Sebuah desa yang terletak di tengah pegunungan hijau dengan udara segar dan pemandangan yang memukau, penuh dengan kehangatan dan keramahan. Penduduknya saling mengenal dengan baik, menciptakan ikatan kekeluargaan yang erat.
Mereka menjalani kehidupan yang sederhana, bercocok tanam, dan berdagang di pasar kecil di pusat desa. Di sinilah Moon, seorang gadis muda yang dikenal karena kecantikannya yang alami dan sifatnya yang ceria, hidup bersama neneknya. Moon, dengan rambut panjangnya yang berkibar terkena angin, mengayuh sepeda dengan penuh semangat menuju pasar desa. Senyumnya yang manis dengan lesung pipi yang menghiasi wajah bulatnya membuatnya selalu terlihat ceria.
Setibanya di pasar, dia berhenti di depan kios sayuran milik seorang wanita paruh baya. "Bibi, sayur yang aku pesan, apakah sudah tersedia?" tanya Moon dengan senyum ramah.
Wanita paruh baya itu, yang sudah mengenal Moon sejak kecil, tersenyum kembali. "Moon, Bibi sudah simpan untukmu," katanya sambil mengeluarkan beberapa sayuran segar dari bawah meja.
"Terima kasih!" ucap Moon dengan senyum.
"Nenekmu sangat suka makan sayur, tentu saja Bibi harus menyediakan lebih untuknya," tambah wanita itu dengan ramah, menunjukkan betapa eratnya hubungan mereka.
Namun, suasana yang damai itu tiba-tiba pecah ketika terdengar teriakan panik dari seorang pria muda bernama Ekin. Dia berlari ke arah mereka, wajahnya penuh kecemasan."Gawat! Gawat!" teriak Ekin, napasnya tersengal-sengal.
Semua orang di pasar berhenti sejenak, menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran dan khawatir.
"Ekin, ada apa denganmu? Apa terjadi sesuatu?" tanya salah satu warga yang berdiri dekat dengan Moon.
Ekin berusaha mengatur napasnya sebelum menjawab, "Baru dapat informasi, besok mereka akan datang lagi untuk mengusir kita. Kali ini yang datang adalah pengurusnya, mereka bersama beberapa anak buahnya. Kalau kita menolak, mereka akan melakukan penggusuran paksa."
Salah satu warga yang lebih tua mengangguk dengan cemas, "Mereka selalu saja datang berusaha untuk mengusir kita," katanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Seorang pria lain yang berdiri di sebelahnya, dengan nada tegas berkata, "Tetap saja seperti biasa, kita pertahankan tempat tinggal kita. Bagaimanapun, kita tidak akan pergi meninggalkan tempat ini." Suaranya penuh keyakinan dan tekad, menginspirasi warga lainnya untuk bersiap menghadapi ancaman yang akan datang.
Moon yang mendengar semua ini, merasakan hatinya menjadi berat. Desa ini adalah rumahnya, tempat dia tumbuh dan mengenal banyak orang yang sudah dianggap sebagai keluarganya.
"Kalau nenek tahu pasti sedih lagi, Apakah tidak ada cara lain untuk menghentikan semua ini," batin Moon.
Keesokan hariny, pada pukul 06.00
Moon mendatangi tepi pantai dan menghirup udara yang segar,ia kemudian berjongkok memainkan pasir di posisi tempat dua berdiri. Moon merasakan butiran pasir yang dingin dan lembut di antara jari-jarinya. Suara ombak yang berderai menambah ketenangan di pagi yang sejuk itu.
Di kejauhan, seorang pria tampan dan berpenampilan rapi berdiri memandang laut. Dari pakaiannya yang elegan dan sikapnya yang penuh percaya diri, jelas ia bukan berasal dari desa kecil ini, melainkan dari kota besar. Saat pria itu berbalik untuk pergi, matanya tertumbuk pada sosok Moon yang sedang asyik bermain pasir. Dia terdiam sejenak, terpikat oleh pemandangan gadis muda yang tampak begitu bebas dan damai. Tanpa disadari, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan ponselnya dan diam-diam mengambil foto Moon.
"Tuan muda, semuanya sudah siap. Mereka akan segera merobohkan semua bangunan di desa ini," suara seorang pria, yang ternyata adalah sekretarisnya, membuyarkan perhatian pria tersebut.
"Selesaikan hari ini juga, aku tidak suka membuang waktu!" perintahnya dengan nada tegas, wajahnya yang tadi tersenyum manis berubah menjadi serius. Namun, saat ia mulai melangkah pergi, pandangannya kembali tertuju pada Moon. Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat itu.
Dua alat berat berdiri gagah di pinggiran desa, siap meratakan setiap bangunan yang ada. Para warga, dari yang tua hingga yang muda, berkumpul dengan tekad bulat untuk melawan para pekerja dan petugas yang dikirim dari kota.
Di tengah kerumunan itu, pria tampan yang menjadi mewakili perusahaan berdiri dengan angkuhnya, mewakili kepentingan korporat yang ingin mengambil alih lahan mereka.
Pagi itu, suasana di desa penuh dengan ketegangan. Para warga, yang sangat mencintai tanah mereka, berusaha mati-matian menghentikan rencana penghancuran. Mereka berteriak-teriak, berharap suara mereka didengar. "Walau kami mati, kami tidak akan pergi dari sini!" seorang warga berseru lantang, suaranya penuh dengan emosi dan keteguhan.
"Aku adalah pengurus Kim, ingin mengatakan, Sayang sekali, tempat ini bukan hak kalian lagi. Selagi kalian bekerja sama, pihak perusahaan akan memberikan kompensasi. Kalian bisa pindah ke mana saja yang kalian suka," ucapnya, seolah masalah ini hanyalah urusan bisnis biasa.
Seorang kakek tua, yang telah hidup di desa itu hampir sepanjang hidupnya, melangkah maju dengan wajah penuh amarah. "Kenapa kalian suka sekali menindas warga kecil seperti kami? Usiaku sudah 75 tahun. Sejak usia 10 tahun aku sudah tinggal di desa ini. Sampai matipun aku tidak akan pergi," katanya dengan suara yang bergetar, namun tegas.
Pengurus Kim yang dikenal kejam dan tidak berperasaan hanya tersenyum sinis. "Itu urusanmu, Pak Tua. Aku masih berbaik hati menawarkan uang kompensasi. Lebih baik terima uangnya dan pergi. Kalau kalian tetap melawan, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa," ucapnya dengan nada mengancam.
"Kami akan menuntutmu!" teriak seorang warga lain, berusaha menunjukkan keberanian mereka meskipun jelas-jelas kalah kekuatan.
"Lakukan saja! Aku akan menggunakan sepuluh pengacara untuk mengurus masalah ini. Sedangkan kalian, apa yang bisa kalian lakukan untuk melawan kami?" jawab pengurus Kim dengan senyum angkuh, seolah kemenangan sudah di tangannya.
Merasa terhina, kakek itu maju dengan tangan terangkat, siap melayangkan pukulan ke wajah pria tersebut. Namun, aksinya langsung dihentikan oleh pengurus Kim, yang dengan cepat menangkap tangannya dan mendorongnya hingga kakek itu tersungkur ke tanah.
"Kakek!" teriak warga lain yang ingin segera bergegas menolongnya, panik melihat kakek itu terjatuh.
Pengurus Kim mengibaskan tangannya, seolah ingin menghilangkan kotoran yang menempel, lalu mengeluarkan saputangan dari sakunya. "Tidak tahu diri," ucapnya dingin sambil mengelap tangannya, menambah rasa amarah dan frustasi warga yang merasa dihina. Mereka hanya bisa menggertakkan gigi, menahan marah yang membara dalam hati.
Moon, yang baru tiba di lokasi, menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri. Tanpa berpikir panjang, ia berlari mendekati pengurus Kim. Tanpa ragu, tangannya melayang dan menampar keras wajah pria kota itu, "Plak!"
Tamparan itu menggema di udara, membuat semua orang terdiam sejenak. Wajah pria itu memerah karena tamparan tersebut. Dia menatap Moon dengan tatapan tajam, tetapi alih-alih marah, dia justru tersenyum—sebuah senyum yang berbahaya dan penuh teka-teki.
Keduanya saling memandang dengan intens, seolah-olah ada pertempuran diam-diam yang terjadi di antara mereka.
"Berani sekali menindas seorang kakek yang sudah tua. Apakah kamu tidak tahu malu?" ujar Moon dengan suara penuh kemarahan dan keberanian, menantang pria di depannya yang memiliki kekuasaan besar.
Anak buah Pengurus Kim, yang tampak siap untuk melindungi bos mereka, segera bergerak maju, tetapi dihentikan oleh isyarat tangan dari bos mereka. Pengurus itu mengangkat tangannya, menghentikan mereka dengan satu gerakan. Dengan tatapan tajam dan senyuman yang samar, dia menatap Moon, terpesona oleh keberaniannya. "Menarik!" gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar oleh Moon dan beberapa orang di sekitarnya.
Situasi semakin tegang, dan semua orang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Apakah Pengurus Kim yang kejam ini akan membalas tindakan Moon?
Pria itu menatap Moon dengan senyum lembut, tapi ada kilatan misterius di matanya. "Siapa namamu, Gadis kecil?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh dengan ancaman tersembunyi.Moon menegakkan tubuhnya, menatap balik tanpa gentar. "Namaku adalah Moon. Tolong hentikan semua ini. Jangan menyakiti warga-warga sini," katanya dengan tegas, berusaha menunjukkan keberaniannya meskipun di dalam hatinya bergejolak kekhawatiran.Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Pengurus, tersenyum lebih lebar, mengangguk perlahan. "Moon, nama yang bagus. Bulan yang indah. Aku menyukainya," ujarnya, nada suaranya kini lebih lunak namun tetap penuh teka-teki. "Ingin kami mengalah? Mungkin kau harus bisa mengabulkan permintaanku," lanjutnya, kali ini dengan tatapan tajam yang membuat Moon merasakan desiran dingin di tulang punggungnya.Moon menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang daripada yang ia rasakan.Pria itu mendekat, menundukkan
Christian berdiri tegak di tengah padang rumput yang sunyi, hanya diiringi suara angin yang berbisik melalui daun-daun pohon tinggi. Di sekelilingnya, beberapa anak buahnya berdiri dengan waspada, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Di tanah, seorang pria terbaring tak berdaya, wajahnya penuh luka, salah satunya dari sayatan pisau yang kini digenggam erat oleh Christian.Pria itu, yang matanya terbuka lebar dengan ketakutan, adalah orang yang menabrak Moon dan meninggalkannya tanpa rasa bersalah. Wajahnya kini penuh luka dan darah, mencerminkan nasib buruk yang menantinya. Christian melangkah mendekati pria itu dengan tenang, mengayunkan pisaunya dengan santai. "Kau tahu," katanya, suaranya tenang tapi penuh ancaman, "di dunia ini, orang seperti kau seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan sendri, bukan lari seperti pengecut. Terutama ketika korbannya adalah gadis itu." Christian berhenti sejenak, mengarahkan ujung pisaunya ke dada pria itu. "Kau tahu kau membuatku marah, kan?"P
Moon yang baru keluar dari kamar mandi, merasa panik saat melihat Christian duduk di kursi dekat jendela, menatapnya dengan senyum dingin. Ia berteriak ketakutan, "Kenapa kau ada di rumahku? Pergi sekarang juga!" Christian hanya tersenyum lebih lebar, matanya memancarkan kilatan yang membuat Moon merasa semakin terpojok."Jangan cemas! Saat ini hanya ada kita berdua. Bukankah seharusnya kita habiskan malam yang penuh cinta," jawab Christian dengan nada yang membuat Moon merasa semakin terancam."Kalau kau masih tidak keluar, aku akan berteriak!" kecam Moon.Christian tampak tidak terganggu. "Lakukan saja! Mereka semua sedang bersenang-senang, mendengar musik dan menari. Tidak ada yang bisa mendengar teriakanmu," jawabnya dengan tenang.Dengan perasaan takut yang semakin besar, Moon mencoba melarikan diri ke pintu. Namun, saat ia mencoba membukanya, pintu tersebut sudah terkunci. "Buka pintunya! Buka pintunya!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu dengan putus asa.Christian bangkit
Beberapa saat kemudian, Christian telah mengenakan pakaiannya kembali, menampilkan sikap dingin dan puas. Sementara itu, Moon menutupi dirinya dengan selimut, tubuhnya gemetar, dan pikirannya dipenuhi oleh rasa sakit dan kehancuran yang baru saja dialaminya.Christian mendekati Moon, menyentuh kepalanya dengan sikap possessif, dan tersenyum penuh kemenangan. "Aku sangat puas malam ini," ucapnya dengan nada rendah namun penuh keyakinan. "Mulai saat ini, kau adalah wanitaku yang hanya bisa menjadi milikku. Apa yang aku janjikan akan ku tepati. Siapapun tidak akan bisa melukaimu," lanjutnya, kemudian mencium wajah Moon dengan paksa.Moon, dengan sekuat tenaga, mendorong pria itu menjauh, merasa jijik dengan setiap sentuhan yang dirasakannya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya dengan histeris, air mata mengalir deras di pipinya.Di balik selimut, Moon menangis dengan sedih dan putus asa, tidak sanggup untuk menatap pria yang baru saja menyetubuhinya secara paksa. Tangisannya menggema di ruang
Moon yang melangkah masuk ke kamar neneknya, terlihat kosong dan sepi. Bayang-bayang neneknya masih muncul di setiap sudut kamar itu. Air mata gadis itu mulai berlinang mengingat kenangan nenek kesayangannya.Moon yang masih larut dalam kesedihan terduduk lemas di samping ranjang. Ia menangis terisak sehingga mengema satu ruangan itu. Hembusan angin dari jendela yang terbuka seolah membawa bisikan lembut neneknya, mengingatkan akan cinta dan kasih sayang yang pernah ia rasakan."Bagaimana aku bisa hidup sendiri tanpamu," ucap Moon meremas sprei ranjang dengan air mata yang membasahi wajahnya. Suara isak tangisnya semakin keras, mencerminkan betapa hancurnya perasaannya saat itu.Setelah beberapa saat kemudian, ia berusaha menenangkan diri dan menyeka air matanya. Ia melihat di bawah ranjang terdapat sebuah kardus kecil. Merasa penasaran, ia pun menariknya keluar dan membuka kardus tersebut dengan hati-hati, seolah benda itu adalah harta karun yang berharga.Terlihat foto-foto anak per
Victor terdiam, pandangannya langsung beralih dari file di depannya ke bawahannya. Tanpa kata-kata, dia segera bangkit dari kursinya, menyambar jasnya yang tergantung di dekatnya, dan melangkah keluar dari ruangan, menuju ke rumah sakit.Calvin Kim, anak sulung Victor, mendatangi rumah sakit setelah menerima kabar adiknya yang terluka parah hingga kritis. Wajahnya tegang, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Di lorong rumah sakit, ia berpapasan dengan ayahnya yang berjalan cepat, sama-sama dihantui kecemasan."John, di mana pelakunya, bagaimana dia bisa berniat jahat pada Christian?" tanya Victor dengan nada tegas, matanya tajam menatap supir Christian."Tuan Direktur, gadis itu tinggal di desa. Dia marah besar akibat rumah warga sana dirobohkan dengan paksa. Selain itu, neneknya juga meninggal karena insiden tersebut," jawab John, suaranya lirih namun jelas, berusaha menjelaskan situasi yang terjadi."Apa yang Christian lakukan sehingga merenggut nyawa orang? Bukankah hany
"Korban sedang dirawat di rumah sakit, kondisinya masih lemah. Namun telah melewati masa kritis," jawab detektif itu.Detektif lainnya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Sungguh luar biasa sekali, seorang gadis lemah berani menyentuh seorang Christian Kim."Moon menatapnya tajam. "Dia adalah pembunuh, kenapa aku tidak berani membunuhnya kalau nenekku sudah meninggal di tangannya.""Nona, usiamu masih muda. Christian Kim kemungkinan besar akan bertahan. Tapi, kamu yang dalam masalah besar. Apakah kamu tidak pernah dengar nama keluarga mereka? Terutama Christian Kim? Banyak yang kenal dia adalah seorang psikopat gila. Membunuhnya kamu menghadapi dua masalah. Pertama, keluarganya tidak akan membebaskanmu. Kedua, kalau Christian Kim sadar, dia sendiri yang akan mendatangimu," kata detektif itu dengan nada memperingatkan.Moon mengepalkan tangannya, matanya berapi-api. "Kalian memihak kepada mereka, walau sudah tahu dia adalah psikopat bajingan?" tanyanya penuh amarah."Apapun
"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya," ucap Calvin dengan alasan."Tidak perlu! Karena mereka adalah urusanku. Jangan coba-coba ikut campur lagi!" jawab Christian sambil mengancam, matanya memancarkan kemarahan yang mendalam."Direktur Utama!" sapa John dan Mike dengan sopan pada Victor yang melangkah masuk ke ruangan Calvin yang berantakan dengan pecahan vas bunga."Direktur Utama," sapa Calvin dengan nada sedikit gemetar, mencoba menyembunyikan kecemasannya."Kenapa papa bisa ada di sini, Mudah-mudahan dia tidak dengar pembicaraan kami," batin Calvin.Christian menoleh ke arah ayahnya dengan tatapan tajam, "Apakah Papa sudah tahu semuanya?" tanya Christian, suaranya dipenuhi emosi."Itu bukan permasalahannya saat ini. Lebih baik kau kembali ke rumah sakit dan obati lukamu," jawab Victor yang melihat baju putranya terkena noda darah dari bekas luka yang baru dijahit, matanya memancarkan kekhawatiran walau ia berusaha tetap bersikap dingin."Bagaimana aku bisa tenang untuk berobat k