Happy Reading*****Pulang dari kafe tepi sawah, Kiran minta kembali ke kantor, sedangkan Amir memilih mengantarkan putrinya ke rumah. Sebenarnya, lelaki itu ingin sekali mengantar pulang Kiran karena jam kantor hampir selesai. Namun, si gadis menolak keras. Alasannya karena motor Kiran masih berada di kantor. "Terima kasih, Pak," ucap Kiran sebelum keluar mobil untuk kembali ke kantor. "Aku yang seharusnya berterima kasih. Kamu sudah banyak membantu hari ini.""Sudah kewajiban saya sebagai seorang karyawan. Membantu atasan sebisa mungkin. Saya, permisi." Kiran memutar handle pintu. Bersiap turun, tetapi Naumira memanggilnya. "Ada apa, Sayang?"Cup ...Gadis kecil itu mencium pipi Kiran. "Terima kasih, Tante Kiran. Rara bahagia banget ini. Walau nggak jadi pergi ke tempat yang sudah dijanjikan Papi, tapi Rara tetap bisa piknik apalagi ada Tante yang nemenin," ucap Naumira penuh semangat. "Sama-sama, Sayang." Kiran membalas ciuman si kecil pada puncak kepala. Dia begitu gemas deng
Happy Reading*****"Bener, Ma," ucap papinya Naumira.Laila terdiam, sejak kapan Amir memiliki seorang calon pendamping, sedangkan dekat dengan cewek saja tidak pernah kecuali Rosa. Laila menyenggol lengan putranya. "Jangan main-main dengan perkataan itu. Pernikahan bukanlah sebuah lelucon. Kamu nggak boleh sembarangan ngomong seperti itu lagi. Kalau nggak mau sama Rosa, tinggal bilang. Nggak perlu ngaku-ngaku sudah ada calon pendamping," bisik Laila meyakinkan diri sendiri bahwa yang dikatakan Amir tadi benar. Sang putra, hanya mengangguk dan tersenyum. Laila tak meneruskan pertanyaannya, biarlah nanti sampai di rumah saja. Berunding dengan sang suami terlebih dulu. Jika memang benar pengakuan putranya, maka dia akan segera melamar gadis tersebut. Masih penuh dengan ketegangan antara Rosa dan Ernanda, Laila pamit pulang terlebih dahulu. "Papanya Amir pasti udah nunggu di rumah. Aku pulang dulu, ya, Er. Maaf, bukan aku nggak mau jadiin Rosa menantu. Cuma anakku udah ada calon send
Happy Reading*****Laila menatap suaminya dengan aneh. "Pa, kenapa sama cewek yang disebutkan Amir tadi?" tanya untuk kedua kali."Nggak ada apa-apa sama dia, Ma. Iya, kan, Pa? tanya Amir. Wijananto mengangguk, tetapi pikirannya masih berputar-putar. Antara percaya dan tidak jika Amir menjalin hubungan dengan Kiran. "Syukur, deh. Kalau memang nggak ada apa-apa. Mama sampai berpikir negatif, melihat reaksi Papa tadi.""Iya, nih. Biasa aja kali, Pa," kata Amir menambahkan perkataan sang mama. "Masalahnya Papa tahu betul Kiran itu nggak mau deket-deket cowok. Terus kenapa kamu bilang dia calonmu? 'Kan aneh. Ya, Papa kaget. Kamu nggak sedang mengarang bebas, kan?" Wijananto duduk di sofa kamar Amir bersama sang istri, sedangkan Amir duduk di kursi kerjanya menghadap kedua orang tuanya. "Ngarang gimana, sih, Pa?" tanya Amir santai, "Kiran memang nggak mau dekat-dekat sama cowok, tapi bukan berarti dia nggak mau Deket sama aku, kan? Nyatanya, aku bisa ngomong seperti itu. Memangnya, s
Happy Reading*****"Nggak usah melibatkan Rara, deh, Pa," sara Laila, "gimana kalau Papa menggunakan alasan pekerjaan saja untuk memintanya datang.""Ya, nggak bisa, Ma. Kiran, kan, susah nggak kerja sama Papa lagi. Apa nggak aneh kalau Papa memintanya dengan alasan pekerjaan." "Iya, juga, ya," timpal Laila, "dipikir nanti saja, Pa. Mama mau nyiapin makan malam dulu." Perempuan paruh baya itu meninggalkan sang suami sendirian di kamarnya.*****Kiran bekerja seperti biasanya, tidak begitu menghiraukan apa yang dilakukan Amir, meskipun sedikit aneh baginya. Namun, gadis itu mencoba bersikap biasa saja. "Ran, ayo siap-siap. Udah mau JM pulang," ucap Fitri menghentikan semua aktifitas yang dilakukan sahabatnya. "Kamu, Fit. Masih kurang lima belas menit lagi.""Halah, kamu ini. Nggak perlu terlalu rajin, kita nggak kerja di kantor pusat.""Hmm." Baru akan melanjutkan perkataannya, menjawab sang sahabat, ponsel Kiran berdering. "Siapa?" tanya Fitri, kepo."Big Father," bisik Kiran seo
Happy Reading*****Wijananto menangkupkan tangan kanannya di atas telapak tangan sang istri. Menggelengkan kepala agar Laila tidak menuntut jawaban Kiran. Jelas saat ini, si gadis terlihat begitu ketakutan."Kalau memang ada yang nggak kamu sukai dari cara Amir memimpin di kantor cabang. Nggak masalah kamu ungkapkan semua sama Bapak," ucap Wijananto lembut disertai senyuman.Kiran masih menunduk, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semua keresahan hatinya tentang Amir. Namun, ketika mengingat hal yang membuatnya ketakutan bersumber pada dari dirinya sendiri. Kiran, mengurungkan niatnya. Beberapa detik kemudian, gadis itu memberanikan diri, mengangkat kepala melihat kedua orang tua Amir. "Sampai saat ini, saya belum punya keluhan dengan Pak Amir, Pak."Wijanto dan Laila tersenyum ketika si gadis mengatakan hal seperti itu."Alhamdulillah kalau Kiran nggak punya keluhan apa pun sama Amir. Ibu senang mendengarnya," sahut Laila. Begitu lega ketika gadis incaran putranya mengatak
Happy Reading*****Pulang dari rumah atasannya, pikiran Kiran dipenuhi kemarahan pada sang atasan. Sama sekali tak habis pikir bagaimana Amir menceritakan tentangnya pada Wijananto dan Laila. "Kamu kenapa, Ran?" tanya Nur ketika meIihat wajah putrinya yang suram."Nggak ada apa-apa, Bu. Aku cuma capek saja," jawab Kiran tak ingin perempuan yang teIah meIahirkannya itu mengetahui segaIa permasaIahannya."KaIau gitu, istirahat sana," suruh perempuan paruh baya dengan daster batik. "SebeIum itu, kamu makan duIu, Ibu sudah siapkan makanan di meja. Masmu puIang agak maIam katanya, jadi nggak usah menunggunya.""Aku sudah makan maIam, Bu. Mau Iangsung istirahat saja." Kiran berjaIan meninggaIkan ibunya dan perempuan paruh baya itu cuma bisa menggeIengkan kepaIanya."Ibu nggak tahu apa yang terjadi padamu, Nduk. Tapi, semoga kamu bisa meIewati semua masaIah yang terjadi dengan baik," Iirih Nur mendoakan putrinya.*****Kiran berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa bahkan sarapan pun tak se
Happy Reading*****Kiran menatap benci pada lelaki yang kini terlihat begitu berharap bahwa dirinya akan menerima lamaran yang diucapkan Wijananto. Tanpa diduga, sang gadis melayangkan tamparan pada pipi kiri Amir. "Ternyata benar pikiran saya selama ini. Semua lelaki itu sama saja. Enggak akan pernah cukup dengan satu wanita."Amir kembali memegang pergelangan Kiran dengan berat. "Apa maksudmu? Jangan salah paham, Ran." Walau emosinya terpancing dengan ucapan kasar si gadis yang menuduhnya sembarangan, tetapi Amir tetap mengecilkan suaranya. Kiran melepas paksa genggaman tangan Amir. Berlari keluar ruangan dan meninggalkan kantor. Sementara Amir diam mematung. "Trauma apa yang kamu miliki di masa lalu? Mengapa sampai terucap kalimat kebencian seperti itu?" gumam Amir lirih sepeninggal Kiran. Masih dengan kebisuan dan kebingungan, Syaif datang menghampiri Amir. Menepuk pundak sahabatnya. Si bos menoleh dengan raut muka kecewa, penuh penyesalan. "Kiran kamu apain sampai marah sep
Happy Reading*****Menjelang tengah hari, Nur menghentikan aktifitas menjahitnya. Menengok ke kamar Kiran, ternyata gadis itu tengah meringkuk dengan memeluk boneka panda kesayangannya. Si Ibu mendekat, duduk di samping putrinya dan mengusap lembut kepala Kiran yang masih tertutup jilbab. "Ibu nggak tahu apa yang terjadi, Nak. Maafkan Ibu jika sudah membuatmu mengalami kesakitan dan trauma yang mendalam. Andai dulu Ibu bisa lebih memendam sakit itu, mungkin kamu nggak perlu ngalamin semua ini." Air mata Nur terjatuh. Hari-hari kelam di masa lalu kembali hadir. Merasakan elusan di kepala, Kiran menggerakkan bola mata walau masih belum membukanya. Rasanya sangat berat untuk membuka. Hampir seharian menangis, membuat indera penglihatannya perih ketika dibuka.Air mata Nur kembali terjatuh, beban penderitaan kedua buah hatinya adalah akibat kesalahan masa lalu. Sudah bertahun-tahun terlewat, tetapi sakit itu masih membekas pada anak-anaknya. Kiran tak tahan lagi, apalagi ketika isakan
Happy Reading*****Syaif melihat reaksi Kiran yang tak biasa, dia merasa bersalah. Namun,dia juga kasihan dengan sang sahabat. Jika masalah Amir dan Kiran tidak segera diselesaikan, maka salah satunya pasti akan terluka dan sakit. "Maaf, ya, Ran. Bukan maksudku membuatmu nggak nyaman dengan kehadiran Pak Amir," kata sang manajer HRD memulai aksinya membantu sang si bos. Menatap Kiran sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya.Sementara itu, Amir masih diam saja. Dia tidak berani membuka suara karena tidak mau jika gadisnya marah dan pergi."Aku lihat beliau di kasir sendirian tadi. Oleh karena kita saling mengenal satu sama lain, jadi aku tawarkan saja untuk bergabung. Pak Amir dan keluarga emang sering makan di sini, sih. Jadi, SMA sekali nggak ada unsur kesengajaan. Nggak papa kan, Ran?" Syaif menatap gadis yang masih betah menyembunyikan wajah dengan menunduk. "Rara sama Mama minta beli makanan di sini," tambah si bos menerangkan untuk meyakinkan perkataan Syaif pada Kiran."Ters
Happy Reading****Naumira mengamati papinya sejak tadi yang berganti-ganti baju. Hampir seluruh isi lemari lelaki itu, sudah dikeluarkan dan dicoba. Namun, belum ada pakaian yang dirasa pas untuk kencan pertamanya dengan Kiran. Gadis kecil itu sampai harus menghentikan permainannya dan fokus, hanya melihat tingkah aneh si papi. Sambil geleng-geleng, Naumira mulai tak tahan untuk bertanya."Papi mau pergi ke mana, sih? Ribet amat, dari tadi ganti-ganti terus bajunya. Kasihan Mbak Tun kerjaannya nambah. Tuh, lihat. Baju yang sudah diterima kusut lagi jadinya," ucap Naumira. Tatapannya aneh, melihat Amir dari ujung kaki hingga kepala. "Katanya pengen dibawain pulang Mami," kata Amir sambil merapikan lagi rambutnya yang sedikit berantakan. Dia sudah mendapatkan baju yang pas untuk digunakan menemui Kiran malam ini. "Mami artinya Tante Kiran, ya, Pi? Kata Kakek gitu," tanya Naumira yang diangguki oleh Amir. "Kapan mau dibawa pulang?" tanya Naumira lebih lanjut. Wajahnya berbinar ketik
Happy Reading*****"Coba, Papi hubungi dia, ya. Rara pengen main sama Mami?" tanya Amir membiasakan panggilan mami pada Kiran terhadap putrinya sesuai yang papanya katakan waktu itu.Naumira mengangguk. "Udah lama banget, Rara nggak main. Kemarin-kemarin, mau ke sini selalu nggak dibolehin sama Kakek. Katanya, Papi sama Mami sibuk.""Ya, udah. Rara turun dulu. Papi mau telpon." Walau hatinya sangat ragu, tetapi Amir tetap mencoba untuk menghubungi Kiran demi putrinya. Panggilannya ke ruang produksi terangkat. Suara Fitri terdengar menyapa indera Amir. "Kiran ada di sana, Fit?" tanya si bos."Ada, Pak. Bentar, ya." Diam beberapa detik hingga Amir mendengar suara Kiran yang begitu merdu di telinga. Sungguh, hanya mendengar suaranya saja, Amir sudah sangat bahagia apalagi jika nanti gadis itu mau menemani putrinya. Maka, jalan mendekatinya akan semakin terbuka lebar."Ran, Rara nyariin kamu. Dia pengen main sama kamu," kata Amir setelah beberapa saat terdiam."Maaf, Pak. Saya lagi si
Happy Reading*****Rasanya, Amir ingin tertawa keras saat itu juga melihat wajah aneh gadisnya. Foto yang dikirimkan Ridho ke ponselnya tadi, dijadikan senjata bagi Amir. Modus banget memang lelaki itu. Demi ingin disuapi Kiran saja sampai memakai ancaman padahal dia hampir marah ketika rekan kerjanya tadi mengambil foto tanpa ijin. Namun, sekarang hasil jepretan itu malah dijadikan alasan untuk mendapatkan keinginannya. "Memang punya?" tanya Kiran setelah beberapa menit terdiam. Antara takut dan tidak percaya dia butuh kepastian kebenaran ucapan Amir. Namun, rasa takut Kiran jauh lebih besar. Pasti malu sekali jika omongan lelaki itu direalisasikan. Bagaimana mungkin Amir bisa memiliki fotonya yang ketakutan dan langsung memeluk erat. Jari Amir mulai berhenti mengetik, meraih ponsel yang diletakkan di sebelah keyboard. Beberapa detik kemudian, dia menunjukkan foto pada Kiran. "Lihat baik-baik siapa cewek di foto itu." Amir menunggu sebentar, melihat reaksi si gadis selanjutnya.
Happy Reading*****Sejak kejadian panggilan 'sayang' dari Amir, gosip santer tentang kedekatan Kiran kian berdengung. Degup jantung si gadis pun bertalu ketika sang atasan sering memberikan perhatian lebih dari sekedar karyawan biasa. Alarm tubuhnya untuk berhati-hati dan tidak menanggapi semua perlakuan tak biasanya dari Amir, seolah tak berfungsi kini. Hatinya bahagia dengan sikap sang atasan, tetapi perilakunya terkadang bereaksi lain. Marah pada diri sendiri sering kali menerpa Kiran. Dia benci pada reaksi hatinya ketika bertemu dengan Amir. Seperti saat ini, entah mengapa si gadis kecewa ketika berpapasan dengan si bos saat akan keluar makan siang, Amir tak menyapa seperti biasa. Lelaki itu melewati Kiran begitu saja.Lelaki itu bahkan tidak meliriknya sama sekali, sibuk dengan ponsel hingga siluetnya tak terlihat oleh Kiran."Tuh, kan. Cowok itu di mana-mana sama. Perasaannya gampang banget berubah. Dia pasti lagi nelpon cewek lain tadi, merayunya. Dih, apaan. Udah punya istr
Happy Reading*****Kiran terpaksa menoleh ke arah si bos. "Benar. Mana mungkin saya membohongi atasan. Pokoknya, Bapak tenang saja. Kami ikhlas lembur tanpa bayaran demi menyelesikan pekerjaan," ucapnya tegas."Oke," sahut Amir penuh semangat. Kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?" Si gadis memberanikan diri menoleh sekali lagi. "Kalau niat bantu. Sebaiknya bantuin mereka aja angkat kain dan masukin ke gudang." Sengaja memang, Kiran melakukannya, ingin melihat kesungguhan ucapan sang atasan. "Oke. Sesuai permintaan," ucap Amir. Dia melepas arloji dan menggulung kurta yang dikenakan sampai siku. Mengeluarkan ponsel serta dompet dari saku dan memberikan pada Kiran. "Sebagai calon istri yang baik, kamu harus menjaga semua barang-barang ini. Aku bantu mereka dulu," ucap Amir tak lupa dengan kerlingan mata.Sedang ingin menggoda Kiran, baru beberapa langkah, Amir berbalik dan memanggil nama sang gadis. Mengecup tangannya sendiri dan meniupkan pada sang gadis. Kiran membuang muka, bib
Happy Reading***** Semua kebutuhan u tuk orderan sudah berada di mobil. Amir dan Kiran siap meninggalkan kantor pusat. "Pak, saya duluan, ya," ucap sopir angkut kantor cabang. "Eh, Pak, tunggu," panggil Kiran, "saya ikut mobil Bapak saja."Bukannya menjawab, si sopir memelihara ke arah Amir. Mengerti tatapan si bos, sopir itupun berkata, "Nggak bisa, Mbak. Masak iya, Mbak Kiran duduk dempetan sama saya dan cowok lainnya."Menghela napas, Kiran pun mengurungkan niatnya. Kembali berbalik dan berjalan ke arah mobil Amir tanpa kata.Si bos tersenyum ruang. Mengacungkan jempol pada si sopir.Sesampainya di kantor jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Satu jam lagi waktunya seluruh karyawan pulang ke rumah masing-masing. Kiran meminta tim produksi mempercepat kerjanya agar barang yang dibawa bisa masuk ke gudang sebelum jam pulang. Dia mengingat perkataan Amir tempo hari yang melarang karyawan lembur jika tidak ada pemberitahuan resmi dari si bos. "Fit, usahakan semua barang masuk s
Happy Reading*****"Keberatanmu Bapak tolak," sahut Wijananto. "Bapak tahu, kamu bukanlah tipe karyawan yang mencampuradukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Kali ini pun, Bapak percaya kamu bisa mengesampingkan hal-hal pribadi itu."Kiran terdiam, tentu dia tidak akan menyanggah lagi. Kalau masalah ini diteruskan, bukan tidak mungkin Wijananto akan mengatakan masalah pribadinya dengan Amir di ruang meeting."Bagaimana, Ran. Apa kamu masih keberatan dengan keputusan Bapak tadi?"Menimbang banyak hal dan mendengar alasan Wijananto membuat Kiran mengangguk. Selesai dengan rapat mereka, Naumira mendekati sang gadis. Meminta gendong, bocah ini selalu mematuhi apa yang orang dewasa katakan. Ketika tadi Wijananto berkata untuk diam dan tidak rewel selama rapat berlangsung, dia lakukan semua. Kini, setelah rapat selesai barulah bocah itu merengek manja."Rara sama Kakek, ya. Mami Kiran lagi kerja sama Papi." Lelaki itu mengambil Naumira dari tangan Kiran dan menggendongnya dengan cepat.
Happy Reading*****Amir mempercepat langkah supaya bisa menyejajarkan diri dengan Kiran. "Ran, tunggu, dong," pinta Amir. Walau langkahnya cukup lebar, tetapi belum bisa mengejar Kiran. Perempuan itu malah terkesan melarikan diri."Apa, sih, Pak. Kita sudah telat. Pak Wijananto pasti sudah memulai rapatnya. Jangan menjatuhkan reputasi saya, dong," protes Kiran.Walau Kiran terlihat kesal dan marah, tetapi Amir merasakan kebahagian tersendiri. Sesampainya di ruang meeting, banyak pasang mata yang menatap pada kedua orang yang baru saja datang. Bisik-bisik pun terjadi, jelas hal yang dilakukan pimpinan mereka di luar kebiasaan. Tidak pernah Amir telat saat rapat. Namun, sekarang lelaki itu terlambat sekali apalagi datang barengan dengan Kiran."Papa ngadain meeting mendadak banget," bisik Amir. Lelaki itu sudah duduk di samping Wijananto, sedangkan putrinya duduk agak jauh dari mereka. Naumira sengaja duduk terpisah dari para peserta rapat. "Papa baru inget kalau orderan di pusat ng