Pagi ini, sinar matahari menyeruak memasuki celah jendela kamar, membuat Marvin mengerjap ngerjapkan matanya.
Jam menunjukan pukul 08.30, membuat Marvin terbelalak dan seketika beranjak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap hendak pergi ke kantornya.Beberapa menit kemudian, setelah kini penampilannya rapi kembali, Marvin pun berjalan keluar. Tanpa menyapa semuanya, Marvin melintas dengan langkah cepat."Marvin, ngga sarapan dulu, nak?" Tanya Sukma memperhatikan laki laki yang sudah berpenampilan kantoran itu terus melangkah."Ngga sempet, Bu. Aku kesiangan," jawab Marvin yang terus melangkah.Tanpa berpamitan, Marvin pun melajukan mobilnya menuju PT Vincell konstruksi.Sementara Ginda yang kini tertunduk, kehilangan selera makannya, perkara sikap sang suami yang acuh tak acuh pagi ini.Makanan dalam piringnya hanya dibolak balik dengan tak semangat, pandangannya lurus ke depan tanpa penglihatan, memikirkan betapa tak berharganya ia dimata Marvin.Untuk menghibur hatinya yang sedang gundah, Ginda pun meraih sebuah pensil dan kertas, ia menggambar pola sebuah gaun, mengingat masa dimana saat ia berkuliah.Rasa rindu yang kini menghampiri, namun kini Ginda tak dapat lagi merasakannya, karena pihak kampus telah mencabut beasiswa itu karena kesehatan Ginda menjadi satu alasannya.Sementara Sukma yang kini melangkah mendekati Ginda, pandangannya tak berkedip memperhatikan lukisan indah yang tidak lain adalah hasil coretan tangan Ginda.Meski tanpa penglihatan namun Ginda mampu melakukannya dengan hati, hingga menciptakan karya yang terlihat sangat cantik, tak salah jika Ginda selalu bercita cita untuk menjadi designer ternama, karena memang bakat yang sejak kini mulai terlihat."Wah, gambarmu bagus sekali, Nda," ucap Sukma yang membuat gerak tangan Ginda seketika terhenti."Ibu, Ibu disini?""Iya, Ibu lagi merhatiin kamu gambar, dan gambaran kamu itu bagus sekali, Nak," jawab Sukma yang membuat Ginda tersenyum."Terimakasih, Bu. Cuma dengan cara ini Bu aku bisa terus belajar," ucap Ginda yang kini tertunduk lemah.Membuat Sukma meraih bahunya dan kemudian terduduk didekatnya."Nda, bukankah dulu kamu berkuliah?""Iya, Bu. Itu dulu. Sekarang udah ngga."Semangatnya seketika menghilang, kala Ginda teringat masa itu, masa dimana yang membuatnya giat belajar. Perlahan Ginda pun menceritakan yang terjadi setelah kecelakaan itu menimpanya.Di dalam ruangan ber AC, Ginda yang sedang duduk berhadapan dengan seorang dosen wanita."Maaf Ginda, dengan berat hati saya sampaikan, untuk sementara ini pihak kampus harus menarik beasiswamu, hingga kamu pulih dan bisa melihat kembali."Deg!Nafas Ginda seakan terhenti dan jantung yang berdegup kencang setelah mendengar pernyataan yang baru saja diucapkan seorang dosen tersebut.Kini ia tak dapat lagi berpikir, ia tahu apa yang membuat beasiswanya dicabut oleh pihak universitas, apa lagi kalau buka karena kebutaannya? Dan setelah ini apakah mimpinya harus benar benar terlupakan?"Tapi, Bu. Saya masih bisa berusaha, saya masih sanggup meneruskan waktu belajar saya, meskipun mata saya tidak bisa melihat lagi, tapi saya punya mata hati, Bu. Saya yakin saya pasti bisa.""Ginda, beasiswa ini tidak akan hilang. Kamu tenang saja! nanti jika kamu sudah dapat melihat lagi, kamu bisa kembali ke kampus ini untuk meneruskan beasiswamu. Tapi untuk sekarang, tolong fokus dengan kesehatanmu dulu ya."Sia sia! semua yang sudah ia dapat rasanya percuma. Cita cita yang dibangun sejak dulu, seketika terabaikan, karena nasib malang yang membuat Ginda harus keluar dari universitas tercinta.Tiga tahun bergabung dalam jurusan Fashion Design atau tata busana, disalah satu universitas ternama di kota Jakarta, menjadi kebanggaan tersendiri untuk Ginda, banyak sekali pelajaran yang ia dapat disana.Untuk meraih cita cita serta pilihan hidupnya, untuk menjadi seorang designer ternama. Namun semua mimpi seketika musnah sudah, setelah Ginda kini kehilangan penglihatannya.Air mata itu mengalir deras, karena rasa hati yang terasa sesak penuh dengan kegundahan, sementara rasa penyesalan serta kekesalan kini menghampirinya. Bertubi tubi permasalahan yang datang rasanya membuat Ginda melemah."Dan sekarang, aku ngga bisa berbuat apa apa lagi Bu, cita cita yang selama ini ingin sekali aku gapai, seketika tersisihkan," ucap Ginda dengan mata memerah.Sementara Sukma yang matanya pun meremang mendengar semua cerita itu, perasaan bersalah seakan menghampirinya saat ini."Ternyata semenderita ini hidupmu, Nda?" batin Sukma dengan air mata yang menetes dengan sekali berkedip.Kembali Sukma meraih bahu Ginda, merengkuhnya dan mencoba menenangkannya."Sabar ya, nak. Ibu yakin akan ada kebahagian di balik penderitaan kamu ini.""Amin. Terimakasih, Bu."Sejenak terdiam, dan Ginda yang kembali meneruskan gerak tangannya, sampai kini Sukma kembali melontarkan sebuah pertanyaan."Ginda, kalau Ibu boleh tau, apa kamu tau siapa pelaku dibalik tabrak lari itu?" tanya Sukma dengan pandangan mata mengintimidasi.Berharap jawaban Ginda sesuai dengan harapannya, dan ternyata pertanyaan itu membuat Ginda menggelengkan kepala."Aku ngga tau, Bu."Ginda tak pernah tahu siapa laki laki yang berada di dalam mobil itu, namun Ginda hafal dengan plat nomor polisi mobil tersebut.Sebelum kepergian sang Ayah, ia menyampaikan susunan huruf dan angka yang tertempel pada bagian belakang mobil mewah tersebut, dan ia pun berkata jika pelaku tabrak lari tersebut adalah seorang laki laki."Ayah pernah bilang begitu, Bu. Mobil mercy berwarna hitam, yang dikendarai seorang laki laki muda, aku yakin dia orang kaya, tapi kenapa dia tak mau bertanggung jawab? Sekarang semuanya hancur karena dia, Bu. Ayah meninggal juga karena dia. Aku berjanji akan mencarinya sampai mana pun, karena dia harus tetap bertanggung jawab atas kesalahannya," tambah Ginda dengan air mata yang menetes.Mendengar ucapan Ginda ekspresi Sukma seketika berubah, cemas dan panik. Entahlah, apa yang sedang dirahasiakan Sukma sebenarnya, mengapa ia seperti mengetahui sesuatu?"Jadi Ginda tau nomor polisinya?" batin Sukma tak berkedip.Sementara Marvin yang terdiam mendengar semua perbincangan itu, dari jarak yang tidak terlalu dekat. Sejenak tertegun namun ia tidak mengerti dengan siapa dan apa yang dimaksud Ginda.Bahkan ia tak ingin tahu, dan tak berniat mencari tahu. Baginya permasalahan Ginda itu tidak penting, tak ingin lebih lama terdiam ditempat kini Marvin pun memutarkan tubuhnya dan berlalu."Nda, seandainya yang melakukan itu orang terdekat kamu, apa kamu masih tidak mau memaafkannya?" tanya Sukma yang membuat Ginda mengerutkan dahi."Maksud, Ibu?"Belum menjawab tiba tiba terdengar suara azan maghrib yang telah berkumandang."Bu, udah azan maghrib. Aku masuk dulu ya, mau sholat.""Oh i-iya sayang, silahkan!" ucap Sukma yang lalu membantu Ginda beranjak.Langkah berhati hati Ginda dengan meraba, membuat Sukma tak berkedip hingga kini tubuhnya tak lagi tampak.Kepanikan itu semakin terlihat diwajah Sukma, entah apa yang sebenarnya ia sembunyikan? pertanyaannya ini seolah ia ingin mencari tahu tentang kecelakaan yang menyebabkan Ginda buta.Ginda yang hendak memasuki ruang kamar, tiba tiba teringat ponselnya tertinggal ditempat dimana ia duduk bersama Sukma.Tak menunggu lama, kini Ginda pun memutar tubuhnya, kembali berjalan ketempat dimana Sukma berada."Yaampun bagaimana ini? ternyata Ginda mengetahui no polisi mobil itu, dan kalau sampai dia tau mobil itu milik siapa? apa yang akan terjadi selanjutnya?" gumam Sukma cemas.Ekspresi panik tampak jelas diwajahnya, sebuah rahasia besar yang mungkin Sukma simpan. Apakah ada hubungannya dengan kecelakaan tragis yang membuat Ginda buta dan Ayahnya meninggal dunia?Tiba tiba Sukma terkejut oleh sebuah suara benda yang terjatuh tak jauh darinya, dan tanpa menunggu lama ia langsung menoleh.Dan ternyata dihadapannya ia dapati Ginda berdiri dengan raut wajah terkejut, yang membuat Sukma seketika terbelalak."Ginda, apakah kamu..."Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu.BERSAMBUNG..."Ginda, apakah kamu..." Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu. Membuat Sukma terbelalak dengan ekspresi wajah tegang."Ibu..."Memperhatikan wajah Ginda, ekspresi Sukma semakin tegang, apakah Ginda mendengar ucapannya barusan? jika iya, ia tak tahu apa yang akan dilakukan Ginda padanya setelah ini? "Ginda.."Sejenak terdiam, Ginda terlebih dulu menghapus air matanya sebelum akhirnya berkata."Bu, aku.. aku cuma mau minta tolong sama Ibu, tolong bantu ingatkan Mas Marvin untuk menjaga kesehatannya ya, karena aku tau dia tidak akan pernah mau jika aku yang memperhatikannya," ucap Ginda yang membuat Sukma mengerutkan dahi."Aku perhatikan, Mas Marvin selalu berangkat pagi dan pulang malam, begitu setiap hari. Aku khawatir kesehatannya menurun, Bu, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai istri sebenarnya aku ingin sekali memperhatikan suamiku, tapi
Keesokan harinya.Huufft..Terdengar dengusan kasar dari nafas Marvin Marcello, yang sedang terduduk seorang diri di ruangannya"Aku benar benar kehilangan semangatku, ini semua karena wanita buta itu," gerutu Marvin.Pandangannya benar benar tampak sangat kacau, harus dihadapkan dengan sesuatu yang dianggapnya sangat sulit.Menikah dengan Ginda, rasanya tak membuat Marvin bahagia sama sekali, malah ia harus menahan rasa malu kala para kolega koleganya menanyakan siapa istrinya?Karena tak ingin mengenalkan Ginda, Marvin yang harus selalu mengalihkan pembicaraan pada saat pertanyaan itu terlontar."Ibu juga, kenapa sih? Ibu selalu membelanya? ada apa dengan Ibu? kenapa sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan?"Tambahnya dengan wajahnya tak semangat seperti biasanya, tubuh ideal itu kini bersandar lemah, matanya terpejam seakan sedang memikirkan masalah yang begitu berat.Di tengah tengah, kegundahannya
Halaman belakang adalah tempat favorit Ginda untuk menangis, air mata yang mengalir begitu deras tak berhenti membasahi wajahnya."Jadi ini alasan Mas Marvin selalu kasar padaku? karena mataku yang buta," gumam Ginda dengan suara bergetar.Tak menyangka, lagi lagi kebutaannya yang membuat ia merasa tersakiti. Bukan hanya pada orang lain namun ternyata suaminya sendiri pun tak menganggapnya karena buta.Istri mana yang tak bersedih jika sang suami membencinya hanya karena sebuah keterbatasan, jika sudah seperti ini bukan pernikahannya yang ditangisi, namun pertemuan yang ia sesali."Lagi lagi karena mata ini. Semua ini terjadi karena laki laki pembunuh itu, siapa pun dia, dimana pun dia berada, aku akan mencarinya sampai ketemu. Dia yang telah menyebabkan semua ini terjadi, dia yang menyebabkan aku dipandang sebelah mata, dan dia juga yang membuat cita citaku seketika terhenti," tambah Ginda dengan begitu kesal.Rasanya sejak kejadian itu
Pagi ini, Marvin yang sedang sibuk mempersiapkan dirinya hendak pergi ke kantor, ia sedang sibuk memilih kemeja, jas dan dasi mana yang hendak ia kenakan."Bagus yang mana ya? yang ini, yang ini, atau yang ini?" gumam Marvin seorang diri seraya memperhatikan beberapa pilihan ditangannya.Sementara Ginda yang mendengar itu pun, perlahan mendekat, berniat membantu kebingungan sang suami."Mas, boleh aku bantu?"Mendengar suara itu, seketika Marvin pun menoleh. Alis sebelah kirinya terangkat satu dan pandangan aneh memperhatikan wajah wanita yang baru saja datang itu."Kamu mau membantu, saya? bantu apa? memilih salah satu diantara jas, kemeja dan dasi ini? memangnya kamu bisa? melihat saja kamu tidak bisa bagaimana mau memilih?" ucap Marvin yang membuat Ginda seketika terdiam.Ekspresi wajahnya seketika berubah setelah mendengar ucapan dari sang suami. Lagi, rasa sakit hati itu kembali ia rasakan, betapa rendahnya ia dimata sang su
Beberapa Hari kemudian."Ginda, ikut Ibu yuk," ajak Sukma yang kini menghampiri Ginda yang sedang bergelut dengan alat menggambarnya."Mau kemana, Bu?""Ke rumah sakit, Nda," jawab Sukma yang membuat Ginda terbelalak."Ke rumah sakit? Ibu sakit? sakit apa, Bu?""Bukan, Nda. Udah, ayo kita berangkat sekarang," ucap Sukma yang kini meriah tangan Ginda dan membawanya melangkah memasuki mobil dan melaju menuju rumah sakit.Entah apa yang hendak mereka lakukan di rumah sakit? Mengapa Sukma mengajak Ginda tiba tiba? apakah ini bagian dari sebuah rencananya itu?Beberapa menit kemudian, sesampainya dihalaman rumah sakit, Sukma yang membawa Ginda memasuki ruangan dokter."Selamat pagi, Dok.""Pagi, Bu Sukma. Silahkan duduk.""Oh jadi ini ya, Bu, menantu Ibu yang dimaksud itu?""Iya, dok. Dia Ginda, perempuan yang selama ini saya ceritakan," jawab Sukma.Mendengar perbincangan itu, Gin
Kini Ginda dan Sukma pun kembali pulang, tak lagi jalan dalam kegelapan, tak lagi meraba dan tak lagi hanya berkira kira, kini akhirnya Ginda dapat melihat kembali, hingga membuatnya melangkah dengan hati gembira.Sesampainya dihalaman rumah Marvin Marcello, Ginda memperhatikan rumah mewah itu dengan seksama, rumah yang selama ini menjadi tempatnya berlindung ternyata semegah ini."Ngga nyangka, ternyata rumah yang aku tinggali selama sebesar ini," batin Ginda yang masih terdiam tak berkedip."Ada apa, Nda? ayo masuk!" ajak Sukma yang kini membawa Ginda melangkah memasuki rumah.Pandangan Ginda tak berkedip memperhatikan tiap sudut rumah mewah bak istana ini, barang barang yang tampak mahal tersusun rapi didalamnya.Sementara Marvin yang kini melangkah menuruni anak tangga, membuat pandangan Ginda seketika tertuju padanya.Wajah dengan pahatan sempurna, tubuh tegap dengan tinggi ideal, Marvin tampak begitu tampan dipandangan Gind
Ginda yang kini melangkah menyusuri koridor kampus, langkah jenjangnya membuat semua pandangan yang ada kini tertuju padanya, hadirnya Ginda membuat tempat seketika sunyi karena semua yang ada tampak tertegun memperhatikan Ginda yang melangkah dengan begitu anggun.Salah satunya adalah seorang wanita berambut bob, bernama Dela yang tidak lain adalah sahabat baik Ginda di kampus.Matanya terbelalak, pandangannya tak berkedip memperhatikan kehadiran Ginda yang membuatnya tak menyangka."Ginda," sapa Dela yang membuat langkah Ginda seketika terhenti."Dela."Tak menunggu lama, kini keduanya pun saling berpelukan, setelah hari dimana Ginda keluar dari kampus semenjak itu juga Ginda dan Dela tak pernah bertemu."Kamu apa kabar, Del?""Aku baik baik aja, Nda. Kamu... jadi sekarang kamu udah bisa melihat lagi, Nda? yaampun dan kamu tambah cantik," ucap Dela dengan pandangan yang terus memperhatikan dari ujung rambut hingga kaki
"Apa, jadi dia suamimu? oh my god."Tak menunggu lama, laki laki bersetelan jas berwarna hitam itu kini berjalan mendekati Ginda disana."Sudah selesai kuliahnya?" tanya Marvin yang membuat Ginda hanya mengangguk."Yasudah, ayo pulang!" ajak Marvin yang membuat Ginda mengangkat kedua alisnya.Lagi lagi karena tak menyangka, apa ia sedang bermimpi? Seorang Marvin Marcello menjemputnya pulang? meski laki laki itu adalah suaminya, namun jarak diantaranya masih cukup jauh, nyatanya hal sekecil ini pun membuat Ginda terkejut."Ginda, tunggu apa lagi? ayo pulang!" tambah Marvin yang membuat renungan Ginda seketika terbuyar, dan dengan cepat menganggukkan kepala."Emm. Dela, aku duluan ya, kamu hati hati dijalan.""Oh iya, Nda. Kalian juga hati hati dijalan."Tak menunggu lama, kini Ginda dan Marvin pun melangkah memasuki mobilnya, membuat pandangan Dela tak kunjung berkedip, seolah ia terhipnotis dengan hubungan Ginda dan Marvin Marcello.Sepanjang perjalanan, Ginda dan Marvin hanya terdiam,
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man