Happy Reading
***** Setelan rok cokelat tua dan juga blazer dengan warna lebih muda dipadu dengan jilbab senada membuat perempuan pemilik nama Kirani Aina Apsarini mantap memasuki kantor baru. Sudah lama si gadis mengajukan perpindahan pada sang atasan agar bisa berkumpul satu kantor dengan sahabatnya yang bernama Fitriya. Sebelum turun dari motor, Kiran melirik arloji yang terpasang pada tangan sebelah kiri. "Alhamdulillah, aku enggak telat karena musibah tadi," katanya sendirian. Harusnya, gadis itu bisa datang lebih awal jika tidak ada tragedi ban bocor. Melangkah dengan mantap disertai bacaan basmalah, dia masuk ke kantor baru. Sampai di depan meja resepsionis, terdengar suara menggelegar oleh inderanya. "Kalian niat kerja apa nggak? Gimana perusahaan mau maju jika karyawan bekerja seenak udelnya. Dengar, ya! Disiplin itu kunci sukses. Jangan sepelekan!" ucap seorang lelaki dengan kemeja warna kuning gading. Keras disertai sorot tajam dan wajah menyeramkan. Kiran berdiri mematung mendengar semua, kakinya mulai gemetaran. Kedua tangan meremas-remas ujung jilbab yang menjuntai ke depan. Buliran air mulai turun membasahi seluruh wajah. Tubuhnya mulai menggigil. Lelaki yang berkata keras tadi melihat kedatangan Kiran dengan tatapan tajam, penuh pertanyaan dan mengintimidasi. "He! Siapa kamu?" tanya si lelaki masih dengan nada terkesan emosi. Tanpa peduli panggilan lelaki itu, Kiran lari sekuat tenaga seolah ada hantu yang mengejar. Napasnya tersengal-sengal. Setelah cukup jauh dengan keadaan masih gemetaran, gadis itu mengambil botol air dari tas dan meneguknya dengan cepat. Suara keras si lelaki tadi bak petir di tengah kebahagiaan bisa bertemu dan satu kantor dengan sahabatnya. Kiran mengembuskan napas panjang berkali-kali. Mendadak banyak keraguan muncul, sanggupkah bekerja di tempat baru dengan baik jika di hari pertama masuk suasana sudah tidak kondusif, menurut pemikirannya. Beberapa menit menunggu, Kiran mendengar suara dering ponselnya. Menyipitkan mata saat melihat layar yang menampilkan deretan angka tanpa nama. Si perempuan sengaja membiarkan panggilan tersebut, malas menanggapi orang iseng. Sering kali, telepon-telepon yang masuk tanpa nama tersimpan di kontaknya adalah penipuan dan Kiran tak akan pernah menanggapinya. Berkali-kali ponsel itu berbunyi hingga mati sendiri. Beberapa detik kemudian, Kiran melihat notifikasi chat masuk. "Selamat Pagi. Perkenalkan saya Syaif, kepala bagian HRD cabang Genteng. Benar dengan saudara Kirani?" tulis lelaki yang mengaku bernama Syaif. Tangan Kiran masih gemetaran, tetapi berusaha membalas. "Benar, Pak. Saya Kirani, staf baru bagian produksi pindahan dari kantor pusat." "Posisi Anda di mana sekarang? Ini sudah jam kantor. Kebetulan owner perusahaan sedang melakukan briefing karyawan hari ini dan kedatangan Anda sudah ditunggu-tunggu sejak tadi." Balasan chat selanjutnya sungguh membuat jantung Kiran mau copot. Membayangkan suara keras nan menggelegar seperti yang didengar tadi. Otaknya merespon cepat, tak ingin merasakan sesak berkepanjangan. Gadis berusia 27 tahun itu segera mengirimkan balasan. "Maaf, Pak. Hari ini saya enggak bisa masuk kerja karena kurang enak badan." "Jangan bohong. Saya lihat kamu lari ketika Pak Amir ngasih brifieng karyawan tadi," balas sang manajer HRD dengan cepat. Tangan kanan Kiran ditempelkan pada kening. Kebohongannya diketahui oleh bagian HRD. Bagaimana bisa mengelak dan beralasan jika sudah begini. Satu chat masuk kembali. "Dari CCTV juga terlihat, saat ini Anda sedang berada di parkiran. Cepat masuk sebelum Pak Amir bertanya macam-macam," tulis Syaif. Perempuan itu menghentakkan kaki, berjalan ke arah lobi. Suara sepatu berhak tinggi yang dikenakan Kiran memenuhi ruangan tersebut. Seorang lelaki yang sedang berdiri di depan meja resepsionis menoleh. Lirikan tajam diberikan pada si perempuan yang tengah berjalan. "Siapa kamu?" tanya lelaki itu yang tak lain Lintang Amir Wijananto. Kiran mengangkat wajahnya yang semula menunduk saat berjalan. Ketika mendapati wajah lelaki yang sama dengan suara keras tadi, dia berbalik arah hendak menjauh. Namun, langkahnya terhenti ketika Amir menggeluarkan suaranya. "Apa kamu salah satu karyawan di sini?" tanya Amir dengan nada keras. Si perempuan masih berdiri dengan kaki gemetaran. Ingin menjawab pertanyaan, tetapi mulutnya seperti tertempel lem, susah untuk bersuara. Kiran, hanya mampu mengembuskan napas dan berdoa semoga lelaki itu tak lagi mengeluarkan suara kerasnya. Jika tidak, mungkin dia akan pingsan. Derap kaki Amir mendekat, terdengar keras oleh indera Kiran. Semakin cepat jantung si perempuan berdetak. Ketika tangan Amir hendak menyentuh pundak gadis itu. Suara panggilan namanya terdengar. "Mir, dia karyawan pusat yang dipindahkan ke sini oleh papamu," seru seseorang yang belum dikenali oleh Kiran. Pikiran gadis dengan tinggi 157 cm itu mulai berputar, hanya bagian HRD saja yang tahu keberadaannya. Artinya, lelaki yang memanggil tadi adalah Syaif. Apes, memang apes hari ini bagi Kiran. "Oh, bagus kalau gitu. Kamu keluar dari pintu itu dan mulailah berjalan. Masuk tanpa terdengar suara sepatumu. Sangat mengganggu sekali!" tatap Amir tajam pada Kiran. Berat langkah Kiran menuruti perintah si bos. Gadis itu keluar dan berjalan dengan hati-hati, tetapi bunyi sepatunya tetap saja terdengar nyaring. Tangan kanan Amir terlihat mengusir saat bunyi itu masih didengarnya. Sekitar empat kali, si gadis melakukan pengulangan hingga langkah kakinya benar-benar nyaris tak terdengar. Amir menatap tajam, lalu menyuruh Kiran mengikutinya. Malas menimbulkan masalah kembali, si karyawan baru mencopot sepatu, menenteng hingga masuk ruangan si bos. Memasuki ruangan Amir, tubuh Kiran makin gemetaran. Aura menakutkan mulai terasa olehnya. "Apa nggak salah Pak Wijananto kasih predikat karyawan teladan sepertimu? Datang terlambat dengan penampilan awut-awutan, apalagi sepatu yang letaknya di kaki malah kamu tenteng. Memangnya ada banjir di kantor ini?" kata Amir keras. Kiran memundurkan langkah, menurunkan sepatu dari tangan. Jemarinya meremas-remas paha, menyalurkan ketakutan. Butiran keringat mulai mengaliri wajah padahal ruangan itu dilengkapi pendingin. "Katakan! Apa alasan datang terlambat di hari pertamamu kerja di sini?" Lagi-lagi suara Amir menggelegar semakin menyiutkan Kiran untuk menjawab semua pertanyaan. Beberapa saat menunggu, si bos tak juga mendapat jawaban bahkan terlihat jelas gadis di depannya kini mengeluarkan banyak keringat dengan wajah memucat. Menurut lelaki itu tidak ada yang salah dengan pertanyaannya tadi, tetapi mengapa reaksi Kiran sangat berlebihan. "Tolong ke ruanganku sebentar!" kata Amir meminta seseorang dari interkom. Beberapa saat kemudian ada yang mengetuk pintu ruangan. Setelah dipersilakan masuk oleh si empunya, tampak wajah Syaif yang kebingungan. "Tangani dia! Aku nggak ada waktu menginterogasi karyawan sepertinya. Jika nggak niat kerja suruh pulang saja," perintah si bos tegas dan menakutkan. Lelaki itu berdiri dan meninggalkan ruangannya sendiri. Syaif yang tidak mengerti ada apa sebelumnya, hanya melongo. Namun, dia segera menguasai keadaan dan bertanya pada pada Kiran. "Saya belum tahu apa yang ditanyakan Pak Amir. Sebagai kepala HRD di sini, saya wajib tahu alasan kamu datang dan langsung pergi lagi saat ada briefing tadi?" tanya Syaif lembut. Lelaki itu kini sudah duduk di kursi Amir. Kiran masih terdiam, bingung harus mengungkapkan kejadian sebenarnya atau menyimpan ketakutannya. "Maaf, Pak. Saya memang salah. Lain kali, enggak akan saya ulangi kejadian hari ini. Bapak boleh ngasih saya SP karena memang melanggar peraturan perusahaan." Syaif, hanya tersenyum dengan jawaban Kiran. Ada sesuatu yang coba disembunyikan gadis itu tentang Amir. Selama pengamatan tadi, tiap kali si bos mengatakan sesuatu, maka ada reaksi berlebih darinya. Ada hubungan apa sebenarnya di antara kalian. Pikir Syaif dalam hati. ****Happy Reading*****Keluar dari ruangan si Bos, sekujur tubuh Kiran dibanjiri keringat. Jilbab yang dikenakannya saja terlihat basah di bagian kepala padahal dia menggunakan dalaman jilbab. Si gadis berjalan gontai menuju ruang produksi yang disiapkan untuknya, diantar Syaif. Satu senyuman diberikan oleh sang manajer HRD pada seorang perempuan yang mejanya bersebelahan dengan meja Kiran. Gadis itu melirik dan saat itulah wajahnya berubah. Dua perempuan itu saling melempar senyum."Apa kalian saling mengenal?" tanya Syaif."Dia sahabat saya, Pak," jawab gadis di hadapan si manajer yang bernama Fitriya."Oo, begitu. Tolong bantu dia, Fit. Jelaskan apa-apa yang harus dikerjakan di sini. Walau di pusat dia sudah ahlinya, tapi keadaan di cabang berbeda.""Siap, Pak." Fitri antusias menyambut sahabatnya. "Saya tinggal dulu. Selamat bekerja, semoga kamu betah berada di cabang ini," kata Syaif sambil mengulurkan tangan pada Kiran. Namun, ditolak secara halus oleh gadis dengan menangkupkan
Happy Reading*****"Saya, Pak," ucap Kiran gemetaran disertai jari telunjuk yang mengarah ke wajah. Amir menutup teleponnya dan menatap gadis itu lekat. "Iya kamu. Siapa lagi yang ada di sini selain dirimu, dasar cewek aneh.""Ada apa, Pak?" Kiran masih gemetaran, tangannya meremas ujung blazer. "Taruh kunci ini di meja ruanganku," kata Amir yang langsung berbalik arah menuju parkiran. Namun, beberapa langkah kemudian, dia berbalik menoleh pada Kiran. "Terima kasih." Setelahnya dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari si gadis."Untung dia enggak marah karena kejadian tadi," kata Kiran. Gadis itu bernapas lega karena si bos tidak mengungkit kejadian di kafe tadi.Sepeningal si bos, Kiran tak langsung memenuhi permintaan tersebut. Gadis itu memilih berdiam di pos satpam beberapa menit, berusaha menetralkan ketakutannya. Beberapa saat setelahnya, barulah masuk dan menuju ruangan si bos. Takut-takut perempuan berjilbab itu membuka pintu berwarna biru wardah yang bertuliskan
Happy Reading*****Kiran memukul lengan sahabatnya pelan. Gemas sekali karena Fitri terus mengolok-oloknya memiliki hubungan spesial dengan si bos. Mereka berdua terus bersenda gurau hingga Kiran mendapat chat dari Wijananto."Kerja, yuk. Big Father udah ngasih warning," ucap Kiran."Sayang banget kayaknya beliau sama kamu. Jangan-jangan, kamu benar-benar punya hubungan spesial sama sang putra mahkota." Fitri mencolek dagu sahabatnya, menggoda Kiran."Berhenti, enggak!" Tangan Kiran siap memukul Fitri, sengaja menakuti gadis itu. Fitri menjulurkan lidah ketika pukulan sahabatnya bisa ditangkis. Dia lebih cepat menggerakkan kursi, pindah posisi."Kerja ... kerja biar nggak ditelpon si bos lagi. Ntar dikata kita bercanda terus," ucap Fitri setelah puas menggoda sahabatnya."Hmm, padahal dia sendiri yang ngajak guyon dari tadi," sahut Kiran. Walau mulutnya berkata demikian, tetapi tangannya sudah mulai menari dia tas keyboard komputer, menyelesaikan tugas dari sang atasan di pusat.Ke
Happy Reading*****Pulang dengan rasa jengkel, Kiran melajukan motornya dengan cepat. "Kok, ada lelaki menyebalkan seperti itu?" gerutunya sepanjang perjalanan. Mungkin, jika bukan karena ingin dekat dengan Fitri, Kiran akan minta mutasi lagi ke pusat. Dia tidak mau bekerja dalam tekanan dan bertemu dengan Amir setiap hari.Mengucap salam ketika memasuki rumah, Kiran melihat wajah teduh perempuan yang telah melahirkannya. Segera memeluk perempuan paruh baya itu dengan segenap jiwa. "Eh, ini kenapa?""Bentar saja, Bu." Kiran mengeratkan pelukannya."Tumben, sih." Perempuan paruh baya dengan daster rumahan itu mengajak putrinya duduk di sofa ruang tengah sambil memeluk. "Lagi ada masalah di kantor, ya? Nggak biasanya kamu pulang kerja manja gini."Bukannya malu dikatakan manja, Kiran malah meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu. "Enggak ada masalah, Bu. Cuma agak capek saja. Maklum, pertama kerja di kantor baru, butuh banyak penyesuaian."Selalu, Kiran berusaha menutupi semua yan
Happy Reading*****Semua mata kini tertuju pada si gadis berjilbab. Wajah Kiran memucat seperti kekurangan darah. Dia tidak bisa lagi mengelak. Melihat sang sahabat dengan keadaan menyedihkan seperti itu, Fitriya bangkit dari tempat duduk, mendekati sahabatnya. "Ran, kenapa kamu melakukan kesalahan ini?" bisik Fitriya ketika berhasil memeluk sang sahabat.Kiran berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Tatapannya kini mengarah pada si bos. Sekuat tenaga, Kiran bersikap kuat dan tidak takut."Saya cuma mau ke toilet. Apa pantas Bapak bertanya sekeras tadi?" Kiran langsung membuka pintu ruang meeting tanpa mendengar jawaban dari Amir. Amir menatap kepergian Kiran dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Mencoba menetralkan suasana dengan melanjutkan pembahasan sebelumnya. Suasana ruangan tersebut kembali tegang. Si bos bersikukuh untuk melanjutkan peraturan baru yang sudah dia utarakan sebelumnya. Walau banyak yang keberatan, nyatanya hal tersebut tidak membuat Amir menguba
Happy Reading*****"Auw," ucap Kiran. Memegang lututnya yang terasa begitu nyeri. "Hati-hati, Mbak," ucap salah satu karyawan bagian pengemasan yang berada tak jauh dari Kiran."Iya, Bu. Terima kasih sudah membantu." Kiran langsung berjalan cepat menjauh Amir padahal jelas-jelas kakinya terseok-seok saat berjalan."Sepertinya, dia ketakutan ketika bertemu Pak Amir. Siapa dia?" tanya tamu yang dibawa Amir tadi."Dia salah satu karyawan saya yang mengepalai bagian produksi," terang si bos. Berusaha menjawab pertanyaan tamunya senormal munkin karena dia sendiri tidak tahu sebab pastinya mengapa Kiran selalu bertinkah aneh saat bertemu."Oh. Harusnya, dia nggak perlu lari seperti tadi. Jika dia menyapa Anda dan berkolaborasi untuk menjelaskan semua detail produksi yang dilakukan di perusahaan ini, tentunya akan semakin bagus. Saya pasti lebih puas mendengar penjelasan dari kalian berdua." Lelaki berkemeja navy itu tersenyum."Dia masih baru di sini, Pak. Walau sudah lama bekerja di kant
Happy Reading*****Amir memencet hidung si kecil, gemas. "Seneng banget godain Papi, ya," ucapnya.Si kecil menutup muka dengan kedua tangannya supaya sang papi tidak bertindak berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan si bos pada putrinya jika gemas akan melakukan hal-hal berlebihan, misalnya saja menciumi seluruh wajah si kecil. "Pi, Tante tadi cantik juga, kok," cicit si kecil di balik kedua tangannya yang menutupi wajah."Kok, gitu?" tanya Amir merasa aneh dengan perkataan putrinya."Kalian ngapain sih di sini?" kata seseorang perempuan paruh baya yang sudah berdiri di belakang mereka."Eh, mama sudah selesai belanjanya?" tanya Amir setelah melihat kehadiran perempuan yang telah melahirkannya itu."Sudah. Dari tadi, Mama nyariin kalian berdua. Ngapain coba sembunyi di sini?" Perempuan paruh baya itu menatap curia pada putranya. Tidak biasanya, Amir meninggalkannya untuk berbelanja sendirian. Biasanya si bos akan menjadi bodyguard pribadi perempuan paruh baya tersebut."Papi lagi ngint
Happy Reading*****"Sorry, Mir. Aku nggak tahu kalau kalian lagi bahas masalah serius," ucap Syaif, "aku kembali lagi nanti." Si manajer HRD segera keluar dari ruangan sahabatnya walau banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala."Aneh, sejak kapan Amir begitu marah saat aku nggak mengetuk pintu pas masuk ruangannya," gerutu Syaif. Tatapan Amir kini kembali fokus pada gadis di hadapannya. "Duduk! Saya belum selesai denganmu."Kiran terpaksa kembali ke tempatnya semula. Meremas jemarinya di bawah meja sambil merutuki sikap kasar sang atasan. "Saya nggak tahu mesti mulai dari mana. Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang ingin saya ajukan tentang sikapmu pada saya, tapi karena ada hal yang jauh lebih penting, saya akan mengabaikan hal tersebut." Amir menghela napas. Lalu, beberapa detik kemudian setelah menatap lawan bicaranya yangg tidak bereaksi apa pun, dia melanjutkan kalimantnya. "Saya butuh bantuanmu saat ini."Tanpa Amir duga, Kiran mendongakkan kepala. Netra mereka semp
Happy Reading*****Seseorang itu makin mengeratkan kedua tangannya di pinggang Fitri. "Siapa kamu?" tanya sang calon pengantin. Fitri begitu takut untuk menoleh ke arah belakang karena jarak wajahnya dan si pelaku cuma sekitar satu senti saja. Jika Fitri tetap memaksa menoleh, bisa jadi akan mencium seseorang yang melingkarkan tangannya begitu erat di pinggang. Tak tahan dengan tekanan yang ada, perempuan itu menginjak kaki orang yang di belakangnya."Aduh, Sayang. Sakit," rintih seseorang di belakang tubuh Fitri. Perempuan itu segera membalikkan badan saat pinggang terbebas. "Sayang. Kenapa bisa kamu?" Fitri mengerutkan kening dengan mata menyipit. Syaif menarik garis bibirnya ke atas. Menatap sang kekasih dari ujung kaki hingga rambut nyaris tanpa kedip. Fitri mulai risih dengan tatap kekasihnya yang seperti itu. Tangan kanannya pun menetup mata si lelaki. "Nggak boleh ngeliat aku kayak gitu. Natukin, ih," kata Fitri."Apa, sih, Yang." Syaif menepis tangan kekasihnya yang mene
Happy Reading*****Amir tertawa keras ketika mendengar perkataan sang istri. "Jahil banget kamu, Mir," kata Laila. "Dia itu nelpon pasti karena ada pentingnya. Kasihan Fitri.""Biarin, Ma. Dulu, pas kita mau nikah, kami nggak pernah merepotkan Syaif sama Fitri." Ternyata si bos sengaja melakukannya semata-mata karena iseng."Enggak boleh gitu, Mas. Kalau njenengan dibalas seperti tadi dengan Pak Syaif, pastinya marah. Teman akrab Fitri itu, ya, cuma aku. Karena dia juga, aku mengajukan diri rolling ke kantor cabang saat itu," terang Kiran seolah menegaskan jika bukan karena sahabat karibnya, mungkin dia tidak akan berada di kantor cabang dan bertemu dengannya."Dengarkan istrimu itu, Mir. Kalau bukan karena Fitri, maka kamu nggak akan pernah ketemu dengan Kiran dan kalian nggak akan bahagia seperti sekarang. Harusnya, kamu nggak jahil begitu sama orang yang sudah membuatmu menemukan cinta sejati," tambah Wijananto mempertegas apa yang diuucapkan sang menantu bahwa memang Fitri memil
Happy Reading*****Pada akhirnya Kiran tidak bisa menolak keinginan sang suami. Andai Wijananto tidak menelepon lelaki tersebut. Mungkin, saat ini Kiran masih berada di bawah kungkungan Amir. Beruntung sang papa mertua meminta mereka segera pulang karena Naumira tidak ada yang menemani."Ish, Papa ganggu anaknya aja. Katanya mau minta cucu, tapi setiap kali Mas berduaan sama kamu, pasti Papa ngerecoki," gerutu Amir sepanjang perjalanan mereka menuju rumah. "Enggak boleh gitu, Mas? Kita kan enggak pernah tahu kepentingan Papa apalagi beliau seorang pemimpin yang menghidupi puluhan orang. Jadi, kepentingan perusahaan jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi. Mungkin, jika Papa punya pilihan, beliau enggak mungkin mau menyusahkan kita seperti ini. Tapi, mau gimana lagi. Pertemuan dengan klien dari Australia itu jauh lebih penting untuk kemajuan dan pendapatan perusahaan," terang Kiran. Sangat bijak perempuan itu menjelaskan semuanya pada sang suami. Amir sangat kagum dengan pem
Happy Reading*****Kali ini, tawa Fitri makin menggema melihat tingkah aneh sang kekasih. "Masak kamu cemburu sama Pak Amir, sih, Yang. Dia itu mana mau melirikku. Cintanya sudah habis di Kiran. Nggak akan bisa pindah ke lain hati," terangnya.Tangan perempuan yang bekerja sebagai staf produksi tersebut menyentuh pipi kekasihnya. "Kamu nggak perlu khawatir, aku nggak akan pernah jatuh cinta pada lelaki selain dirimu. Jadi, nggak usah cemburu gitu.""Sayang, benarkah yang kamu katakan tadi?" tanya Syaif dengan muka dibuat seimut mungkin. Tangannya bergerak menangkup di atas tangan sang kekasih yang berada di pipinya. Fitri mengangguk mantap. "Seratus persen bener.""Terima kasih sudah mau menerima dan memberikan semua cinta itu untukku," kata Syaif.Laki-laki jika sudah terjerat cinta, maka lupa segalanya bahkan dia bisa bersikap manja sekali, melebihi anak kecil. Sama seperti keadaan sang manajer HRD saat. Manja sangat manja, Fitri saja sampai heran dengan sikap sang kekasih. ****
Happy Reading*****Syaif dan Fitri saling pandang, sementara Amir dan lelaki paruh baya itu tertawa bahagia cukup keras."Om, bisa aja," kata Amir."Eh, jangan salah apa yang Om katakan tadi benar adanya, sesuai dengan isi hati dan pikirannya, Om. Papamu sebentar lagi akan nambah cucu. Lha, Om? Satu aja belum dapat," kata papanya Syaif membuat putra dan calon menantunya mengerucutkan bibir."Memangnya punya cucu itu ajang perlombaan. Papa ngawur aja kalau ngomong. Dulu, nikahnya aja udah kalah sama Om Wijananto. Jadi, wajar kalau punya cucu juga terlambat," protes Syaif tak mau dijadikan kambing hitam oleh orang tuanya."Ngeles aja kamu.""Om, saya nggak bisa kalau dua hari lagi," protes Fitri."Kalau nggak mau nikah dua hari lagi, ya, nikah nanti sore aja. Gimana?""Om, saya," kata Fitri kembali ingin memprotes sang calon mertua. Namun, kalimat itu tidak diteruskan karena ponsel sahabatnya Kiran tersebut berbunyi nyaring. Ada notifikasi pemberitahuan masuk. Seketika, kelopak mata Fi
Happy Reading*****Fitri dan Syaif menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan. Si lelaki menepuk kening sambil mengembuskan napas panjang. Jika sudah begini, dia pasti akan terkena nasihat sahabatnya. Fitri sendiri lebih memilih menundukkan kepala dengan tangan yang menarik-narik ujung kemeja Syaif."Ngapain, sih, balik lagi?" kata Syaif dengan wajah kesal."Kalau aku nggak balik. Kamu pasti makin menjadi-jadi sama Fitri. Awas aja aku laporkan pada Om dan Tante." Amir mengeluarkan ponsel, jemarinya mulai bergerak bermain di atas layar. "Dih, main lapor-lapor saja. Lagian, aku nggak ngapa-ngapain, kok, sama Fitri," sanggah Syaif masih dengan raut wajah kesal pada sahabatnya."Nggak ngapa-ngapain karena keburu kepergok. Coba kalau aku nggak datang. Kamu pasti udah nyosor ke Fitri. Pokoknya, aku mau lapor sama Om supaya kalian cepet dinikahkan. Aku nggak mau, ya, kantorku kalian pake untuk tempat mesum." Suara Amir mulai meninggi. Sebenarnya, dia sudah berniat untuk segera menyusul
Happy Reading*****Amir menaikkan garis bibirnya, lalu menggaruk kepala yang tak gatal. "Mas, ih. Ditanya, bukannya jawab malah nyengir," gerutu Kiran yang tidak pernah tahu jika layanan spa yang dipesan adalah untuknya. "Nanti, kamu bakalan tahu. Kenapa suamimu ini memesan layanan spa. Sekarang, habiskan makanannya. Mas, mau bukain pintu dulu." Amir berdiri. Berjalan ke arah pintu untuk menyambut tamunya."Selamat siang, Pak. Saya dari layanan spa di hotel ini yang sudah Bapak pesan. Bisa kita mulai spa terapinya?" tanya perempuan dengan perkiraan usia sama dengan Kiran. "Sebentar," sahut Amir. Menoleh ke arah sang istri yang sudah menyelesaikan makan siangnya. "Sayang, kamu sudah siap untuk spa?""Lho. kok, aku? Bukannya yang mau spa njenengan?" Kiran menatap suaminya dengan bingung."Memang Mas yang pesan, tapi yang ngeluh capek kan kamu, Sayang. Jadi, Mas panggil layanan spa di hotel ini. Kalau nunggu kesempatan, kamu pasti nggak bakalan mau diajak ke salon apalagi kalau ada
Happy Reading*****Sedikit mendorong tubuh sang suami agar tidak mengubah keputusannya tadi, Kiran mengatupkan kedua tangannya."Mas, aku mohon beri sedikit waktu supaya tenagaku pulih. Nanti, kita bisa melakukannya lagi. Ya?" kata Kiran dengan wajah memelas agar suaminya tidak meminta haknya. Dia benar-benar capek dan butuh pemulihan."Makanya, jangan suka godain. Sudah tahu suamimu ini gampang banget terpancing kalau masalah begituan. Jadi, kenapa sayangnya Mas ini masih menggoda?" Amir mencolek dagu sang istri, lalu mengecup keningnya lembut. "Tapi, Mas janji. Hari ini, demi kesayangan. Mas, rela menahannya sampai kamu benar-benar siap."Kiran tersenyum dengan perkataan sang suami yang begitu pengertian, rasanya ingin mengecup bibir lelakinya sekali lagi, tetapi takut jika akan membangkitkan hasratnya lagi. Jadi, Kiran cuma bisa melemparkan senyumnya saja. "Aku mau mandi saja, gerah," kata Kiran untuk mengalihkan pembahasan mereka."Boleh ikut nggak sih, Sayang?" goda Amir disert
Happy Reading*****Amir tersenyum lebar dan langsung memeluk sng istri, seolah-olah mereka sudah berpisah cukup lama. "Mas, lepas. Malu sama Mama," pinta Kiran sambil sedikit mendorong tubuh lelakinya. Amir terpaksa mengurai pelukan sang istri. Menatapnya penuh kekecewaan. "Malu kenapa, sih? Mas, nggak salah apa-apa. Lagian kita cuma pelukan nggak ngapa-ngapain juga."Laila cuma bisa tersenyum dengan tingkah manja Amir. Jika sudah seperti itu, maka si bos tidak akan memiliki rasa malu lagi. "Sudahlah, kalian pulang berdua saja. Mama sama sopir dan langsung menjemput Rara," putus perempuan paruh baya tersebut, memberi kesempatan pada keduanya untuk melepas rindu. Laila bukanlah mertua yang tidak bertoleransi, dia juga pernah muda dan pernah merasakan gairah sang suami yang begitu menggebu-gebu. Jadi jika Amir sekarang bersikap seperti itu, sudah tidak kaget lagi."Tapi, Ma. Aku tadi sudah janji sama Rara bakalan nganter jemput," kata Kiran antara keberatan dan tidak enak hati suda