"Ginda, apakah kamu..."
Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu. Membuat Sukma terbelalak dengan ekspresi wajah tegang."Ibu..."Memperhatikan wajah Ginda, ekspresi Sukma semakin tegang, apakah Ginda mendengar ucapannya barusan? jika iya, ia tak tahu apa yang akan dilakukan Ginda padanya setelah ini? "Ginda.."Sejenak terdiam, Ginda terlebih dulu menghapus air matanya sebelum akhirnya berkata."Bu, aku.. aku cuma mau minta tolong sama Ibu, tolong bantu ingatkan Mas Marvin untuk menjaga kesehatannya ya, karena aku tau dia tidak akan pernah mau jika aku yang memperhatikannya," ucap Ginda yang membuat Sukma mengerutkan dahi."Aku perhatikan, Mas Marvin selalu berangkat pagi dan pulang malam, begitu setiap hari. Aku khawatir kesehatannya menurun, Bu, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai istri sebenarnya aku ingin sekali memperhatikan suamiku, tapi aku tidak bisa berbuat apa apa, Bu," tambah Ginda yang membuat Sukma hanya mengangguk pelan.Dengan cepat kini Ginda pun meraih ponselnya yang terletak tak jauh, dan kemudian kembali memutarkan tubuhnya pergi. Kepergian Ginda membuat Sukma menghela nafas lega, ia pikir Ginda mendengar ucapannya, namun ternyata tidak.Sementara Ginda yang kini meraih peralatan sholatnya setelah selesai berwudhu, ia menunaikan ibadah tiga rakaatnya dengan khusyuk, tugas wajib yang harus dilaksanakan semua umat muslim, termasuk Ginda.Sementara Marvin, yang hendak memasuki ruang kamarnya, langkah kebutnya seketika terhenti kala ia dapati Ginda yang sedang sholat.Pertama kalinya Marvin tertegun dengan aktivitas yang dilakukan Ginda, pemandangan langka yang membuatnya tak dapat berkata kata.Sengaja Marvin terdiam memperhatikan gerak istrinya tersebut, karena tanpa harus bersembunyi pun, Marvin rasa Ginda tidak akan tahu jika saat ini ia sedang berada didekatnya.Setelah Ginda selesai menunaikan sholatnya, kini ia terduduk dengan kedua tangan bersimpuh, memohon dan berdoa adalah aktivitas yang selalu Ginda lakukan setelah selesai beribadah.Memohon pada Tuhan, untuk diberi perlindungan dan kesehatan untuknya, untuk keluarganya dan untuk suaminya. Memohon diberikan hati yang lapang dan memohon diperlancarkan rezekinya.Mendengar isi doa tersebut, membuat Marvin terenyuh. Ini adalah pertama kalinya ia mendengar seorang wanita mendoakannya dengan tulus. Namun mengapa Ginda masih sudi mendoakan Marvin? padahal Marvin selalu menyakiti hatinya."Ya Allah hanya padamu hamba memohon dan hanya padamu hamba meminta, kabulkan lah doa hamba amin amin ya rabbal amin."Ginda mengusap kedua tangan pada wajahnya dengan lembut, sebagai rasa syukur karena dapat menyelesaikan kewajibannya ini.Sementara Marvin yang masih tertegun dengan pandangannya, hingga tak sadar jika aktivitas Ginda saat ini telah usai.Meski mata Ginda tak dapat melihat namun ia memiliki mata hati, hingga membuatnya sadar jika sedang diperhatikan."Mas Marvin," panggil Ginda yang membuat Marvin terkejut.Ia gelagapan dan tak ingin menjawab, Marvin hanya terdiam bingung ditempat."Mas Marvin, udah dari tadi ya disini?" tambah Ginda yang membuat Marvin semakin tak tahu harus bagaimana.Tak ingin berlama lama di tempat, dengan cepat Marvin pun memutar tubuhnya dan melangkah pergi, tanpa meninggalkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan Ginda.Merasa Marvin telah meninggalkannya, Ginda pun menggelengkan kepala, dan hanya menghela nafas berat.Sementara Marvin yang kini terduduk terdiam setelah menenggak segelas air putih dimeja makan, dari pandangan matanya tampak sedang berpikir sesuatu.Apakah ia sedang memikirkan Ginda? Atau masalah pekerjaannya? Entahlah hanya Marvin yang tahu."Seharusnya kamu bersyukur, Vin. Punya istri seperti Ginda. Udah cantik, baik, sholehah lagi, bukan malah terus terusan menyakiti hatinya."Tiba tiba terdengar ucapan itu yang membuat Marvin seketika menoleh, ia dapati Sukma disana."Buat apa cantik kalau buta," sambar Marvin tanpa memandang.Mendengar jawaban sang anak, Sukma pun mendekat dan memperhatikannya dengan tajam."Biar pun dia buta, tapi hatinya tidak, Marvin. Dia sedih kamu perlakukan seperti ini, dia ingin sekali kamu memperlakukannya seperti para suami memperlakukan istri istri pada umumnya, kamu hargai perasaannya dong, Vin. Dia itu istri yang baik, dia tulus menyayangi kamu, tapi kamu malah tidak pernah menganggapnya."Perdebatan itu terjadi di ruang makan rumah Marvin Marcello, dan ucapan Sukma yang lagi lagi membuat Marvin sakit kepala.Tak ingin berdebat lagi, Marvin kini terdiam, memalingkan wajahnya dan menghela nafas berat."Terserah lah, Bu."BERSAMBUNG…Keesokan harinya.Huufft..Terdengar dengusan kasar dari nafas Marvin Marcello, yang sedang terduduk seorang diri di ruangannya"Aku benar benar kehilangan semangatku, ini semua karena wanita buta itu," gerutu Marvin.Pandangannya benar benar tampak sangat kacau, harus dihadapkan dengan sesuatu yang dianggapnya sangat sulit.Menikah dengan Ginda, rasanya tak membuat Marvin bahagia sama sekali, malah ia harus menahan rasa malu kala para kolega koleganya menanyakan siapa istrinya?Karena tak ingin mengenalkan Ginda, Marvin yang harus selalu mengalihkan pembicaraan pada saat pertanyaan itu terlontar."Ibu juga, kenapa sih? Ibu selalu membelanya? ada apa dengan Ibu? kenapa sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan?"Tambahnya dengan wajahnya tak semangat seperti biasanya, tubuh ideal itu kini bersandar lemah, matanya terpejam seakan sedang memikirkan masalah yang begitu berat.Di tengah tengah, kegundahannya
Halaman belakang adalah tempat favorit Ginda untuk menangis, air mata yang mengalir begitu deras tak berhenti membasahi wajahnya."Jadi ini alasan Mas Marvin selalu kasar padaku? karena mataku yang buta," gumam Ginda dengan suara bergetar.Tak menyangka, lagi lagi kebutaannya yang membuat ia merasa tersakiti. Bukan hanya pada orang lain namun ternyata suaminya sendiri pun tak menganggapnya karena buta.Istri mana yang tak bersedih jika sang suami membencinya hanya karena sebuah keterbatasan, jika sudah seperti ini bukan pernikahannya yang ditangisi, namun pertemuan yang ia sesali."Lagi lagi karena mata ini. Semua ini terjadi karena laki laki pembunuh itu, siapa pun dia, dimana pun dia berada, aku akan mencarinya sampai ketemu. Dia yang telah menyebabkan semua ini terjadi, dia yang menyebabkan aku dipandang sebelah mata, dan dia juga yang membuat cita citaku seketika terhenti," tambah Ginda dengan begitu kesal.Rasanya sejak kejadian itu
Pagi ini, Marvin yang sedang sibuk mempersiapkan dirinya hendak pergi ke kantor, ia sedang sibuk memilih kemeja, jas dan dasi mana yang hendak ia kenakan."Bagus yang mana ya? yang ini, yang ini, atau yang ini?" gumam Marvin seorang diri seraya memperhatikan beberapa pilihan ditangannya.Sementara Ginda yang mendengar itu pun, perlahan mendekat, berniat membantu kebingungan sang suami."Mas, boleh aku bantu?"Mendengar suara itu, seketika Marvin pun menoleh. Alis sebelah kirinya terangkat satu dan pandangan aneh memperhatikan wajah wanita yang baru saja datang itu."Kamu mau membantu, saya? bantu apa? memilih salah satu diantara jas, kemeja dan dasi ini? memangnya kamu bisa? melihat saja kamu tidak bisa bagaimana mau memilih?" ucap Marvin yang membuat Ginda seketika terdiam.Ekspresi wajahnya seketika berubah setelah mendengar ucapan dari sang suami. Lagi, rasa sakit hati itu kembali ia rasakan, betapa rendahnya ia dimata sang su
Beberapa Hari kemudian."Ginda, ikut Ibu yuk," ajak Sukma yang kini menghampiri Ginda yang sedang bergelut dengan alat menggambarnya."Mau kemana, Bu?""Ke rumah sakit, Nda," jawab Sukma yang membuat Ginda terbelalak."Ke rumah sakit? Ibu sakit? sakit apa, Bu?""Bukan, Nda. Udah, ayo kita berangkat sekarang," ucap Sukma yang kini meriah tangan Ginda dan membawanya melangkah memasuki mobil dan melaju menuju rumah sakit.Entah apa yang hendak mereka lakukan di rumah sakit? Mengapa Sukma mengajak Ginda tiba tiba? apakah ini bagian dari sebuah rencananya itu?Beberapa menit kemudian, sesampainya dihalaman rumah sakit, Sukma yang membawa Ginda memasuki ruangan dokter."Selamat pagi, Dok.""Pagi, Bu Sukma. Silahkan duduk.""Oh jadi ini ya, Bu, menantu Ibu yang dimaksud itu?""Iya, dok. Dia Ginda, perempuan yang selama ini saya ceritakan," jawab Sukma.Mendengar perbincangan itu, Gin
Kini Ginda dan Sukma pun kembali pulang, tak lagi jalan dalam kegelapan, tak lagi meraba dan tak lagi hanya berkira kira, kini akhirnya Ginda dapat melihat kembali, hingga membuatnya melangkah dengan hati gembira.Sesampainya dihalaman rumah Marvin Marcello, Ginda memperhatikan rumah mewah itu dengan seksama, rumah yang selama ini menjadi tempatnya berlindung ternyata semegah ini."Ngga nyangka, ternyata rumah yang aku tinggali selama sebesar ini," batin Ginda yang masih terdiam tak berkedip."Ada apa, Nda? ayo masuk!" ajak Sukma yang kini membawa Ginda melangkah memasuki rumah.Pandangan Ginda tak berkedip memperhatikan tiap sudut rumah mewah bak istana ini, barang barang yang tampak mahal tersusun rapi didalamnya.Sementara Marvin yang kini melangkah menuruni anak tangga, membuat pandangan Ginda seketika tertuju padanya.Wajah dengan pahatan sempurna, tubuh tegap dengan tinggi ideal, Marvin tampak begitu tampan dipandangan Gind
Ginda yang kini melangkah menyusuri koridor kampus, langkah jenjangnya membuat semua pandangan yang ada kini tertuju padanya, hadirnya Ginda membuat tempat seketika sunyi karena semua yang ada tampak tertegun memperhatikan Ginda yang melangkah dengan begitu anggun.Salah satunya adalah seorang wanita berambut bob, bernama Dela yang tidak lain adalah sahabat baik Ginda di kampus.Matanya terbelalak, pandangannya tak berkedip memperhatikan kehadiran Ginda yang membuatnya tak menyangka."Ginda," sapa Dela yang membuat langkah Ginda seketika terhenti."Dela."Tak menunggu lama, kini keduanya pun saling berpelukan, setelah hari dimana Ginda keluar dari kampus semenjak itu juga Ginda dan Dela tak pernah bertemu."Kamu apa kabar, Del?""Aku baik baik aja, Nda. Kamu... jadi sekarang kamu udah bisa melihat lagi, Nda? yaampun dan kamu tambah cantik," ucap Dela dengan pandangan yang terus memperhatikan dari ujung rambut hingga kaki
"Apa, jadi dia suamimu? oh my god."Tak menunggu lama, laki laki bersetelan jas berwarna hitam itu kini berjalan mendekati Ginda disana."Sudah selesai kuliahnya?" tanya Marvin yang membuat Ginda hanya mengangguk."Yasudah, ayo pulang!" ajak Marvin yang membuat Ginda mengangkat kedua alisnya.Lagi lagi karena tak menyangka, apa ia sedang bermimpi? Seorang Marvin Marcello menjemputnya pulang? meski laki laki itu adalah suaminya, namun jarak diantaranya masih cukup jauh, nyatanya hal sekecil ini pun membuat Ginda terkejut."Ginda, tunggu apa lagi? ayo pulang!" tambah Marvin yang membuat renungan Ginda seketika terbuyar, dan dengan cepat menganggukkan kepala."Emm. Dela, aku duluan ya, kamu hati hati dijalan.""Oh iya, Nda. Kalian juga hati hati dijalan."Tak menunggu lama, kini Ginda dan Marvin pun melangkah memasuki mobilnya, membuat pandangan Dela tak kunjung berkedip, seolah ia terhipnotis dengan hubungan Ginda dan Marvin Marcello.Sepanjang perjalanan, Ginda dan Marvin hanya terdiam,
Rapat kali ini berjalan cukup lama hingga membuat Ginda yang menunggunya merasa bosan, kali ini ia beranjak dari duduknya dan melangkah keluar ruangan, melihat wanita itu meninggalkan ruangannya pandangan Marvin seketika tertuju padanya, tak lagi menghiraukan dua koleganya berbicara, pandangannya seolah bertanya hendak kemana Ginda?"Bagaimana Tuan Marvin, apakah penjelasan saya sudah cukup?" tanya Tuan Dolf yang membuat pandangan Marvin kini terbuyar."Oh, ya sudah cukup Tuan Dolf.""Baiklah, semoga kerja sama ini dapat berjalan dengan baik ya. Kalau begitu kami permisi Tuan Marvin, selamat sore.""Selamat sore, Tuan Dolf."Keduanya kini pun meninggalkan ruangan, sementara Marvin yang sudah tak sabar hendak mencari Ginda, kemana kah perginya? Marvin tak tahu yang jelas ia harus mencarinya sekarang.Sementara Ginda yang kini terhenti di loteng kantor, pandangannya tak berkedip memperhatikan indahnya kota Jakarta dari atas gedung