Hiks hiks!
"Ayah kenapa Ayah pergi? aku bener bener ngga nyangka, takdir akan memisahkan kita secepat ini, Yah. aku belum bisa membuat Ayah bahagia, aku belum bisa menjadi Ginda yang dibanggakan oleh Ayah, tapi sekarang ayah malah pergi ninggalin aku."Tangis seorang gadis buta pecah di tengah tengah pusara sang Ayah, yang meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan.Air mata yang tak dapat terhenti terus mengucur membasahi wajahnya, sebuah dendam membara yang membuat Ginda begitu marah.Seketika ingatannya tertuju pada kejadian dua bulan yang lalu, saat dimana sebuah mobil mercy berwarna hitam tiba tiba menabraknya dari belakang, hingga menyebabkan kematian serta kebutaan.Takdir yang seketika membawanya dalam sebuah kegelisahan, karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kedua matanya buta, kini indahnya dunia ia lalui dengan kegelapan.Tak hanya itu, setelah kecelakaan itu terjadi, rasanya banyak sekali kesialan yang menimpa. Salah satunya adalah Ginda harus dikeluarkan dari universitas tercinta, dan membuatnya harus merelakan semua mimpi mimpinya."Andai saja kecelakaan itu tidak terjadi. Takdirku tidak akan seperti ini. Aku berjanji, aku akan mencari pembunuh itu sampai mana pun, aku tidak akan pernah membiarkan hidupnya bahagia, karena dia lah penyebab semua penderitaan ini," tambah Ginda dengan pandangan mata tajam.Cukup lama bersujud dihadapan sebuah tanah gundukan, kini Ginda beranjak perlahan hendak meninggalkan pusara dan kembali ke rumah. Berat, sungguh berat, rasanya Ginda tak ingin meninggalkan sang Ayah sendiri, namun bagaimanapun Ginda harus tetap bangkit.Langkah pelannya berjalan meraba, tak mengerti bagian mana yang harus ia lalui, Ginda berjalan hanya menggunakan mata hati, hingga tiba tiba…Ciiittt!Bruaaakkk!Terdengar suara mobil yang menabrak sesuatu di dekatnya."Astagfirullah," gumamnya terkejut.Entah apa yang terjadi di hadapannya saat ini, Ginda tak tahu, suara benturan keras itu hanya membuat Ginda penasaran.Sementara pengendara mobil, Marvin Marcello. Yang seketika terbelalak kala memperhatikan mobil mewah berwarna merah miliknya menabrak pohon."Astaga, Mobil saya!" gumamnya dengan mata melebar.Kini ginda mencoba memahami kejadian apa yang ada dihadapannya, namun tetap saja ia tak dapat mengetahui ada apa sebenarnya.Keterbatasannya saat ini, benar benar membuatnya seperti orang bodoh, bahkan riuhnya lokasi saat ini ia tak mengetahui."Yaallah, ada apa ini sebenarnya? Kenapa sepertinya ramai sekali?" gumam Ginda dengan ekspresi wajah bingung.Wanita berhijab dengan tubuh mungil itu, terus terdiam ditempat, dengan harapan tak akan terjadi apa apa.Sementara sebuah mobil yang kini telah terhenti karena menabrak pohon itu, terlihat rusak parah.Melihat itu membuat sang pemilik geram, dengan cepat ia berjalan menghampiri. Hingga tercium aroma wangi yang berasal dari tubuh laki laki itu, yang kini menyeruak diindra penciuman Ginda.Parfum yang berasal dari tubuh Marvin membuatnya mengerti jika seorang laki laki sedang berada didekatnya saat ini."Apa maksudmu? Apa kamu sudah bosan hidup? Karena ulahmu mobil baru saya terkena imbasnya," Ucap Marvin berekspresi marah.Memperhatikan wanita muda itu dari samping, wajahnya cantik dengan hidung mancung, yang bertahan dengan pandangan lurus kedepan."Hey, apa kamu tidak mendengar ucapan saya? Saya sedang bicara dengan anda," tambah Marvin geram.Belum menjawab, Ginda tetap terdiam dan lalu berkata."Maaf, Tuan. Saya tidak melihat!""Tidak melihat? Kamu tidak melihat mobil saya? Apa kamu buta sehingga kamu tidak melihat mobil saya yang sebesar itu?""Sekali lagi saya minta maaf, Tuan, saya tidak tahu, permisi," ucap Ginda yang kini melangkah kembali.Langkahnya sangat berhati hati dengan tangan yang kini meraba di udara, yang membuat Marvin terkejut dengan pemandangan dihadapannya itu, ekspresi wajah Marvin seketika berubah setelah melihat Ginda berjalan."Jadi, gadis itu benar benar buta?" celetuknya dengan mata tak berkedip.Namun tiba tiba, kembali Marvin teringat akan mobilnya yang terlihat rusak parah pada bagian depannya, membuat Marvin memanggil Ginda kembali."Tunggu," cegahnya yang membuat langkah Ginda seketika terhenti."Ada apa lagi, Tuan?""Ada apa? Hey, kamu sudah menyebabkan mobil saya rusak. Dan sekarang kamu bilang ada apa? Saya tidak mau tau kamu harus ganti rugi," ucap Marvin pada Ginda.Seperti seseorang tak punya hati, ia tak peduli dengan keadaan fisik Ginda saat ini yang terpenting ia mendapat ganti rugi."Ganti rugi? Berapa banyak saya harus mengganti rugi, Tuan?""Dua puluh juta!"Terbelalak kala Ginda mendengar nominal kerugian tersebut. Harus dengan apa Ginda membayarnya? Jangankan dua puluh juta, Marvin meminta satu juta saja, Ginda tak memilikinya.Gadis berhijab bernama lengkap Ginda Almaneta itu adalah gadis buta berusia dua puluh lima tahun, yang memiliki paras ayu dan terlahir dari keluarga sederhana.Perekonomian keluarga Ginda tidaklah seberuntung keluarga Marvin Marcello, keluarga Ginda hanyalah keluarga sederhana yang jauh dari kemewahan."Tapi saya tidak mempunyai uang sebanyak itu, Tuan," jawabnya dengan pandangan lurus kedepan."Kamu tenang saja saya akan memberikan kamu waktu, karena saya tau kamu tidak akan mampu membayarnya sekarang. Ini kartu nama saya, dan saya harap kamu tidak lari dari tanggung jawab," ucap Marvin yang menyodorkan sebuah kartu nama di tangan Ginda dengan paksa.Ginda yang hanya dapat menghela nafas berat, memikirkan perkara ganti rugi yang baru saja terjadi.Karena sedikit merasa kesal melayani laki laki yang dianggapnya menyebalkan, sombong dan angkuh tersebut, kini gadis berhijab itu pun melanjutkan langkahnya kembali."Lagi lagi karena mata ini," gumam Ginda dengan mata memerah.Permasalahan yang datang rasanya membuat Ginda melemah, kini ia harus mendapat ujian berupa sebuah hutang."Semua ini karena pembunuh itu."Beberapa menit kemudian. Sesampainya dirumah, Ginda terduduk lemah di teras rumahnya, Rumi yang melihat itu pun dengan cepat menghampiri."Ginda, udah pulang nak?""Udah, Bu," jawab Ginda tersenyum lemah.Rasanya tiada semangat ia menjalani hari hari, harus sampai kapan ia hidup dalam kebutaan? Sementara dunia seperti tak berpihak padanya, banyak sekali ujian yang menimpa setelah keadaannya begini.Sementara sang Ibu yang sepertinya mengerti dengan apa yang Ginda rasa saat ini."Sabar ya nak, kamu harus tetap semangat," ucap Rumi menepuk bahu sang anak.Ditengah tengah perbincangannya, tiba tiba pandangan Rumi tertuju pada sebuah kartu nama yang sedari tadi ada digenggaman Ginda."Nda, apa yang kamu bawa itu nak?" Tanya Rumi yang membuat Ginda terkejut.Perlahan Rumi pun meraihnya dan terpaksa Ginda melepaskan. Rumi memperhatikan kartu nama itu dengan seksama, sebelum akhirnya ia berkata."Nda, ini kartu nama siapa? Kenapa ada sama kamu? Dan kenapa kamu bisa berurusan dengan orang kaya seperti ini nak?" Teter Rumi yang membuat Ginda gelagapan.Entah harus menjawab apa ia saat ini, Ginda tak ingin membuat sang Ibu bingung, sebenarnya Ginda tak berniat memberitahu sang Ibu tentang permasalahannya ini. Namun pertanyaan dari sang Ibu seolah memaksanya untuk menjawab.Sedikit ragu, sebelum akhirnya Ginda menjelaskan apa yang telah terjadi antara ia dan pemilik kartu nama tersebut.Ginda berkata jika diantaranya telah terjadi sebuah hutang, dua puluh juta dan harus ia bayar. Mendengar itu Rumi pun terkejut, terbelalak, dan kemudian terduduk lemah."Hutang, Dua puluh Juta? Lalu kita harus membayar hutang itu dengan apa, Nda? dua puluh juta itu besar sekali, dan kamu harus melunasinya. Hutang warung saja kita tidak bisa membayar, apalagi sampai dua puluh juta seperti ini, Nda," ucap Rumi dengan wajah frustasi.Tak dapat berkata apa apa Ginda hanya terdiam menunduk, dengan perasaan bersalah."Maafin aku ya, Bu."BERSAMBUNG...Keesokan harinya. Karena merasa menambah beban sang Ibu, Ginda berniat menemui Marvin kembali, kini ia meminta bantuan seseorang untuk mengantarnya kesebuah alamat yang tertera dalam kartu nama yang telah diberikan Marvin.Ginda hendak menemui Marvin Marcello ke perusahaannya, ingin meminta keringanan atas hutang dua puluh jutanya itu. Dengan yakin, Ginda mengetuk pintu ruangan CEO yang kini ada dihadapannya.Tok tok tok!"Masuk."Terdengar ucapan itu yang membuat Ginda perlahan membuka pintu."Assalamualaikum," ucap Ginda yang membuat pandangan Marvin kini berpaling dari layar laptopnya.Terdiam sejenak, karena terkejut kala Marvin dapati Ginda lah tamunya saat ini."Kamu! Ada apa, kamu mau membayar hutang?"Belum menjawab, Ginda yang kini melangkah, meraba dan terduduk dikursi yang ada di depan meja kerja Marvin."Bukan, Tuan.""Lalu, ada perlu apa kamu datang kemari jika bukan untuk membayar hutang?""Saya datang kemari untuk memohon keringanan pada, Tuan, karena saat ini saya belu
Cukup lama terdiam memikirkan persyaratan yang terlontar dari bibir Marvin, sebelum akhirnya Ginda menjawab."Baiklah kalau begitu, saya mau menikah dengan, Tuan!" Jawab Ginda yang membuat Marvin perlahan tersenyum.Namun, senyuman itu bukanlah senyuman bahagia lantaran Ginda menerima lamarannya, senyuman itu adalah senyuman puas karena telah berhasil menaklukkan persyaratan sang Ibu.Dipaksa menikahi gadis buta seperti Ginda, bukanlah hal yang mudah, Marvin harus mengorbankan perasaannya, dan mengabaikan harga dirinya.Namun ini semua demi harta dan tahta, karena jika Marvin tak menikahi Ginda, Sukma akan menarik semua fasilitasnya.Tidak ada yang tahu apa tujuan Sukma? Bahkan Marvin sendiri pun bingung dan tak habis pikir, dengan permintaan sang Ibu yang terbilang nyeleneh.Hari demi hari berlalu sebuah pernikahan sederhana yang akhirnya terjadi. Bukan tak mampu untuk membuat pesta dihari ini, namun Marvin tak ingin pernikahannya ini terdengar sampai ketelinga para koleganya."Saya
Hari demi hari berlalu, beberapa hari sudah Ginda melewati hari menjadi seorang istri bos besar yang sangat terpandang.Bahagia seharusnya, namun tidak untuk Ginda, ia yang justru sering menangis dan meratapi nasibnya, karena sejak pernikahan itu ia belum pernah mendapat perhatian dari Marvin suaminya.Seharusnya masa ini adalah masa bahagia untuk sepasang pengantin baru seperti mereka, pergi berbulan madu dan bersenang senang berdua. Namun nyatanya tidak untuk Ginda.Siang ini, Ginda yang menangis terisak isak di halaman belakang rumahnya.Hiks hiks!"Apa begini rasanya menikah karena paksaan? Jangankan berbicara berdua, romantis romantisan, tapi ini bertemu pun jarang, bahkan sikap mas Marvin begitu kasar, tak menganggap aku sebagai istrinya," gumam Ginda dengan suara bergetar.Ucapan itu tak sengaja didengar oleh Sukma, yang juga terpukul karena merasakan penderitaan sang menantu, perlahan langkahnya mendekat ingin mencoba menenangkan Ginda dengan caranya."Ginda," panggil Sukma ya
Pagi ini, sinar matahari menyeruak memasuki celah jendela kamar, membuat Marvin mengerjap ngerjapkan matanya.Jam menunjukan pukul 08.30, membuat Marvin terbelalak dan seketika beranjak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap hendak pergi ke kantornya.Beberapa menit kemudian, setelah kini penampilannya rapi kembali, Marvin pun berjalan keluar. Tanpa menyapa semuanya, Marvin melintas dengan langkah cepat."Marvin, ngga sarapan dulu, nak?" Tanya Sukma memperhatikan laki laki yang sudah berpenampilan kantoran itu terus melangkah."Ngga sempet, Bu. Aku kesiangan," jawab Marvin yang terus melangkah.Tanpa berpamitan, Marvin pun melajukan mobilnya menuju PT Vincell konstruksi. Sementara Ginda yang kini tertunduk, kehilangan selera makannya, perkara sikap sang suami yang acuh tak acuh pagi ini.Makanan dalam piringnya hanya dibolak balik dengan tak semangat, pandangannya lurus ke depan tanpa penglihatan, memikirkan betapa tak berharganya ia dimata Marvin.Untuk men
"Ginda, apakah kamu..." Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu. Membuat Sukma terbelalak dengan ekspresi wajah tegang."Ibu..."Memperhatikan wajah Ginda, ekspresi Sukma semakin tegang, apakah Ginda mendengar ucapannya barusan? jika iya, ia tak tahu apa yang akan dilakukan Ginda padanya setelah ini? "Ginda.."Sejenak terdiam, Ginda terlebih dulu menghapus air matanya sebelum akhirnya berkata."Bu, aku.. aku cuma mau minta tolong sama Ibu, tolong bantu ingatkan Mas Marvin untuk menjaga kesehatannya ya, karena aku tau dia tidak akan pernah mau jika aku yang memperhatikannya," ucap Ginda yang membuat Sukma mengerutkan dahi."Aku perhatikan, Mas Marvin selalu berangkat pagi dan pulang malam, begitu setiap hari. Aku khawatir kesehatannya menurun, Bu, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai istri sebenarnya aku ingin sekali memperhatikan suamiku, tapi
Keesokan harinya.Huufft..Terdengar dengusan kasar dari nafas Marvin Marcello, yang sedang terduduk seorang diri di ruangannya"Aku benar benar kehilangan semangatku, ini semua karena wanita buta itu," gerutu Marvin.Pandangannya benar benar tampak sangat kacau, harus dihadapkan dengan sesuatu yang dianggapnya sangat sulit.Menikah dengan Ginda, rasanya tak membuat Marvin bahagia sama sekali, malah ia harus menahan rasa malu kala para kolega koleganya menanyakan siapa istrinya?Karena tak ingin mengenalkan Ginda, Marvin yang harus selalu mengalihkan pembicaraan pada saat pertanyaan itu terlontar."Ibu juga, kenapa sih? Ibu selalu membelanya? ada apa dengan Ibu? kenapa sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan?"Tambahnya dengan wajahnya tak semangat seperti biasanya, tubuh ideal itu kini bersandar lemah, matanya terpejam seakan sedang memikirkan masalah yang begitu berat.Di tengah tengah, kegundahannya
Halaman belakang adalah tempat favorit Ginda untuk menangis, air mata yang mengalir begitu deras tak berhenti membasahi wajahnya."Jadi ini alasan Mas Marvin selalu kasar padaku? karena mataku yang buta," gumam Ginda dengan suara bergetar.Tak menyangka, lagi lagi kebutaannya yang membuat ia merasa tersakiti. Bukan hanya pada orang lain namun ternyata suaminya sendiri pun tak menganggapnya karena buta.Istri mana yang tak bersedih jika sang suami membencinya hanya karena sebuah keterbatasan, jika sudah seperti ini bukan pernikahannya yang ditangisi, namun pertemuan yang ia sesali."Lagi lagi karena mata ini. Semua ini terjadi karena laki laki pembunuh itu, siapa pun dia, dimana pun dia berada, aku akan mencarinya sampai ketemu. Dia yang telah menyebabkan semua ini terjadi, dia yang menyebabkan aku dipandang sebelah mata, dan dia juga yang membuat cita citaku seketika terhenti," tambah Ginda dengan begitu kesal.Rasanya sejak kejadian itu
Pagi ini, Marvin yang sedang sibuk mempersiapkan dirinya hendak pergi ke kantor, ia sedang sibuk memilih kemeja, jas dan dasi mana yang hendak ia kenakan."Bagus yang mana ya? yang ini, yang ini, atau yang ini?" gumam Marvin seorang diri seraya memperhatikan beberapa pilihan ditangannya.Sementara Ginda yang mendengar itu pun, perlahan mendekat, berniat membantu kebingungan sang suami."Mas, boleh aku bantu?"Mendengar suara itu, seketika Marvin pun menoleh. Alis sebelah kirinya terangkat satu dan pandangan aneh memperhatikan wajah wanita yang baru saja datang itu."Kamu mau membantu, saya? bantu apa? memilih salah satu diantara jas, kemeja dan dasi ini? memangnya kamu bisa? melihat saja kamu tidak bisa bagaimana mau memilih?" ucap Marvin yang membuat Ginda seketika terdiam.Ekspresi wajahnya seketika berubah setelah mendengar ucapan dari sang suami. Lagi, rasa sakit hati itu kembali ia rasakan, betapa rendahnya ia dimata sang su