Di Departemen Kepolisian New York, sebuah ruangan kantor yang dipenuhi dengan suasana tegang. Sheriff Antonio sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang mendalam."Tuan Christian, sebelumnya kakak Anda meminta kami untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku karena telah menyakiti Anda," kata Antonio dengan nada penuh tekanan.Suara di seberang telepon terdengar tegas. "Permintaanku adalah bebaskan dia, pengacaraku akan tiba dan mengurus semuanya," ujar Christian dengan nada pasti."Tuan Christian, tapi kami sudah tetapkan waktu untuk menjatuhkan hukuman besok siang," kata Antonio, suaranya semakin rendah.Terdengar tawa pendek dari ujung telepon. "Sejak kapan kamu berani melawanku, Sheriff Antonio?" tanya Christian dengan nada tidak puas."Bukan seperti itu, kalau saya batalkan... maka kakak Anda pasti akan...," jawabnya dengan gugup, suaranya bergetar.Christian, yang duduk di dalam mobil di depan sekolah, mengamati putri Antonio yang s
Pengacara Sean datang menemui Christian di apartemennya untuk melaporkan bahwa semua perintahnya telah dijalankan. Di ruangan luas itu, terlihat Sean, Mike, dan Jhon sedang berdiri, menunggu instruksi lebih lanjut.Tiba-tiba, sebuah gelas kaca melayang ke arah mereka bertiga. Dengan serentak, mereka menunduk untuk menghindari lemparan Christian yang sedang emosi. Suara pecahan kaca yang keras menggema di ruangan, membuat suasana semakin tegang."Apa? Aku sudah bebaskan dia, dan dia pergi begitu saja dengan pria lain. Sean, bagaimana bisa kau membiarkan dia pergi begitu saja?" tanya Christian dengan nada tinggi, matanya menyala-nyala penuh amarah.Sean mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Aku tidak bisa menghalangnya, karena aku tidak punya alasan. Lagi pula, pria itu berkata mereka seperti keluarga sendiri," jawab Sean dengan tenang, meskipun ia tahu ini tidak akan meredakan kemarahan Christian.Christian mendengus, wajahnya memerah karena marah
Mansion Keluarga Kim.Victor duduk di ruang pribadinya dengan ditemani oleh asisten kepercayaannya, Luwis. Ruangan itu dipenuhi dengan ornamen klasik yang menunjukkan status keluarga mereka yang terpandang. Lukisan-lukisan besar menghiasi dinding, dan suasana tenang malam itu semakin memperdalam kekhawatiran yang menggelayuti pikiran Victor."Tuan, sudah malam. Kenapa masih belum istirahat?" tanya Luwis dengan suara lembut, namun penuh rasa hormat.Victor menatap keluar jendela besar yang menghadap taman, di mana bayang-bayang pohon terlihat samar dalam cahaya bulan. "Setelah kita tua, aku baru sadar apa itu takut. Semasa muda aku tidak kenal takut dan tidak peduli apapun. Melihat pertengkaran kedua putraku. Aku merasa bimbang," jawabnya dengan nada muram.Luwis menghela napas pelan. "Tuan, apakah karena kejadian tadi pagi? Tuan muda kedua memang gegabah. Selama ini dia tidak pernah mengalah apapun yang terjadi. Setelah mengetahui perbuatan tuan muda pertama, tuan muda kedua pun langs
Moon yang ditahan di sebuah kamar tidak sadarkan diri. Ia terbaring di atas kasur dengan nafas yang pelan dan teratur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela menerangi wajahnya yang pucat. Mereka meninggalkannya begitu saja, seolah-olah ia hanyalah barang tak berharga.Sementara itu, Calvin tersenyum puas setelah mengetahui rencananya telah berhasil. Ia tertawa kecil dan duduk di sofa kamar pasien, "Apakah bocah itu tertarik padanya? Aku menjadi penasaran, apa kelebihan dari seorang gadis desa," ucap Calvin dengan nada mengejek, sambil memainkan cincin di jarinya.Joss yang berdiri di dekat pintu, melangkah maju dan menatap Calvin dengan penuh hormat. "Apa rencana kita selanjutnya, Tuan?" tanyanya dengan suara yang tenang namun tegas.Calvin menghela napas dalam, pandangannya beralih ke arah jendela. "Jangan sampai Christian tahu kalau gadis itu berada di tangan kita. Gadis ini bisa saja memberitahu semua orang mengenai kejadian neneknya. Aku tidak ingin karena manusia seperti dia, pe
Calvin membuka kancing bajunya dengan gerakan tergesa-gesa dan menekan kedua tangan Moon ke atas, menjepitnya erat. Napasnya memburu ketika bibirnya mendarat di leher Moon, bergerak dengan rakus hingga turun ke dadanya. Moon berteriak, suaranya memecah keheningan malam, dan dia berusaha melawan sekuat tenaga."Hentikan, dasar bajingan!" bentak Moon dengan kemarahan yang membara, lalu dengan cepat dia mengangkat lututnya dan menghantam bagian bawah tubuh Calvin dengan keras. "Bruk!""Ahh!" jerit Calvin yang kesakitan, tubuhnya terhuyung ke belakang dan wajahnya seketika memucat. Melihat kesempatan itu, Moon segera bangkit dan mendorong pria itu ke samping dengan sekuat tenaga.Namun, saat Moon baru saja melangkah menjauh, Calvin, meski menahan sakit, langsung bangkit dan dengan gerakan cepat, ia menampar wajah Moon dengan keras. Tubuh Moon terhuyung ke belakang, kepalanya terbentur sudut meja dengan bunyi yang mengerikan.Moon tersungkur di lantai, rasa sakit menjalar di kepalanya, dan
Victor menghempaskan tangannya ke meja dengan keras, wajahnya memerah dan matanya menyala-nyala penuh kemarahan. Ruangan itu seakan bergetar oleh amarah yang membara dalam dirinya. Dia menatap Calvin dengan pandangan tajam yang bisa menembus hingga ke inti hati putranya, seolah menuntut jawaban yang memuaskan atas tindakan bodohnya."Apa kau sudah gila?" Victor membentak, suaranya serak dan tegas, seperti gemuruh yang menggelegar di atas kepala mereka. "Kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, hingga kau berani-beraninya menculik gadis itu?" Setiap kata keluar dari mulutnya seperti semburan api, membakar sisa-sisa ketenangan yang mungkin pernah ada di dalam ruangan itu.Calvin, meski dadanya berdebar kencang, berusaha mempertahankan kewibawaannya di hadapan ayahnya. "Pa, Aku hanya ingin membungkam mulutnya," jawabnya, "Kalau sampai tersebar kejadian neneknya, reputasi perusahaan akan hancur," lanjutnya dengan alasan yang terdengar tidak meyakinkan, seolah mencoba membenarkan tindaka
Di dalam mansion megah Keluarga Besar Kim, suasana tegang menyelimuti ruang tamu yang luas. Christian duduk di sofa dengan sikap tenang, namun hatinya bergejolak. Di depannya, Victor, ayahnya, menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh tuntutan. Ada kemarahan yang terkandung dalam pandangan itu, namun juga keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi."Melukai kakakmu sebanyak dua kali, hanya demi seorang gadis asing. Kenapa? Apakah kamu sudah bodoh?" tanya Victor, suaranya dingin dan penuh kritik, seolah-olah tidak mampu menerima kenyataan yang sedang dihadapinya.Christian menghela napas, merasa beban yang berat menekan dadanya. "Apakah dia mengadu padamu, kalau dia melakukan semua itu hanya karena perusahaan? Dia tidak pernah mengakui kesalahan sendiri," balas Christian dengan nada yang penuh kekecewaan. Pandangannya tetap tenang, namun di balik ketenangan itu ada rasa kesal yang terpendam.Victor menatap putranya dengan mata yang berkilat, mencoba mencari kebenaran di balik ka
Moon yang baru sadar dari tidurnya, melangkah keluar dari kamarnya dengan perasaan bingung. Cahaya redup dari lampu di ruang tamu membuat suasana menjadi tenang, namun kehadiran sosok yang duduk di sana menambah kesan misterius. Moon mengerutkan alisnya saat melihat seorang pria yang ia kenal samar-samar."Tuan, aku ada di mana?" tanyanya dengan suara bergetar, berdiri di ambang pintu kamar.Jhon, yang mengenakan setelan rapi, segera berdiri dari tempat duduknya. "Nona, Anda sudah sadar. Aku sudah pesan makanan untukmu dan semua kebutuhanmu," jawabnya dengan nada yang penuh perhatian.Moon menatapnya dengan tatapan ragu. "Anda siapa?"Jhon tersenyum ramah, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka. "Nona sudah lupa denganku? Aku adalah sopir yang menjemput Anda dari perusahaan ke apartemen ini. Namaku Jhon."Moon mengangguk pelan, ingatannya mulai kembali. "Supir Christian Kim?""Benar!" jawab Jhon dengan anggukan tegas.Moon merasa dadanya berdebar lebih kencang. Ingatan tentang