Christian berdiri tegak di tengah padang rumput yang sunyi, hanya diiringi suara angin yang berbisik melalui daun-daun pohon tinggi. Di sekelilingnya, beberapa anak buahnya berdiri dengan waspada, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Di tanah, seorang pria terbaring tak berdaya, wajahnya penuh luka, salah satunya dari sayatan pisau yang kini digenggam erat oleh Christian.
Pria itu, yang matanya terbuka lebar dengan ketakutan, adalah orang yang menabrak Moon dan meninggalkannya tanpa rasa bersalah. Wajahnya kini penuh luka dan darah, mencerminkan nasib buruk yang menantinya.
Christian melangkah mendekati pria itu dengan tenang, mengayunkan pisaunya dengan santai. "Kau tahu," katanya, suaranya tenang tapi penuh ancaman, "di dunia ini, orang seperti kau seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan sendri, bukan lari seperti pengecut. Terutama ketika korbannya adalah gadis itu." Christian berhenti sejenak, mengarahkan ujung pisaunya ke dada pria itu. "Kau tahu kau membuatku marah, kan?"
Pria itu menggigil, menahan sakit dan ketakutan yang mencekam. "Aku minta maaf! Aku salah, tolong maafkan aku!" suaranya terdengar putus asa, bergetar dengan ketakutan yang nyata.
Christian mendekatkan wajahnya, senyum dingin tergambar di bibirnya. "Sayangnya, aku bukan tipe orang yang murah hati," ucapnya, menggesekkan pisau itu pelan ke kulit pria tersebut, "dan aku sangat tidak suka membuang-buang waktu." Dengan gerakan cepat dan dingin, Christian menusukkan pisaunya ke dada pria itu, darah segar memancar, mengotori pisau dan tangannya.
Pria itu tersentak, merintih, namun suaranya segera teredam oleh tangan kuat anak buah Christian yang menutup mulutnya dengan kain.
Christian memperhatikan wajah pria itu yang kini penuh dengan rasa sakit dan ketakutan, air mata mengalir dari matanya. Ia menikmati setiap detik penderitaan pria itu, menyaksikan bagaimana rasa sakit itu merenggut kekuatan hidup dari tubuhnya.
Christian memutar pisaunya perlahan, memperdalam luka, sebelum akhirnya menariknya keluar dengan satu gerakan cepat..Ketika pria itu terkapar, darah terus mengalir dari lukanya, tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya terdiam.
Christian menatap karyanya dengan penuh kepuasan, senyuman dingin masih menghiasi wajahnya. Di balik wajah tampannya, tersembunyi jiwa yang kejam dan tanpa ampun, terlihat jelas dari tatapan mautnya. Christian berdiri tegak, melemparkan pandangannya ke langit malam yang berbintang. "Begitulah seharusnya, kau harus menanggung konsekuensi dari tindakanmu," katanya pelan, sebelum berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan tubuh pria yang tak bernyawa itu.
***
Moon terbangun perlahan, pandangannya kabur saat ia mencoba mengenali lingkungan sekitar. Kamar itu asing baginya, dinding-dindingnya berwarna lembut, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ia tersentak bangun, menatap sekeliling dengan cemas hingga matanya bertemu dengan Christian yang duduk di ujung sofa, tersenyum melihatnya.
"Apa yang kau lakukan padaku?" tanya Moon dengan nada kebingungan dan sedikit pusing, mengingatkan dirinya pada kejadian terakhir yang diingatnya.
Christian hanya tersenyum, duduk santai dengan kaki yang terlipat. "Aku hanya ingin melihat wajahmu saat kau tidur. Sangat menyenangkan, kau tahu," jawabnya dengan nada tenang, seolah apa yang dilakukannya adalah hal yang wajar.
Moon merasa kesal, "Tidak waras!" serunya, cepat-cepat bangkit dari tempat tidur, menjaga jarak dari Christian.
Christian tidak terganggu dengan reaksi Moon. Ia berdiri dan mendekat, tatapannya menjadi serius. "Pertimbangkan permintaanku," katanya dengan nada tegas. "Dua hari. Aku ingin jawabannya setelah dua hari."
Moon menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. "Aku tidak akan setuju dengan permintaanmu," katanya dengan tegas.
Christian tertawa kecil, sebuah senyum sinis menghiasi wajahnya. "Wah... apakah kau tidak ingin mengubah hidupmu? Bersamaku, hidupmu akan berubah. Tidak perlu lagi hidup di desa," ujarnya, suaranya terdengar menggoda namun penuh ancaman terselubung.
Moon menggelengkan kepala. "Aku tidak berminat menjadi wanitamu, pria pemain wanita," balasnya tajam, berusaha untuk pergi dari ruangan itu..Namun, sebelum ia sempat melangkah jauh, Christian menahan lengannya dengan cengkeraman yang kuat. Mata mereka bertemu, dan Moon bisa melihat kilatan dingin dalam tatapan Christian.
"Aku tidak punya kesabaran, Moon. Hanya dua hari. Jika setelah dua hari kau masih tidak memberikan jawaban, aku akan meratakan desa ini!" ancamnya, suaranya penuh ketegasan yang membuat jantung Moon berdebar kencang.
Moon merasa tegang dan terintimidasi, tapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya. "Kau tidak ada bedanya dengan pria murahan," balasnya dengan suara rendah, mencoba melepaskan lengannya dari cengkeraman Christian. Ia akhirnya berhasil menepis tangan Christian dan bergegas keluar dari ruangan itu.
Christian memandangi punggung Moon yang menjauh dengan tatapan dingin. "Lihat saja nanti," gumamnya pada dirinya sendiri, "aku yakin kau akan tunduk padaku. Menolakku? Aku tidak suka ditolak. Semakin kau menjauh, aku akan membuatmu semakin terikat padaku." Senyum dingin muncul di wajahnya, menandakan tekadnya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Dua hari kemudian, desa itu dipenuhi dengan suasana kegembiraan. Warga berkumpul di salah satu rumah untuk pesta makan-makan. Nenek Moon juga ada di sana, berbincang dengan warga lain yang tengah menyiapkan makanan dan minuman.
"Nenek Moon, di mana Moon? Kenapa dia belum datang?" tanya salah satu warga dengan penasaran.
Nenek Moon tersenyum lembut. "Anak itu sedang merapikan rumah. Dia selalu suka kebersihan," jawabnya
"Apakah dia akan datang?" tanya yang lain dengan penasaran.
Nenek Moon mengangguk. "Moon akan datang, tapi mungkin agak malam. Tidak apa-apa, kita bisa makan sambil berbincang-bincang," jawabnya.
"Mari kita makan dan minum!" seru salah satu warga dengan semangat, mengangkat gelasnya. Warga lainnya mengikuti, bersulang dengan penuh kebahagiaan. Musik yang kuat terdengar, diiringi tawa dan tarian dari mereka yang ikut merayakan.
Sementara itu, di rumahnya, Moon sedang mandi. Air sejuk dari pancuran desa membasahi tubuhnya, membuatnya merasa segar dan nyaman. Tanpa disadarinya, pintu rumahnya terbuka perlahan, dan Christian, tamu yang tidak diundang, masuk dengan langkah tenang. Dia memperhatikan keadaan sekitar, memastikan semua warga sedang bersenang-senang di luar rumah.
Christian berjalan ke arah kamar Moon, Dia mendengar suara air dari kamar mandi, senyuman jahat muncul di wajahnya. Dengan tenang, ia mendekati pintu kamar mandi yang tidak tertutup rapat.
Moon, yang masih mandi, tidak menyadari kehadiran Christian. Ia tetap menikmati air dingin yang membasuh tubuhnya, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan nyaman dan segar.
Christian berdiri di depan pintu, matanya menatap tajam melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Ia menikmati pemandangan tubuh Moon yang telanjang, terukir dengan senyuman manis di wajahnya. Pandangan itu membuat senyum di wajah Christian semakin lebar, penuh dengan keinginan yang tidak bisa dibendung.
"Sepertinya, aku harus menikmatinya malam ini juga," gumam Christian dengan senyuman puas. Ada ketegangan di udara, rasa dominasi yang kuat terlihat dari cara pandangnya.
Moon yang baru keluar dari kamar mandi, merasa panik saat melihat Christian duduk di kursi dekat jendela, menatapnya dengan senyum dingin. Ia berteriak ketakutan, "Kenapa kau ada di rumahku? Pergi sekarang juga!" Christian hanya tersenyum lebih lebar, matanya memancarkan kilatan yang membuat Moon merasa semakin terpojok."Jangan cemas! Saat ini hanya ada kita berdua. Bukankah seharusnya kita habiskan malam yang penuh cinta," jawab Christian dengan nada yang membuat Moon merasa semakin terancam."Kalau kau masih tidak keluar, aku akan berteriak!" kecam Moon.Christian tampak tidak terganggu. "Lakukan saja! Mereka semua sedang bersenang-senang, mendengar musik dan menari. Tidak ada yang bisa mendengar teriakanmu," jawabnya dengan tenang.Dengan perasaan takut yang semakin besar, Moon mencoba melarikan diri ke pintu. Namun, saat ia mencoba membukanya, pintu tersebut sudah terkunci. "Buka pintunya! Buka pintunya!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu dengan putus asa.Christian bangkit
Beberapa saat kemudian, Christian telah mengenakan pakaiannya kembali, menampilkan sikap dingin dan puas. Sementara itu, Moon menutupi dirinya dengan selimut, tubuhnya gemetar, dan pikirannya dipenuhi oleh rasa sakit dan kehancuran yang baru saja dialaminya.Christian mendekati Moon, menyentuh kepalanya dengan sikap possessif, dan tersenyum penuh kemenangan. "Aku sangat puas malam ini," ucapnya dengan nada rendah namun penuh keyakinan. "Mulai saat ini, kau adalah wanitaku yang hanya bisa menjadi milikku. Apa yang aku janjikan akan ku tepati. Siapapun tidak akan bisa melukaimu," lanjutnya, kemudian mencium wajah Moon dengan paksa.Moon, dengan sekuat tenaga, mendorong pria itu menjauh, merasa jijik dengan setiap sentuhan yang dirasakannya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya dengan histeris, air mata mengalir deras di pipinya.Di balik selimut, Moon menangis dengan sedih dan putus asa, tidak sanggup untuk menatap pria yang baru saja menyetubuhinya secara paksa. Tangisannya menggema di ruang
Moon yang melangkah masuk ke kamar neneknya, terlihat kosong dan sepi. Bayang-bayang neneknya masih muncul di setiap sudut kamar itu. Air mata gadis itu mulai berlinang mengingat kenangan nenek kesayangannya.Moon yang masih larut dalam kesedihan terduduk lemas di samping ranjang. Ia menangis terisak sehingga mengema satu ruangan itu. Hembusan angin dari jendela yang terbuka seolah membawa bisikan lembut neneknya, mengingatkan akan cinta dan kasih sayang yang pernah ia rasakan."Bagaimana aku bisa hidup sendiri tanpamu," ucap Moon meremas sprei ranjang dengan air mata yang membasahi wajahnya. Suara isak tangisnya semakin keras, mencerminkan betapa hancurnya perasaannya saat itu.Setelah beberapa saat kemudian, ia berusaha menenangkan diri dan menyeka air matanya. Ia melihat di bawah ranjang terdapat sebuah kardus kecil. Merasa penasaran, ia pun menariknya keluar dan membuka kardus tersebut dengan hati-hati, seolah benda itu adalah harta karun yang berharga.Terlihat foto-foto anak per
Victor terdiam, pandangannya langsung beralih dari file di depannya ke bawahannya. Tanpa kata-kata, dia segera bangkit dari kursinya, menyambar jasnya yang tergantung di dekatnya, dan melangkah keluar dari ruangan, menuju ke rumah sakit.Calvin Kim, anak sulung Victor, mendatangi rumah sakit setelah menerima kabar adiknya yang terluka parah hingga kritis. Wajahnya tegang, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Di lorong rumah sakit, ia berpapasan dengan ayahnya yang berjalan cepat, sama-sama dihantui kecemasan."John, di mana pelakunya, bagaimana dia bisa berniat jahat pada Christian?" tanya Victor dengan nada tegas, matanya tajam menatap supir Christian."Tuan Direktur, gadis itu tinggal di desa. Dia marah besar akibat rumah warga sana dirobohkan dengan paksa. Selain itu, neneknya juga meninggal karena insiden tersebut," jawab John, suaranya lirih namun jelas, berusaha menjelaskan situasi yang terjadi."Apa yang Christian lakukan sehingga merenggut nyawa orang? Bukankah hany
"Korban sedang dirawat di rumah sakit, kondisinya masih lemah. Namun telah melewati masa kritis," jawab detektif itu.Detektif lainnya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Sungguh luar biasa sekali, seorang gadis lemah berani menyentuh seorang Christian Kim."Moon menatapnya tajam. "Dia adalah pembunuh, kenapa aku tidak berani membunuhnya kalau nenekku sudah meninggal di tangannya.""Nona, usiamu masih muda. Christian Kim kemungkinan besar akan bertahan. Tapi, kamu yang dalam masalah besar. Apakah kamu tidak pernah dengar nama keluarga mereka? Terutama Christian Kim? Banyak yang kenal dia adalah seorang psikopat gila. Membunuhnya kamu menghadapi dua masalah. Pertama, keluarganya tidak akan membebaskanmu. Kedua, kalau Christian Kim sadar, dia sendiri yang akan mendatangimu," kata detektif itu dengan nada memperingatkan.Moon mengepalkan tangannya, matanya berapi-api. "Kalian memihak kepada mereka, walau sudah tahu dia adalah psikopat bajingan?" tanyanya penuh amarah."Apapun
"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya," ucap Calvin dengan alasan."Tidak perlu! Karena mereka adalah urusanku. Jangan coba-coba ikut campur lagi!" jawab Christian sambil mengancam, matanya memancarkan kemarahan yang mendalam."Direktur Utama!" sapa John dan Mike dengan sopan pada Victor yang melangkah masuk ke ruangan Calvin yang berantakan dengan pecahan vas bunga."Direktur Utama," sapa Calvin dengan nada sedikit gemetar, mencoba menyembunyikan kecemasannya."Kenapa papa bisa ada di sini, Mudah-mudahan dia tidak dengar pembicaraan kami," batin Calvin.Christian menoleh ke arah ayahnya dengan tatapan tajam, "Apakah Papa sudah tahu semuanya?" tanya Christian, suaranya dipenuhi emosi."Itu bukan permasalahannya saat ini. Lebih baik kau kembali ke rumah sakit dan obati lukamu," jawab Victor yang melihat baju putranya terkena noda darah dari bekas luka yang baru dijahit, matanya memancarkan kekhawatiran walau ia berusaha tetap bersikap dingin."Bagaimana aku bisa tenang untuk berobat k
Di Departemen Kepolisian New York, sebuah ruangan kantor yang dipenuhi dengan suasana tegang. Sheriff Antonio sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang mendalam."Tuan Christian, sebelumnya kakak Anda meminta kami untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku karena telah menyakiti Anda," kata Antonio dengan nada penuh tekanan.Suara di seberang telepon terdengar tegas. "Permintaanku adalah bebaskan dia, pengacaraku akan tiba dan mengurus semuanya," ujar Christian dengan nada pasti."Tuan Christian, tapi kami sudah tetapkan waktu untuk menjatuhkan hukuman besok siang," kata Antonio, suaranya semakin rendah.Terdengar tawa pendek dari ujung telepon. "Sejak kapan kamu berani melawanku, Sheriff Antonio?" tanya Christian dengan nada tidak puas."Bukan seperti itu, kalau saya batalkan... maka kakak Anda pasti akan...," jawabnya dengan gugup, suaranya bergetar.Christian, yang duduk di dalam mobil di depan sekolah, mengamati putri Antonio yang s
Pengacara Sean datang menemui Christian di apartemennya untuk melaporkan bahwa semua perintahnya telah dijalankan. Di ruangan luas itu, terlihat Sean, Mike, dan Jhon sedang berdiri, menunggu instruksi lebih lanjut.Tiba-tiba, sebuah gelas kaca melayang ke arah mereka bertiga. Dengan serentak, mereka menunduk untuk menghindari lemparan Christian yang sedang emosi. Suara pecahan kaca yang keras menggema di ruangan, membuat suasana semakin tegang."Apa? Aku sudah bebaskan dia, dan dia pergi begitu saja dengan pria lain. Sean, bagaimana bisa kau membiarkan dia pergi begitu saja?" tanya Christian dengan nada tinggi, matanya menyala-nyala penuh amarah.Sean mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Aku tidak bisa menghalangnya, karena aku tidak punya alasan. Lagi pula, pria itu berkata mereka seperti keluarga sendiri," jawab Sean dengan tenang, meskipun ia tahu ini tidak akan meredakan kemarahan Christian.Christian mendengus, wajahnya memerah karena marah