Keesokan harinya. Karena merasa menambah beban sang Ibu, Ginda berniat menemui Marvin kembali, kini ia meminta bantuan seseorang untuk mengantarnya kesebuah alamat yang tertera dalam kartu nama yang telah diberikan Marvin.
Ginda hendak menemui Marvin Marcello ke perusahaannya, ingin meminta keringanan atas hutang dua puluh jutanya itu. Dengan yakin, Ginda mengetuk pintu ruangan CEO yang kini ada dihadapannya.Tok tok tok!"Masuk."Terdengar ucapan itu yang membuat Ginda perlahan membuka pintu."Assalamualaikum," ucap Ginda yang membuat pandangan Marvin kini berpaling dari layar laptopnya.Terdiam sejenak, karena terkejut kala Marvin dapati Ginda lah tamunya saat ini."Kamu! Ada apa, kamu mau membayar hutang?"Belum menjawab, Ginda yang kini melangkah, meraba dan terduduk dikursi yang ada di depan meja kerja Marvin."Bukan, Tuan.""Lalu, ada perlu apa kamu datang kemari jika bukan untuk membayar hutang?""Saya datang kemari untuk memohon keringanan pada, Tuan, karena saat ini saya belum mampu membayar hutang dua puluh juta itu, bagi saya dua puluh juta itu tidaklah sedikit, Tuan. Jangankan untuk membayar hutang, kehidupan kami tiap harinya pun masih kekurangan," ucap Ginda, wanita buta itu pada Marvin Marcello, sang pemilik perusahaan"Jadi maksudmu?""Saya dapat melakukan apapun, Tuan, asal Tuan tidak menagih hutang itu sekarang. Saya bisa bekerja disini atau dimana saja dan apapun itu, asal Tuan jangan memaksa saya sekarang. Tapi Tuan, tenang saja saya tidak akan pernah lupa dengan hutang saya, setelah saya punya uang nanti saya pasti akan melunasinya."Mendengar ucapan itu sejenak Marvin terdiam, sebelum akhirnya ia tertawa."Kamu mau bekerja disini? Kamu yakin? Dengan keadaan kamu yang begini kamu mau bekerja?"Tuan, saya memang buta, tapi saya bukan perempuan yang lemah," jawab Ginda menggelengkan kepala.Membuat Marvin sejenak tertegun dan salut dengan semangatnya, belum sempat menjawab tiba tiba..Dreet dreet!Ponselnya berdering, yang membuat Marvin dengan cepat meraih ponsel yang berada di dekatnya itu. Nama sang Ibu menari nari di layar benda pipih tersebut, membuatnya dengan cepat menjawab."Ada apa, Ma?""Vin, jangan lupa ya calon Ibu baru buat Inggit. Dan Mama cuma mau Ginda orangnya."Seketika rahang Marvin mengeras kala mendengar ucapan sang Ibu. Lagi lagi perkara Ibu baru untuk inggit, gadis kecil berusia enam tahun yang telah lama tidak mendapat kasih sayang dari seorang Ibu.Dan yang membuat Marvin semakin geram adalah, mengapa harus Ginda yang dimintanya? Wanita buta yang ada dihadapannya saat ini.Tak menjawab Marvin yang kini memutuskan panggilannya dan menaruh kembali ponsel itu dengan kasar.Sementara Ginda yang terdiam mendengar percakapan itu terjadi. Cukup lama terdiam, mencoba meredam amarah dan emosi, sebelum akhirnya pandangan Marvin kini tertuju pada Ginda yang masih terdiam dihadapannya.Pandangannya tertuju tajam, tampak sebuah ide menghampiri otaknya saat ini. Isi dalam otaknya saat ini adalah wajah ayu gadis yang ada dihadapannya, pandangan tak berkedip itu ternyata memiliki sebuah kekaguman.Betapa cantiknya wajah Ginda, namun sayangnya, ia buta. Dan apakah Marvin harus menikah dengan gadis buta sepertinya? Lalu apa kata rekan rekan kerjanya nanti? jika seorang Marvin Marcello menikah dengan wanita buta seperti Ginda.Astaga, sakit sekali kepala Marvin memikirkannya, perkara permintaan sang Ibu yang tak bisa ia lupakan. Dan sepertinya memang tidak ada pilihan lain untuk Marvin, dari pada sang Ibu terus menerus mendesaknya, jadi mungkin menikah dengan Ginda adalah jalan satu satunya.Sekian detik larut dalam pandangannya, kini Marvin pun kembali mengeluarkan suara."Baiklah, saya bisa melunasi hutangmu, tapi dengan satu syarat," ucap Marvin yang membuat Ginda mengerutkan dahi."Syarat, apa syarat nya, Tuan?""Cukup kamu menikah dengan saya! Dengan begitu hutang dua puluh jutamu itu saya anggap lunas, bagaimana?"Ginda terbelalak kala mendengar kalimat yang baru saja Marvin Marcello ucapkan."Menikah? Jadi maksud, Tuan. Tuan, menilai harga diri saya dengan dua puluh juta? Tidak, saya tidak mau," tolak Ginda yang membuat Marvin melebarkan mata."Terserah, kalau kamu menolak tawaran saya, detik ini juga kamu harus membayarnya!"Deg!Nafas Ginda yang seakan terhenti mendengar pernyataan yang disampaikan Marvin. entahlah harus bagaimana Ginda saat ini? Mengapa persyaratannya sulit sekali?"Tapi, Tuan. Apa alasan Tuan meminta saya menikah dengan, Tuan? Saya hanya gadis buta yang tidak pantas bersanding dengan Tuan.""Jangan berbesar hati, saya memang mengajakmu menikah, tapi bukan karena saya menyukaimu," jawab Marvin yang membuat Ginda mengerutkan dahi."Lalu?"Kini Marvin pun menceritakan tentang paksaan sang Ibu, yang sangat menginginkannya menikah lagi, setelah cukup lama menyandang status duda, membuat sang Ibu risau dan selalu memaksanya.Namun satu satunya wanita yang harus Marvin nikahi adalah Ginda, bukan yang lain."Jadi saya meminta kamu menikah dengan saya selain untuk melunasi hutangmu tapi juga untuk Ibu saya, kepala saya sakit terus terusan mendapat paksaan darinya.""Tapi kenapa beliau memilih saya, Tuan? Karena sepertinya saya belum pernah mengenalnya.""Saya tidak tau. Bahkan saya sendiri bingung kenapa Ibu saya tega meminta saya menikahi perempuan buta seperti kamu."Ucapan itu membuat Ginda sedikit terenyuh, serendah itukah dirinya dipandangan Marvin Marcello?"Lalu, mengapa Tuan tidak menolak? Bukankah Tuan tidak ingin memiliki istri buta seperti saya?"Mendengar ucapan itu membuat Marvin menatap tajam ke arahnya, dengan rahang mengeras."Kamu pikir saya mau menerima permintaan itu begitu saja? Asal kamu tau saya melakukan ini karena terpaksa!"Ginda benar benar terkejut atas alasan yang diucapkan Marvin. Tak menyangka jika tujuannya semata mata hanya karena sebuah paksaan."Lalu, apa Tuan berpikir bahwa saya akan membantu, Tuan? Ini masalah pernikahan, Tuan. Tidak bisa untuk main main. Jika memang itu tujuan, Tuan. Lebih baik Tuan mencari wanita lain, jangan saya. Karena saya tidak mau. Sampaikan juga maaf saya pada Ibu Tuan, saya tidak bisa," jawab Ginda yang membuat Marvin terbelalak.Pandangannya kini memperhatikan gadis berhijab itu dengan tajam, wajahnya cantik, hidungnya mancung membuat Marvin tak berkedip."Ya sudah, terserah kamu. Kalau kamu tidak mau menikah dengan saya, bayar hutangmu sekarang. Ayo bayar!" Ucap Marvin yang membuat Ginda kembali melebarkan mata.Mengingat dua puluh juta bukanlah jumlah yang sedikit, dan Ginda tak akan mampu membayarnya saat ini, mau tidak mau Ginda harus menerima tawaran itu, demi sebuah hutang agar dianggap lunas.Meski berat rasanya mempertaruhkan hati hanya karena sebuah hutang, namun Ginda tak memiliki pilihan lain saat ini, dari pada sang Ibu yang terus terusan memikirkan perkara hutang yang entah dari mana dapat ia bayar.Cukup lama terdiam, memikirkan pilihan yang harus Ginda berikan, sebelum akhirnya kembali sebuah pertanyaan melayang."Saya tidak akan mengulangi persyaratan ini untuk kedua kalinya, dan kamu harus jawab sekarang. Bagaimana, apa kamu mau menikah dengan saya?"BERSAMBUNG...Cukup lama terdiam memikirkan persyaratan yang terlontar dari bibir Marvin, sebelum akhirnya Ginda menjawab."Baiklah kalau begitu, saya mau menikah dengan, Tuan!" Jawab Ginda yang membuat Marvin perlahan tersenyum.Namun, senyuman itu bukanlah senyuman bahagia lantaran Ginda menerima lamarannya, senyuman itu adalah senyuman puas karena telah berhasil menaklukkan persyaratan sang Ibu.Dipaksa menikahi gadis buta seperti Ginda, bukanlah hal yang mudah, Marvin harus mengorbankan perasaannya, dan mengabaikan harga dirinya.Namun ini semua demi harta dan tahta, karena jika Marvin tak menikahi Ginda, Sukma akan menarik semua fasilitasnya.Tidak ada yang tahu apa tujuan Sukma? Bahkan Marvin sendiri pun bingung dan tak habis pikir, dengan permintaan sang Ibu yang terbilang nyeleneh.Hari demi hari berlalu sebuah pernikahan sederhana yang akhirnya terjadi. Bukan tak mampu untuk membuat pesta dihari ini, namun Marvin tak ingin pernikahannya ini terdengar sampai ketelinga para koleganya."Saya
Hari demi hari berlalu, beberapa hari sudah Ginda melewati hari menjadi seorang istri bos besar yang sangat terpandang.Bahagia seharusnya, namun tidak untuk Ginda, ia yang justru sering menangis dan meratapi nasibnya, karena sejak pernikahan itu ia belum pernah mendapat perhatian dari Marvin suaminya.Seharusnya masa ini adalah masa bahagia untuk sepasang pengantin baru seperti mereka, pergi berbulan madu dan bersenang senang berdua. Namun nyatanya tidak untuk Ginda.Siang ini, Ginda yang menangis terisak isak di halaman belakang rumahnya.Hiks hiks!"Apa begini rasanya menikah karena paksaan? Jangankan berbicara berdua, romantis romantisan, tapi ini bertemu pun jarang, bahkan sikap mas Marvin begitu kasar, tak menganggap aku sebagai istrinya," gumam Ginda dengan suara bergetar.Ucapan itu tak sengaja didengar oleh Sukma, yang juga terpukul karena merasakan penderitaan sang menantu, perlahan langkahnya mendekat ingin mencoba menenangkan Ginda dengan caranya."Ginda," panggil Sukma ya
Pagi ini, sinar matahari menyeruak memasuki celah jendela kamar, membuat Marvin mengerjap ngerjapkan matanya.Jam menunjukan pukul 08.30, membuat Marvin terbelalak dan seketika beranjak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap hendak pergi ke kantornya.Beberapa menit kemudian, setelah kini penampilannya rapi kembali, Marvin pun berjalan keluar. Tanpa menyapa semuanya, Marvin melintas dengan langkah cepat."Marvin, ngga sarapan dulu, nak?" Tanya Sukma memperhatikan laki laki yang sudah berpenampilan kantoran itu terus melangkah."Ngga sempet, Bu. Aku kesiangan," jawab Marvin yang terus melangkah.Tanpa berpamitan, Marvin pun melajukan mobilnya menuju PT Vincell konstruksi. Sementara Ginda yang kini tertunduk, kehilangan selera makannya, perkara sikap sang suami yang acuh tak acuh pagi ini.Makanan dalam piringnya hanya dibolak balik dengan tak semangat, pandangannya lurus ke depan tanpa penglihatan, memikirkan betapa tak berharganya ia dimata Marvin.Untuk men
"Ginda, apakah kamu..." Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu. Membuat Sukma terbelalak dengan ekspresi wajah tegang."Ibu..."Memperhatikan wajah Ginda, ekspresi Sukma semakin tegang, apakah Ginda mendengar ucapannya barusan? jika iya, ia tak tahu apa yang akan dilakukan Ginda padanya setelah ini? "Ginda.."Sejenak terdiam, Ginda terlebih dulu menghapus air matanya sebelum akhirnya berkata."Bu, aku.. aku cuma mau minta tolong sama Ibu, tolong bantu ingatkan Mas Marvin untuk menjaga kesehatannya ya, karena aku tau dia tidak akan pernah mau jika aku yang memperhatikannya," ucap Ginda yang membuat Sukma mengerutkan dahi."Aku perhatikan, Mas Marvin selalu berangkat pagi dan pulang malam, begitu setiap hari. Aku khawatir kesehatannya menurun, Bu, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai istri sebenarnya aku ingin sekali memperhatikan suamiku, tapi
Keesokan harinya.Huufft..Terdengar dengusan kasar dari nafas Marvin Marcello, yang sedang terduduk seorang diri di ruangannya"Aku benar benar kehilangan semangatku, ini semua karena wanita buta itu," gerutu Marvin.Pandangannya benar benar tampak sangat kacau, harus dihadapkan dengan sesuatu yang dianggapnya sangat sulit.Menikah dengan Ginda, rasanya tak membuat Marvin bahagia sama sekali, malah ia harus menahan rasa malu kala para kolega koleganya menanyakan siapa istrinya?Karena tak ingin mengenalkan Ginda, Marvin yang harus selalu mengalihkan pembicaraan pada saat pertanyaan itu terlontar."Ibu juga, kenapa sih? Ibu selalu membelanya? ada apa dengan Ibu? kenapa sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan?"Tambahnya dengan wajahnya tak semangat seperti biasanya, tubuh ideal itu kini bersandar lemah, matanya terpejam seakan sedang memikirkan masalah yang begitu berat.Di tengah tengah, kegundahannya
Halaman belakang adalah tempat favorit Ginda untuk menangis, air mata yang mengalir begitu deras tak berhenti membasahi wajahnya."Jadi ini alasan Mas Marvin selalu kasar padaku? karena mataku yang buta," gumam Ginda dengan suara bergetar.Tak menyangka, lagi lagi kebutaannya yang membuat ia merasa tersakiti. Bukan hanya pada orang lain namun ternyata suaminya sendiri pun tak menganggapnya karena buta.Istri mana yang tak bersedih jika sang suami membencinya hanya karena sebuah keterbatasan, jika sudah seperti ini bukan pernikahannya yang ditangisi, namun pertemuan yang ia sesali."Lagi lagi karena mata ini. Semua ini terjadi karena laki laki pembunuh itu, siapa pun dia, dimana pun dia berada, aku akan mencarinya sampai ketemu. Dia yang telah menyebabkan semua ini terjadi, dia yang menyebabkan aku dipandang sebelah mata, dan dia juga yang membuat cita citaku seketika terhenti," tambah Ginda dengan begitu kesal.Rasanya sejak kejadian itu
Pagi ini, Marvin yang sedang sibuk mempersiapkan dirinya hendak pergi ke kantor, ia sedang sibuk memilih kemeja, jas dan dasi mana yang hendak ia kenakan."Bagus yang mana ya? yang ini, yang ini, atau yang ini?" gumam Marvin seorang diri seraya memperhatikan beberapa pilihan ditangannya.Sementara Ginda yang mendengar itu pun, perlahan mendekat, berniat membantu kebingungan sang suami."Mas, boleh aku bantu?"Mendengar suara itu, seketika Marvin pun menoleh. Alis sebelah kirinya terangkat satu dan pandangan aneh memperhatikan wajah wanita yang baru saja datang itu."Kamu mau membantu, saya? bantu apa? memilih salah satu diantara jas, kemeja dan dasi ini? memangnya kamu bisa? melihat saja kamu tidak bisa bagaimana mau memilih?" ucap Marvin yang membuat Ginda seketika terdiam.Ekspresi wajahnya seketika berubah setelah mendengar ucapan dari sang suami. Lagi, rasa sakit hati itu kembali ia rasakan, betapa rendahnya ia dimata sang su
Beberapa Hari kemudian."Ginda, ikut Ibu yuk," ajak Sukma yang kini menghampiri Ginda yang sedang bergelut dengan alat menggambarnya."Mau kemana, Bu?""Ke rumah sakit, Nda," jawab Sukma yang membuat Ginda terbelalak."Ke rumah sakit? Ibu sakit? sakit apa, Bu?""Bukan, Nda. Udah, ayo kita berangkat sekarang," ucap Sukma yang kini meriah tangan Ginda dan membawanya melangkah memasuki mobil dan melaju menuju rumah sakit.Entah apa yang hendak mereka lakukan di rumah sakit? Mengapa Sukma mengajak Ginda tiba tiba? apakah ini bagian dari sebuah rencananya itu?Beberapa menit kemudian, sesampainya dihalaman rumah sakit, Sukma yang membawa Ginda memasuki ruangan dokter."Selamat pagi, Dok.""Pagi, Bu Sukma. Silahkan duduk.""Oh jadi ini ya, Bu, menantu Ibu yang dimaksud itu?""Iya, dok. Dia Ginda, perempuan yang selama ini saya ceritakan," jawab Sukma.Mendengar perbincangan itu, Gin