Victor terdiam, pandangannya langsung beralih dari file di depannya ke bawahannya. Tanpa kata-kata, dia segera bangkit dari kursinya, menyambar jasnya yang tergantung di dekatnya, dan melangkah keluar dari ruangan, menuju ke rumah sakit.
Calvin Kim, anak sulung Victor, mendatangi rumah sakit setelah menerima kabar adiknya yang terluka parah hingga kritis. Wajahnya tegang, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Di lorong rumah sakit, ia berpapasan dengan ayahnya yang berjalan cepat, sama-sama dihantui kecemasan.
"John, di mana pelakunya, bagaimana dia bisa berniat jahat pada Christian?" tanya Victor dengan nada tegas, matanya tajam menatap supir Christian.
"Tuan Direktur, gadis itu tinggal di desa. Dia marah besar akibat rumah warga sana dirobohkan dengan paksa. Selain itu, neneknya juga meninggal karena insiden tersebut," jawab John, suaranya lirih namun jelas, berusaha menjelaskan situasi yang terjadi.
"Apa yang Christian lakukan sehingga merenggut nyawa orang? Bukankah hanya memberi uang sesuai perjanjian. Kenapa dia bisa begitu lalai dan ceroboh," kata Victor dengan nada kesal, frustrasi terlihat di wajahnya.
"Pa, kalau berita ini tersebar akan mencemarkan nama baik perusahaan kita. Kita harus membungkam mulut mereka. Adik terlalu gegabah setiap melakukan kesalahan," ujar Calvin, mencoba menenangkan ayahnya sekaligus memberikan solusi.
"Lakukan yang seharusnya, agar berita ini tidak disebarkan. Pastikan media belum ketahui masalah ini!" perintah Victor dengan tegas, matanya menyiratkan keputusannya yang tak terbantahkan.
"Siap, Pa," jawab Calvin, suaranya penuh keyakinan.
"Adikmu ini selalu saja melakukan apa yang dia suka, dan tidak ingin mendengar perintah. Sekarang dia malah harus terluka di tangan seorang gadis desa. Benar-benar tidak dewasa sama sekali," ucap Victor dengan nada tidak puas, kepalanya menggeleng perlahan.
"Pa, mungkin adik hanya ingin melakukan yang terbaik dan menarik perhatian Papa. Hanya saja, caranya sudah salah sehingga dia yang harus menanggung akibat dari perbuatannya," kata Calvin.
"Gadis itu, jangan sampai dia bebas, beritahu polisi agar tidak menyebarluaskan permasalahannya!" perintah Victor, suaranya tegas dan penuh otoritas.
"Iya, Pa, akan saya lakukan!" jawab Calvin dengan patuh, wajahnya serius menandakan tekadnya untuk melaksanakan perintah ayahnya tanpa ragu.
Setelah dua jam kemudian, dokter keluar dari ruang operasi dan melepaskan maskernya dengan ekspresi lelah di wajahnya.
"Dokter, bagaimana dengan adik saya?" tanya Calvin dengan cemas, suaranya sedikit bergetar.
"Pasien mengalami luka cukup dalam. Ia beruntung karena jantungnya di sebelah kanan, sehingga nyawanya terselamatkan," jawab dokter itu dengan nada serius namun melegakan.
"Apakah dia sudah melewati masa kritis?" tanya Victor, yang wajahnya menunjukkan sedikit harapan.
"Sudah! Namun, kondisinya masih lemah karena kehilangan banyak darah," jawab dokter itu sambil menatap kedua pria di depannya dengan tegas.
"Baiklah, lakukan yang terbaik!" kata Victor dengan nada tegas, lalu menarik napas lega. Wajahnya yang tegang perlahan melunak.
"Pa, Papa pulang dulu. Biar saya yang jaga di sini," kata Calvin dengan nada menenangkan, mencoba mengambil alih tanggung jawab.
"Kalau ada apa-apa, hubungi aku!" perintah Victor sambil melangkah pergi.
Calvin memasuki kamar VIP tempat Christian dirawat. Ia berdiri di samping ranjang, menatap adiknya yang terbaring dalam kondisi tidak sadar. Hatinya berkecamuk, antara lega dan marah.
"Kenapa keberuntungan selalu berpihak padamu? Bahkan satu tikaman tidak bisa membunuhmu juga," ucap Calvin dengan suara pelan namun tajam, tatapannya dingin dan penuh kebencian yang terselubung.
"Hanya seorang anak tiri, sudah berani melawanku. Christian Kim, posisi Direktur Utama hanya akan menjadi milikku. Sedangkan kamu akan kusingkirkan dengan perlahan. Emosimu, Kecerobohanmu, dan selalu ingin menang sendiri. Hanya akan membuatmu semakin terpuruk," ucap Calvin.
Di sisi lain, Moon yang telah melakukan pembunuhan, kini harus ditahan dan diinterogasi selama sehari semalam. Gadis itu hanya diam duduk tanpa menjawab satu pun pertanyaan yang dilontarkan pihak polisi.
"Nona, kalau kamu masih memilih diam, kita tidak bisa menyelidiki kasus ini," ujar detektif itu, suaranya tegas namun mencoba tetap bersahabat.
Tampaknya, ia merasa frustrasi dengan sikap Moon yang membisu.
"Nona?"
Moon memang sudah putus asa, akhirnya mendongak dengan tatapan kosong. "Tidak perlu selidiki! Mereka membunuh nenekku. Aku balas dendam dan menikam Christian Kim. Tahan saja aku!"Detektif itu menarik napas panjang sebelum melanjutkan pertanyaan. "Apa yang dilakukan Christian Kim, apakah ada bukti bahwa dia membunuh nenekmu?"
"Mereka ingin mengambil paksa tanah desa yang kami tempati, sehingga dia mengutuskan beberapa anak buahnya melakukan kekerasan terhadap warga desa. Nenekku adalah salah satu korban dan akhirnya meninggal di tempat. Apakah kalian akan menangkap mereka?" tanya Moon dengan suara bergetar.
"Kami akan selidiki kasus ini lebih jauh. Untuk saat ini Anda telah menjadi tersangka pembunuhan."
Moon menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Kalau begitu, apakah pria kejam itu sudah mati?" tanyanya penuh harap."Korban sedang dirawat di rumah sakit, kondisinya masih lemah. Namun telah melewati masa kritis," jawab detektif itu.Detektif lainnya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Sungguh luar biasa sekali, seorang gadis lemah berani menyentuh seorang Christian Kim."Moon menatapnya tajam. "Dia adalah pembunuh, kenapa aku tidak berani membunuhnya kalau nenekku sudah meninggal di tangannya.""Nona, usiamu masih muda. Christian Kim kemungkinan besar akan bertahan. Tapi, kamu yang dalam masalah besar. Apakah kamu tidak pernah dengar nama keluarga mereka? Terutama Christian Kim? Banyak yang kenal dia adalah seorang psikopat gila. Membunuhnya kamu menghadapi dua masalah. Pertama, keluarganya tidak akan membebaskanmu. Kedua, kalau Christian Kim sadar, dia sendiri yang akan mendatangimu," kata detektif itu dengan nada memperingatkan.Moon mengepalkan tangannya, matanya berapi-api. "Kalian memihak kepada mereka, walau sudah tahu dia adalah psikopat bajingan?" tanyanya penuh amarah."Apapun
"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya," ucap Calvin dengan alasan."Tidak perlu! Karena mereka adalah urusanku. Jangan coba-coba ikut campur lagi!" jawab Christian sambil mengancam, matanya memancarkan kemarahan yang mendalam."Direktur Utama!" sapa John dan Mike dengan sopan pada Victor yang melangkah masuk ke ruangan Calvin yang berantakan dengan pecahan vas bunga."Direktur Utama," sapa Calvin dengan nada sedikit gemetar, mencoba menyembunyikan kecemasannya."Kenapa papa bisa ada di sini, Mudah-mudahan dia tidak dengar pembicaraan kami," batin Calvin.Christian menoleh ke arah ayahnya dengan tatapan tajam, "Apakah Papa sudah tahu semuanya?" tanya Christian, suaranya dipenuhi emosi."Itu bukan permasalahannya saat ini. Lebih baik kau kembali ke rumah sakit dan obati lukamu," jawab Victor yang melihat baju putranya terkena noda darah dari bekas luka yang baru dijahit, matanya memancarkan kekhawatiran walau ia berusaha tetap bersikap dingin."Bagaimana aku bisa tenang untuk berobat k
Di Departemen Kepolisian New York, sebuah ruangan kantor yang dipenuhi dengan suasana tegang. Sheriff Antonio sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang mendalam."Tuan Christian, sebelumnya kakak Anda meminta kami untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku karena telah menyakiti Anda," kata Antonio dengan nada penuh tekanan.Suara di seberang telepon terdengar tegas. "Permintaanku adalah bebaskan dia, pengacaraku akan tiba dan mengurus semuanya," ujar Christian dengan nada pasti."Tuan Christian, tapi kami sudah tetapkan waktu untuk menjatuhkan hukuman besok siang," kata Antonio, suaranya semakin rendah.Terdengar tawa pendek dari ujung telepon. "Sejak kapan kamu berani melawanku, Sheriff Antonio?" tanya Christian dengan nada tidak puas."Bukan seperti itu, kalau saya batalkan... maka kakak Anda pasti akan...," jawabnya dengan gugup, suaranya bergetar.Christian, yang duduk di dalam mobil di depan sekolah, mengamati putri Antonio yang s
Pengacara Sean datang menemui Christian di apartemennya untuk melaporkan bahwa semua perintahnya telah dijalankan. Di ruangan luas itu, terlihat Sean, Mike, dan Jhon sedang berdiri, menunggu instruksi lebih lanjut.Tiba-tiba, sebuah gelas kaca melayang ke arah mereka bertiga. Dengan serentak, mereka menunduk untuk menghindari lemparan Christian yang sedang emosi. Suara pecahan kaca yang keras menggema di ruangan, membuat suasana semakin tegang."Apa? Aku sudah bebaskan dia, dan dia pergi begitu saja dengan pria lain. Sean, bagaimana bisa kau membiarkan dia pergi begitu saja?" tanya Christian dengan nada tinggi, matanya menyala-nyala penuh amarah.Sean mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Aku tidak bisa menghalangnya, karena aku tidak punya alasan. Lagi pula, pria itu berkata mereka seperti keluarga sendiri," jawab Sean dengan tenang, meskipun ia tahu ini tidak akan meredakan kemarahan Christian.Christian mendengus, wajahnya memerah karena marah
Mansion Keluarga Kim.Victor duduk di ruang pribadinya dengan ditemani oleh asisten kepercayaannya, Luwis. Ruangan itu dipenuhi dengan ornamen klasik yang menunjukkan status keluarga mereka yang terpandang. Lukisan-lukisan besar menghiasi dinding, dan suasana tenang malam itu semakin memperdalam kekhawatiran yang menggelayuti pikiran Victor."Tuan, sudah malam. Kenapa masih belum istirahat?" tanya Luwis dengan suara lembut, namun penuh rasa hormat.Victor menatap keluar jendela besar yang menghadap taman, di mana bayang-bayang pohon terlihat samar dalam cahaya bulan. "Setelah kita tua, aku baru sadar apa itu takut. Semasa muda aku tidak kenal takut dan tidak peduli apapun. Melihat pertengkaran kedua putraku. Aku merasa bimbang," jawabnya dengan nada muram.Luwis menghela napas pelan. "Tuan, apakah karena kejadian tadi pagi? Tuan muda kedua memang gegabah. Selama ini dia tidak pernah mengalah apapun yang terjadi. Setelah mengetahui perbuatan tuan muda pertama, tuan muda kedua pun langs
Moon yang ditahan di sebuah kamar tidak sadarkan diri. Ia terbaring di atas kasur dengan nafas yang pelan dan teratur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela menerangi wajahnya yang pucat. Mereka meninggalkannya begitu saja, seolah-olah ia hanyalah barang tak berharga.Sementara itu, Calvin tersenyum puas setelah mengetahui rencananya telah berhasil. Ia tertawa kecil dan duduk di sofa kamar pasien, "Apakah bocah itu tertarik padanya? Aku menjadi penasaran, apa kelebihan dari seorang gadis desa," ucap Calvin dengan nada mengejek, sambil memainkan cincin di jarinya.Joss yang berdiri di dekat pintu, melangkah maju dan menatap Calvin dengan penuh hormat. "Apa rencana kita selanjutnya, Tuan?" tanyanya dengan suara yang tenang namun tegas.Calvin menghela napas dalam, pandangannya beralih ke arah jendela. "Jangan sampai Christian tahu kalau gadis itu berada di tangan kita. Gadis ini bisa saja memberitahu semua orang mengenai kejadian neneknya. Aku tidak ingin karena manusia seperti dia, pe
Calvin membuka kancing bajunya dengan gerakan tergesa-gesa dan menekan kedua tangan Moon ke atas, menjepitnya erat. Napasnya memburu ketika bibirnya mendarat di leher Moon, bergerak dengan rakus hingga turun ke dadanya. Moon berteriak, suaranya memecah keheningan malam, dan dia berusaha melawan sekuat tenaga."Hentikan, dasar bajingan!" bentak Moon dengan kemarahan yang membara, lalu dengan cepat dia mengangkat lututnya dan menghantam bagian bawah tubuh Calvin dengan keras. "Bruk!""Ahh!" jerit Calvin yang kesakitan, tubuhnya terhuyung ke belakang dan wajahnya seketika memucat. Melihat kesempatan itu, Moon segera bangkit dan mendorong pria itu ke samping dengan sekuat tenaga.Namun, saat Moon baru saja melangkah menjauh, Calvin, meski menahan sakit, langsung bangkit dan dengan gerakan cepat, ia menampar wajah Moon dengan keras. Tubuh Moon terhuyung ke belakang, kepalanya terbentur sudut meja dengan bunyi yang mengerikan.Moon tersungkur di lantai, rasa sakit menjalar di kepalanya, dan
Victor menghempaskan tangannya ke meja dengan keras, wajahnya memerah dan matanya menyala-nyala penuh kemarahan. Ruangan itu seakan bergetar oleh amarah yang membara dalam dirinya. Dia menatap Calvin dengan pandangan tajam yang bisa menembus hingga ke inti hati putranya, seolah menuntut jawaban yang memuaskan atas tindakan bodohnya."Apa kau sudah gila?" Victor membentak, suaranya serak dan tegas, seperti gemuruh yang menggelegar di atas kepala mereka. "Kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, hingga kau berani-beraninya menculik gadis itu?" Setiap kata keluar dari mulutnya seperti semburan api, membakar sisa-sisa ketenangan yang mungkin pernah ada di dalam ruangan itu.Calvin, meski dadanya berdebar kencang, berusaha mempertahankan kewibawaannya di hadapan ayahnya. "Pa, Aku hanya ingin membungkam mulutnya," jawabnya, "Kalau sampai tersebar kejadian neneknya, reputasi perusahaan akan hancur," lanjutnya dengan alasan yang terdengar tidak meyakinkan, seolah mencoba membenarkan tindaka