Share

Benci

Beberapa saat kemudian, Christian telah mengenakan pakaiannya kembali, menampilkan sikap dingin dan puas. Sementara itu, Moon menutupi dirinya dengan selimut, tubuhnya gemetar, dan pikirannya dipenuhi oleh rasa sakit dan kehancuran yang baru saja dialaminya.

Christian mendekati Moon, menyentuh kepalanya dengan sikap possessif, dan tersenyum penuh kemenangan. "Aku sangat puas malam ini," ucapnya dengan nada rendah namun penuh keyakinan. "Mulai saat ini, kau adalah wanitaku yang hanya bisa menjadi milikku. Apa yang aku janjikan akan ku tepati. Siapapun tidak akan bisa melukaimu," lanjutnya, kemudian mencium wajah Moon dengan paksa.

Moon, dengan sekuat tenaga, mendorong pria itu menjauh, merasa jijik dengan setiap sentuhan yang dirasakannya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya dengan histeris, air mata mengalir deras di pipinya.

Di balik selimut, Moon menangis dengan sedih dan putus asa, tidak sanggup untuk menatap pria yang baru saja menyetubuhinya secara paksa. Tangisannya menggema di ruangan, mencerminkan kehancuran dan rasa tak berdaya yang dirasakannya.

Christian menatap tajam pada gadis itu, ekspresinya berubah marah melihat reaksi Moon yang menolaknya, "Apakah kau merasa aku menjijikkan?" tanyanya dengan nada penuh amarah yang terkendali.

"Iya, kau sangat menjijikkan sekali. Aku membencimu," jawab Moon dengan suara yang pecah oleh tangisan, matanya dipenuhi oleh air mata kepedihan.

Christian menggelengkan kepalanya dengan sedikit senyum sinis. "Sayang sekali, aku akan selalu hadir di dalam hidupmu," ucapnya dengan nada yang dingin, sebelum akhirnya beranjak meninggalkan ruangan.

Moon, dalam kemarahannya, melempar bantal ke arah pria itu, merasa marah dan hancur di malam itu. "Pergi... pergi...!" teriaknya dengan putus asa, suaranya menggema di antara tangisannya.

Christian yang telah berada di luar, menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke belakang, mengucapkan ancaman terakhirnya. "Moon, lihat saja nanti. Aku akan membuatmu tunduk padaku," katanya dengan nada penuh kepastian sebelum akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Moon dalam kehancuran dan ketakutan.

Di malam itu, Moon menangis sepanjang malam. Ia menahan suaranya agar tidak didengar oleh neneknya yang sudah tua dan rapuh. Bayang-bayang perbuatan pria itu masih begitu jelas dalam ingatannya. Senyuman, ciuman, dan sentuhan Christian masih menghantui pikirannya.

"Menjijikkan!" ucap Moon dengan suara bergetar, penuh kebencian.

Keesokan harinya, tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar. Moon terbangun setelah menangis semalaman. Matanya sembab, wajahnya pucat. Gadis itu bangkit dan menuju ke kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel, merasakan betapa malu dan hancur dirinya. Air mata kembali mengalir di pipinya yang sudah basah.

"Jangan sampai nenek tahu kejadian ini. Kalau tidak, nenek pasti akan sedih. Aku harus bertahan!" gumamnya sambil mencuci wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menghapus sedikit rasa sakit yang ia rasakan.

Sementara itu, di luar terlihat beberapa rumah warga dirobohkan oleh dua alat berat. Beberapa pria bersetelan hitam menahan para warga dan melakukan kekerasan terhadap mereka. Tua maupun muda menerima tindakan kekerasan tanpa pandang bulu.

"Ahhh!" Jeritan mereka yang kesakitan menggema di udara. Pria dan wanita dipukul tanpa ampun, anak-anak kecil pun menjerit ketakutan dan kesakitan.

Seorang wanita tua didorong hingga tersungkur dan ditendang oleh anak buah utusan perusahaan Christian Kim.

Moon yang berlari keluar, melihat kejadian itu dengan mata kepala sendiri. Hatinya teriris melihat penderitaan para tetangganya. Ia berteriak dengan cemas, "Hentikan! Hentikan!" Moon berusaha mendorong mereka dan menghentikan kekerasan yang terjadi, namun dia juga didorong hingga tersungkur ke tanah yang keras.

"Christian Kim sudah berjanji tidak akan mengusir kami," teriak Moon dengan suara serak, mencoba melawan ketidakadilan yang terjadi.

"Pengurus Kim yang memerintahkan kami untuk mengusir kalian dan meratakan semua rumah desa," jawab salah satu anak buah itu dengan dingin, tanpa sedikit pun rasa empati.

Moon terkejut mendengar jawaban itu, tapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, ia mendengar suara yang sangat dikenalnya, "Moon," suara nenek Moon terdengar lemah, dalam kondisi kritis. Terlihat wajahnya yang pucat dan hampir tidak bisa bertahan.

"Nenek...," teriak Moon yang bangkit dan berlari menghampiri neneknya. Ia mendorong anak buah Christian yang menendang neneknya dengan sekuat tenaga, air mata bercucuran di wajahnya.

"Nenek! Nenek!" seru Moon sambil mengangkat tubuh neneknya yang terkulai lemas. Wajah neneknya lebam dan pucat, mulutnya mengeluarkan darah. 

Moon merasakan ketakutan yang luar biasa, ketakutan kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Ia memeluk neneknya erat, berusaha memberikan kehangatan dan kekuatan, meski ia sendiri hampir putus asa.

Nenek Moon terlihat sekarat, napasnya tersengal-sengal, matanya berkaca-kaca, menahan rasa sakit yang menggerogoti tubuh rentanya. Dengan sisa kekuatan yang dimiliki, ia mengeluarkan air mata, berusaha mengangkat tangannya yang lemah untuk menyentuh wajah cucunya. Namun, sebelum jemarinya yang kurus dan bergetar dapat mencapai pipi Moon, matanya terpejam, dan tangannya terkulai jatuh ke tanah, tak lagi bernyawa.

"Nenek!" Tangisan Moon pecah, ia meraih wajah neneknya, menggenggam erat tangan yang sudah dingin itu."Nenek, bangun... Nenek, buka matamu. Tolong jangan tinggalkan aku..." Suara Moon memecah keheningan, dipenuhi rasa putus asa dan kepedihan yang mendalam.

Tangisan Moon yang memilukan membuat semua anak buah Christian terhenti dari aksi mereka.

"Hari ini sampai di sini saja, Pengurus Kim memberi waktu seminggu untuk kalian. Saat itu kalian harus pergi dari sini. Kalau tidak, nyawa kalian juga akan menjadi taruhannya," kecam salah satu anak buah Christian dengan nada dingin dan tanpa belas kasihan.

Para warga yang terluka parah hanya bisa terbaring tak berdaya, dengan darah mengalir dan rasa sakit yang mendera tubuh mereka. Wanita dan anak-anak menangis histeris, saling berpelukan dalam ketakutan dan ketidakberdayaan, merasakan beban kehilangan dan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka.

Sementara itu, Moon tetap memeluk tubuh neneknya yang kini telah pergi untuk selamanya, tubuhnya bergetar dalam pelukan yang dipenuhi rasa kehilangan yang mendalam. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi wajah neneknya yang tenang dan damai.

"Nenek, jangan tinggalkan aku sendirian, aku mohon padamu..." ucap Moon dengan suara serak, menatap wajah neneknya dengan pandangan yang penuh duka dan keputusasaan. 

Beberapa hari setelah kejadian itu, Nenek Moon pun telah dikremasi dengan sederhana tanpa acara apapun. Banyak warga yang hadir dalam kesedihan yang mendalam, berbagi rasa duka bersama Moon. Upacara itu berlangsung hening, hanya disertai isak tangis dan doa-doa yang lirih.

Moon, dengan air mata yang terus mengalir, melarungkan abu neneknya ke laut. Ia berdiri di tepi pantai, angin laut yang sejuk menerpa wajahnya yang basah oleh air mata.

"Nenek, pergilah dengan tenang dan damai. Aku akan menyusulmu setelah aku menyelesaikan masalah di sini. Aku tidak akan membiarkan nenek pergi begitu saja," batin Moon, menguatkan dirinya di tengah kepedihan yang tak tertahankan.

Malam hari, Moon duduk melamun di ruang tamu, tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Hanya dalam sehari, hidupnya berubah drastis. Kejadian yang menimpanya begitu cepat dan brutal: dirinya diperkosa dan harus kehilangan satu-satunya anggota keluarga yang paling ia cintai.

Bayangan wajah Christian Kim melintas di benaknya, menyulut api kebencian yang membara dalam hatinya. "Christian Kim, karena kamu aku telah kehilangan harga diri dan nenekku. Sebelum aku menyusul nenekku, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri," gumam Moon dengan suara penuh dendam. Ia meraih gunting yang terletak di atas meja, memegangnya erat dengan tangan yang gemetar. Dalam hatinya, ia sudah memutuskan. Tidak ada jalan kembali. Hanya ada satu tujuan: balas dendam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status