Cukup lama terdiam memikirkan persyaratan yang terlontar dari bibir Marvin, sebelum akhirnya Ginda menjawab.
"Baiklah kalau begitu, saya mau menikah dengan, Tuan!" Jawab Ginda yang membuat Marvin perlahan tersenyum.Namun, senyuman itu bukanlah senyuman bahagia lantaran Ginda menerima lamarannya, senyuman itu adalah senyuman puas karena telah berhasil menaklukkan persyaratan sang Ibu.Dipaksa menikahi gadis buta seperti Ginda, bukanlah hal yang mudah, Marvin harus mengorbankan perasaannya, dan mengabaikan harga dirinya.Namun ini semua demi harta dan tahta, karena jika Marvin tak menikahi Ginda, Sukma akan menarik semua fasilitasnya.Tidak ada yang tahu apa tujuan Sukma? Bahkan Marvin sendiri pun bingung dan tak habis pikir, dengan permintaan sang Ibu yang terbilang nyeleneh.Hari demi hari berlalu sebuah pernikahan sederhana yang akhirnya terjadi. Bukan tak mampu untuk membuat pesta dihari ini, namun Marvin tak ingin pernikahannya ini terdengar sampai ketelinga para koleganya."Saya terima nikah dan kawinnya Ginda Almaneta binti almarhum Danang dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Begitu lantang Mavin mengucap kalimat sakral tersebut, kalimat yang kini menggema di tiap sudut rumah sederhana milik Ginda. Sebuah kalimat yang dapat mengikat Ginda dan Marvin menjadi pasangan suami istri.Tak menyangka, kini statusnya telah menjadi seorang istri. Entah, haruskah Ginda bahagia? atau justru bersedih? Karena sejujurnya Ginda pun menerima pernikahan itu karena terpaksa.Jika bukan perkara hutang, Ginda tak akan mau menjadi bahan paksaan seperti saat ini, karena menikah hanya karena perkara hutang bukan hal yang membahagiakan bagi Ginda."Selamat ya, akhirnya kalian menikah juga. Terimakasih ya Marvin sudah mau menuruti ucapan Ibu," ucap Sukma tersenyum bahagia.Sukma adalah ibunda Marvin yang memaksanya menikah dengan Ginda, karena sebuah perkara yang telah ia ketahui.Namun sepertinya kebahagian itu tak terjadi pada Ginda dan Marvin, raut wajah keduanya muram dan tanpa senyuman. Karena mereka berpikir segalanya yang dipaksa tidak akan membuat bahagia.Kini langkah Ginda perlahan menjauh, menyendiri dengan hati sepi, air mata yang tak terhenti itu terus membasahi pipi."Semua ini karena pembunuh itu, kalau bukan karena dia pernikahan ini tidak akan pernah terjadi," batin Ginda terpukul.Setelah kecelakaan itu terjadi, Ginda harus menerima kenyataan pahit. Selain divonis buta, ia juga harus kehilangan sang ayah.Dan hari ini ia juga harus mempertaruhkan hidupnya dengan pernikahan terpaksa, Ginda harus menikah dengan laki laki yang tak ia cinta karena sebuah hutang. Hutang yang terjadi karena kebutaan itu lah penyebabnya.Sementara jiwa yang bersedih terbagi dengan angan angannya, ingatannya tertuju pada cita cita yang harus ia korbankan."Dan sekarang apa aku benar benar harus menenggelamkan cita citaku?" Tambah batin Ginda menangis.Bercita cita menjadi desainer ternama, rasanya semakin sulit Ginda gapai, selain keterbatasan nya kini pun pernikahannya. Rasanya ia sudah pasrah atas hidupnya kali ini.Gadis yang terbalut kebaya syar'i dan hijab berwarna putih itu terlihat sangat cantik, namun senyumnya terhapuskan karena butiran air mata yang lagi lagi terjatuh.Di tengah tengah ratapannya, tiba tiba terasa sebuah tangan meraih bahunya, hingga membuat Ginda dengan cepat mengusap air mata."Sudahlah, nak. Jangan menangis lagi. Bukankah ini keuntungan buat kamu? Kamu menjadi istri orang kaya, dia pasti akan membantumu keluar dari masalah ini, Nda," ucap seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah Rumi, orang tua Ginda."Tapi, Bu. Bagaimana dengan cita citaku setelah ini? Aku pikir aku masih bisa berjuang, tapi ternyata..""Ginda, bukan kah harapanmu itu terbengkalai karena kebutaanmu ini? Pernikahan ini bukan akhir dari segalanya, nak. Justru dengan kamu menikah dengan Marvin, kamu akan dengan mudah melakukan operasi mata, kamu akan bisa melihat kembali, dan kamu bisa melanjutkan perjuanganmu," ucap Rumi yang membuat Ginda seketika terdiam.Masuk akal, Ginda yang sedikit mengangguk atas pernyataan sang Ibu, karena mungkin Marvin tak akan membiarkan istrinya buta begini, apa lagi biaya operasi mata yang harus Ginda lakukan tak akan menguras kantong Marvin.Percakapan itu terjadi di jarak yang sedikit jauh, hingga tak ada satu orang pun yang mendengarnya."Tapi, Bu. apa ya alasan Bu Sukma meminta anaknya untuk menikahi aku? Bukankah aku ini hanya gadis buta, yang ngga sebanding sama mereka?""Bersyukur, nak. Itu artinya mereka adalah orang yang baik. Sudahlah, jangan kamu hiraukan masalah itu lagi, karena sepertinya ini memang jalan terbaik untuk masa depanmu."Tak dapat berkata apa apa lagi, Ginda kini terdiam pasrah, menerima dengan lapang dada takdir apa yang hendak terjadi padanya.Jika memang menikah dengan Marvin adalah takdirnya, maka ia akan menjalaninya dengan ikhlas dan sabar.Marvin Marcello adalah pemimpin perusahaan keluarganya, PT Vincell Konstruksi, perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor konstruksi terbesar di kota Jakarta.Sepertinya tidak akan ada ruginya, jika takdir membawa Ginda kedalam keluarga Marvin, karena keluarga tersebut adalah keluarga kaya yang sangat terpandang.Namun dengan pernikahannya ini, Ginda tak akan terbuai ia tetap kekeh akan pembalasan dendamnya, pada seseorang yang telah membuat kondisinya seperti sekarang ini."Semua ini karena laki laki itu. Bu, laki laki pembunuh yang membuat aku jadi seperti ini, dia juga yang menyebabkan ayah meninggal, Bu. Aku berjanji, akan mencarinya sampai mana pun, karena dia harus bertanggung jawab dengan semua ini."Mendengar ucapan itu hati Rumi terenyuh, hingga perlahan ia merengkuh tubuh sang anak, membawa dalam dekapannya untuk menenangkan."Sudah ya, yang terpenting sekarang kamu tenang dulu, acara pernikahan kalian kan belum selesai, jangan sampai kamu merusaknya," tambah Rumi setelah melepas dekapannya yang membuat Ginda pun terdiam.Sementara Sukma, yang memandang Ginda dengan seksama, pandangannya seperti memiliki arti, dan senyumannya seperti tampak iba.Entah apa alasan Sukma sebenarnya? hingga memaksa sang anak untuk menikahi gadis buta seperti Ginda, bukankah Marvin dapat dengan mudah mendapatkan wanita yang lebih cantik dan lebih baik darinya?"Maafkan saya, Ginda. Mungkin hanya dengan cara ini saya bisa menolong kamu, dan bertanggung jawab atas semuanya," batin Sukma dengan pandangan tak berkedip.BERSAMBUNG...Hari demi hari berlalu, beberapa hari sudah Ginda melewati hari menjadi seorang istri bos besar yang sangat terpandang.Bahagia seharusnya, namun tidak untuk Ginda, ia yang justru sering menangis dan meratapi nasibnya, karena sejak pernikahan itu ia belum pernah mendapat perhatian dari Marvin suaminya.Seharusnya masa ini adalah masa bahagia untuk sepasang pengantin baru seperti mereka, pergi berbulan madu dan bersenang senang berdua. Namun nyatanya tidak untuk Ginda.Siang ini, Ginda yang menangis terisak isak di halaman belakang rumahnya.Hiks hiks!"Apa begini rasanya menikah karena paksaan? Jangankan berbicara berdua, romantis romantisan, tapi ini bertemu pun jarang, bahkan sikap mas Marvin begitu kasar, tak menganggap aku sebagai istrinya," gumam Ginda dengan suara bergetar.Ucapan itu tak sengaja didengar oleh Sukma, yang juga terpukul karena merasakan penderitaan sang menantu, perlahan langkahnya mendekat ingin mencoba menenangkan Ginda dengan caranya."Ginda," panggil Sukma ya
Pagi ini, sinar matahari menyeruak memasuki celah jendela kamar, membuat Marvin mengerjap ngerjapkan matanya.Jam menunjukan pukul 08.30, membuat Marvin terbelalak dan seketika beranjak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap hendak pergi ke kantornya.Beberapa menit kemudian, setelah kini penampilannya rapi kembali, Marvin pun berjalan keluar. Tanpa menyapa semuanya, Marvin melintas dengan langkah cepat."Marvin, ngga sarapan dulu, nak?" Tanya Sukma memperhatikan laki laki yang sudah berpenampilan kantoran itu terus melangkah."Ngga sempet, Bu. Aku kesiangan," jawab Marvin yang terus melangkah.Tanpa berpamitan, Marvin pun melajukan mobilnya menuju PT Vincell konstruksi. Sementara Ginda yang kini tertunduk, kehilangan selera makannya, perkara sikap sang suami yang acuh tak acuh pagi ini.Makanan dalam piringnya hanya dibolak balik dengan tak semangat, pandangannya lurus ke depan tanpa penglihatan, memikirkan betapa tak berharganya ia dimata Marvin.Untuk men
"Ginda, apakah kamu..." Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu. Membuat Sukma terbelalak dengan ekspresi wajah tegang."Ibu..."Memperhatikan wajah Ginda, ekspresi Sukma semakin tegang, apakah Ginda mendengar ucapannya barusan? jika iya, ia tak tahu apa yang akan dilakukan Ginda padanya setelah ini? "Ginda.."Sejenak terdiam, Ginda terlebih dulu menghapus air matanya sebelum akhirnya berkata."Bu, aku.. aku cuma mau minta tolong sama Ibu, tolong bantu ingatkan Mas Marvin untuk menjaga kesehatannya ya, karena aku tau dia tidak akan pernah mau jika aku yang memperhatikannya," ucap Ginda yang membuat Sukma mengerutkan dahi."Aku perhatikan, Mas Marvin selalu berangkat pagi dan pulang malam, begitu setiap hari. Aku khawatir kesehatannya menurun, Bu, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai istri sebenarnya aku ingin sekali memperhatikan suamiku, tapi
Keesokan harinya.Huufft..Terdengar dengusan kasar dari nafas Marvin Marcello, yang sedang terduduk seorang diri di ruangannya"Aku benar benar kehilangan semangatku, ini semua karena wanita buta itu," gerutu Marvin.Pandangannya benar benar tampak sangat kacau, harus dihadapkan dengan sesuatu yang dianggapnya sangat sulit.Menikah dengan Ginda, rasanya tak membuat Marvin bahagia sama sekali, malah ia harus menahan rasa malu kala para kolega koleganya menanyakan siapa istrinya?Karena tak ingin mengenalkan Ginda, Marvin yang harus selalu mengalihkan pembicaraan pada saat pertanyaan itu terlontar."Ibu juga, kenapa sih? Ibu selalu membelanya? ada apa dengan Ibu? kenapa sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan?"Tambahnya dengan wajahnya tak semangat seperti biasanya, tubuh ideal itu kini bersandar lemah, matanya terpejam seakan sedang memikirkan masalah yang begitu berat.Di tengah tengah, kegundahannya
Halaman belakang adalah tempat favorit Ginda untuk menangis, air mata yang mengalir begitu deras tak berhenti membasahi wajahnya."Jadi ini alasan Mas Marvin selalu kasar padaku? karena mataku yang buta," gumam Ginda dengan suara bergetar.Tak menyangka, lagi lagi kebutaannya yang membuat ia merasa tersakiti. Bukan hanya pada orang lain namun ternyata suaminya sendiri pun tak menganggapnya karena buta.Istri mana yang tak bersedih jika sang suami membencinya hanya karena sebuah keterbatasan, jika sudah seperti ini bukan pernikahannya yang ditangisi, namun pertemuan yang ia sesali."Lagi lagi karena mata ini. Semua ini terjadi karena laki laki pembunuh itu, siapa pun dia, dimana pun dia berada, aku akan mencarinya sampai ketemu. Dia yang telah menyebabkan semua ini terjadi, dia yang menyebabkan aku dipandang sebelah mata, dan dia juga yang membuat cita citaku seketika terhenti," tambah Ginda dengan begitu kesal.Rasanya sejak kejadian itu
Pagi ini, Marvin yang sedang sibuk mempersiapkan dirinya hendak pergi ke kantor, ia sedang sibuk memilih kemeja, jas dan dasi mana yang hendak ia kenakan."Bagus yang mana ya? yang ini, yang ini, atau yang ini?" gumam Marvin seorang diri seraya memperhatikan beberapa pilihan ditangannya.Sementara Ginda yang mendengar itu pun, perlahan mendekat, berniat membantu kebingungan sang suami."Mas, boleh aku bantu?"Mendengar suara itu, seketika Marvin pun menoleh. Alis sebelah kirinya terangkat satu dan pandangan aneh memperhatikan wajah wanita yang baru saja datang itu."Kamu mau membantu, saya? bantu apa? memilih salah satu diantara jas, kemeja dan dasi ini? memangnya kamu bisa? melihat saja kamu tidak bisa bagaimana mau memilih?" ucap Marvin yang membuat Ginda seketika terdiam.Ekspresi wajahnya seketika berubah setelah mendengar ucapan dari sang suami. Lagi, rasa sakit hati itu kembali ia rasakan, betapa rendahnya ia dimata sang su
Beberapa Hari kemudian."Ginda, ikut Ibu yuk," ajak Sukma yang kini menghampiri Ginda yang sedang bergelut dengan alat menggambarnya."Mau kemana, Bu?""Ke rumah sakit, Nda," jawab Sukma yang membuat Ginda terbelalak."Ke rumah sakit? Ibu sakit? sakit apa, Bu?""Bukan, Nda. Udah, ayo kita berangkat sekarang," ucap Sukma yang kini meriah tangan Ginda dan membawanya melangkah memasuki mobil dan melaju menuju rumah sakit.Entah apa yang hendak mereka lakukan di rumah sakit? Mengapa Sukma mengajak Ginda tiba tiba? apakah ini bagian dari sebuah rencananya itu?Beberapa menit kemudian, sesampainya dihalaman rumah sakit, Sukma yang membawa Ginda memasuki ruangan dokter."Selamat pagi, Dok.""Pagi, Bu Sukma. Silahkan duduk.""Oh jadi ini ya, Bu, menantu Ibu yang dimaksud itu?""Iya, dok. Dia Ginda, perempuan yang selama ini saya ceritakan," jawab Sukma.Mendengar perbincangan itu, Gin
Kini Ginda dan Sukma pun kembali pulang, tak lagi jalan dalam kegelapan, tak lagi meraba dan tak lagi hanya berkira kira, kini akhirnya Ginda dapat melihat kembali, hingga membuatnya melangkah dengan hati gembira.Sesampainya dihalaman rumah Marvin Marcello, Ginda memperhatikan rumah mewah itu dengan seksama, rumah yang selama ini menjadi tempatnya berlindung ternyata semegah ini."Ngga nyangka, ternyata rumah yang aku tinggali selama sebesar ini," batin Ginda yang masih terdiam tak berkedip."Ada apa, Nda? ayo masuk!" ajak Sukma yang kini membawa Ginda melangkah memasuki rumah.Pandangan Ginda tak berkedip memperhatikan tiap sudut rumah mewah bak istana ini, barang barang yang tampak mahal tersusun rapi didalamnya.Sementara Marvin yang kini melangkah menuruni anak tangga, membuat pandangan Ginda seketika tertuju padanya.Wajah dengan pahatan sempurna, tubuh tegap dengan tinggi ideal, Marvin tampak begitu tampan dipandangan Gind