Victor menghempaskan tangannya ke meja dengan keras, wajahnya memerah dan matanya menyala-nyala penuh kemarahan. Ruangan itu seakan bergetar oleh amarah yang membara dalam dirinya. Dia menatap Calvin dengan pandangan tajam yang bisa menembus hingga ke inti hati putranya, seolah menuntut jawaban yang memuaskan atas tindakan bodohnya."Apa kau sudah gila?" Victor membentak, suaranya serak dan tegas, seperti gemuruh yang menggelegar di atas kepala mereka. "Kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, hingga kau berani-beraninya menculik gadis itu?" Setiap kata keluar dari mulutnya seperti semburan api, membakar sisa-sisa ketenangan yang mungkin pernah ada di dalam ruangan itu.Calvin, meski dadanya berdebar kencang, berusaha mempertahankan kewibawaannya di hadapan ayahnya. "Pa, Aku hanya ingin membungkam mulutnya," jawabnya, "Kalau sampai tersebar kejadian neneknya, reputasi perusahaan akan hancur," lanjutnya dengan alasan yang terdengar tidak meyakinkan, seolah mencoba membenarkan tindaka
Di dalam mansion megah Keluarga Besar Kim, suasana tegang menyelimuti ruang tamu yang luas. Christian duduk di sofa dengan sikap tenang, namun hatinya bergejolak. Di depannya, Victor, ayahnya, menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh tuntutan. Ada kemarahan yang terkandung dalam pandangan itu, namun juga keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi."Melukai kakakmu sebanyak dua kali, hanya demi seorang gadis asing. Kenapa? Apakah kamu sudah bodoh?" tanya Victor, suaranya dingin dan penuh kritik, seolah-olah tidak mampu menerima kenyataan yang sedang dihadapinya.Christian menghela napas, merasa beban yang berat menekan dadanya. "Apakah dia mengadu padamu, kalau dia melakukan semua itu hanya karena perusahaan? Dia tidak pernah mengakui kesalahan sendiri," balas Christian dengan nada yang penuh kekecewaan. Pandangannya tetap tenang, namun di balik ketenangan itu ada rasa kesal yang terpendam.Victor menatap putranya dengan mata yang berkilat, mencoba mencari kebenaran di balik ka
Moon yang baru sadar dari tidurnya, melangkah keluar dari kamarnya dengan perasaan bingung. Cahaya redup dari lampu di ruang tamu membuat suasana menjadi tenang, namun kehadiran sosok yang duduk di sana menambah kesan misterius. Moon mengerutkan alisnya saat melihat seorang pria yang ia kenal samar-samar."Tuan, aku ada di mana?" tanyanya dengan suara bergetar, berdiri di ambang pintu kamar.Jhon, yang mengenakan setelan rapi, segera berdiri dari tempat duduknya. "Nona, Anda sudah sadar. Aku sudah pesan makanan untukmu dan semua kebutuhanmu," jawabnya dengan nada yang penuh perhatian.Moon menatapnya dengan tatapan ragu. "Anda siapa?"Jhon tersenyum ramah, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka. "Nona sudah lupa denganku? Aku adalah sopir yang menjemput Anda dari perusahaan ke apartemen ini. Namaku Jhon."Moon mengangguk pelan, ingatannya mulai kembali. "Supir Christian Kim?""Benar!" jawab Jhon dengan anggukan tegas.Moon merasa dadanya berdebar lebih kencang. Ingatan tentang
Perusahaan Capital Kim, tempat di mana kekuasaan dan ambisi saling beradu, memiliki suasana tegang yang terasa di setiap sudut kantornya. Di sebuah ruangan mewah yang didekorasi dengan nuansa modern, Christian, seorang pengurus penting di perusahaan itu, duduk di belakang meja kayu besar dengan pandangan serius tertuju pada laptopnya. Meski luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, ia tak membiarkan itu menghentikannya. Baginya, pekerjaan dan kekuasaan adalah segalanya.Christian baru kembali ke kantor setelah absen selama beberapa hari. Fokusnya kini terpaku pada layar laptop.Mike, asisten setianya, memasuki ruangan dengan langkah tergesa, membawa berita yang tak menyenangkan."Tuan, beberapa hari ini Wakil Direktur bertemu dengan beberapa pemegang saham. Mereka seperti sedang merencanakan sesuatu. Pertemuan mereka sangat rahasia. Bahkan Direktur Utama juga tidak tahu," kata Mike dengan nada yang rendah namun sarat akan kekhawatiran.Christi
Christian menghela napas panjang, namun tidak ada penyesalan dalam tatapannya. "Asalkan kamu menyetujui apa yang aku inginkan, aku bisa saja mengabulkan semua keinginanmu. Selain itu, hidupmu akan berubah dan tidak akan menderita seperti dulu," ujar Christian dengan suara yang lembut namun penuh kendali.Moon hatinya masih dipenuhi oleh luka dan kebencian. "Apa yang kamu inginkan dariku?" tanya Moon akhirnya, suaranya bergetar sedikit.Christian tersenyum menatap mata gadis itu, Senyumannya terlihat licik. Tidak tahu apa permintaan yang dia inginkan dari gadis itu!Christian duduk di sofa dengan santai, senyum tipis yang penuh keyakinan menghiasi wajahnya. Tatapannya tajam namun tenang, seolah-olah ia sedang mengamati mangsanya dari kejauhan. Moon, yang masih berdiri di tengah ruangan dengan raut wajah penuh kebencian, hanya bisa menghela napas panjang melihat sikap pria itu yang penuh percaya diri.“Duduklah,” perintah Christian sambil
Moon yang melihat gerakan Christian, merasa ketakutan mulai merayap dalam dirinya. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan nada cemas, matanya tak lepas dari ponsel di tangan pria itu.Christian mendongak, menatap gadis itu dengan senyum licik yang begitu dikenalnya. “Anak buahku akan segera menjemput Shane,” jawabnya dengan nada santai, seolah-olah ia hanya membicarakan urusan sehari-hari yang tak berarti.“Jangan lakukan itu! Dia tidak bersalah padamu. Kenapa harus mengusiknya?” Suara Moon terdengar putus asa, tubuhnya menegang, merasa terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan.Christian menatapnya lebih dalam, senyumnya semakin lebar. “Sepertinya dia sangat penting bagimu. Kamu marah karena dia? Dan… nasibnya tergantung pada keputusanmu. Kalau kau menolak, malam ini juga aku akan mengirim dia pergi,” ancamnya dengan nada yang menusuk, mengunci pandangan mata Moon dengan tatapannya yang dingin
Moon terkejut dengan ciuman yang tiba-tiba itu, tubuhnya menegang, namun seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan emosi yang sulit dijelaskan. Ciuman Christian semakin dalam, menguasai setiap perasaan yang bergejolak dalam diri Moon. Ia mencoba melawan, tetapi ciuman itu membuatnya kehilangan kendali, membuatnya tak bisa berpikir jernih.Ketika Christian akhirnya melepaskan ciuman itu, ia tidak langsung menjauh. Wajah mereka masih sangat dekat, dan Christian berbisik dengan suara yang dalam, "Ingatlah, Moon. Aku satu-satunya yang berhak atasmu. Jangan pernah mencoba melawan."Setelah itu, ia berdiri, meninggalkan Moon yang masih terengah-engah, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Moon merasa hatinya berdebar kencang, bukan hanya karena ciuman itu, tapi juga karena ancaman yang jelas-jelas tersirat dalam kata-kata Christian.***Christian kembali ke apartemennya dengan langkah cepat, pintu tertutup keras di belakangnya. Tanpa pikir panjang, ia melempar
Christian menatapnya dengan senyum tipis yang tidak sepenuhnya ramah. "Sebagai wanitaku, kamu harus memiliki segalanya. Semua ini milikmu," jawabnya tanpa sedikit pun keraguan. Nada suaranya jelas menunjukkan bahwa apa yang diucapkannya bukanlah sebuah tawaran, melainkan perintah yang harus dipatuhi.Moon menatap barang-barang itu dengan perasaan bercampur aduk. Rasa tidak nyaman menjalari tubuhnya. "Aku tidak butuh semua ini," ucapnya dengan suara yang bergetar sedikit.Christian mengangkat alisnya, tetap tenang namun tegas. "Tapi, kau harus memilikinya. Tentu, memberimu semua barang ini pasti ada balasannya untukku!" Dia berkata dengan nada yang lebih serius sekarang, matanya mengunci pada Moon, seolah mengamati reaksi gadis itu dengan cermat.Moon merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres di balik kebaikan ini. "Jangan meminta apapun dariku, karena aku tidak memiliki apa-apa," jawabnya, mencoba mempertahankan ketenangan, mes