Hari demi hari berlalu, beberapa hari sudah Ginda melewati hari menjadi seorang istri bos besar yang sangat terpandang.
Bahagia seharusnya, namun tidak untuk Ginda, ia yang justru sering menangis dan meratapi nasibnya, karena sejak pernikahan itu ia belum pernah mendapat perhatian dari Marvin suaminya.Seharusnya masa ini adalah masa bahagia untuk sepasang pengantin baru seperti mereka, pergi berbulan madu dan bersenang senang berdua. Namun nyatanya tidak untuk Ginda.Siang ini, Ginda yang menangis terisak isak di halaman belakang rumahnya.Hiks hiks!"Apa begini rasanya menikah karena paksaan? Jangankan berbicara berdua, romantis romantisan, tapi ini bertemu pun jarang, bahkan sikap mas Marvin begitu kasar, tak menganggap aku sebagai istrinya," gumam Ginda dengan suara bergetar.Ucapan itu tak sengaja didengar oleh Sukma, yang juga terpukul karena merasakan penderitaan sang menantu, perlahan langkahnya mendekat ingin mencoba menenangkan Ginda dengan caranya."Ginda," panggil Sukma yang membuat tangisan Ginda seketika terhenti.Dengan cepat ia menghapus air matanya, agar tak terlihat di pandangan Sukma."Iya, Bu."Sukma pun meraih bahunya dengan lembut, yang kemudian terduduk di sebelahnya. Ia pandangi Ginda dengan seksama, sejujurnya Sukma melihat kecantikan dalam diri Ginda, meski matanya buta, namun sifat dan wajahnya benar benar cantik."Sabar ya, Nak. Jangan bersedih. Ibu akan coba bicara dengan Marvin persoalan kalian ini," ucap Sukma yang membuat Ginda terkejut."Jangan, Bu. Jangan. Aku sadar kok, aku cuma wanita buta yang tidak berhak mendapat perhatian dari Mas Marvin.""Ginda, jangan bicara seperti itu. Meskipun kamu buta, tapi kamu sangat cantik nak. Sudah ya, jangan lagi menangis, Ibu akan berusaha bicara dengan suamimu."Tak menjawab apa apa lagi, Ginda kini terdiam pasrah, apa yang akan dilakukan Sukma yang pasti adalah yang terbaik untuknya.Di tengah tengah perbincangannya tiba tiba.."Bu.. Ibu.."Terdengar suara Marvin yang berteriak memanggil Sukma, hingga membuat Sukma menoleh ke arah sumber suara."Iya, Vin. Ibu disini."Mendengar jawaban itu, dengan cepat Marvin mendekat. Langkah kebut nya seketika terhenti kala ia dapati sang Ibu yang sedang duduk bersama Ginda."Ada apa, Vin?""Apa Ibu tau map diatas meja kerjaku? Ibu simpan dimana?""Ngga, Ibu ngga tau."Mendengar ucapan itu membuat Ginda terbelalak, lantaran tadi ia yang membersihkan ruangan itu, dan ia menaruh map itu entah dimana."Ma-af map diatas meja ya? Tadi aku Mas yang membersihkan meja itu, tapi aku lupa taruh mapnya dimana," ucap Ginda yang membuat Marvin terbelalak."Apa, jadi kamu? Sudah berapa kali saya katakan? Jangan ikut campur urusan saya. Saya tidak mau kamu ikut campur ataupun membersihkan ruangan itu. Kenapa kamu bengal sekali?" Ucap Marvin marah.Amukannya membuat Ginda benar benar ketakutan."Vin, sudah lah jangan marah marah gitu, kamu kan bisa cari map itu, ayo Ibu bantu.""Tapi dia kurang ajar Bu, dia.."Belum selesai Marvin berkata, kini Sukma meraih tangannya dan dengan cepat membawanya pergi dari tempat, sebelum Marvin lebih lama lagi memarahi Ginda.Kembali air mata Ginda luruh, rasanya ia tak pernah ada benarnya dimata sang suami. Sementara Sukma yang kini membawa Marvin masuk kedalam ruang kerjanya."Marvin, kamu apa apaan sih? Kasihan Ginda, kamu selalu memarahinya, kamu selalu kasar sama dia, dia itu istrimu, Vin. Ngga seharusnya kamu bersikap seperti ini," omel Sukma yang membuat Marvin mengeraskan rahang."Kalau bukan Ibu yang memaksa, aku tidak akan pernah menikahi gadis buta itu Bu, aku malu Bu, aku malu punya istri buta seperti dia," jawab Marvin yang membuat Sukma terbelalak."Astagfirullah Marvin. Jaga ucapanmu, kalau kamu malu punya istri buta, lakukan sesuatu Marvin, bukan malah menghinanya seperti ini.""Maksud, Ibu. aku harus membiayai dia operasi mata? Biar dia bisa melihat lagi gitu, Bu? Tapi sayangnya aku tidak akan pernah melakukan itu, Bu."Kembali Sukma melebarkan matanya, ia benar benar tak menyangka, ternyata niatnya ingin menolong Ginda malah justru membawanya ke dalam masalah besar seperti ini.Namun sayangnya, kini hanya tinggal penyesalan, yang bisa Sukma lakukan saat ini hanyalah membantu Ginda untuk menaklukan hati beku Marvin."Ibu bener bener kecewa sama kamu, Vin. Ternyata sekasar ini sikapmu? Ginda itu istrimu, Vin. Wanita yang seharusnya kamu sayangi dan kamu cintai, bukan malah menjadi sasaran amukanmu seperti ini.""Bu, aku sudah mengikuti keinginan Ibu, untuk menikahi wanita buta itu, dan sekarang tolong, Bu. Jangan paksa aku untuk menyayangi atau pun mencintai dia, karena aku ngga akan pernah bisa," ucap Marvin yang kemudian meninggalkan tempat.Mood bekerjanya kini telah menghilang, perkara urusan Ginda yang selalu membuatnya sakit kepala.Di dalam ruang kamarnya, kini Marvin melepas jasnya dan melemparnya dengan kasar, moodnya yang saat ini berantakan membuat emosinya memuncak.Setelah melepas dua kancing kerah kemejanya dan menggulung lengan kemeja itu hingga ke siku, kini Marvin terduduk kesal, raut wajahnya muram dan matanya memerah.Ia yang sedang memikirkan betapa sialnya kehidupannya saat ini, sejak kedatangan Ginda, sang Ibu selalu membelanya.Benar benar menyebalkan! Apa kelebihan Ginda? Bukankah ia hanya wanita buta yang tak memiliki kelebihan apa pun? Cantik? Memang tak bisa dipungkiri wajahnya sangat cantik tapi tetap saja ia hanya wanita Buta yang tak sebanding dengan Marvin Marcello.Sejenak terdiam, untuk meredam amarahnya, sebelum akhirnya sebuah ide cemerlang melintasi pikiran Marvin, tak menunggu lama, kini Marvin pun beranjak dan berjalan mencari Ginda."Ginda," panggil Marvin pada Ginda yang sedang terduduk di ruang makan seorang diri.Mendengar suara itu, seketika Ginda menoleh, ia mendengar langkah kaki Marvin berjalan mendekat."Mas..""Saya mau bicara."Tersenyum, Ginda mendengarnya tersenyum bahagia. Ia berpikir setelah sekian hari, akhirnya Marvin mau bicara dengannya."Ada apa, Mas?""Saya ingin bertanya dengan kamu, bukankah kamu menikah dengan saya juga karena terpaksa? Bukankah kamu hanya ingin hutang dua puluh jutamu itu lunas?""Lalu?""Dan sekarang, saya sudah menganggap hutang itu lunas, dan kamu bisa per.."Belum selesai Marvin berkata tiba tiba Sukma datang memutuskannya."Cukup, Marvin. Jaga ucapanmu!"Ucapan itu membuat Marvin seketika menoleh, dan membuat Ginda bingung, dengan kegelapan ia mencoba mencerna ucapan sang suami dan sang mertua."Ada apa, Bu? Mas Marvin kan belum selesai bicara," tanya Ginda tak mengerti."Tidak papa, Nda. Yaudah kamu kekamar aja ya, kamu istirahat, ayo Ibu antar!" Ucap Sukma yang kini membawa Ginda pergi dari hadapan Marvin.Kepergian Ginda dan Sukma membuat Marvin tak berkedip, dan memandangnya dengan pandangan tajam."Sialan!"Tak lama kemudian.Setelah Sukma kembali bersama Marvin."Ibu ingatkan sekali lagi, Vin. Jangan pernah berkata seperti itu lagi, itu artinya secara tidak langsung kamu menalak istrimu.""Memang itu yang aku inginkan, Bu. Aku ingin menalaknya. Karena buat apa, Bu? Aku bertahan dengan wanita yang tidak aku cintai?""Astagfirullah Marvin. Berhenti berpikiran seperti itu, Ibu ngga akan pernah ngizinin kamu menalaknya, Ibu memintamu menikahi Ginda bukan untuk menceraikannya, Vin.""Tapi, Bu..""Jangan membangkang Marvin, jika kamu tidak mau Ibu menarik semuanya," ucap Sukma yang membuat Marvin berekspresi heran dan bingung."Bu, sebenarnya apa sih? Yang membuat Ibu membela wanita itu seperti ini?"Terdiam, Sukma yang tak dapat berkata apa apa setelah Marvin melontarkan pertanyaan itu, entah rahasia besar apa yang sedang ia sembunyikan dari Marvin, hingga sepertinya membuatnya begitu tertutup."Belum saatnya kamu tau, Vin. Tapi ingat, setelah kamu tahu alasan Ibu nanti kamu akan berterima kasih pada Ibumu ini," jawab Sukma yang kemudian melangkah meninggalkan tempat.Kepergian sang Ibu membuat Marvin terdiam, mencoba mencerna jawaban yang baru saja terlontar."Ada apa ini sebenarnya?" Gumam Marvin penasaran.BERSAMBUNG...Pagi ini, sinar matahari menyeruak memasuki celah jendela kamar, membuat Marvin mengerjap ngerjapkan matanya.Jam menunjukan pukul 08.30, membuat Marvin terbelalak dan seketika beranjak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap hendak pergi ke kantornya.Beberapa menit kemudian, setelah kini penampilannya rapi kembali, Marvin pun berjalan keluar. Tanpa menyapa semuanya, Marvin melintas dengan langkah cepat."Marvin, ngga sarapan dulu, nak?" Tanya Sukma memperhatikan laki laki yang sudah berpenampilan kantoran itu terus melangkah."Ngga sempet, Bu. Aku kesiangan," jawab Marvin yang terus melangkah.Tanpa berpamitan, Marvin pun melajukan mobilnya menuju PT Vincell konstruksi. Sementara Ginda yang kini tertunduk, kehilangan selera makannya, perkara sikap sang suami yang acuh tak acuh pagi ini.Makanan dalam piringnya hanya dibolak balik dengan tak semangat, pandangannya lurus ke depan tanpa penglihatan, memikirkan betapa tak berharganya ia dimata Marvin.Untuk men
"Ginda, apakah kamu..." Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu. Membuat Sukma terbelalak dengan ekspresi wajah tegang."Ibu..."Memperhatikan wajah Ginda, ekspresi Sukma semakin tegang, apakah Ginda mendengar ucapannya barusan? jika iya, ia tak tahu apa yang akan dilakukan Ginda padanya setelah ini? "Ginda.."Sejenak terdiam, Ginda terlebih dulu menghapus air matanya sebelum akhirnya berkata."Bu, aku.. aku cuma mau minta tolong sama Ibu, tolong bantu ingatkan Mas Marvin untuk menjaga kesehatannya ya, karena aku tau dia tidak akan pernah mau jika aku yang memperhatikannya," ucap Ginda yang membuat Sukma mengerutkan dahi."Aku perhatikan, Mas Marvin selalu berangkat pagi dan pulang malam, begitu setiap hari. Aku khawatir kesehatannya menurun, Bu, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai istri sebenarnya aku ingin sekali memperhatikan suamiku, tapi
Keesokan harinya.Huufft..Terdengar dengusan kasar dari nafas Marvin Marcello, yang sedang terduduk seorang diri di ruangannya"Aku benar benar kehilangan semangatku, ini semua karena wanita buta itu," gerutu Marvin.Pandangannya benar benar tampak sangat kacau, harus dihadapkan dengan sesuatu yang dianggapnya sangat sulit.Menikah dengan Ginda, rasanya tak membuat Marvin bahagia sama sekali, malah ia harus menahan rasa malu kala para kolega koleganya menanyakan siapa istrinya?Karena tak ingin mengenalkan Ginda, Marvin yang harus selalu mengalihkan pembicaraan pada saat pertanyaan itu terlontar."Ibu juga, kenapa sih? Ibu selalu membelanya? ada apa dengan Ibu? kenapa sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan?"Tambahnya dengan wajahnya tak semangat seperti biasanya, tubuh ideal itu kini bersandar lemah, matanya terpejam seakan sedang memikirkan masalah yang begitu berat.Di tengah tengah, kegundahannya
Halaman belakang adalah tempat favorit Ginda untuk menangis, air mata yang mengalir begitu deras tak berhenti membasahi wajahnya."Jadi ini alasan Mas Marvin selalu kasar padaku? karena mataku yang buta," gumam Ginda dengan suara bergetar.Tak menyangka, lagi lagi kebutaannya yang membuat ia merasa tersakiti. Bukan hanya pada orang lain namun ternyata suaminya sendiri pun tak menganggapnya karena buta.Istri mana yang tak bersedih jika sang suami membencinya hanya karena sebuah keterbatasan, jika sudah seperti ini bukan pernikahannya yang ditangisi, namun pertemuan yang ia sesali."Lagi lagi karena mata ini. Semua ini terjadi karena laki laki pembunuh itu, siapa pun dia, dimana pun dia berada, aku akan mencarinya sampai ketemu. Dia yang telah menyebabkan semua ini terjadi, dia yang menyebabkan aku dipandang sebelah mata, dan dia juga yang membuat cita citaku seketika terhenti," tambah Ginda dengan begitu kesal.Rasanya sejak kejadian itu
Pagi ini, Marvin yang sedang sibuk mempersiapkan dirinya hendak pergi ke kantor, ia sedang sibuk memilih kemeja, jas dan dasi mana yang hendak ia kenakan."Bagus yang mana ya? yang ini, yang ini, atau yang ini?" gumam Marvin seorang diri seraya memperhatikan beberapa pilihan ditangannya.Sementara Ginda yang mendengar itu pun, perlahan mendekat, berniat membantu kebingungan sang suami."Mas, boleh aku bantu?"Mendengar suara itu, seketika Marvin pun menoleh. Alis sebelah kirinya terangkat satu dan pandangan aneh memperhatikan wajah wanita yang baru saja datang itu."Kamu mau membantu, saya? bantu apa? memilih salah satu diantara jas, kemeja dan dasi ini? memangnya kamu bisa? melihat saja kamu tidak bisa bagaimana mau memilih?" ucap Marvin yang membuat Ginda seketika terdiam.Ekspresi wajahnya seketika berubah setelah mendengar ucapan dari sang suami. Lagi, rasa sakit hati itu kembali ia rasakan, betapa rendahnya ia dimata sang su
Beberapa Hari kemudian."Ginda, ikut Ibu yuk," ajak Sukma yang kini menghampiri Ginda yang sedang bergelut dengan alat menggambarnya."Mau kemana, Bu?""Ke rumah sakit, Nda," jawab Sukma yang membuat Ginda terbelalak."Ke rumah sakit? Ibu sakit? sakit apa, Bu?""Bukan, Nda. Udah, ayo kita berangkat sekarang," ucap Sukma yang kini meriah tangan Ginda dan membawanya melangkah memasuki mobil dan melaju menuju rumah sakit.Entah apa yang hendak mereka lakukan di rumah sakit? Mengapa Sukma mengajak Ginda tiba tiba? apakah ini bagian dari sebuah rencananya itu?Beberapa menit kemudian, sesampainya dihalaman rumah sakit, Sukma yang membawa Ginda memasuki ruangan dokter."Selamat pagi, Dok.""Pagi, Bu Sukma. Silahkan duduk.""Oh jadi ini ya, Bu, menantu Ibu yang dimaksud itu?""Iya, dok. Dia Ginda, perempuan yang selama ini saya ceritakan," jawab Sukma.Mendengar perbincangan itu, Gin
Kini Ginda dan Sukma pun kembali pulang, tak lagi jalan dalam kegelapan, tak lagi meraba dan tak lagi hanya berkira kira, kini akhirnya Ginda dapat melihat kembali, hingga membuatnya melangkah dengan hati gembira.Sesampainya dihalaman rumah Marvin Marcello, Ginda memperhatikan rumah mewah itu dengan seksama, rumah yang selama ini menjadi tempatnya berlindung ternyata semegah ini."Ngga nyangka, ternyata rumah yang aku tinggali selama sebesar ini," batin Ginda yang masih terdiam tak berkedip."Ada apa, Nda? ayo masuk!" ajak Sukma yang kini membawa Ginda melangkah memasuki rumah.Pandangan Ginda tak berkedip memperhatikan tiap sudut rumah mewah bak istana ini, barang barang yang tampak mahal tersusun rapi didalamnya.Sementara Marvin yang kini melangkah menuruni anak tangga, membuat pandangan Ginda seketika tertuju padanya.Wajah dengan pahatan sempurna, tubuh tegap dengan tinggi ideal, Marvin tampak begitu tampan dipandangan Gind
Ginda yang kini melangkah menyusuri koridor kampus, langkah jenjangnya membuat semua pandangan yang ada kini tertuju padanya, hadirnya Ginda membuat tempat seketika sunyi karena semua yang ada tampak tertegun memperhatikan Ginda yang melangkah dengan begitu anggun.Salah satunya adalah seorang wanita berambut bob, bernama Dela yang tidak lain adalah sahabat baik Ginda di kampus.Matanya terbelalak, pandangannya tak berkedip memperhatikan kehadiran Ginda yang membuatnya tak menyangka."Ginda," sapa Dela yang membuat langkah Ginda seketika terhenti."Dela."Tak menunggu lama, kini keduanya pun saling berpelukan, setelah hari dimana Ginda keluar dari kampus semenjak itu juga Ginda dan Dela tak pernah bertemu."Kamu apa kabar, Del?""Aku baik baik aja, Nda. Kamu... jadi sekarang kamu udah bisa melihat lagi, Nda? yaampun dan kamu tambah cantik," ucap Dela dengan pandangan yang terus memperhatikan dari ujung rambut hingga kaki
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man