Pria itu menatap Moon dengan senyum lembut, tapi ada kilatan misterius di matanya. "Siapa namamu, Gadis kecil?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh dengan ancaman tersembunyi.
Moon menegakkan tubuhnya, menatap balik tanpa gentar. "Namaku adalah Moon. Tolong hentikan semua ini. Jangan menyakiti warga-warga sini," katanya dengan tegas, berusaha menunjukkan keberaniannya meskipun di dalam hatinya bergejolak kekhawatiran.
Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Pengurus, tersenyum lebih lebar, mengangguk perlahan. "Moon, nama yang bagus. Bulan yang indah. Aku menyukainya," ujarnya, nada suaranya kini lebih lunak namun tetap penuh teka-teki. "Ingin kami mengalah? Mungkin kau harus bisa mengabulkan permintaanku," lanjutnya, kali ini dengan tatapan tajam yang membuat Moon merasakan desiran dingin di tulang punggungnya.
Moon menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang daripada yang ia rasakan.
Pria itu mendekat, menundukkan kepala hingga dekat dengan telinganya. "Ingat namaku baik-baik! Christian Kim, asli keturunan Korea dan dibesarkan di New York. Kita akan bertemu kembali," bisiknya dengan senyum penuh arti sebelum berbalik meninggalkan tempat itu.
Christian Kim kemudian beranjak pergi, meninggalkan Moon dan warga desa dalam kebingungan. Anak buahnya mengikuti di belakang, dan dalam sekejap mereka semua menghilang, meninggalkan suasana desa yang sunyi dan tegang.
Seorang wanita tua, salah satu warga desa, mendekati Moon dengan ekspresi penuh tanya. "Moon, apa yang dia katakan, kenapa mereka bisa pergi begitu saja?" tanyanya dengan nada cemas.
Moon menggeleng, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. "Dia ada permintaan, tapi tidak mengatakan apa yang dia mau," jawabnya, matanya tetap memandang ke arah di mana Christian menghilang.
Seorang pria paruh baya, salah satu tetua desa, mengangguk dengan tegas. "Moon, apapun yang dia minta, jangan menyetujuinya!" pesannya, penuh dengan ketegasan dan kekhawatiran.
Moon tersenyum tipis, meski dalam hatinya dia merasakan tekanan yang besar. "Iya, Paman, Bibi," jawabnya, berusaha menenangkan mereka. Namun, dalam hati kecilnya, Moon tahu bahwa ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan berbahaya.
Sementara itu, di rumah mewah milik keluarga Kim, Christian duduk di ruang tamu bersama ayahnya, seorang pria tua dengan wajah penuh otoritas, dan kakaknya, seorang pria muda yang terlihat tegas dan ambisius.
"Bukankah kau akan mendapatkan tanah desa itu? Kenapa tidak berhasil? Apakah kamu digagalkan oleh mereka?" tanya kakak Christian, suaranya mengandung nada tuduhan.
Christian tersenyum kecil, memainkan kunci mobil di tangannya. "Aku berubah pikiran. Ada yang membuatku lebih tertarik," jawabnya dengan nada santai.
Ayahnya mengerutkan dahi, tidak puas dengan jawaban tersebut. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanyanya dengan nada yang menuntut penjelasan lebih.
Christian bangkit dari sofa, menatap keluarganya dengan tatapan penuh keyakinan. "Tidak perlu khawatir! Aku bisa mengurusnya," ujarnya sebelum berjalan menuju tangga, meninggalkan ruangan dengan aura misterius yang membuat keluarganya terdiam.
"Pa, apakah Christian menimbulkan masalah lagi?" tanya kakak Christian.
"Calvin, Awasi adikmu dengan baik!" perintah ayahnya, Jorge.
"Baik!" Jawab Calvin dengan patuh.
Christian kembali ke kamarnya, Setelah menutup pintu kamar, ia melemparkan dirinya ke atas kasur mewahnya, merasakan kenyamanan dari bantal dan selimut mahal yang menghiasinya. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang ia genggam, di mana foto seorang gadis yang tak lain adalah Moon.
"Moon? Gadis yang berani," gumamnya dengan nada bercampur antara kekaguman dan kesombongan. Ia menatap foto itu dengan intensitas yang tak bisa ia sembunyikan. "Aku akan membuatmu tunduk padaku," ucapnya, matanya menyiratkan niat yang jelas. "Begitu banyak wanita yang merayuku," katanya, mengulang kembali dalam pikirannya. "Tapi kau adalah satu-satunya yang menamparku. Sepertinya aku harus memberimu kejutan."
Moon berjalan keluar dari rumahnya dengan semangat, mengayuh sepeda dengan riang di jalan yang sepi. Pikirannya dipenuhi rencana belanja untuk hari itu. Namun, kegembiraannya tiba-tiba berubah menjadi kepanikan ketika seorang pria tiba-tiba muncul dari arah berlawanan.
Dalam sekejap, tubuhnya terhempas ke aspal keras."Aahh!" teriaknya kesakitan, sambil merasakan luka di lengannya yang mulai berdarah.
Ia berusaha bangkit, menahan rasa sakit yang menjalar. Pandangannya tertuju pada pria yang menabraknya, " Hei...cepat minta maaf padaku!"
Pria itu malah dengan angkuh berkata, "Kau sendiri yang berjalan tidak menggunakan mata," sebelum berlalu begitu saja.
Moon merasa kesal dan marah. "Keterlaluan sekali," gerutunya sambil berdiri dan membersihkan sepedanya.
Namun, kemarahannya segera berubah menjadi kekhawatiran ketika dua pria berpakaian rapi menghampirinya."Nona!" seru salah satu dari mereka dengan nada hormat.
Moon menatap mereka dengan curiga. "Kenapa kalian ada di sini? Apakah kalian masih ingin mengusir kami?" tanyanya.
Salah satu dari pria itu menjawab dengan tenang, "Nona, Tuan muda ingin bertemu dengan Anda."
Beberapa saat kemudian, Moon dibawa ke sebuah rumah papan yang terletak di kaki gunung. Di sana, Christian dengan senyum yang selalu terukir di wajahnya, menunggu kedatangannya. Meskipun suasana hati pria itu tidak selalu jelas, senyumnya seolah-olah adalah penutup dari berbagai emosi yang sebenarnya dirasakannya.
Moon menatap Christian dengan waspada. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya tanpa basa-basi.
Christian, masih dengan senyumnya, menanggapi, "Tidak perlu terburu-buru, duduklah dulu."
Moon ragu-ragu sebelum akhirnya duduk berseberangan dengan Christian.
Christian memulai pembicaraan dengan nada ringan, "Aku ingin mengajukan permintaanku."
Moon menatapnya tajam. "Atas dasar apa kau mengajukan permintaan? Tanah desa bukan milik kalian," katanya dengan tegas.
Christian tertawa kecil sebelum menjawab, "Kami akan membelinya dengan harga tinggi. Tapi sekarang aku berubah pikiran. Aku bisa melepaskan tanah desa... Asalkan kau mengabulkan keinginanku."
Moon semakin waspada. "Permintaan apa?" tanyanya dengan nada dingin.
Christian mendekati Moon, menatapnya dengan tatapan yang dalam, penuh makna yang sulit ditebak. "Aku ingin..." ucapnya terhenti sejenak, menciptakan ketegangan. Lalu, ia berbisik di telinga Moon, "Kau menjadi wanitaku!"
Permintaan itu mengejutkan Moon, membuatnya terdiam. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Christian melanjutkan, "Jadi wanitaku, dan mereka bisa tetap tinggal di sini selama mereka suka."
Moon memandang Christian dengan tatapan tak percaya. "Gila! Seorang pria mengajukan permintaan gila, Lucu sekali!" katanya, mencoba menyembunyikan rasa takutnya.
Christian tidak terganggu oleh reaksinya. "Lucu? Aku serius," katanya, wajahnya berubah menjadi lebih serius. "Aku bisa melakukan apa saja yang aku suka. Aku juga akan mendapatkan apa yang aku inginkan termasuk dirimu," lanjutnya dengan senyum sinis.
Tidak lama kemudian, Moon merasa pusing dan pandangannya mulai kabur. Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya lemas dan ia pingsan, kepalanya berbaring di atas meja di hadapannya.
Christian menatap gadis yang kini tak sadarkan diri itu dengan ekspresi penuh kemenangan.
Ia mendekat dan menyentuh wajah Moon dengan lembut, lalu tersenyum. "Sudah kukatakan, apa yang aku inginkan, aku akan mendapatkannya," ucapnya dengan suara lembut namun penuh keyakinan. Senyum sinis terukir di wajahnya, seakan-akan ia telah merencanakan semuanya sejak awal.
Christian berdiri tegak di tengah padang rumput yang sunyi, hanya diiringi suara angin yang berbisik melalui daun-daun pohon tinggi. Di sekelilingnya, beberapa anak buahnya berdiri dengan waspada, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Di tanah, seorang pria terbaring tak berdaya, wajahnya penuh luka, salah satunya dari sayatan pisau yang kini digenggam erat oleh Christian.Pria itu, yang matanya terbuka lebar dengan ketakutan, adalah orang yang menabrak Moon dan meninggalkannya tanpa rasa bersalah. Wajahnya kini penuh luka dan darah, mencerminkan nasib buruk yang menantinya. Christian melangkah mendekati pria itu dengan tenang, mengayunkan pisaunya dengan santai. "Kau tahu," katanya, suaranya tenang tapi penuh ancaman, "di dunia ini, orang seperti kau seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan sendri, bukan lari seperti pengecut. Terutama ketika korbannya adalah gadis itu." Christian berhenti sejenak, mengarahkan ujung pisaunya ke dada pria itu. "Kau tahu kau membuatku marah, kan?"P
Moon yang baru keluar dari kamar mandi, merasa panik saat melihat Christian duduk di kursi dekat jendela, menatapnya dengan senyum dingin. Ia berteriak ketakutan, "Kenapa kau ada di rumahku? Pergi sekarang juga!" Christian hanya tersenyum lebih lebar, matanya memancarkan kilatan yang membuat Moon merasa semakin terpojok."Jangan cemas! Saat ini hanya ada kita berdua. Bukankah seharusnya kita habiskan malam yang penuh cinta," jawab Christian dengan nada yang membuat Moon merasa semakin terancam."Kalau kau masih tidak keluar, aku akan berteriak!" kecam Moon.Christian tampak tidak terganggu. "Lakukan saja! Mereka semua sedang bersenang-senang, mendengar musik dan menari. Tidak ada yang bisa mendengar teriakanmu," jawabnya dengan tenang.Dengan perasaan takut yang semakin besar, Moon mencoba melarikan diri ke pintu. Namun, saat ia mencoba membukanya, pintu tersebut sudah terkunci. "Buka pintunya! Buka pintunya!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu dengan putus asa.Christian bangkit
Beberapa saat kemudian, Christian telah mengenakan pakaiannya kembali, menampilkan sikap dingin dan puas. Sementara itu, Moon menutupi dirinya dengan selimut, tubuhnya gemetar, dan pikirannya dipenuhi oleh rasa sakit dan kehancuran yang baru saja dialaminya.Christian mendekati Moon, menyentuh kepalanya dengan sikap possessif, dan tersenyum penuh kemenangan. "Aku sangat puas malam ini," ucapnya dengan nada rendah namun penuh keyakinan. "Mulai saat ini, kau adalah wanitaku yang hanya bisa menjadi milikku. Apa yang aku janjikan akan ku tepati. Siapapun tidak akan bisa melukaimu," lanjutnya, kemudian mencium wajah Moon dengan paksa.Moon, dengan sekuat tenaga, mendorong pria itu menjauh, merasa jijik dengan setiap sentuhan yang dirasakannya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya dengan histeris, air mata mengalir deras di pipinya.Di balik selimut, Moon menangis dengan sedih dan putus asa, tidak sanggup untuk menatap pria yang baru saja menyetubuhinya secara paksa. Tangisannya menggema di ruang
Moon yang melangkah masuk ke kamar neneknya, terlihat kosong dan sepi. Bayang-bayang neneknya masih muncul di setiap sudut kamar itu. Air mata gadis itu mulai berlinang mengingat kenangan nenek kesayangannya.Moon yang masih larut dalam kesedihan terduduk lemas di samping ranjang. Ia menangis terisak sehingga mengema satu ruangan itu. Hembusan angin dari jendela yang terbuka seolah membawa bisikan lembut neneknya, mengingatkan akan cinta dan kasih sayang yang pernah ia rasakan."Bagaimana aku bisa hidup sendiri tanpamu," ucap Moon meremas sprei ranjang dengan air mata yang membasahi wajahnya. Suara isak tangisnya semakin keras, mencerminkan betapa hancurnya perasaannya saat itu.Setelah beberapa saat kemudian, ia berusaha menenangkan diri dan menyeka air matanya. Ia melihat di bawah ranjang terdapat sebuah kardus kecil. Merasa penasaran, ia pun menariknya keluar dan membuka kardus tersebut dengan hati-hati, seolah benda itu adalah harta karun yang berharga.Terlihat foto-foto anak per
Victor terdiam, pandangannya langsung beralih dari file di depannya ke bawahannya. Tanpa kata-kata, dia segera bangkit dari kursinya, menyambar jasnya yang tergantung di dekatnya, dan melangkah keluar dari ruangan, menuju ke rumah sakit.Calvin Kim, anak sulung Victor, mendatangi rumah sakit setelah menerima kabar adiknya yang terluka parah hingga kritis. Wajahnya tegang, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Di lorong rumah sakit, ia berpapasan dengan ayahnya yang berjalan cepat, sama-sama dihantui kecemasan."John, di mana pelakunya, bagaimana dia bisa berniat jahat pada Christian?" tanya Victor dengan nada tegas, matanya tajam menatap supir Christian."Tuan Direktur, gadis itu tinggal di desa. Dia marah besar akibat rumah warga sana dirobohkan dengan paksa. Selain itu, neneknya juga meninggal karena insiden tersebut," jawab John, suaranya lirih namun jelas, berusaha menjelaskan situasi yang terjadi."Apa yang Christian lakukan sehingga merenggut nyawa orang? Bukankah hany
"Korban sedang dirawat di rumah sakit, kondisinya masih lemah. Namun telah melewati masa kritis," jawab detektif itu.Detektif lainnya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Sungguh luar biasa sekali, seorang gadis lemah berani menyentuh seorang Christian Kim."Moon menatapnya tajam. "Dia adalah pembunuh, kenapa aku tidak berani membunuhnya kalau nenekku sudah meninggal di tangannya.""Nona, usiamu masih muda. Christian Kim kemungkinan besar akan bertahan. Tapi, kamu yang dalam masalah besar. Apakah kamu tidak pernah dengar nama keluarga mereka? Terutama Christian Kim? Banyak yang kenal dia adalah seorang psikopat gila. Membunuhnya kamu menghadapi dua masalah. Pertama, keluarganya tidak akan membebaskanmu. Kedua, kalau Christian Kim sadar, dia sendiri yang akan mendatangimu," kata detektif itu dengan nada memperingatkan.Moon mengepalkan tangannya, matanya berapi-api. "Kalian memihak kepada mereka, walau sudah tahu dia adalah psikopat bajingan?" tanyanya penuh amarah."Apapun
"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya," ucap Calvin dengan alasan."Tidak perlu! Karena mereka adalah urusanku. Jangan coba-coba ikut campur lagi!" jawab Christian sambil mengancam, matanya memancarkan kemarahan yang mendalam."Direktur Utama!" sapa John dan Mike dengan sopan pada Victor yang melangkah masuk ke ruangan Calvin yang berantakan dengan pecahan vas bunga."Direktur Utama," sapa Calvin dengan nada sedikit gemetar, mencoba menyembunyikan kecemasannya."Kenapa papa bisa ada di sini, Mudah-mudahan dia tidak dengar pembicaraan kami," batin Calvin.Christian menoleh ke arah ayahnya dengan tatapan tajam, "Apakah Papa sudah tahu semuanya?" tanya Christian, suaranya dipenuhi emosi."Itu bukan permasalahannya saat ini. Lebih baik kau kembali ke rumah sakit dan obati lukamu," jawab Victor yang melihat baju putranya terkena noda darah dari bekas luka yang baru dijahit, matanya memancarkan kekhawatiran walau ia berusaha tetap bersikap dingin."Bagaimana aku bisa tenang untuk berobat k
Di Departemen Kepolisian New York, sebuah ruangan kantor yang dipenuhi dengan suasana tegang. Sheriff Antonio sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang mendalam."Tuan Christian, sebelumnya kakak Anda meminta kami untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku karena telah menyakiti Anda," kata Antonio dengan nada penuh tekanan.Suara di seberang telepon terdengar tegas. "Permintaanku adalah bebaskan dia, pengacaraku akan tiba dan mengurus semuanya," ujar Christian dengan nada pasti."Tuan Christian, tapi kami sudah tetapkan waktu untuk menjatuhkan hukuman besok siang," kata Antonio, suaranya semakin rendah.Terdengar tawa pendek dari ujung telepon. "Sejak kapan kamu berani melawanku, Sheriff Antonio?" tanya Christian dengan nada tidak puas."Bukan seperti itu, kalau saya batalkan... maka kakak Anda pasti akan...," jawabnya dengan gugup, suaranya bergetar.Christian, yang duduk di dalam mobil di depan sekolah, mengamati putri Antonio yang s