitri memicingkan mata. Jelas, dia tidak percaya begitu saja dengan ucapan sahabatnya itu. Sosok Kiran yang dikenalnya bukan orang ceroboh. Pasti ada sesuatu yang membuatnya sampai terjatuh dan terluka seperti sekarang. "Kamu pasti menghindari sesuatu hingga luka seperti sekarang. Ngaku aja, deh," ucap Fitri sambil membantu meniup luka sahabatnya. "Apa, sih. Aku cuma kurang hati-hati saja pas jalan tadi," sanggah Kiran masih tidak mau mengaku kejadian sebenarnya. "Terserahlah." Fitri mendengkus. Namun, detik berikutnya, dia berkata kembali, "Istirahat saja, jangan terlalu banyak bergerak." "Siap, ibu suri," jawab Kiran disertai hormat membuat Fitri terkekeh. Kiran bernapas lega saat jam pulang kantor terlihat jelas pada arloji yang dikenakannya. Senyumnya mengembang kala mengingat kegiatan yang akan dilakukan di akhir pekan nanti. "Ran, aku duluan, ya," kata Fitri. Meja perempuan itu sudah bersih dan tasnya sudah menggantung di pundak. Wajah perempuan itu berseri-seri, kebahagiaannya terpampang nyata. "Bahagia banget, Bu. Kenapa, nih? Apa ada cowok yang bakal ngapel nanti malam?" goda Kiran. "Dih," dengkus Fitri. "Aku sudah jadi pengikutmu." "Pengikut gimana maksudnya?" "Pengikut dengan prinsip, halalkan atau tinggalkan. Nggak mau baper sama cowok yang nggak menjabat tangan Bapak. Ngapain jagain jodoh orang." Perempuan itu menjulurkan lidah setelah menyelesikan kalimatnya. Kiran tertawa keras saat itu juga. "Ih, kok, malah ketawa, sih? Kan prinsipmu gitu?" Menutup bibirnya dengan tangan, tawa Kiran makin keras. "Bagus kalau sadar. Pulang, yuk." Keduanya meninggalkan ruangan dengan senyum terkembang hingga sampai di depan mesin absen. Sosok Amir terlihat membuat Kiran pamit ke toilet. "Lah, mau pulang malah beser," sindir Fitri. "Kamu duluan saja, Fit," pinta Kiran. Langsung berbalik, setengah berlari menuju toilet dan semua yang dilakukan sang gadis terlihat oleh Amir serta sang manajer HRD. "Apa mukaku nyeremin, ya, Saya?" tanya Amir pada sang sahabat yang terlihat masih menatap kepergian Kiran dengan aneh. "Iya. Persis kayak genderuwo kolor ijo," jawab Syaif. Setelahnya, dia terkikis sendiri. Amir terpaksa menyentil kening lelaki berkemeja baby blue tersebut. "Mulutmu minta disumpal serbet dapur." Tawa Syaif meledak. Dia sendiri juga heran kenapa Kiran berbuat seperti itu setiap kali bertemu Amir. Si bos sudah seperti virus mematikan yang harus dihindari. ***** Pukul sepuluh pagi, Kiran pamit pada ibunya. Gadis itu sudah berpakaian rapi dengan gamis hitam andalannya ketika sedang keluar rumah. "Mau ke mana, Ran?" "Mau refreshing sebentar. Ibu mau ikut?" "Nggak. Ngapain ibu ikut kamu keluar. Nanti, malah ngerepotin." Perempuan paruh baya itu menjulurkan tangannya. Kiran menerim uluran tangan tersebut dan menciumnya penuh hormat. "Kalau gitu, aku bawain oleh-oleh saja pulangnya. Ibu mau apa?" "Apa saja." Kurang dari lima belas menit kemudian, Kiran sudah sampai di pusat perbelanjaan terbesar di kotanya. Gadis itu langsung menuju outlet yang menjual segala kebutuhan wanita muslimah. Memilih-milih jilbab yang digantung, senyumnya tak pernah lepas dari wajah. Semua itu menarik perhatian seseorang yang sejak tadi mengamatinya. "Sebenarnya, dia bisa tersenyum dan ceria. Tapi, kenapa saat di kantor malah sebaliknya. Apa memang ada yang salah denganku?" gumam lelaki yang tak lain adalah Amir. Si bos kebetulan berada di mall yang sama dengan Kiran. Entah magnet apa yang membuat Amir terus berusaha mengawasi karyawannya itu. Tatapan Amir selalu mengarah pada Kiran padahal jelas-jelas si gadis cuma memilih jilbab saja. Beberapa saat kemudian, Kiran mendekati seorang anak kecil yang sedang menangis. "Assalamualaikum, adek sayang," sapa Kiran pada bocah perempuan dengan perkiraan umur 5 tahunan. Si bocah menoleh. Bukannya menjawab pertanyaan Kiran, si kecil malah mengerjakan tangis. "Lho, kok, malah keras nangisnya. Sini." Kiran meraih si kecil dan menggendongnya. "Cerita sama Mbak, kenapa adek nangis?" Lalu, mengalirlah cerita si kecil yang ternyata terpisah dan kehilangan jejak orang tuanya. Telaten dan penuh sabar, sang gadis menjelaskan serta menasihati si kecil. Kiran juga tak segan untuk membantu menemukan orang tua bocah itu. Beberapa menit kemudian, si kecil sudah bertemu dengan orang tuanya. Bibir Kiran terbuka lebar ketika orang tua si kecil mengucap terima kasih. Gadis berjilbab itu sempat berbincang dengan orang tua si kecil, terlihat sangat akrab. "Dengan yang lain kamu terlihat begitu baik. Bahkan dengan seseorang yang baru kamu temui sudah begitu akrab, tapi denganku, kamu bersikap sangat aneh. Ada apa sebenarnya? Apa kamu membenciku?" gumam Amir sambil mengamati Kiran dari kejauhan. Amir masih saja mengikuti Kiran diam-diam dari belakang ketika si gadis berpindah ke outlet lainnya. Semakin lama, si bos mengikuti karyawannya, semakin dia penasaran apalagi ketika melihat senyum yang tak pernah lepas dari wajah. Amir seperti terhipnotis dan tanpa sadar sudah meninggalkan keluarganya cukup lama. "Papi!" teriak seorang bocah perempuan sambil mencolek lengan Amir. Oleh karena teriakan tersebut cukup nyaring, reflek Kiran pun menoleh. Tak ingin ketahuan menguntit, Amir menggendong putrinya dengan cepat dan bersembunyi di balik gamis. Mendekap bibir mungil itu agar tak lagi memanggil namanya. "Lepas, Papi," kata si bocah yang tertahan tangan kekar Amir. "Maaf, Sayang. Apa ada yang sakit?" Bocah berusia 5 tahun itu turun dari gendongan dan menggelengkan kepala. Hampir saja lelaki itu menyakiti putrinya sendiri. "Papi lagi ngapain kok bengong sambil ngeliatin Tante tadi?" "Papi nggak bengong kok. Cuma lagi mikir baju yang cocok buat Nenek yang mana." "Masak, sih?" "Iya." Amir menggandeng tangan putrinya pergi menjauhi Kiran. "Kok, nggak percaya, ya. Jangan-jangan, Tante itu pacarnya Papi, ya?" goda si kecil. "Hust," sahut Amir. "Kok, muka Papi memerah."Happy Reading*****Amir memencet hidung si kecil, gemas. "Seneng banget godain Papi, ya," ucapnya.Si kecil menutup muka dengan kedua tangannya supaya sang papi tidak bertindak berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan si bos pada putrinya jika gemas akan melakukan hal-hal berlebihan, misalnya saja menciumi seluruh wajah si kecil. "Pi, Tante tadi cantik juga, kok," cicit si kecil di balik kedua tangannya yang menutupi wajah."Kok, gitu?" tanya Amir merasa aneh dengan perkataan putrinya."Kalian ngapain sih di sini?" kata seseorang perempuan paruh baya yang sudah berdiri di belakang mereka."Eh, mama sudah selesai belanjanya?" tanya Amir setelah melihat kehadiran perempuan yang telah melahirkannya itu."Sudah. Dari tadi, Mama nyariin kalian berdua. Ngapain coba sembunyi di sini?" Perempuan paruh baya itu menatap curia pada putranya. Tidak biasanya, Amir meninggalkannya untuk berbelanja sendirian. Biasanya si bos akan menjadi bodyguard pribadi perempuan paruh baya tersebut."Papi lagi ngint
Happy Reading*****"Sorry, Mir. Aku nggak tahu kalau kalian lagi bahas masalah serius," ucap Syaif, "aku kembali lagi nanti." Si manajer HRD segera keluar dari ruangan sahabatnya walau banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala."Aneh, sejak kapan Amir begitu marah saat aku nggak mengetuk pintu pas masuk ruangannya," gerutu Syaif. Tatapan Amir kini kembali fokus pada gadis di hadapannya. "Duduk! Saya belum selesai denganmu."Kiran terpaksa kembali ke tempatnya semula. Meremas jemarinya di bawah meja sambil merutuki sikap kasar sang atasan. "Saya nggak tahu mesti mulai dari mana. Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang ingin saya ajukan tentang sikapmu pada saya, tapi karena ada hal yang jauh lebih penting, saya akan mengabaikan hal tersebut." Amir menghela napas. Lalu, beberapa detik kemudian setelah menatap lawan bicaranya yangg tidak bereaksi apa pun, dia melanjutkan kalimantnya. "Saya butuh bantuanmu saat ini."Tanpa Amir duga, Kiran mendongakkan kepala. Netra mereka semp
Happy Reading*****Kiran segera menuju ruangannya untuk menenangkan hati padahal dia belum tahu apa yang harus dilakukan setelah mendapat perintah Amir."Kamu kenapa kayak orang habis dikejar hantu gitu, Ran?" tanya Fitri yang melihat sahabatnya minum dengan tergesa-gesa."Enggak ada apa-apa. Aku cuma kehausan saja.""Apa kata Pak Amir?" Fitri mulai menunjukkan keingintahuannya yang besar."Dia minta bantuanku.""Bantuan apa?" Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sahabatnya, suara telepon di meja produksi terdengar. Fitri terpaksa mengangkatnya lebih dulu."Halo, ada yang bisa dibantu?""Fit, tolong kasihkan ke Kiran," ucap suara di seberan sana yang tak lain adalah Amir. Rupanya, lelaki itu sudah hafal dengan suara Firti.Tak perlu banyak pertanyaan lagi, Fitri langsung memberikan gagang telepon pada Kiran. "Siapa?" tanya Kiran berbisik."Pak Amir."Gemetar, Kiran mengambil gagang telepon dari tangan sahabatnya. "Iya, Pak. Ada apa?""Bersiaplah. Sopir sudah menunggumu untuk meng
Happy Reading*****Naumira menarik pergelangan tangan Kiran, mendongakkan kepala dan berkata, "Apa benar begitu, Tante?"Penuh pengharapan supaya gadis di depannya mendukungnya, Amir mengedipkan mata beberapa kali. Kiran melihat kode yang diberikan si bos. "Iya, benar. Rara enggak perlu khawatir. Kalau memang enggak menang, bisa berusaha lebih baik lagi di perlombaan selanjutnya. Bukankah keberhasilan itu berawal dari kegagalan. Jadi, enggak perlu patah semangat, ya." Kiran bahkan memberanikan diri mengelus puncak kepala si kecil penuh kasih sayang. "Kapan sih Papi pernah bohong sama Rara? Apa yang Rara minta, Papi pasti turuti."Naumira berbalik arah mendekati sang papi, menjulurkan kedua tangannya. Mengerti jika gadis kecilnya minta gendong, Amir pun menangkap sosok mungil tersebut dengan cepat. Mencium kembali seluruh wajahnya."Nggak usah sedih lagi, ya, Sayang. Di hati Papi, Rara tetap pemenangnya," ucap Amir."Papi emang terbaik." Naumira mengalungkan kedua tangannya pada leh
Happy Reading*****Sejak kejadian hari itu, diam-diam Amir sering mengamati perilaku Kiran. Tiap hari, selalu ada waktu untuk mengintai si gadis dari layar CCTV. Seperti kali ini, sang putra mahkota menatap layar serius mengawasi gerak-gerik Kiran. Suara ketukan beberapa kali dari luar sama sekali tak direspon. Amir menikmati senyum sang gadis yang tengah bersenda gurau dengan Fitriya. Terkadang, senyum itu menular padanya walau tidak tahu persis apa yang membuatnya tersenyum. Di balik pintu ruangan Amir, Syaif berdiri. Menunggu sang empunya mempersilakan masuk. Tak ingin lagi kejadian beberapa waktu lalu terulang. Namun, beberapa menit menunggu, membuatnya jenuh dan kesal juga. Pelan-pelan memutar knop pintu ke bawah, memajukan kepala sedikit untuk mengetahui aktifitas sang pemilik ruangan. "Astagfirullah. Dari tadi aku ngetuk pintu nggak denger, ternyata lagi ngelamun," ucap Syaif mengagetkan si empunya ruangan. Tangan Amir reflek memencet tombol off pada remot. Takut jika sa
Happy Reading*****Kembali ke ruangan setelah melaksanakan salat Zuhur. Kiran membayangkan wajah Amir dengan segala perlakuan anehnya tadi. "Kenapa aku merasa dia sedikit berubah, ya? Apa dia sakit? Biasanya, Pak Amir akan langsung marah pas tahu ada yang salah. Jelas-jelas aku yang nabrak dia, kok, malah dia yang minta maaf duluan.""Hayo ngelamunin apa?" Fitri menyentuh pundak sahabatnya."Siapa yang melamun, sih. Aku lho mikir anggaran ini. Kira-kira disetujui enggak ya, sama pihak keuangan." Alasan yang cukup masuk akal karena Kiran saat ini sedang memegang proposal anggaran produksi baru. "Hmm, mikir kerjaan saja segitunya. Asal angkanya masuk akal dan sesuai kebutuhan produksi kita, mereka pasti menyetujui. Emang, ya, kamu ini." Fitri memilih kembali ke meja kerjanya. Mengembuskan napas dalam-dalam, Kiran menutup proposal di depannya. Memilih keluar, daripada dia terus memikirkan tentang keanehan si bos. Lebih, baik dia mencari kesibukan dengan mengecek pekerjaan karyawan
Happy Reading***Pekerjaan Kiran hari ini terbilang cukup padat. Sejak pagi, gadis itu terjun langsung menyortir orderan yang akan dikirim ke luar pulau. Hampir-hampir tak ada waktu duduk. Tak beda jauh dengannya, Fitri juga merasakan hal sama. Deadline pengiriman semakin dekat membuat para karyawan bagian produksi bekerja ekstra. Mereka tentunya tidak mau dipotong gaji ketika ada kesalahan pada hasil produksi. Oleh karenanya, semua bekerja dengan ketelitian dan keseriusan penuh.Sementara di tempat berbeda, Amir sedang dilema. Janji mengajak Naumira piknik ke salah satu taman yang terdapat beraneka ragam satwa terancam batal. Baru saja, resepsionis mengabarkan jika tamu dari luar kota yang akan mengajak kerja sama meminta bertemu pada jam makan siang di Resto Tepi Sawah. Sementara putrinya sedang dalam perjalan ke kantor untuk menjemputnya menuju taman satwa. Mondar-mandir lelaki itu mencoba mencari solusi permasalahannya saat ini. Mencoba menghubungi klien itu, tetapi tak berhas
Happy Reading ***** Indera Kiran dan Amir bertemu, keduanya diam beberapa saat, menyelami keinginan masing-masing. Si gadis ingin menolak karena tak ingin terlibat lebih jauh dengan urusan atasannya, tetapi sorot mata sang lelaki mengisyaratkan sebaliknya. Cukup lama keduanya terdiam hingga tarikan tangan untuk masuk mobil oleh si kecil terasa pada pergelangan Kiran. "Ayo masuk, Tan. Temen Papi udah jalan," pinta Naumira. Rupanya, gadis kecil itu tak sabar melihat adegan saling diam dua orang dewasa di sampingnya. Mau tak mau Kiran mengikuti ajakan bocah itu. Duduk di samping lelaki yang mati-matian dihindari. Walau enggan, Kiran harus melakukannya. Amir menoleh sebentar ke arah si gadis yang lebih banyak menunduk tersebut. "Pakai sabuk pengamannya, Ran," peringat Amir sebelum menjalankan kendaraan roda empatnya. Kiran meraih sabuk pengaman di kursinya dan menyilangkan ke depan. Melihat begitu paruhnya gadis itu, Amir menambahkan satu poin plus. Sepanjang perjalanan menu
Happy Reading*****Orion menghentikan langkah karena perempuan yang menggandengnya juga berhenti. Wajah pucat perempuan itu mulai terlihat dengan jelas di mata lelaki pemilik usaha garment itu. "Kamu kenapa, Baby?" tanya Orion yang sama sekali tidak mengetahui penyebab perempuan itu berlaku aneh seperti sekarang. Biasanya, perempuan yang sudah menjalin hubungan dekat dengannya selama setahun ini akan sangat antusias ketika diajak bertemu dengan para rekan kerjanya. Hal itu sangat membantu Orion dalam hal memuluskan rencana-rencana bisnisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia bisnis dan perempuan tidak bisa dipisahkan. Walau banyak rekan kerja lelaki tersebut yang sudah berkeluarga, tetapi tak jarang mereka juga membutuhkan perempuan lain untuk selingan di uar sana. Oleh karena itulah Orion memanfaatkan keberadaan sang perempuan untuk kasus-kasus tertentu seperti tadi.Si perempuan menggelengkan kepalanya. "Om, bisa nggak kalau aku nggak ikut menemui mereka?""Kenapa?" tanya Orion
Happy Reading*****"Mami kenapa? Apa Mami nggk suka sama makanan yang Rara pesen?" tanya si kecil karena sejak tadi, Kiran cuma mengaduk-aduk hidangan yang ada di piringnya. "Eh, enggak, kok, Sayang. Mami suka sama makanannya." Kiran langsung memasukkan satu suapan nasi beserta lauk ke mulutnya. Namun, tatapan mata perempuan itu masih mengarah pada sang suami. Wijananto melirik putranya. "Mir, untuk meeting dengan Pak Rion pagi ini, kamu bisa bantu nemenin Papa, kan? Biar Mama sama Kiran shopping dan jalan-jalan sama Rara."Mendengar perkataan mertuanya, wajah Kiran yang tadi tampak mendung berubah cerah. Pasalnya, sang suami akan sibuk dengan pekerjaan dan dia bisa menikmati liburan bersama Naumira dan Laila."Kamu nggak keberatan, kan, Sayang?" tanya Amir memastikan sang istri baik-baik saja saat ditinggal bekerja. "Halah, paling yang keberatan itu kamu, Mir. Kalau Kiran kayaknya fine-fine aja ditinggal kerja. Bener nggak, Ran?" tanya Laila."Enggeh, Ma." Kiran menundukkan kepal
Happy Reading*****Suara bel yang begitu nyaring membuat bola mata Kiran bergerak. Sinar mentari masuk melalui celah gorden. Kiran melirik lelaki di sampingnya. Amir masih terlelap dalam tidur. Selesai melaksanakan salat subuh tadi, mereka melakukan aktivitas intim sekali lagi. Seolah mendapat mainan baru, Amir tak bosan-bosan bermain-main dengan istrinya. Kiran merapikan pakaiannya sebelum membuka pintu. Meminta sang suami untuk bangun, tetapi Amir cuma menjawab dengan dehaman saja tanpa berniat membuka mata sama sekali."Mami, ih. Kenapa lama sekali bukain pintu?" Naumira sudah mengerucutkan bibirnya, lucu. Di belakang si kecil tampak Wijananto dan Laila. Kiran tersenyum malu pada kedua mertuanya. Selama menikah dengan Amir, dia belum pernah bangun kesiangan. Namun, karena ulah sang suami yang terus mengerjainya, tubuh Kiran kelelahan hingga tertidur dan bangun kesiangan."Mami ketiduran, Sayang," jawab Kiran setelah beberapa waktu bingung harus menjawab apa.Laila mengedarkan pan
Happy Reading*****Amir membuka mata ketika aktifitasnya tadi mulai mengusik pikiran. Penasaran mengapa lelaki itu belum bisa maksimal memberi kepuasan pada Kiran, sedangkan dirinya sudah mencapai puncak terlebih dahulu. "Apa senikmat itu hingga aku klimaks duluan sebelum memasukinya?" ucap Amir sendirian sambil membayangkan dan mengoreksi apa saja yang telah dia lakukan pada istrinya tadi.Hasrat itu kembali muncul apalagi ketika melihat belahan bukit kembar Kiran yang tidak tertutup sempurna. Amir pun mulai menciumi seluruh wajah sang istri. Kemudian turun ke leher, lebih turun lagi hingga menemukan puncak bukit kembar tersebut. Amir mulai menikmati puncak tersebut dengan segala kenikmatannya. Kiran melenguh kala sesuatu mengusik tidurnya. Rasa geli serta berbagai rasa lainnya seperti yang dialami sebelum tidur kembali. Mulai menggerakkan bola mata. Kiran mencium aroma sampo Amir. Dia yakin suaminya masih sangat penasaran dengan kegagalannya tadi. "Mass," panggil Kiran disertai
Happy Reading*****Kiran menatap wajah si kecil, inginnya dia marah. Namun, apalah daya, perempuan itu berpikir tentang psikis Naumira. Jika dia marah dan membentak, maka si kecil akan memiliki trauma. Kiran tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Seperti yang dialaminya waktu masih kecil."Mami nggak akan marah kok, Sayang," jawab Amir, "ya, kan, Mi?" Menoleh pada istrinya yang terlihat melamun."Eh, iya. Mami enggak marah, kok, Sayang," jawab Kiran.Amir mengambil tangan Naumira dan menggendong, membawa si kecil ke ranjang. Menggelitik pinggang di kasur besar sampai bocah itu tertawa keras. Kiran juga mengikuti aksi suaminya menggoda Naumira. Keluarga kecil itu tertawa lepas, melupakan segenap permasalahan yang beberapa waktu lalu menghampiri. Suara bel menghentikan tawa mereka. "Bentar, biar Papi yang bukain." Amir turun dari ranjang dan membukakan pintu. Ketika itulah ucapan syukur terlontar keras dari bibirnya. Melihat kedatangan orang tuanya sudah seperti mendapat harta mel
Happy Reading*****Ketukan pintu terdengar, Kiran dan Naumira saling pandang. Keduanya tampak berpikir, mungkin menduga-duga suara lelaki yang berkata tadi. Antara Wijananto dan Amir, memang suaranya mirip. "Mi," panggil Naumira. "Bukain, ya. Mungkin itu Nenek sama Kakek," pinta si bocah. "Yakin itu suara Kakek?" "Kayaknya iya."Tanpa rasa curiga sedikitpun, Kiran turun dari ranjang, berjalan untuk membukakan pintu. Perempuan itu membulatkan mata begitu melihat wajah lelaki di depannya."Lha, kok?" tanya Kiran kaget. Amir segera memeluk sang istri, langsung menciumi seluruh wajahnya penuh kebahagiaan. Tak peduli masih ada Naumira di dekatnya."Terima kasih, Sayang. Mas juga cinta banget sama kamu." Lagi-lagi Amir mencium seluruh wajah Kiran. Kiran kesal dan mendorong tubuh suaminya. "Mas, ini kenapa, sih?"Bukannya menjawab, Amir malah mengerlingkan mata pada Naumira."Papi," sapa si kecil. Langsung turun dan memeluk Amir. "Terima kasih, Sayang," ucap Amir. Mengangkat putrinya
Happy Reading*****Kiran menyipitkan mata sambil berpikir, kenapa bocah berumur 5 tahun sudah tahu kata cinta-cintaan. Terus dia harus jawab apa pada Naumira. Ternyata Kiran terperangkap oleh kata-katanya sendiri sekarang. Bingung, Kiran pun cuma bisa diam dan termenung."Mi, kok diem aja?" Naumira mengguncang pelan tubuh maminya. "Hmm. Gimana, ya, jawabnya. Rara pengen tahu atau pengen tahu banget?" Kiran merotasi bola matanya. Naumira berpura-pura pingsan sambil menepuk kening. Perempuan yang baru saja menikah dengan Amir itu terkikik. Menggelitik pinggang putrinya, gemas. Tawa mereka pecah dan membuat lelaki yang masih setia menunggu jawaban istrinya dari telepon meringis."Ayolah, jawab. Aku juga pengen tahu isi hatimu yang sebenarnya, Ran," gumam sang suami di seberang sana. Amir mulai gelisah. Akankah istrinya itu mempunyai jawaban lain. Selama ini, Kiran memang tidak pernah menyatakan perasaannya. Amirlah yang selalu mengungkapkan isi hatinya. Sangat mencintai wanita yang
Happy Reading****"Mami kok diem aja, sih. Kalau gitu kita mainan boneka, yuk!" ajak Naumira. Kiran cuma bisa menganggukkan kepala, terlalu jengkel dengan sikap suaminya yang malah membiarkan Dahlia bergabung bersamanya. Sekarang, lelaki itu malah tidak berniat menemukannya sama sekali. Mengirim pesan atau telepon saja tidak. "Sayang, Mami ada di kamarmu, ya.""Ya, Pi. Mami lagi main sama Rara sekarang." Chat balasan sudah dikirimkan Naumira pada papinya. "Ya, sudah kalau Mami lagi di kamar Rara. Sebentar lagi, Papi nyusul ke sana," balas Amir. Saat ini, dia masih memberikan ceramah singkat pada Dahlia supaya tidak mengganggu hubungannya dengan Kiran lagi. Amir sengaja tidak melakukannya di depan Kiran demi menjaga trauma yang mungkin belum sepenuhnya hilang. "Kalau aku membolehkanmu bergabung tadi, bukan berarti aku masih mencintaimu. Ingat, Lia. Hubungan kita sudah lama berakhir. Sekali lagi, aku peringatkan. Jika kamu terus saja membahas masa lalu. Bukan nggak mungkin, aku ak
Happy Reading*****Dari kejauhan, Kiran menatap dua orang yang tengah berbincang itu. Mengepalkan tangan saat senyum si perempuan terbit. "Di mana urat malunya? Sudah tahu Mas Amir punya istri masih aja deketin.""Mas, kenapa lama sekali?" Kiran berkata dengan sangat manja. Tangannya langsung bergelayut ketika sang suami menghampirinya. "Bentar, Sayang. Si Mbaknya masih layani tamu yang lain." Amir menatap penuh cinta, sedangkan pada perempuan yang menyapanya tadi, dia bersikap cuek.Makin mengeratkan tubuhnya pada Kiran, Amir seolah menunjukkan sesuatu pada si perempuan yang tidak pernah diharapkan bertemu lagi. Tak peduli perempuan di sampingnya tengah mengajak berbincang dan berusaha keras mendekatinya. Amir menutup semua celah yang bisa menganggu rumah tangganya.Beberapa menit kemudian lelaki itu sudah mendapatkan apa yang diinginkan. "Ayo, Mas sudah mendapatkannya," ajak Amir pada Kiran. "Njenengan duluan, Mas," kata Kiran. Setelah beberapa langkah suaminya pergi, dia mendeka