Happy Reading*****Sejak kejadian hari itu, diam-diam Amir sering mengamati perilaku Kiran. Tiap hari, selalu ada waktu untuk mengintai si gadis dari layar CCTV. Seperti kali ini, sang putra mahkota menatap layar serius mengawasi gerak-gerik Kiran. Suara ketukan beberapa kali dari luar sama sekali tak direspon. Amir menikmati senyum sang gadis yang tengah bersenda gurau dengan Fitriya. Terkadang, senyum itu menular padanya walau tidak tahu persis apa yang membuatnya tersenyum. Di balik pintu ruangan Amir, Syaif berdiri. Menunggu sang empunya mempersilakan masuk. Tak ingin lagi kejadian beberapa waktu lalu terulang. Namun, beberapa menit menunggu, membuatnya jenuh dan kesal juga. Pelan-pelan memutar knop pintu ke bawah, memajukan kepala sedikit untuk mengetahui aktifitas sang pemilik ruangan. "Astagfirullah. Dari tadi aku ngetuk pintu nggak denger, ternyata lagi ngelamun," ucap Syaif mengagetkan si empunya ruangan. Tangan Amir reflek memencet tombol off pada remot. Takut jika sa
Happy Reading*****Kembali ke ruangan setelah melaksanakan salat Zuhur. Kiran membayangkan wajah Amir dengan segala perlakuan anehnya tadi. "Kenapa aku merasa dia sedikit berubah, ya? Apa dia sakit? Biasanya, Pak Amir akan langsung marah pas tahu ada yang salah. Jelas-jelas aku yang nabrak dia, kok, malah dia yang minta maaf duluan.""Hayo ngelamunin apa?" Fitri menyentuh pundak sahabatnya."Siapa yang melamun, sih. Aku lho mikir anggaran ini. Kira-kira disetujui enggak ya, sama pihak keuangan." Alasan yang cukup masuk akal karena Kiran saat ini sedang memegang proposal anggaran produksi baru. "Hmm, mikir kerjaan saja segitunya. Asal angkanya masuk akal dan sesuai kebutuhan produksi kita, mereka pasti menyetujui. Emang, ya, kamu ini." Fitri memilih kembali ke meja kerjanya. Mengembuskan napas dalam-dalam, Kiran menutup proposal di depannya. Memilih keluar, daripada dia terus memikirkan tentang keanehan si bos. Lebih, baik dia mencari kesibukan dengan mengecek pekerjaan karyawan
Happy Reading***Pekerjaan Kiran hari ini terbilang cukup padat. Sejak pagi, gadis itu terjun langsung menyortir orderan yang akan dikirim ke luar pulau. Hampir-hampir tak ada waktu duduk. Tak beda jauh dengannya, Fitri juga merasakan hal sama. Deadline pengiriman semakin dekat membuat para karyawan bagian produksi bekerja ekstra. Mereka tentunya tidak mau dipotong gaji ketika ada kesalahan pada hasil produksi. Oleh karenanya, semua bekerja dengan ketelitian dan keseriusan penuh.Sementara di tempat berbeda, Amir sedang dilema. Janji mengajak Naumira piknik ke salah satu taman yang terdapat beraneka ragam satwa terancam batal. Baru saja, resepsionis mengabarkan jika tamu dari luar kota yang akan mengajak kerja sama meminta bertemu pada jam makan siang di Resto Tepi Sawah. Sementara putrinya sedang dalam perjalan ke kantor untuk menjemputnya menuju taman satwa. Mondar-mandir lelaki itu mencoba mencari solusi permasalahannya saat ini. Mencoba menghubungi klien itu, tetapi tak berhas
Happy Reading ***** Indera Kiran dan Amir bertemu, keduanya diam beberapa saat, menyelami keinginan masing-masing. Si gadis ingin menolak karena tak ingin terlibat lebih jauh dengan urusan atasannya, tetapi sorot mata sang lelaki mengisyaratkan sebaliknya. Cukup lama keduanya terdiam hingga tarikan tangan untuk masuk mobil oleh si kecil terasa pada pergelangan Kiran. "Ayo masuk, Tan. Temen Papi udah jalan," pinta Naumira. Rupanya, gadis kecil itu tak sabar melihat adegan saling diam dua orang dewasa di sampingnya. Mau tak mau Kiran mengikuti ajakan bocah itu. Duduk di samping lelaki yang mati-matian dihindari. Walau enggan, Kiran harus melakukannya. Amir menoleh sebentar ke arah si gadis yang lebih banyak menunduk tersebut. "Pakai sabuk pengamannya, Ran," peringat Amir sebelum menjalankan kendaraan roda empatnya. Kiran meraih sabuk pengaman di kursinya dan menyilangkan ke depan. Melihat begitu paruhnya gadis itu, Amir menambahkan satu poin plus. Sepanjang perjalanan menu
Happy Reading*****"Makanya, Ayah harus peka. Ayo kita ke sana!" ajak Hani pada mereka. Dia juga memanggil anak-anak untuk berhenti main. Di depan pasangan itu, Amir menggendong Naumira berjalan di belakang bersama dengan Kiran. "Pi, ngapain kita ke rumah kaca lagi?" tanya Naumira lucu. Keringat membasahi seluruh wajah padahal Kiran sudah membersihkan dengan tisu tadi. "Tantenya mau beli bunga, Sayang.""Tante Kiran mau beli bunga apa? Sekalian beliin Nenek juga, ya, Pi. 'Kan Nenek suka banget sama bunga.""Bukan Tante yang mau beli, Ra. Tuh, Tante Hani." Kiran menunjuk istri Ridho dengan mata. "Kalau kamu mau, beli aja sekalian, Ran," kata Amir sepelan mungkin, persis seperti orang berbisik. Sepertinya, lelaki itu mulai belajar memahami ketakutan karyawannya.Kiran menggeleng. Dia tetap memegang prinsip. Tak mau menerima apa pun yang diberikan seorang cowok. Katanya, supaya hal itu tidak membuat terikat.Banyak contoh yang sudah Kiran lihat. Ketika seorang perempuan menerima mau
Happy Reading*****Pulang dari kafe tepi sawah, Kiran minta kembali ke kantor, sedangkan Amir memilih mengantarkan putrinya ke rumah. Sebenarnya, lelaki itu ingin sekali mengantar pulang Kiran karena jam kantor hampir selesai. Namun, si gadis menolak keras. Alasannya karena motor Kiran masih berada di kantor. "Terima kasih, Pak," ucap Kiran sebelum keluar mobil untuk kembali ke kantor. "Aku yang seharusnya berterima kasih. Kamu sudah banyak membantu hari ini.""Sudah kewajiban saya sebagai seorang karyawan. Membantu atasan sebisa mungkin. Saya, permisi." Kiran memutar handle pintu. Bersiap turun, tetapi Naumira memanggilnya. "Ada apa, Sayang?"Cup ...Gadis kecil itu mencium pipi Kiran. "Terima kasih, Tante Kiran. Rara bahagia banget ini. Walau nggak jadi pergi ke tempat yang sudah dijanjikan Papi, tapi Rara tetap bisa piknik apalagi ada Tante yang nemenin," ucap Naumira penuh semangat. "Sama-sama, Sayang." Kiran membalas ciuman si kecil pada puncak kepala. Dia begitu gemas deng
Happy Reading*****"Bener, Ma," ucap papinya Naumira.Laila terdiam, sejak kapan Amir memiliki seorang calon pendamping, sedangkan dekat dengan cewek saja tidak pernah kecuali Rosa. Laila menyenggol lengan putranya. "Jangan main-main dengan perkataan itu. Pernikahan bukanlah sebuah lelucon. Kamu nggak boleh sembarangan ngomong seperti itu lagi. Kalau nggak mau sama Rosa, tinggal bilang. Nggak perlu ngaku-ngaku sudah ada calon pendamping," bisik Laila meyakinkan diri sendiri bahwa yang dikatakan Amir tadi benar. Sang putra, hanya mengangguk dan tersenyum. Laila tak meneruskan pertanyaannya, biarlah nanti sampai di rumah saja. Berunding dengan sang suami terlebih dulu. Jika memang benar pengakuan putranya, maka dia akan segera melamar gadis tersebut. Masih penuh dengan ketegangan antara Rosa dan Ernanda, Laila pamit pulang terlebih dahulu. "Papanya Amir pasti udah nunggu di rumah. Aku pulang dulu, ya, Er. Maaf, bukan aku nggak mau jadiin Rosa menantu. Cuma anakku udah ada calon send
Happy Reading*****Laila menatap suaminya dengan aneh. "Pa, kenapa sama cewek yang disebutkan Amir tadi?" tanya untuk kedua kali."Nggak ada apa-apa sama dia, Ma. Iya, kan, Pa? tanya Amir. Wijananto mengangguk, tetapi pikirannya masih berputar-putar. Antara percaya dan tidak jika Amir menjalin hubungan dengan Kiran. "Syukur, deh. Kalau memang nggak ada apa-apa. Mama sampai berpikir negatif, melihat reaksi Papa tadi.""Iya, nih. Biasa aja kali, Pa," kata Amir menambahkan perkataan sang mama. "Masalahnya Papa tahu betul Kiran itu nggak mau deket-deket cowok. Terus kenapa kamu bilang dia calonmu? 'Kan aneh. Ya, Papa kaget. Kamu nggak sedang mengarang bebas, kan?" Wijananto duduk di sofa kamar Amir bersama sang istri, sedangkan Amir duduk di kursi kerjanya menghadap kedua orang tuanya. "Ngarang gimana, sih, Pa?" tanya Amir santai, "Kiran memang nggak mau dekat-dekat sama cowok, tapi bukan berarti dia nggak mau Deket sama aku, kan? Nyatanya, aku bisa ngomong seperti itu. Memangnya, s
Happy Reading*****Rasanya, Amir ingin tertawa keras saat itu juga melihat wajah aneh gadisnya. Foto yang dikirimkan Ridho ke ponselnya tadi, dijadikan senjata bagi Amir. Modus banget memang lelaki itu. Demi ingin disuapi Kiran saja sampai memakai ancaman padahal dia hampir marah ketika rekan kerjanya tadi mengambil foto tanpa ijin. Namun, sekarang hasil jepretan itu malah dijadikan alasan untuk mendapatkan keinginannya. "Memang punya?" tanya Kiran setelah beberapa menit terdiam. Antara takut dan tidak percaya dia butuh kepastian kebenaran ucapan Amir. Namun, rasa takut Kiran jauh lebih besar. Pasti malu sekali jika omongan lelaki itu direalisasikan. Bagaimana mungkin Amir bisa memiliki fotonya yang ketakutan dan langsung memeluk erat. Jari Amir mulai berhenti mengetik, meraih ponsel yang diletakkan di sebelah keyboard. Beberapa detik kemudian, dia menunjukkan foto pada Kiran. "Lihat baik-baik siapa cewek di foto itu." Amir menunggu sebentar, melihat reaksi si gadis selanjutnya.
Happy Reading*****Sejak kejadian panggilan 'sayang' dari Amir, gosip santer tentang kedekatan Kiran kian berdengung. Degup jantung si gadis pun bertalu ketika sang atasan sering memberikan perhatian lebih dari sekedar karyawan biasa. Alarm tubuhnya untuk berhati-hati dan tidak menanggapi semua perlakuan tak biasanya dari Amir, seolah tak berfungsi kini. Hatinya bahagia dengan sikap sang atasan, tetapi perilakunya terkadang bereaksi lain. Marah pada diri sendiri sering kali menerpa Kiran. Dia benci pada reaksi hatinya ketika bertemu dengan Amir. Seperti saat ini, entah mengapa si gadis kecewa ketika berpapasan dengan si bos saat akan keluar makan siang, Amir tak menyapa seperti biasa. Lelaki itu melewati Kiran begitu saja.Lelaki itu bahkan tidak meliriknya sama sekali, sibuk dengan ponsel hingga siluetnya tak terlihat oleh Kiran."Tuh, kan. Cowok itu di mana-mana sama. Perasaannya gampang banget berubah. Dia pasti lagi nelpon cewek lain tadi, merayunya. Dih, apaan. Udah punya istr
Happy Reading*****Kiran terpaksa menoleh ke arah si bos. "Benar. Mana mungkin saya membohongi atasan. Pokoknya, Bapak tenang saja. Kami ikhlas lembur tanpa bayaran demi menyelesikan pekerjaan," ucapnya tegas."Oke," sahut Amir penuh semangat. Kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?" Si gadis memberanikan diri menoleh sekali lagi. "Kalau niat bantu. Sebaiknya bantuin mereka aja angkat kain dan masukin ke gudang." Sengaja memang, Kiran melakukannya, ingin melihat kesungguhan ucapan sang atasan. "Oke. Sesuai permintaan," ucap Amir. Dia melepas arloji dan menggulung kurta yang dikenakan sampai siku. Mengeluarkan ponsel serta dompet dari saku dan memberikan pada Kiran. "Sebagai calon istri yang baik, kamu harus menjaga semua barang-barang ini. Aku bantu mereka dulu," ucap Amir tak lupa dengan kerlingan mata.Sedang ingin menggoda Kiran, baru beberapa langkah, Amir berbalik dan memanggil nama sang gadis. Mengecup tangannya sendiri dan meniupkan pada sang gadis. Kiran membuang muka, bib
Happy Reading***** Semua kebutuhan u tuk orderan sudah berada di mobil. Amir dan Kiran siap meninggalkan kantor pusat. "Pak, saya duluan, ya," ucap sopir angkut kantor cabang. "Eh, Pak, tunggu," panggil Kiran, "saya ikut mobil Bapak saja."Bukannya menjawab, si sopir memelihara ke arah Amir. Mengerti tatapan si bos, sopir itupun berkata, "Nggak bisa, Mbak. Masak iya, Mbak Kiran duduk dempetan sama saya dan cowok lainnya."Menghela napas, Kiran pun mengurungkan niatnya. Kembali berbalik dan berjalan ke arah mobil Amir tanpa kata.Si bos tersenyum ruang. Mengacungkan jempol pada si sopir.Sesampainya di kantor jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Satu jam lagi waktunya seluruh karyawan pulang ke rumah masing-masing. Kiran meminta tim produksi mempercepat kerjanya agar barang yang dibawa bisa masuk ke gudang sebelum jam pulang. Dia mengingat perkataan Amir tempo hari yang melarang karyawan lembur jika tidak ada pemberitahuan resmi dari si bos. "Fit, usahakan semua barang masuk s
Happy Reading*****"Keberatanmu Bapak tolak," sahut Wijananto. "Bapak tahu, kamu bukanlah tipe karyawan yang mencampuradukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Kali ini pun, Bapak percaya kamu bisa mengesampingkan hal-hal pribadi itu."Kiran terdiam, tentu dia tidak akan menyanggah lagi. Kalau masalah ini diteruskan, bukan tidak mungkin Wijananto akan mengatakan masalah pribadinya dengan Amir di ruang meeting."Bagaimana, Ran. Apa kamu masih keberatan dengan keputusan Bapak tadi?"Menimbang banyak hal dan mendengar alasan Wijananto membuat Kiran mengangguk. Selesai dengan rapat mereka, Naumira mendekati sang gadis. Meminta gendong, bocah ini selalu mematuhi apa yang orang dewasa katakan. Ketika tadi Wijananto berkata untuk diam dan tidak rewel selama rapat berlangsung, dia lakukan semua. Kini, setelah rapat selesai barulah bocah itu merengek manja."Rara sama Kakek, ya. Mami Kiran lagi kerja sama Papi." Lelaki itu mengambil Naumira dari tangan Kiran dan menggendongnya dengan cepat.
Happy Reading*****Amir mempercepat langkah supaya bisa menyejajarkan diri dengan Kiran. "Ran, tunggu, dong," pinta Amir. Walau langkahnya cukup lebar, tetapi belum bisa mengejar Kiran. Perempuan itu malah terkesan melarikan diri."Apa, sih, Pak. Kita sudah telat. Pak Wijananto pasti sudah memulai rapatnya. Jangan menjatuhkan reputasi saya, dong," protes Kiran.Walau Kiran terlihat kesal dan marah, tetapi Amir merasakan kebahagian tersendiri. Sesampainya di ruang meeting, banyak pasang mata yang menatap pada kedua orang yang baru saja datang. Bisik-bisik pun terjadi, jelas hal yang dilakukan pimpinan mereka di luar kebiasaan. Tidak pernah Amir telat saat rapat. Namun, sekarang lelaki itu terlambat sekali apalagi datang barengan dengan Kiran."Papa ngadain meeting mendadak banget," bisik Amir. Lelaki itu sudah duduk di samping Wijananto, sedangkan putrinya duduk agak jauh dari mereka. Naumira sengaja duduk terpisah dari para peserta rapat. "Papa baru inget kalau orderan di pusat ng
Happy Reading*****Amir dan Kiran saling menatap, seperti di film-film yang menikmati kedalaman hati masing-masing. Terkejut sekaligus malu jika adegan mereka tadi terlihat Fitri dan Wijananto. "Maaf, aku nggak tahu kalau ada Pak Amir di dalam," kata Fitri penuh penyesalan. "Nggak papa, Fit. Ruangan ini kan milik kalian berdua," sahut Amir. Mukanya merah karena malu. Kiran sendiri masih tetap diam. Tidak berani menatap dia orang yang baru masuk ruangannya."Kakek ...." Naumira memanggil lelaki sepuh itu dan berlari ke pelukannya. "Kalian sedang makan siang?" tanya Wijananto, menatap Amir dan Kiran bergantian. "Selesaikan dulu makan siang kalian. Setelah itu temui Papa di ruang meeting. Rara ikut sama Kakek, ya. Nanti, tak beliin pizza yang lebih banyak."Fitri dan Wijananto keluar lagi meninggalkan keduanya dengan tersenyum. Kini, tinggallah mereka berdua di ruangan itu. Sekali lagi, Amir menyodorkan potongan pizza pada Kiran. Si gadis melotot malas. "Anggap ini permintaan maafku
Happy Reading*****Kiran tak berani berkata apa pun walau dadanya kian sesak, lebih banyak bermain bersama dengan Rara daripada pusing dengan pertanyaan dalam hati. Namun, sikap sok akrab Amir dengan lelaki sepuh yang tak lain adalah Agus, membuat sang gadis sedikit terganggu. Si atasan duduk di sebelahnya setelah berbincang sebentar dengan tamu. Lalu, Amir berkata cukup lirih di telinga Kiran. "Aku yakin kamu kenal siapa beliau. Apa kamu nggak ingin menyapanya?"Sang gadis diam saja, lirikan tajam dan penuh benci kembali diberikan pada Amir. Perasaan di hatinya kian menyesakkan. Apa yang ada di pikirannya tadi benar. Amir yang mengundang lelaki paruh baya tersebut. Tak mau membuat kegaduhan di ruangan Amir karena ada si kecil, Kiran masih tetap bungkam hingga suara si bos kembali terdengar. "Cobalah berdamai dengan masa lalu, Ran. Semua pasti ada hikmah," kata Amir.Mata sang gadis menatap nyalang pada si bos. Kiran tidak lagi bisa menyembunyikan kemarahannya. "Oh, jadi karena su
Happy Reading****Tak mungkin lagi, hari ini Kiran absen ke kantor. Sudah tiga hari, dia libur dan hanya berdiam di rumah. Mau tak mau dia harus masuk dan bertemu dengan Amir sekalipun hatinya tak menginginkan. Kalau bukan karena Naumira yang menelepon tadi pagi dan mengatakan rindu, mungkin dia masih absen kerja. Puluhan chat yang dikirimkan Amir semakin menambah beban Kiran. Oleh karenanya, gadis itu tidak mau membalas satu pun. Namun, ketika si kecil menelepon, merengek untuk bisa bertemu, hatinya pun luluh."Ran, kamu kenapa, sih? Tiga hari ini nggak masuk, ditelpon nadanya lemes banget. Kalau kamu nggak ngantor, si manajer semprul itu gangguin aku terus," adu Fitri. Pasalnya selama sahabatnya itu absen kerja, Syaif gencar mencari info tentang Kiran. Fitri sedikit cemburu sebenarnya, tetapi dia tetap menceritakan semua tentang Kiran. Dari mulai makanan, minuman, warna, film dan semua yang menjadi favorit sahabatnya itu, diceritakan. "Aku enggak enak badan, Fit." Kiran pun berp