Moon yang melangkah masuk ke kamar neneknya, terlihat kosong dan sepi. Bayang-bayang neneknya masih muncul di setiap sudut kamar itu. Air mata gadis itu mulai berlinang mengingat kenangan nenek kesayangannya.
Moon yang masih larut dalam kesedihan terduduk lemas di samping ranjang. Ia menangis terisak sehingga mengema satu ruangan itu. Hembusan angin dari jendela yang terbuka seolah membawa bisikan lembut neneknya, mengingatkan akan cinta dan kasih sayang yang pernah ia rasakan.
"Bagaimana aku bisa hidup sendiri tanpamu," ucap Moon meremas sprei ranjang dengan air mata yang membasahi wajahnya. Suara isak tangisnya semakin keras, mencerminkan betapa hancurnya perasaannya saat itu.
Setelah beberapa saat kemudian, ia berusaha menenangkan diri dan menyeka air matanya. Ia melihat di bawah ranjang terdapat sebuah kardus kecil. Merasa penasaran, ia pun menariknya keluar dan membuka kardus tersebut dengan hati-hati, seolah benda itu adalah harta karun yang berharga.
Terlihat foto-foto anak perempuan kecil yang tak lain adalah Moon sendiri. Selain itu terdapat box kecil dan sepucuk surat di dalam kardus tersebut. Dengan tangan bergetar, Moon membuka dan membaca isinya.
"Moon, Setelah kamu membaca surat ini, mungkin saja nenek sudah tidak berada di sisimu. Nenek hanya ingin berpesan bahwa orang tuamu tinggal di kota. Pergilah cari mereka. Jangan membenci mereka dan dengarkan penjelasan mereka. Apa sebabnya kamu ditinggalkan di panti asuhan. Nenek mengadopsimu karena kamu adalah anak yang lucu dan manis! Gelang tangan yang ada di dalam box adalah milikmu semasa kecil. Temukan mereka di kota dan bersatulah dengan keluargamu!"
"Panti asuhan? Orang tuaku? Ternyata orang tua kandungku masih hidup. Tapi, apakah semua ini masih penting," ucap Moon yang sudah putus asa, suaranya gemetar. Ia terdiam sejenak, menatap gelang tangan yang ada di dalam kotak, mengenang masa kecil yang telah lama terlupakan.
"Gelang ini aku lepaskan karena kelonggaran di tanganku, sehingga aku meminta nenek yang memyimpannya. Tidak ku sangka sudah delapan belas tahun berlalu," ucapnya yang mengenakan gelang tersebut di tangannya.
"Tujuan utama sekarang adalah menemui Christian Kim dan membalas dendam kematian nenek," ucap Moon.
Keesokan harinya, Moon tiba di kota dengan naik bus. Sesampainya di sana, ia langsung menuju perusahaan milik keluarga Kim. Moon menghampiri security yang berjaga di luar pintu perusahaan.
"Paman, apakah Pengurus Kim ada di sini?"
"Nona dari mana dan siapa nama Anda?" tanya salah satu security.
"Nama saya Moon, Ada urusan penting yang ingin saya bicarakan dengannya," jawab Moon dengan sopan, berusaha tersenyum.
"Silakan menunggu sebentar," ucap satpam itu sambil menghubungi Christian.
Beberapa saat kemudian, setelah memutuskan panggilannya, security itu berkata, "Pengurus Kim berada di apartemennya. Anda bisa bertemu dengan dia di sana. Pengurus Kim akan mengutus sopirnya untuk mengantar Nona ke alamat tersebut."
"Baik, terima kasih!" ucap Moon.
Moon kemudian tiba di apartemen, berdiri tepat di depan pintu dengan cemas namun berusaha tenang. Ia mengatur napasnya sebelum menekan bel.Tidak lama kemudian, seseorang membuka pintu.
"Baru beberapa hari tidak bertemu, apakah kamu merindukanku sehingga datang menemuiku?" ujar pria itu, Christian, dengan senyum di wajahnya.
Moon menatap pria itu dengan penuh dendam dan kebencian. Amarahnya bergejolak, tetapi ia menahannya sejenak.
"Masuklah, tidak mungkin kamu berdiri terus," ajak Christian sambil menarik lengan gadis itu. Tanpa diduga, Moon langsung menikam bagian dada sebelah kiri Christian dengan gunting panjang yang ia bawa.
Christian terdiam sejenak, terkejut dengan serangan mendadak itu. Ia menatap Moon, lalu menunduk melihat gunting yang menancap di dadanya. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya tidak bisa bicara, tubuhnya mulai berkeringat dingin.
"Kau...," ucap Christian dengan tatapan tajam. Tangan kirinya menggenggam pergelangan tangan Moon yang memegang gunting, mencoba menahan rasa sakit.
"Kau adalah pembunuh," kata Moon dengan suara bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya. "Bahkan nenekku yang sudah tua renta pun kau tidak melepaskannya. Kau sudah berjanji padaku untuk tidak mengusir mereka. Tapi apa yang kau lakukan? Anak buahmu malah menyakiti semua warga desa, dan nenekku harus meninggal akibat kekerasan yang diterima. Harga diriku, nenekku, semuanya telah kau hancurkan. Kau pantas mati, Christian Kim."
Christian menahan sakit, air mata ikut mengalir dari matanya. Tusukan itu seolah menembus jantungnya, membuat setiap napas menjadi perjuangan.
"Seharusnya kau tidak datang ke desa," lanjut Moon, matanya penuh kebencian. "Kau adalah iblis. Tujuanku hanyalah untuk membunuhmu karena kau tidak pantas hidup. Setelah kau mati, aku dengan senang hati akan menyusul nenekku." Moon menangis, memikirkan neneknya yang sudah tiada dan semua penderitaan yang telah dialaminya.
Christian, dengan napas tersengal-sengal, hanya bisa menatap Moon, dan menahan sakit yang luar biasa.
Nada terputus-putus, ia bertanya, "Kau berharap... aku mati...?"
"Benar!" jawab Moon dengan suara yang bergetar penuh amarah, "Karena dirimu aku sudah hancur. Hidupku sudah tidak berguna dan tidak ada tujuan. Hanya karena keegoisanmu. Banyak yang terluka dan kehilangan. Kamu tidak pantas hidup."
Srak!
Moon mencabut gunting tersebut dengan tangan yang gemetar.
Christian langsung terkapar ke lantai dekat pintu apartemen. Darah mengalir deras dari dadanya, membasahi lantai di sekitarnya.
Tangan Moon gemetar semakin kuat, ketakutan mulai menjalar ketika ia melihat banyak darah yang menempel di tangannya dan gunting tersebut. Namun, ia tidak memilih untuk pergi, melainkan pasrah. Hatinya campur aduk antara kepuasan dan ketakutan yang tak terlukiskan.
"Tuan Muda! Tuan Muda!" seru supirnya yang mengantar Moon tadi, wajahnya pucat pasi melihat keadaan majikannya.
Pria itu langsung menghampiri Christian yang tergeletak tidak berdaya, napasnya terengah-engah.
"Apa kau sudah gila, kenapa tega menyakiti tuan muda kami," bentak supir itu, matanya dipenuhi kecemasan dan amarah.
Tak lama kemudian, security apartemen langsung datang setelah mendengar teriakan tersebut. Mereka menahan Moon yang terpaku diam di sana. Pria yang dia tikam telah hilang kesadarannya dan kehilangan banyak darah.
"Bawa dia ke kantor polisi!" perintah supir Christian dengan suara yang bergetar.
Moon lantas dibawa pergi oleh mereka tanpa perlawanan. Baginya, keinginannya telah tercapai dan dia tidak peduli dengan masa depannya. Ia hanya berharap rasa sakit dan kehancurannya bisa sedikit terbalaskan.
Di sisi lain, ruangan kantor perusahaan yang luas dan megah, terlihat ayah Christian yang duduk di sana sambil fokus pada file yang ada di depannya. Di mejanya, tertera nama Direktur Utama, Victor Kim. Cahaya matahari menerobos melalui jendela besar, memantulkan kemewahan ruangannya yang dikelilingi oleh dinding kaca dan perabotan modern.
Tidak lama kemudian, asistennya melangkah masuk ke ruangan itu dengan langkah terburu-buru. Wajahnya pucat dan cemas, tampak jelas ada kabar buruk yang ingin disampaikan."Tuan, Tuan muda kedua masuk rumah sakit!" lapor asistennya dengan suara bergetar.
Victor terdiam, pandangannya langsung beralih dari file di depannya ke bawahannya. Tanpa kata-kata, dia segera bangkit dari kursinya, menyambar jasnya yang tergantung di dekatnya, dan melangkah keluar dari ruangan, menuju ke rumah sakit.Calvin Kim, anak sulung Victor, mendatangi rumah sakit setelah menerima kabar adiknya yang terluka parah hingga kritis. Wajahnya tegang, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Di lorong rumah sakit, ia berpapasan dengan ayahnya yang berjalan cepat, sama-sama dihantui kecemasan."John, di mana pelakunya, bagaimana dia bisa berniat jahat pada Christian?" tanya Victor dengan nada tegas, matanya tajam menatap supir Christian."Tuan Direktur, gadis itu tinggal di desa. Dia marah besar akibat rumah warga sana dirobohkan dengan paksa. Selain itu, neneknya juga meninggal karena insiden tersebut," jawab John, suaranya lirih namun jelas, berusaha menjelaskan situasi yang terjadi."Apa yang Christian lakukan sehingga merenggut nyawa orang? Bukankah hany
"Korban sedang dirawat di rumah sakit, kondisinya masih lemah. Namun telah melewati masa kritis," jawab detektif itu.Detektif lainnya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Sungguh luar biasa sekali, seorang gadis lemah berani menyentuh seorang Christian Kim."Moon menatapnya tajam. "Dia adalah pembunuh, kenapa aku tidak berani membunuhnya kalau nenekku sudah meninggal di tangannya.""Nona, usiamu masih muda. Christian Kim kemungkinan besar akan bertahan. Tapi, kamu yang dalam masalah besar. Apakah kamu tidak pernah dengar nama keluarga mereka? Terutama Christian Kim? Banyak yang kenal dia adalah seorang psikopat gila. Membunuhnya kamu menghadapi dua masalah. Pertama, keluarganya tidak akan membebaskanmu. Kedua, kalau Christian Kim sadar, dia sendiri yang akan mendatangimu," kata detektif itu dengan nada memperingatkan.Moon mengepalkan tangannya, matanya berapi-api. "Kalian memihak kepada mereka, walau sudah tahu dia adalah psikopat bajingan?" tanyanya penuh amarah."Apapun
"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya," ucap Calvin dengan alasan."Tidak perlu! Karena mereka adalah urusanku. Jangan coba-coba ikut campur lagi!" jawab Christian sambil mengancam, matanya memancarkan kemarahan yang mendalam."Direktur Utama!" sapa John dan Mike dengan sopan pada Victor yang melangkah masuk ke ruangan Calvin yang berantakan dengan pecahan vas bunga."Direktur Utama," sapa Calvin dengan nada sedikit gemetar, mencoba menyembunyikan kecemasannya."Kenapa papa bisa ada di sini, Mudah-mudahan dia tidak dengar pembicaraan kami," batin Calvin.Christian menoleh ke arah ayahnya dengan tatapan tajam, "Apakah Papa sudah tahu semuanya?" tanya Christian, suaranya dipenuhi emosi."Itu bukan permasalahannya saat ini. Lebih baik kau kembali ke rumah sakit dan obati lukamu," jawab Victor yang melihat baju putranya terkena noda darah dari bekas luka yang baru dijahit, matanya memancarkan kekhawatiran walau ia berusaha tetap bersikap dingin."Bagaimana aku bisa tenang untuk berobat k
Di Departemen Kepolisian New York, sebuah ruangan kantor yang dipenuhi dengan suasana tegang. Sheriff Antonio sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang mendalam."Tuan Christian, sebelumnya kakak Anda meminta kami untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku karena telah menyakiti Anda," kata Antonio dengan nada penuh tekanan.Suara di seberang telepon terdengar tegas. "Permintaanku adalah bebaskan dia, pengacaraku akan tiba dan mengurus semuanya," ujar Christian dengan nada pasti."Tuan Christian, tapi kami sudah tetapkan waktu untuk menjatuhkan hukuman besok siang," kata Antonio, suaranya semakin rendah.Terdengar tawa pendek dari ujung telepon. "Sejak kapan kamu berani melawanku, Sheriff Antonio?" tanya Christian dengan nada tidak puas."Bukan seperti itu, kalau saya batalkan... maka kakak Anda pasti akan...," jawabnya dengan gugup, suaranya bergetar.Christian, yang duduk di dalam mobil di depan sekolah, mengamati putri Antonio yang s
Pengacara Sean datang menemui Christian di apartemennya untuk melaporkan bahwa semua perintahnya telah dijalankan. Di ruangan luas itu, terlihat Sean, Mike, dan Jhon sedang berdiri, menunggu instruksi lebih lanjut.Tiba-tiba, sebuah gelas kaca melayang ke arah mereka bertiga. Dengan serentak, mereka menunduk untuk menghindari lemparan Christian yang sedang emosi. Suara pecahan kaca yang keras menggema di ruangan, membuat suasana semakin tegang."Apa? Aku sudah bebaskan dia, dan dia pergi begitu saja dengan pria lain. Sean, bagaimana bisa kau membiarkan dia pergi begitu saja?" tanya Christian dengan nada tinggi, matanya menyala-nyala penuh amarah.Sean mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Aku tidak bisa menghalangnya, karena aku tidak punya alasan. Lagi pula, pria itu berkata mereka seperti keluarga sendiri," jawab Sean dengan tenang, meskipun ia tahu ini tidak akan meredakan kemarahan Christian.Christian mendengus, wajahnya memerah karena marah
Mansion Keluarga Kim.Victor duduk di ruang pribadinya dengan ditemani oleh asisten kepercayaannya, Luwis. Ruangan itu dipenuhi dengan ornamen klasik yang menunjukkan status keluarga mereka yang terpandang. Lukisan-lukisan besar menghiasi dinding, dan suasana tenang malam itu semakin memperdalam kekhawatiran yang menggelayuti pikiran Victor."Tuan, sudah malam. Kenapa masih belum istirahat?" tanya Luwis dengan suara lembut, namun penuh rasa hormat.Victor menatap keluar jendela besar yang menghadap taman, di mana bayang-bayang pohon terlihat samar dalam cahaya bulan. "Setelah kita tua, aku baru sadar apa itu takut. Semasa muda aku tidak kenal takut dan tidak peduli apapun. Melihat pertengkaran kedua putraku. Aku merasa bimbang," jawabnya dengan nada muram.Luwis menghela napas pelan. "Tuan, apakah karena kejadian tadi pagi? Tuan muda kedua memang gegabah. Selama ini dia tidak pernah mengalah apapun yang terjadi. Setelah mengetahui perbuatan tuan muda pertama, tuan muda kedua pun langs
Moon yang ditahan di sebuah kamar tidak sadarkan diri. Ia terbaring di atas kasur dengan nafas yang pelan dan teratur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela menerangi wajahnya yang pucat. Mereka meninggalkannya begitu saja, seolah-olah ia hanyalah barang tak berharga.Sementara itu, Calvin tersenyum puas setelah mengetahui rencananya telah berhasil. Ia tertawa kecil dan duduk di sofa kamar pasien, "Apakah bocah itu tertarik padanya? Aku menjadi penasaran, apa kelebihan dari seorang gadis desa," ucap Calvin dengan nada mengejek, sambil memainkan cincin di jarinya.Joss yang berdiri di dekat pintu, melangkah maju dan menatap Calvin dengan penuh hormat. "Apa rencana kita selanjutnya, Tuan?" tanyanya dengan suara yang tenang namun tegas.Calvin menghela napas dalam, pandangannya beralih ke arah jendela. "Jangan sampai Christian tahu kalau gadis itu berada di tangan kita. Gadis ini bisa saja memberitahu semua orang mengenai kejadian neneknya. Aku tidak ingin karena manusia seperti dia, pe
Calvin membuka kancing bajunya dengan gerakan tergesa-gesa dan menekan kedua tangan Moon ke atas, menjepitnya erat. Napasnya memburu ketika bibirnya mendarat di leher Moon, bergerak dengan rakus hingga turun ke dadanya. Moon berteriak, suaranya memecah keheningan malam, dan dia berusaha melawan sekuat tenaga."Hentikan, dasar bajingan!" bentak Moon dengan kemarahan yang membara, lalu dengan cepat dia mengangkat lututnya dan menghantam bagian bawah tubuh Calvin dengan keras. "Bruk!""Ahh!" jerit Calvin yang kesakitan, tubuhnya terhuyung ke belakang dan wajahnya seketika memucat. Melihat kesempatan itu, Moon segera bangkit dan mendorong pria itu ke samping dengan sekuat tenaga.Namun, saat Moon baru saja melangkah menjauh, Calvin, meski menahan sakit, langsung bangkit dan dengan gerakan cepat, ia menampar wajah Moon dengan keras. Tubuh Moon terhuyung ke belakang, kepalanya terbentur sudut meja dengan bunyi yang mengerikan.Moon tersungkur di lantai, rasa sakit menjalar di kepalanya, dan
Christian berdiri di tengah kamar dan menatap pakaian yang telah rapi tersusun di koper. Jhon dan Mike, dua orang yang telah setia bersamanya dalam segala suka dan duka, memandangnya dengan penuh haru. Udara sore yang sejuk menyusup lewat jendela, membawa keheningan yang berat di antara mereka.Mike melangkah maju, menatap majikannya dengan sorot mata penuh harapan. "Tuan, kami bisa ikut denganmu, dan memulai dari awal," suaranya serak, namun tegas.Christian menatap keduanya dengan senyuman lembut, seakan memberi mereka kekuatan. "Mike, Jhon, kalian sangat berbakat. Rajin dan tidak pernah mengeluh. Aku sudah melamarkan pekerjaan untuk kalian berdua di perusahaan besar. Kalian akan dihubungi setelah prosedurnya diurus. Bekerjalah dengan baik." Suaranya tenang, tapi penuh keyakinan. "Aku akan pergi bersama Moon. Kami memiliki terlalu banyak kenangan pahit di sini, jadi kami ingin melupakan semuanya.""Tuan, kami telah lama ikut denganmu, kami sudah biasa dengan ritme ini," Jhon mencob
"Aku tidak akan membiarkan kalian berhasil!" bentak Calvin dengan emosi yang memuncak. Matanya menyala penuh kemarahan, wajahnya memerah. Victor menatap Calvin dengan sorot mata tenang, namun penuh penyesalan. "Calvin," ucapnya dengan suara yang lebih rendah, hampir bergetar, "Papa bersalah padamu. Papa mengkhianati mamamu dan juga melukaimu. Tapi ini adalah kesalahan Papa," lanjutnya, mencoba menenangkan Calvin yang jelas tidak ingin mendengar.Calvin mendengus sinis, tidak bisa menahan tawa pahitnya. "Jangan mengatakan kalau Papa ingin menyerahkan semuanya pada dia?" suaranya bergetar, penuh kebencian dan kekecewaan. "Aku tidak sudi! Karena aku juga telah membantu mengembangkan bisnis kita. Aku pantas mendapatkannya!" sorot mata Calvin beralih pada Victor, menuntut jawaban yang adil. "Siapa pun di antara kalian," ucapnya dingin, "tidak ada yang bisa mengambil alih perusahaan ini." Christian menatap mereka berdua bergantian, membuat suasana semakin menegangkan. "Hari ini juga, aku
Victor merasa darahnya berdesir dingin, napasnya seakan tersangkut di tenggorokan saat menatap putrinya, Moon, yang berdiri di depannya dengan sorot mata tajam. Tubuhnya yang lelah seakan kehilangan kekuatan. Tidak pernah dia membayangkan hari di mana seluruh rahasia kelam yang selama ini ia simpan rapat-rapat akhirnya terungkap.Christian, dengan dingin dan penuh dendam, duduk santai di sofa. Tatapannya tajam seperti pisau yang siap menancap,"Aku adalah bayi yang kamu adopsi," suaranya terdengar menggelegar dalam keheningan ruangan. "Kedua orang tuaku tewas di tanganmu. Seluruh milik keluargaku juga kau rebut begitu saja. Sementara Moon adalah putri kandungmu yang kau lantarkan selama ini. Apa lagi yang ingin kau katakan?"Kata-kata Christian menusuk hati Victor seperti jarum tajam. Selama bertahun-tahun, dia hidup dalam ilusi bahwa apa yang dia lakukan adalah demi kekuasaan, demi keluarganya.Moon, yang dari tadi berdiri di sudut ruangan, mulai men
Calvin menatap Christian dengan mata yang menyala penuh emosi, berusaha menyangkal kebenaran yang baru saja diungkapkan. Sementara itu, Victor, yang duduk di samping Calvin, mulai merasakan jantungnya berdetak tak teratur. Keringat yang tadi hanya mengalir di dahinya kini membasahi tengkuknya.“Jangan bercanda! Keluarga Kim membesarkanmu selama ini. Apakah kau menggunakan cara ini untuk membalas kami?” tanya Calvin dengan nada yang lebih keras, mencoba menguasai percakapan meski suaranya terdengar sedikit goyah.Christian tersenyum sinis, langkahnya perlahan mendekati Calvin yang masih duduk di sofa. “Membesarkan aku? Apakah aku harus berterima kasih padamu? Membunuh kedua orang tuaku yang juga adalah sahabat dekatmu. Lalu mengambil alih perusahaan mereka tanpa rasa malu sedikitpun,” ujar Christian, nada suaranya semakin berbahaya dengan setiap kata yang keluar.Calvin terdiam sejenak, kata-kata Christian menghantamnya seperti palu besar
"Pa, apakah benar di dalam rekaman ini adalah Papa? Mana mungkin Papa tega pada sahabat sendiri," ujar Christian dengan senyum sinis.Victor tampak terkejut namun berusaha tetap tenang. Ia merapatkan jasnya seolah mencoba mengendalikan suasana hatinya. "Ini hanya rekaman rekayasa, tidak ada kejadian itu," jawabnya dengan suara berat, membela diri.Christian mendekat, "Benarkah? Kalau begitu, Papa cukup mengklarifikasi pada media untuk menyelamatkan perusahaan kita," kata Christian dengan nada menantang."Christian, semua ini tidak benar. Pasti ada yang ingin menjatuhkan kita," ujar Victor dengan tegas, matanya menyiratkan ketakutan yang samar.Sementara itu, Calvin, yang berdiri di sana memandangi Christian dengan penuh rasa ingin tahu dan cemas. "Bagaimana bisa rekaman itu terungkap? Dari mana asalnya, dan apakah brengsek ini tidak tahu apa-apa?" gumam Calvin dengan geram, berpikir keras.Seorang sekretaris tiba-tiba masuk tergesa-gesa, raut
Christian sengaja membuka ponselnya dengan gerakan lambat, matanya menelusuri layar dengan ekspresi tenang yang tampak dingin. Suasana di ruangan itu berubah hening ketika dia memutar video yang tengah viral. Wajah Victor dan beberapa orang lain yang hadir langsung mengarah pada Calvin, menunggu reaksinya. Di sudut ruangan, Calvin tampak terdiam, mencoba menahan kemarahan yang memuncak. Sorotan mata tajam Christian menancap pada layar ponselnya sebelum beralih ke Calvin."Calon direktur utama bercinta dengan beberapa wanita di satu malam, luar biasa sekali, kakakku," suara Christian memecah keheningan, nadanya penuh sarkasme dan sindiran halus. Dia memperlihatkan ponselnya kepada Calvin, dengan artikel-artikel yang mulai bermunculan di media sosial, menghancurkan reputasi Calvin.Calvin yang dikejutkan oleh berita tersebut langsung merogoh saku jasnya dengan tergesa, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dia membuka ponselnya dan dalam hitungan detik, layar menampi
Christian menyesap kopinya pelan, sambil memandang Reporter Frank dengan tajam. Kafe itu masih sepi, hanya terdengar alunan musik lembut yang mengisi suasana. Christian duduk dengan tenang, meski niatnya penuh ambisi."Pastikan rekaman ini tersebar luas, beserta fotonya. Aku ingin menjadikan berita ini di halaman utama," ujar Christian, nadanya tegas dan tak terbantahkan.Frank, reporter yang selalu haus akan cerita besar, mengangkat alisnya, matanya penuh harap. "Tuan Kim, apakah ini adalah berita besar?" tanyanya, sedikit ragu namun tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Christian menyeringai, memperlihatkan ketenangan yang mematikan. "Reporter Frank, tidak perlu bertanya hal lain, cukup lakukan saja sesuai perintahku. Jatuhkan orang yang di dalam rekaman ini akan membuatmu semakin terkenal," jawabnya dengan senyum tipis namun penuh ancaman.Frank tersenyum puas, merasa bahwa kesempatannya untuk naik ke puncak kariernya sudah di depan mata. "Baiklah, T
Christian membawa Moon kembali ke apartemennya, tempat yang dulu menjadi tinggal bersama.Ketika mereka tiba, suasana kamar terasa sunyi, seolah menyerap segala keletihan yang Moon rasakan setelah hari yang begitu berat. Tubuhnya masih gemetar, kedua pergelangan tangannya memar akibat ikatan yang terlalu kuat. Christian duduk di sampingnya, mengambil salep, dan dengan lembut mengoleskannya pada bekas luka di pergelangan tangan Moon.Sentuhannya hati-hati, seolah takut menyakiti gadis itu lebih dari yang sudah terjadi."Maaf," ucap Christian tiba-tiba, suaranya rendah dan penuh penyesalan. "Aku terlambat. Aku tidak melindungimu dengan baik."Moon mengangkat wajahnya, memandang Christian dengan lembut. Ada luka yang tak terucapkan di matanya, tapi bibirnya tetap tersenyum kecil."Bukankah kamu sudah menyelamatkan aku? Jangan merasa bersalah," jawabnya, mencoba meredakan beban yang tergambar jelas di wajah Christian.Christian terdiam
Moon ditarik keluar oleh dua anak buah Calvin dengan kasar, menyeretnya menuju mobil. Gadis itu berusaha sekuat tenaga meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat mereka. Namun, semakin keras ia melawan, semakin erat genggaman mereka, membuat Moon merasa semakin tak berdaya.Di kejauhan, anggota Christian yang sudah tak sabar memutuskan untuk bertindak. Dengan tatapan dingin dan penuh perhitungan, ia menginjak pedal gas sekuat tenaga, melaju cepat ke arah mereka tanpa peduli."Awas!" Teriakan keras terdengar dari beberapa orang yang langsung berlarian ke samping, mencoba menyelamatkan diri dari bahaya yang semakin dekat.Dalam sekejap, mobil yang dikemudikan anggota Christian menghantam kendaraan di depan mereka dengan kekuatan brutal.Brak! Suara benturan keras menggema di udara. Mobil yang ditabrak mengalami kerusakan parah, bagian belakang penyok, dan kaca di beberapa sisi retak hebat. Supir di dalamnya tak sempat menghindar, kepalanya terbentur keras ke setir akibat ta