Halaman belakang adalah tempat favorit Ginda untuk menangis, air mata yang mengalir begitu deras tak berhenti membasahi wajahnya.
"Jadi ini alasan Mas Marvin selalu kasar padaku? karena mataku yang buta," gumam Ginda dengan suara bergetar.Tak menyangka, lagi lagi kebutaannya yang membuat ia merasa tersakiti. Bukan hanya pada orang lain namun ternyata suaminya sendiri pun tak menganggapnya karena buta.Istri mana yang tak bersedih jika sang suami membencinya hanya karena sebuah keterbatasan, jika sudah seperti ini bukan pernikahannya yang ditangisi, namun pertemuan yang ia sesali."Lagi lagi karena mata ini. Semua ini terjadi karena laki laki pembunuh itu, siapa pun dia, dimana pun dia berada, aku akan mencarinya sampai ketemu. Dia yang telah menyebabkan semua ini terjadi, dia yang menyebabkan aku dipandang sebelah mata, dan dia juga yang membuat cita citaku seketika terhenti," tambah Ginda dengan begitu kesal.Rasanya sejak kejadian ituPagi ini, Marvin yang sedang sibuk mempersiapkan dirinya hendak pergi ke kantor, ia sedang sibuk memilih kemeja, jas dan dasi mana yang hendak ia kenakan."Bagus yang mana ya? yang ini, yang ini, atau yang ini?" gumam Marvin seorang diri seraya memperhatikan beberapa pilihan ditangannya.Sementara Ginda yang mendengar itu pun, perlahan mendekat, berniat membantu kebingungan sang suami."Mas, boleh aku bantu?"Mendengar suara itu, seketika Marvin pun menoleh. Alis sebelah kirinya terangkat satu dan pandangan aneh memperhatikan wajah wanita yang baru saja datang itu."Kamu mau membantu, saya? bantu apa? memilih salah satu diantara jas, kemeja dan dasi ini? memangnya kamu bisa? melihat saja kamu tidak bisa bagaimana mau memilih?" ucap Marvin yang membuat Ginda seketika terdiam.Ekspresi wajahnya seketika berubah setelah mendengar ucapan dari sang suami. Lagi, rasa sakit hati itu kembali ia rasakan, betapa rendahnya ia dimata sang su
Beberapa Hari kemudian."Ginda, ikut Ibu yuk," ajak Sukma yang kini menghampiri Ginda yang sedang bergelut dengan alat menggambarnya."Mau kemana, Bu?""Ke rumah sakit, Nda," jawab Sukma yang membuat Ginda terbelalak."Ke rumah sakit? Ibu sakit? sakit apa, Bu?""Bukan, Nda. Udah, ayo kita berangkat sekarang," ucap Sukma yang kini meriah tangan Ginda dan membawanya melangkah memasuki mobil dan melaju menuju rumah sakit.Entah apa yang hendak mereka lakukan di rumah sakit? Mengapa Sukma mengajak Ginda tiba tiba? apakah ini bagian dari sebuah rencananya itu?Beberapa menit kemudian, sesampainya dihalaman rumah sakit, Sukma yang membawa Ginda memasuki ruangan dokter."Selamat pagi, Dok.""Pagi, Bu Sukma. Silahkan duduk.""Oh jadi ini ya, Bu, menantu Ibu yang dimaksud itu?""Iya, dok. Dia Ginda, perempuan yang selama ini saya ceritakan," jawab Sukma.Mendengar perbincangan itu, Gin
Kini Ginda dan Sukma pun kembali pulang, tak lagi jalan dalam kegelapan, tak lagi meraba dan tak lagi hanya berkira kira, kini akhirnya Ginda dapat melihat kembali, hingga membuatnya melangkah dengan hati gembira.Sesampainya dihalaman rumah Marvin Marcello, Ginda memperhatikan rumah mewah itu dengan seksama, rumah yang selama ini menjadi tempatnya berlindung ternyata semegah ini."Ngga nyangka, ternyata rumah yang aku tinggali selama sebesar ini," batin Ginda yang masih terdiam tak berkedip."Ada apa, Nda? ayo masuk!" ajak Sukma yang kini membawa Ginda melangkah memasuki rumah.Pandangan Ginda tak berkedip memperhatikan tiap sudut rumah mewah bak istana ini, barang barang yang tampak mahal tersusun rapi didalamnya.Sementara Marvin yang kini melangkah menuruni anak tangga, membuat pandangan Ginda seketika tertuju padanya.Wajah dengan pahatan sempurna, tubuh tegap dengan tinggi ideal, Marvin tampak begitu tampan dipandangan Gind
Ginda yang kini melangkah menyusuri koridor kampus, langkah jenjangnya membuat semua pandangan yang ada kini tertuju padanya, hadirnya Ginda membuat tempat seketika sunyi karena semua yang ada tampak tertegun memperhatikan Ginda yang melangkah dengan begitu anggun.Salah satunya adalah seorang wanita berambut bob, bernama Dela yang tidak lain adalah sahabat baik Ginda di kampus.Matanya terbelalak, pandangannya tak berkedip memperhatikan kehadiran Ginda yang membuatnya tak menyangka."Ginda," sapa Dela yang membuat langkah Ginda seketika terhenti."Dela."Tak menunggu lama, kini keduanya pun saling berpelukan, setelah hari dimana Ginda keluar dari kampus semenjak itu juga Ginda dan Dela tak pernah bertemu."Kamu apa kabar, Del?""Aku baik baik aja, Nda. Kamu... jadi sekarang kamu udah bisa melihat lagi, Nda? yaampun dan kamu tambah cantik," ucap Dela dengan pandangan yang terus memperhatikan dari ujung rambut hingga kaki
"Apa, jadi dia suamimu? oh my god."Tak menunggu lama, laki laki bersetelan jas berwarna hitam itu kini berjalan mendekati Ginda disana."Sudah selesai kuliahnya?" tanya Marvin yang membuat Ginda hanya mengangguk."Yasudah, ayo pulang!" ajak Marvin yang membuat Ginda mengangkat kedua alisnya.Lagi lagi karena tak menyangka, apa ia sedang bermimpi? Seorang Marvin Marcello menjemputnya pulang? meski laki laki itu adalah suaminya, namun jarak diantaranya masih cukup jauh, nyatanya hal sekecil ini pun membuat Ginda terkejut."Ginda, tunggu apa lagi? ayo pulang!" tambah Marvin yang membuat renungan Ginda seketika terbuyar, dan dengan cepat menganggukkan kepala."Emm. Dela, aku duluan ya, kamu hati hati dijalan.""Oh iya, Nda. Kalian juga hati hati dijalan."Tak menunggu lama, kini Ginda dan Marvin pun melangkah memasuki mobilnya, membuat pandangan Dela tak kunjung berkedip, seolah ia terhipnotis dengan hubungan Ginda dan Marvin Marcello.Sepanjang perjalanan, Ginda dan Marvin hanya terdiam,
Rapat kali ini berjalan cukup lama hingga membuat Ginda yang menunggunya merasa bosan, kali ini ia beranjak dari duduknya dan melangkah keluar ruangan, melihat wanita itu meninggalkan ruangannya pandangan Marvin seketika tertuju padanya, tak lagi menghiraukan dua koleganya berbicara, pandangannya seolah bertanya hendak kemana Ginda?"Bagaimana Tuan Marvin, apakah penjelasan saya sudah cukup?" tanya Tuan Dolf yang membuat pandangan Marvin kini terbuyar."Oh, ya sudah cukup Tuan Dolf.""Baiklah, semoga kerja sama ini dapat berjalan dengan baik ya. Kalau begitu kami permisi Tuan Marvin, selamat sore.""Selamat sore, Tuan Dolf."Keduanya kini pun meninggalkan ruangan, sementara Marvin yang sudah tak sabar hendak mencari Ginda, kemana kah perginya? Marvin tak tahu yang jelas ia harus mencarinya sekarang.Sementara Ginda yang kini terhenti di loteng kantor, pandangannya tak berkedip memperhatikan indahnya kota Jakarta dari atas gedung
Melihat Marvin membopong Ginda, beberapa karyawan yang melihatnya pun saling pandang. Tak menyangka jika ternyata bosnya bisa romantis juga, mereka pikir selama ini Marvin adalah orang yang tak bisa bersikap hangat, namun ternyata tidak."Yaampun, ternyata Tuan Marvin bisa romantis juga?""Iya, ngga nyangka ya. aku pikir dia cuma bisa marah marah doang, tapi ternyata tidak,""Kalau begini, jadi keliatan makin ganteng."Begitulah beberapa celetukan dari para karyawan, yang tak dihiraukan oleh Marvin, ia yang terus membopong Ginda hingga memasuki mobilnya.Setelah kini Ginda dan Marvin sampai dimobilnya, dengan cepat Marvin pun melajukan mobilnya dan melaju ke rumah.Sementara Ginda yang ingatannya masih terus terbayang pada saat Marvin menggendongnya tadi, betapa bahagia hati Ginda saat ini, hingga ia tak dapat menyembunyikan senyumannya."Kamu kenapa sih? senyum senyum terus? kesambet?" tanya Marvin yang membuat senyuman
Saat ini Marvin yang sedang sibuk mencari sesuatu di ruangan kerjanya, sebuah kotak kecil berwarna merah berisi sebuah cincin, adalah benda yang saat ini ia cari."Dimana sih? kemarin aku letakkan di sini, kenapa sekarang tidak ada?" gumam Marvin dengan terus mencari.Sementara Ginda yang melihat itu pun kini menghampiri, memperhatikan gerak sibuk sang suami yang entah sedang mencari apa ia tak tahu."Mas, cari apa?" tanya Ginda yang membuat Marvin seketika mendongak.Tak menjawab apa apa, Marvin malah kembali sibuk hingga kekolong kolong mejanya, Ginda yang memperhatikan pun terdiam dengan pandangannya, menunggu jawaban dari sang suami agar ia dapat membantu."Mas, Mas cari apa? mungkin aku bisa bantu," tambah Ginda yang kembali bertanya karena tak kunjung ada jawaban dari pertanyaan sebelumnya."Kamu bisa diam tidak? gimana saya bisa fokus mencari kalau kamu berisik terus," jawab Marvin dengan nada sedikit tinggi."Ya
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man