Happy Reading
***** Kiran memukul lengan sahabatnya pelan. Gemas sekali karena Fitri terus mengolok-oloknya memiliki hubungan spesial dengan si bos. Mereka berdua terus bersenda gurau hingga Kiran mendapat chat dari Wijananto. "Kerja, yuk. Big Father udah ngasih warning," ucap Kiran. "Sayang banget kayaknya beliau sama kamu. Jangan-jangan, kamu benar-benar punya hubungan spesial sama sang putra mahkota." Fitri mencolek dagu sahabatnya, menggoda Kiran. "Berhenti, enggak!" Tangan Kiran siap memukul Fitri, sengaja menakuti gadis itu. Fitri menjulurkan lidah ketika pukulan sahabatnya bisa ditangkis. Dia lebih cepat menggerakkan kursi, pindah posisi. "Kerja ... kerja biar nggak ditelpon si bos lagi. Ntar dikata kita bercanda terus," ucap Fitri setelah puas menggoda sahabatnya. "Hmm, padahal dia sendiri yang ngajak guyon dari tadi," sahut Kiran. Walau mulutnya berkata demikian, tetapi tangannya sudah mulai menari dia tas keyboard komputer, menyelesaikan tugas dari sang atasan di pusat. Kedua perempuan itu tidak lagi saling melempar candaan. Keduanya tenggelam dengan pekerjaan masing-masing hingga menjelang sore. Namun, pekerjaan Kiran masih belum selesai juga padahal jam pulang kantor, sebentar lagi. Anggaran produksi yang dibuat perempuan itu masih kurang pas. Ada saja kesalahan kecil di dalamnya hingga dia harus mengkaji ulang perincian lebih teliti lagi. Kiran ingin mendapatkan apresiasi positif sebagaimana biasa dia dapatkan ketika masih berada di kantor pusat. Oleh karenanya, kesalahan sekecil apa pun berusaha dihindari. "Ran, udah jam lima. Kamu mau lanjut ngerjain itu atau gimana?" tanya Fitriya. Dia sudah membereskan meja kerja, mematikan komputer dan mulai memasukkan peralatan pribadi ke dalam tas. Bersiap meninggalkan meja kerjanya. "Tinggal aja, Fit. Kurang dikit lagi, nanggung banget kalau aku pulang sekarang." Merenggangkan tangannya sebentar, Kiran tersenyum manis pada sahabat satu-satunya yang masih bertahan hingga usia mereka dewasa. "Hari pertama di sini udah semangat aja ibu satu ini. Pantes dapet gelar karyawan teladan. Nggak kayak aku, predikat karyawan telatan." Fitriya tertawa sedikit keras. Sadar, dirinya selalu datang hampir terlambat dan pulang selalu lebih awal. "Mulai kumat," sahut Kiran disertai lemparan kertas kecil pada wajah sahabatnya. "Sana pulang. Aku sama sepertimu, kok. Cuma lebih beruntung saja dapat gelar teladan. Enggak tahu si Bapak kriterianya memilihku begitu." "Hmm, merendah, tapi memang kamu layak mendapatkannya. Nggak kayak aku." Lagi-lagi, gadis itu mengulang kalimat sebelumnya. Setelahnya, Fitriya menengok arlojinya yang sudah menunjukkan pukul lima kurang dua menit. "Aku duluan, ya, nyampe di depan finger print udah pas jam lima. Assalamualaikum." Gadis itu mencium pipi sahabat karibnya, kanan kiri. Seperti kebiasaan mereka ketika akan berpisah. "Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan. Fii amanillah, Fit," ucap Kiran sebagai salam perpisahan. Fitriya pun melambaikan tangan ambil membuka pintu, keluar. Setelah kepergian sahabatnya, Kiran masih fokus pada layar komputer. Tak terasa, satu jam berlalu, jika bukan karena ponsel yang berdering, fokusnya akan tetap berpusat pada layar. Perempuan itu mengambil benda pipih pintar miliknya. Terlihat pop up chat yang dikirim oleh big father terbaca. Owner perusahaan tempatnya bekerja itu menanyakan anggaran yang dibuat. "Sedang saya kirim, Pak. Tolong di koreksi ulang, takut masih ada kesalahan atau ketidaksesuaian dengan keinginan Bapak," ucap tulus Kiran. Tak butuh waktu lama, balasan dari sang atasan terbaca. "Terima kasih, Ran. Kamu memang yang terbaik. Semoga betah bekerja di cabang. Jaga kinerjamu, sama seperti ketika kamu bekerja di pusat." "Insya Allah, Pak. Terima kasih kembali sudah mempercayakan tugas ini pada saya." Kiran tersenyum setelah mengirimkan chat balasan pada si bos besar. Hal seperti itulah yang membuatnya betah bekerja di perusahaan yang dipimpin Wijananto. Lelaki paruh baya itu selalu berkata sopan dan lemah lembut. Sangat berbeda dengan putranya. Kiran menghela napas panjang ketika mengingat perilaku Amir yang sangat jauh berbeda dengan Wijananto. Setelah melihat layar komputer yang memberitahukan bahwa emailnya terkirim, Kiran mulai membereskan meja. "Amit-amit. Kenapa aku malah kepikiran sama dia," gumamnya sambil membereskan semua peralatan yang ada di meja kerja. Keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Kiran tersenyum sendiri, merasa berhasil dengan tugas yang diamanahkan padanya. Sesampainya di dekat pintu luar kantor, bahunya terangkat kaget. "Bodoh!" ucap seseorang dengan nada keras dari arah belakang Kiran. Kaki si gadis mulai gemetar mendengar kata kasar tersebut. Kiran berbalik arah dan melihat Amir berjalan ke arahnya sambil memegang ponsel di telinga kiri. Raut muka si bos terlihat serius. Tepat di depan Kiran, lelaki itu berhenti. "Sepertinya nggak ada jam lembur hari ini. Kenapa kamu baru pulang?" tanya Amir masih dengan nada keras pada gadis di depannya. "Saya cuma menyelesaikan tugas yang sudah diamanahkan Pak Wijananto." Terbata Kiran menjelaskan. Tatapan tajam si bos dengan alis hampir menyatu membuat si gadis makin gemetar. "Lain kali kalau nggak ada pengumuman lembur jangan lembur. Saya nggak mau bayar gaji lemburan jika nggak ada perintah. Ngerti?" Lelaki itu menaikkan alis, matanya terbuka sempurna membuat si gadis mulai menanamkan kebencian. "Enggak perlu repot ngasih uang lembur buat saya, Pak. Sudah kewajiban saya untuk menyelesaikan amanah yang diberikan," sahutnya dengan suara bergetar. Si gadis berbalik, langkah Kiran sengaja dikeraskan yang mengakibatkan suara heels begitu nyaring terdengar. Tidak peduli jika lelaki itu akan lebih marah. Amir, hanya bisa menggelengkan kepala mengetahui sikap aneh karyawan satu itu. "Dasar aneh. Kenapa dia malah marah?"Happy Reading*****Pulang dengan rasa jengkel, Kiran melajukan motornya dengan cepat. "Kok, ada lelaki menyebalkan seperti itu?" gerutunya sepanjang perjalanan. Mungkin, jika bukan karena ingin dekat dengan Fitri, Kiran akan minta mutasi lagi ke pusat. Dia tidak mau bekerja dalam tekanan dan bertemu dengan Amir setiap hari.Mengucap salam ketika memasuki rumah, Kiran melihat wajah teduh perempuan yang telah melahirkannya. Segera memeluk perempuan paruh baya itu dengan segenap jiwa. "Eh, ini kenapa?""Bentar saja, Bu." Kiran mengeratkan pelukannya."Tumben, sih." Perempuan paruh baya dengan daster rumahan itu mengajak putrinya duduk di sofa ruang tengah sambil memeluk. "Lagi ada masalah di kantor, ya? Nggak biasanya kamu pulang kerja manja gini."Bukannya malu dikatakan manja, Kiran malah meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu. "Enggak ada masalah, Bu. Cuma agak capek saja. Maklum, pertama kerja di kantor baru, butuh banyak penyesuaian."Selalu, Kiran berusaha menutupi semua yan
Happy Reading*****Semua mata kini tertuju pada si gadis berjilbab. Wajah Kiran memucat seperti kekurangan darah. Dia tidak bisa lagi mengelak. Melihat sang sahabat dengan keadaan menyedihkan seperti itu, Fitriya bangkit dari tempat duduk, mendekati sahabatnya. "Ran, kenapa kamu melakukan kesalahan ini?" bisik Fitriya ketika berhasil memeluk sang sahabat.Kiran berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Tatapannya kini mengarah pada si bos. Sekuat tenaga, Kiran bersikap kuat dan tidak takut."Saya cuma mau ke toilet. Apa pantas Bapak bertanya sekeras tadi?" Kiran langsung membuka pintu ruang meeting tanpa mendengar jawaban dari Amir. Amir menatap kepergian Kiran dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Mencoba menetralkan suasana dengan melanjutkan pembahasan sebelumnya. Suasana ruangan tersebut kembali tegang. Si bos bersikukuh untuk melanjutkan peraturan baru yang sudah dia utarakan sebelumnya. Walau banyak yang keberatan, nyatanya hal tersebut tidak membuat Amir menguba
Happy Reading*****"Auw," ucap Kiran. Memegang lututnya yang terasa begitu nyeri. "Hati-hati, Mbak," ucap salah satu karyawan bagian pengemasan yang berada tak jauh dari Kiran."Iya, Bu. Terima kasih sudah membantu." Kiran langsung berjalan cepat menjauh Amir padahal jelas-jelas kakinya terseok-seok saat berjalan."Sepertinya, dia ketakutan ketika bertemu Pak Amir. Siapa dia?" tanya tamu yang dibawa Amir tadi."Dia salah satu karyawan saya yang mengepalai bagian produksi," terang si bos. Berusaha menjawab pertanyaan tamunya senormal munkin karena dia sendiri tidak tahu sebab pastinya mengapa Kiran selalu bertinkah aneh saat bertemu."Oh. Harusnya, dia nggak perlu lari seperti tadi. Jika dia menyapa Anda dan berkolaborasi untuk menjelaskan semua detail produksi yang dilakukan di perusahaan ini, tentunya akan semakin bagus. Saya pasti lebih puas mendengar penjelasan dari kalian berdua." Lelaki berkemeja navy itu tersenyum."Dia masih baru di sini, Pak. Walau sudah lama bekerja di kant
Happy Reading*****Amir memencet hidung si kecil, gemas. "Seneng banget godain Papi, ya," ucapnya.Si kecil menutup muka dengan kedua tangannya supaya sang papi tidak bertindak berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan si bos pada putrinya jika gemas akan melakukan hal-hal berlebihan, misalnya saja menciumi seluruh wajah si kecil. "Pi, Tante tadi cantik juga, kok," cicit si kecil di balik kedua tangannya yang menutupi wajah."Kok, gitu?" tanya Amir merasa aneh dengan perkataan putrinya."Kalian ngapain sih di sini?" kata seseorang perempuan paruh baya yang sudah berdiri di belakang mereka."Eh, mama sudah selesai belanjanya?" tanya Amir setelah melihat kehadiran perempuan yang telah melahirkannya itu."Sudah. Dari tadi, Mama nyariin kalian berdua. Ngapain coba sembunyi di sini?" Perempuan paruh baya itu menatap curia pada putranya. Tidak biasanya, Amir meninggalkannya untuk berbelanja sendirian. Biasanya si bos akan menjadi bodyguard pribadi perempuan paruh baya tersebut."Papi lagi ngint
Happy Reading*****"Sorry, Mir. Aku nggak tahu kalau kalian lagi bahas masalah serius," ucap Syaif, "aku kembali lagi nanti." Si manajer HRD segera keluar dari ruangan sahabatnya walau banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala."Aneh, sejak kapan Amir begitu marah saat aku nggak mengetuk pintu pas masuk ruangannya," gerutu Syaif. Tatapan Amir kini kembali fokus pada gadis di hadapannya. "Duduk! Saya belum selesai denganmu."Kiran terpaksa kembali ke tempatnya semula. Meremas jemarinya di bawah meja sambil merutuki sikap kasar sang atasan. "Saya nggak tahu mesti mulai dari mana. Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang ingin saya ajukan tentang sikapmu pada saya, tapi karena ada hal yang jauh lebih penting, saya akan mengabaikan hal tersebut." Amir menghela napas. Lalu, beberapa detik kemudian setelah menatap lawan bicaranya yangg tidak bereaksi apa pun, dia melanjutkan kalimantnya. "Saya butuh bantuanmu saat ini."Tanpa Amir duga, Kiran mendongakkan kepala. Netra mereka semp
Happy Reading*****Kiran segera menuju ruangannya untuk menenangkan hati padahal dia belum tahu apa yang harus dilakukan setelah mendapat perintah Amir."Kamu kenapa kayak orang habis dikejar hantu gitu, Ran?" tanya Fitri yang melihat sahabatnya minum dengan tergesa-gesa."Enggak ada apa-apa. Aku cuma kehausan saja.""Apa kata Pak Amir?" Fitri mulai menunjukkan keingintahuannya yang besar."Dia minta bantuanku.""Bantuan apa?" Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sahabatnya, suara telepon di meja produksi terdengar. Fitri terpaksa mengangkatnya lebih dulu."Halo, ada yang bisa dibantu?""Fit, tolong kasihkan ke Kiran," ucap suara di seberan sana yang tak lain adalah Amir. Rupanya, lelaki itu sudah hafal dengan suara Firti.Tak perlu banyak pertanyaan lagi, Fitri langsung memberikan gagang telepon pada Kiran. "Siapa?" tanya Kiran berbisik."Pak Amir."Gemetar, Kiran mengambil gagang telepon dari tangan sahabatnya. "Iya, Pak. Ada apa?""Bersiaplah. Sopir sudah menunggumu untuk meng
Happy Reading*****Naumira menarik pergelangan tangan Kiran, mendongakkan kepala dan berkata, "Apa benar begitu, Tante?"Penuh pengharapan supaya gadis di depannya mendukungnya, Amir mengedipkan mata beberapa kali. Kiran melihat kode yang diberikan si bos. "Iya, benar. Rara enggak perlu khawatir. Kalau memang enggak menang, bisa berusaha lebih baik lagi di perlombaan selanjutnya. Bukankah keberhasilan itu berawal dari kegagalan. Jadi, enggak perlu patah semangat, ya." Kiran bahkan memberanikan diri mengelus puncak kepala si kecil penuh kasih sayang. "Kapan sih Papi pernah bohong sama Rara? Apa yang Rara minta, Papi pasti turuti."Naumira berbalik arah mendekati sang papi, menjulurkan kedua tangannya. Mengerti jika gadis kecilnya minta gendong, Amir pun menangkap sosok mungil tersebut dengan cepat. Mencium kembali seluruh wajahnya."Nggak usah sedih lagi, ya, Sayang. Di hati Papi, Rara tetap pemenangnya," ucap Amir."Papi emang terbaik." Naumira mengalungkan kedua tangannya pada leh
Happy Reading*****Sejak kejadian hari itu, diam-diam Amir sering mengamati perilaku Kiran. Tiap hari, selalu ada waktu untuk mengintai si gadis dari layar CCTV. Seperti kali ini, sang putra mahkota menatap layar serius mengawasi gerak-gerik Kiran. Suara ketukan beberapa kali dari luar sama sekali tak direspon. Amir menikmati senyum sang gadis yang tengah bersenda gurau dengan Fitriya. Terkadang, senyum itu menular padanya walau tidak tahu persis apa yang membuatnya tersenyum. Di balik pintu ruangan Amir, Syaif berdiri. Menunggu sang empunya mempersilakan masuk. Tak ingin lagi kejadian beberapa waktu lalu terulang. Namun, beberapa menit menunggu, membuatnya jenuh dan kesal juga. Pelan-pelan memutar knop pintu ke bawah, memajukan kepala sedikit untuk mengetahui aktifitas sang pemilik ruangan. "Astagfirullah. Dari tadi aku ngetuk pintu nggak denger, ternyata lagi ngelamun," ucap Syaif mengagetkan si empunya ruangan. Tangan Amir reflek memencet tombol off pada remot. Takut jika sa
Happy Reading*****Orion menghentikan langkah karena perempuan yang menggandengnya juga berhenti. Wajah pucat perempuan itu mulai terlihat dengan jelas di mata lelaki pemilik usaha garment itu. "Kamu kenapa, Baby?" tanya Orion yang sama sekali tidak mengetahui penyebab perempuan itu berlaku aneh seperti sekarang. Biasanya, perempuan yang sudah menjalin hubungan dekat dengannya selama setahun ini akan sangat antusias ketika diajak bertemu dengan para rekan kerjanya. Hal itu sangat membantu Orion dalam hal memuluskan rencana-rencana bisnisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia bisnis dan perempuan tidak bisa dipisahkan. Walau banyak rekan kerja lelaki tersebut yang sudah berkeluarga, tetapi tak jarang mereka juga membutuhkan perempuan lain untuk selingan di uar sana. Oleh karena itulah Orion memanfaatkan keberadaan sang perempuan untuk kasus-kasus tertentu seperti tadi.Si perempuan menggelengkan kepalanya. "Om, bisa nggak kalau aku nggak ikut menemui mereka?""Kenapa?" tanya Orion
Happy Reading*****"Mami kenapa? Apa Mami nggk suka sama makanan yang Rara pesen?" tanya si kecil karena sejak tadi, Kiran cuma mengaduk-aduk hidangan yang ada di piringnya. "Eh, enggak, kok, Sayang. Mami suka sama makanannya." Kiran langsung memasukkan satu suapan nasi beserta lauk ke mulutnya. Namun, tatapan mata perempuan itu masih mengarah pada sang suami. Wijananto melirik putranya. "Mir, untuk meeting dengan Pak Rion pagi ini, kamu bisa bantu nemenin Papa, kan? Biar Mama sama Kiran shopping dan jalan-jalan sama Rara."Mendengar perkataan mertuanya, wajah Kiran yang tadi tampak mendung berubah cerah. Pasalnya, sang suami akan sibuk dengan pekerjaan dan dia bisa menikmati liburan bersama Naumira dan Laila."Kamu nggak keberatan, kan, Sayang?" tanya Amir memastikan sang istri baik-baik saja saat ditinggal bekerja. "Halah, paling yang keberatan itu kamu, Mir. Kalau Kiran kayaknya fine-fine aja ditinggal kerja. Bener nggak, Ran?" tanya Laila."Enggeh, Ma." Kiran menundukkan kepal
Happy Reading*****Suara bel yang begitu nyaring membuat bola mata Kiran bergerak. Sinar mentari masuk melalui celah gorden. Kiran melirik lelaki di sampingnya. Amir masih terlelap dalam tidur. Selesai melaksanakan salat subuh tadi, mereka melakukan aktivitas intim sekali lagi. Seolah mendapat mainan baru, Amir tak bosan-bosan bermain-main dengan istrinya. Kiran merapikan pakaiannya sebelum membuka pintu. Meminta sang suami untuk bangun, tetapi Amir cuma menjawab dengan dehaman saja tanpa berniat membuka mata sama sekali."Mami, ih. Kenapa lama sekali bukain pintu?" Naumira sudah mengerucutkan bibirnya, lucu. Di belakang si kecil tampak Wijananto dan Laila. Kiran tersenyum malu pada kedua mertuanya. Selama menikah dengan Amir, dia belum pernah bangun kesiangan. Namun, karena ulah sang suami yang terus mengerjainya, tubuh Kiran kelelahan hingga tertidur dan bangun kesiangan."Mami ketiduran, Sayang," jawab Kiran setelah beberapa waktu bingung harus menjawab apa.Laila mengedarkan pan
Happy Reading*****Amir membuka mata ketika aktifitasnya tadi mulai mengusik pikiran. Penasaran mengapa lelaki itu belum bisa maksimal memberi kepuasan pada Kiran, sedangkan dirinya sudah mencapai puncak terlebih dahulu. "Apa senikmat itu hingga aku klimaks duluan sebelum memasukinya?" ucap Amir sendirian sambil membayangkan dan mengoreksi apa saja yang telah dia lakukan pada istrinya tadi.Hasrat itu kembali muncul apalagi ketika melihat belahan bukit kembar Kiran yang tidak tertutup sempurna. Amir pun mulai menciumi seluruh wajah sang istri. Kemudian turun ke leher, lebih turun lagi hingga menemukan puncak bukit kembar tersebut. Amir mulai menikmati puncak tersebut dengan segala kenikmatannya. Kiran melenguh kala sesuatu mengusik tidurnya. Rasa geli serta berbagai rasa lainnya seperti yang dialami sebelum tidur kembali. Mulai menggerakkan bola mata. Kiran mencium aroma sampo Amir. Dia yakin suaminya masih sangat penasaran dengan kegagalannya tadi. "Mass," panggil Kiran disertai
Happy Reading*****Kiran menatap wajah si kecil, inginnya dia marah. Namun, apalah daya, perempuan itu berpikir tentang psikis Naumira. Jika dia marah dan membentak, maka si kecil akan memiliki trauma. Kiran tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Seperti yang dialaminya waktu masih kecil."Mami nggak akan marah kok, Sayang," jawab Amir, "ya, kan, Mi?" Menoleh pada istrinya yang terlihat melamun."Eh, iya. Mami enggak marah, kok, Sayang," jawab Kiran.Amir mengambil tangan Naumira dan menggendong, membawa si kecil ke ranjang. Menggelitik pinggang di kasur besar sampai bocah itu tertawa keras. Kiran juga mengikuti aksi suaminya menggoda Naumira. Keluarga kecil itu tertawa lepas, melupakan segenap permasalahan yang beberapa waktu lalu menghampiri. Suara bel menghentikan tawa mereka. "Bentar, biar Papi yang bukain." Amir turun dari ranjang dan membukakan pintu. Ketika itulah ucapan syukur terlontar keras dari bibirnya. Melihat kedatangan orang tuanya sudah seperti mendapat harta mel
Happy Reading*****Ketukan pintu terdengar, Kiran dan Naumira saling pandang. Keduanya tampak berpikir, mungkin menduga-duga suara lelaki yang berkata tadi. Antara Wijananto dan Amir, memang suaranya mirip. "Mi," panggil Naumira. "Bukain, ya. Mungkin itu Nenek sama Kakek," pinta si bocah. "Yakin itu suara Kakek?" "Kayaknya iya."Tanpa rasa curiga sedikitpun, Kiran turun dari ranjang, berjalan untuk membukakan pintu. Perempuan itu membulatkan mata begitu melihat wajah lelaki di depannya."Lha, kok?" tanya Kiran kaget. Amir segera memeluk sang istri, langsung menciumi seluruh wajahnya penuh kebahagiaan. Tak peduli masih ada Naumira di dekatnya."Terima kasih, Sayang. Mas juga cinta banget sama kamu." Lagi-lagi Amir mencium seluruh wajah Kiran. Kiran kesal dan mendorong tubuh suaminya. "Mas, ini kenapa, sih?"Bukannya menjawab, Amir malah mengerlingkan mata pada Naumira."Papi," sapa si kecil. Langsung turun dan memeluk Amir. "Terima kasih, Sayang," ucap Amir. Mengangkat putrinya
Happy Reading*****Kiran menyipitkan mata sambil berpikir, kenapa bocah berumur 5 tahun sudah tahu kata cinta-cintaan. Terus dia harus jawab apa pada Naumira. Ternyata Kiran terperangkap oleh kata-katanya sendiri sekarang. Bingung, Kiran pun cuma bisa diam dan termenung."Mi, kok diem aja?" Naumira mengguncang pelan tubuh maminya. "Hmm. Gimana, ya, jawabnya. Rara pengen tahu atau pengen tahu banget?" Kiran merotasi bola matanya. Naumira berpura-pura pingsan sambil menepuk kening. Perempuan yang baru saja menikah dengan Amir itu terkikik. Menggelitik pinggang putrinya, gemas. Tawa mereka pecah dan membuat lelaki yang masih setia menunggu jawaban istrinya dari telepon meringis."Ayolah, jawab. Aku juga pengen tahu isi hatimu yang sebenarnya, Ran," gumam sang suami di seberang sana. Amir mulai gelisah. Akankah istrinya itu mempunyai jawaban lain. Selama ini, Kiran memang tidak pernah menyatakan perasaannya. Amirlah yang selalu mengungkapkan isi hatinya. Sangat mencintai wanita yang
Happy Reading****"Mami kok diem aja, sih. Kalau gitu kita mainan boneka, yuk!" ajak Naumira. Kiran cuma bisa menganggukkan kepala, terlalu jengkel dengan sikap suaminya yang malah membiarkan Dahlia bergabung bersamanya. Sekarang, lelaki itu malah tidak berniat menemukannya sama sekali. Mengirim pesan atau telepon saja tidak. "Sayang, Mami ada di kamarmu, ya.""Ya, Pi. Mami lagi main sama Rara sekarang." Chat balasan sudah dikirimkan Naumira pada papinya. "Ya, sudah kalau Mami lagi di kamar Rara. Sebentar lagi, Papi nyusul ke sana," balas Amir. Saat ini, dia masih memberikan ceramah singkat pada Dahlia supaya tidak mengganggu hubungannya dengan Kiran lagi. Amir sengaja tidak melakukannya di depan Kiran demi menjaga trauma yang mungkin belum sepenuhnya hilang. "Kalau aku membolehkanmu bergabung tadi, bukan berarti aku masih mencintaimu. Ingat, Lia. Hubungan kita sudah lama berakhir. Sekali lagi, aku peringatkan. Jika kamu terus saja membahas masa lalu. Bukan nggak mungkin, aku ak
Happy Reading*****Dari kejauhan, Kiran menatap dua orang yang tengah berbincang itu. Mengepalkan tangan saat senyum si perempuan terbit. "Di mana urat malunya? Sudah tahu Mas Amir punya istri masih aja deketin.""Mas, kenapa lama sekali?" Kiran berkata dengan sangat manja. Tangannya langsung bergelayut ketika sang suami menghampirinya. "Bentar, Sayang. Si Mbaknya masih layani tamu yang lain." Amir menatap penuh cinta, sedangkan pada perempuan yang menyapanya tadi, dia bersikap cuek.Makin mengeratkan tubuhnya pada Kiran, Amir seolah menunjukkan sesuatu pada si perempuan yang tidak pernah diharapkan bertemu lagi. Tak peduli perempuan di sampingnya tengah mengajak berbincang dan berusaha keras mendekatinya. Amir menutup semua celah yang bisa menganggu rumah tangganya.Beberapa menit kemudian lelaki itu sudah mendapatkan apa yang diinginkan. "Ayo, Mas sudah mendapatkannya," ajak Amir pada Kiran. "Njenengan duluan, Mas," kata Kiran. Setelah beberapa langkah suaminya pergi, dia mendeka