Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian.
"Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Hiks hiks!"Ayah kenapa Ayah pergi? aku bener bener ngga nyangka, takdir akan memisahkan kita secepat ini, Yah. aku belum bisa membuat Ayah bahagia, aku belum bisa menjadi Ginda yang dibanggakan oleh Ayah, tapi sekarang ayah malah pergi ninggalin aku."Tangis seorang gadis buta pecah di tengah tengah pusara sang Ayah, yang meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan.Air mata yang tak dapat terhenti terus mengucur membasahi wajahnya, sebuah dendam membara yang membuat Ginda begitu marah.Seketika ingatannya tertuju pada kejadian dua bulan yang lalu, saat dimana sebuah mobil mercy berwarna hitam tiba tiba menabraknya dari belakang, hingga menyebabkan kematian serta kebutaan.Takdir yang seketika membawanya dalam sebuah kegelisahan, karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kedua matanya buta, kini indahnya dunia ia lalui dengan kegelapan.Tak hanya itu, setelah kecelakaan itu terjadi, rasanya banyak sekali kesialan yang menimpa. Salah satunya adalah Ginda harus dikeluarkan dari universita
Keesokan harinya. Karena merasa menambah beban sang Ibu, Ginda berniat menemui Marvin kembali, kini ia meminta bantuan seseorang untuk mengantarnya kesebuah alamat yang tertera dalam kartu nama yang telah diberikan Marvin.Ginda hendak menemui Marvin Marcello ke perusahaannya, ingin meminta keringanan atas hutang dua puluh jutanya itu. Dengan yakin, Ginda mengetuk pintu ruangan CEO yang kini ada dihadapannya.Tok tok tok!"Masuk."Terdengar ucapan itu yang membuat Ginda perlahan membuka pintu."Assalamualaikum," ucap Ginda yang membuat pandangan Marvin kini berpaling dari layar laptopnya.Terdiam sejenak, karena terkejut kala Marvin dapati Ginda lah tamunya saat ini."Kamu! Ada apa, kamu mau membayar hutang?"Belum menjawab, Ginda yang kini melangkah, meraba dan terduduk dikursi yang ada di depan meja kerja Marvin."Bukan, Tuan.""Lalu, ada perlu apa kamu datang kemari jika bukan untuk membayar hutang?""Saya datang kemari untuk memohon keringanan pada, Tuan, karena saat ini saya belu
Cukup lama terdiam memikirkan persyaratan yang terlontar dari bibir Marvin, sebelum akhirnya Ginda menjawab."Baiklah kalau begitu, saya mau menikah dengan, Tuan!" Jawab Ginda yang membuat Marvin perlahan tersenyum.Namun, senyuman itu bukanlah senyuman bahagia lantaran Ginda menerima lamarannya, senyuman itu adalah senyuman puas karena telah berhasil menaklukkan persyaratan sang Ibu.Dipaksa menikahi gadis buta seperti Ginda, bukanlah hal yang mudah, Marvin harus mengorbankan perasaannya, dan mengabaikan harga dirinya.Namun ini semua demi harta dan tahta, karena jika Marvin tak menikahi Ginda, Sukma akan menarik semua fasilitasnya.Tidak ada yang tahu apa tujuan Sukma? Bahkan Marvin sendiri pun bingung dan tak habis pikir, dengan permintaan sang Ibu yang terbilang nyeleneh.Hari demi hari berlalu sebuah pernikahan sederhana yang akhirnya terjadi. Bukan tak mampu untuk membuat pesta dihari ini, namun Marvin tak ingin pernikahannya ini terdengar sampai ketelinga para koleganya."Saya
Hari demi hari berlalu, beberapa hari sudah Ginda melewati hari menjadi seorang istri bos besar yang sangat terpandang.Bahagia seharusnya, namun tidak untuk Ginda, ia yang justru sering menangis dan meratapi nasibnya, karena sejak pernikahan itu ia belum pernah mendapat perhatian dari Marvin suaminya.Seharusnya masa ini adalah masa bahagia untuk sepasang pengantin baru seperti mereka, pergi berbulan madu dan bersenang senang berdua. Namun nyatanya tidak untuk Ginda.Siang ini, Ginda yang menangis terisak isak di halaman belakang rumahnya.Hiks hiks!"Apa begini rasanya menikah karena paksaan? Jangankan berbicara berdua, romantis romantisan, tapi ini bertemu pun jarang, bahkan sikap mas Marvin begitu kasar, tak menganggap aku sebagai istrinya," gumam Ginda dengan suara bergetar.Ucapan itu tak sengaja didengar oleh Sukma, yang juga terpukul karena merasakan penderitaan sang menantu, perlahan langkahnya mendekat ingin mencoba menenangkan Ginda dengan caranya."Ginda," panggil Sukma ya
Pagi ini, sinar matahari menyeruak memasuki celah jendela kamar, membuat Marvin mengerjap ngerjapkan matanya.Jam menunjukan pukul 08.30, membuat Marvin terbelalak dan seketika beranjak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap hendak pergi ke kantornya.Beberapa menit kemudian, setelah kini penampilannya rapi kembali, Marvin pun berjalan keluar. Tanpa menyapa semuanya, Marvin melintas dengan langkah cepat."Marvin, ngga sarapan dulu, nak?" Tanya Sukma memperhatikan laki laki yang sudah berpenampilan kantoran itu terus melangkah."Ngga sempet, Bu. Aku kesiangan," jawab Marvin yang terus melangkah.Tanpa berpamitan, Marvin pun melajukan mobilnya menuju PT Vincell konstruksi. Sementara Ginda yang kini tertunduk, kehilangan selera makannya, perkara sikap sang suami yang acuh tak acuh pagi ini.Makanan dalam piringnya hanya dibolak balik dengan tak semangat, pandangannya lurus ke depan tanpa penglihatan, memikirkan betapa tak berharganya ia dimata Marvin.Untuk men
"Ginda, apakah kamu..." Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu. Membuat Sukma terbelalak dengan ekspresi wajah tegang."Ibu..."Memperhatikan wajah Ginda, ekspresi Sukma semakin tegang, apakah Ginda mendengar ucapannya barusan? jika iya, ia tak tahu apa yang akan dilakukan Ginda padanya setelah ini? "Ginda.."Sejenak terdiam, Ginda terlebih dulu menghapus air matanya sebelum akhirnya berkata."Bu, aku.. aku cuma mau minta tolong sama Ibu, tolong bantu ingatkan Mas Marvin untuk menjaga kesehatannya ya, karena aku tau dia tidak akan pernah mau jika aku yang memperhatikannya," ucap Ginda yang membuat Sukma mengerutkan dahi."Aku perhatikan, Mas Marvin selalu berangkat pagi dan pulang malam, begitu setiap hari. Aku khawatir kesehatannya menurun, Bu, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai istri sebenarnya aku ingin sekali memperhatikan suamiku, tapi