Saat ini, Saka masih terlihat senang. Lebih senang lagi ketika melihat Wulan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Gadis itu sudah berganti di kamar mandi. Karena sejak kejadian kecerobohannya yang telanjang kepergok Saka, Wulan memang sedikit waspada. Memilih menyiapkan ganti terlebih dahulu dan membawanya langsung ke kamar mandi.Wajah manis tanpa makeup itu terlihat begitu indah dimata Saka.Lalu Wulan menyisir rambutnya yang sengaja tidak dibasahinya dan mengikat nya dengan mengangkat tinggi-tinggi dan menggulungnya ke atas. Bukan sengaja pamer leher jenjang, tapi sepertinya itu sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil.Tapi bagi Saka, penampilan apa adanya Wulan itu malah membuatnya semakin menggilai gadis itu. Cantik alami tanpa make up, tanpa luluran tanpa smoothing atau sejenisnya.Melihat Saka sesekali meliriknya, Wulan bertanya. "Saya jelek ya, Tuan?""Sedikit.""Syukurlah. Aku kira jelek banget. Aku khawatir mata Tuan muda sakit karena melihatku yang jelek ini terus. Karena
"Bagaimana Mas, tentang tanda tangan Saka? Kenapa sampai sekarang belum ada kabar? Kamu ini bisa bekerja tidak sih?" Bentak Sintia pada suaminya di dalam ruangan khusus milik mereka."Sabar Sintia.. Aku sudah menyuruh istri bodohnya itu untuk membicarakan hal ini pada Saka. Sebentar lagi, semua ini akan atas nama Saka." Jawab Abraham."Lalu setelah Saka mati, maka akan pindah atas nama gadis itu. Dan setelah itu... Kita baru akan mengambilnya.” Kata Sintia. Tertawa puas."Nama kita tetap baik. Harta menjadi milik kita." Abraham menyentil hidung istrinya, ikut tertawa."Tapi Mas.. kenapa Saka tidak mati-mati? Apa kamu benar-benar sudah mengarahkan Anton dengan baik?" Tanya Sintia."Tentu saja. Kabar terakhir yang aku dengar langsung dari Wulan, keadaan Saka semakin memburuk. Mungkin hanya tinggal menunggu hitungan hari saja. Pelan tapi pasti. Dan kematiannya sudah bisa dipastikan akibat kerusakan saraf. Tidak akan ada yang dapat mengungkapnya." Abraham semakin puas."Apa benar-benar am
"Percuma berbisik, suara Tuan sudah terdengar kemana-mana. Untung yang datang sekretaris Ang. Coba kalau Anton. Percuma akting,” Kata Wulan, memutar tubuhnya, melangkah menghampiri Sekretaris Ang yang masih menunggu di balik pintu.Wulan menutup pintu, tak lupa menguncinya dari luar dan memasukan anak kunci ke dalam sakunya.Dia menoleh pada sekretaris Ang. Dia tahu jika pria itu pasti bertanya di dalam hatinya, kenapa dia harus mengunci pintu. Jadi dia duluan menjawab, sebelum ditanya, "Hanya untuk jaga-jaga, Tuan Ang. Takut ada setan.""Setan?” Sekretaris Ang mengerutkan keningnya. “Sejak kapan rumah ini angker? Kalaupun iya, setan tidak perlu membuka pintu, kan?""Ada. Setan yang doyan sambel. Masa tidak mengerti juga?" Kata Wulan."Ohh." sekretaris Ang, seolah paham, padahal tidak sepenuhnya paham. Lalu melangkah diikuti Wulan di belakangnya tanpa berkata lagi.Bola mata Wulan berputar, melihat seluruh ruangan yang dilewati mereka.'Besarnya! Rumah apa lapangan bola?'Semenjak m
Wulan juga terkejut karena sekretaris Ang, tiba-tiba sudah berdiri di depannya, "Mana ada, siapa yang menangis?” Bantah Wulan."Itu,?" Sekretaris Ang menunjuk wajahnya.Wulan tersipu, "Oh, ini? Ini namanya air mata bawang," kata Wulan."...” Sekretaris Ang."Tidak mengerti juga?”Sekretaris Ang menggeleng.Wulan mendengus kesal, lalu bicara asal saja, “Sekretaris andalan kok tidak mengerti apa-apa. Bagaimana sih?" Celotehnya lalu melanjutkan langkahnya."(?)" Sekretaris Ang semakin tidak mengerti.Wulan menoleh, ternyata sekretaris Ang mengikuti di belakang."Kenapa mengikuti saya?”"Saya.. saya hanya ingin mengantar Nona. Takut Nona Wulan tersesat." Jawab Sekretaris Ang, padahal dia sebenarnya ingin menanyakan apa yang dibicarakan Abraham tadi. Tapi melihat sorot mata Wulan yang tidak bersahabat, sekretaris Ang jadi urung."Tidak perlu mengantar, Tuan Ang. Saya bisa sendiri. Tidak mungkin juga bakal tersesat di sini." Wulan tidak peduli dengan perhatian sekretaris Ang, terus saja me
Saka kembali berbaring diatas tempat tidur dalam keadaan sedikit linglung. Lalu dia menarik selimut, 'Perasaan, seperti ada yang salah?' Saka seperti memikirkan sesuatu. "Apa ya?” Dia bergumam dan celingukan.Setelah beberapa saat dia memejamkan matanya kembali."Hah!!" Tiba-tiba Saka mengibas selimutnya begitu saja lalu menatap kedua kakinya dengan tercengang."Kakiku!!!" Dia mengangkat kakinya tinggi-tinggi lalu menaruhnya kembali. Dilakukan beberapa kali secara bergantian."Apa aku bermimpi??" Dia mencubit pipinya dengan keras untuk meyakinkan diri."Ah... Sakit! Aku tidak bermimpi!""Kakiku sembuh! Ya Tuhan! Benar! Kakiku sembuh..!!" Dia beranjak girang menuruni ranjang. Berjalan kesana-kemari untuk mencoba kakinya."Ya Tuhan....!! Aku benar-benar sembuh..!" Saka sampai bersujud di lantai. Dia terisak dalam sujudnya. Berbisik mengucap syukur ribuan kali.Lalu dia berdiri, berlari ke arah Wulan yang masih tidur nyenyak."Wulan! Wulan..!" Dia memanggil Wulan dengan girang."Kakiku
"Aku tidak bisa tidur lagi." jawab Saka."Kenapa? Sudah tidak mengantuk?" "Aku tegang,”"Hah! Tegang kenapa?""Memikirkan besok itu.""Halah, urusan besok!" Wulan merangkak ke atas tempat tidur. Dia menarik selimut tebal milik Saka. Lalu menyembunyikan wajahnya di atas bantal tanpa beban."Wulan," Saka mengguncang tubuhnya."Ih..mengganggu saja. Masih mengantuk berat ini." Wulan menepis tangan Saka dan melanjutkan tidurnya kembali."Serius mau tidur disini?" Bisik Saja tepat di telinga Wulan.Wulan terlonjak kaget! Baru sadar kalau salah tempat.Lalu segera mengibaskan selimut milik Saka. "Hanya Khilaf. Tidak mungkin terjadi lagi!" Dia segeralah beranjak, bergegas kembali ke sofa.Saka sedikit menyesal. "Coba tidak usah di ingatkan.. Rejeki nomplok kan? Ah Dasar aku!!" gumam Saka.Mau tidak mau Saka kembali melanjutkan tidur, sambil pikirannya traveling kemana-mana. Mengingat mimpinya sebelum terjatuh tadi.Terlihat Saka tersenyum-senyum sendiri sambil memegangi bibir dengan ujung ja
Di sebuah ruangan kantor, terdengar sepasang suami istri yang sedang berbicara pada seseorang dengan nada memohon.Mereka adalah orang tua Wulan, gadis malang yang kerap kali diperlakukan berbeda."Tolong kami, Tuan! Pilihlah Wulan, putri kami. Dia bisa menjadi istri yang baik dan patuh untuk keponakan anda. Saya berani menjamin untuk itu," ucap sang istri sambil menarik lengan suaminya untuk memberi kode agar sang suami ikut memohon juga."Kenapa kamu sangat yakin, Nyonya?" tanya tuan kaya raya itu, menatap wanita di depannya sambil mengerutkan keningnya."Karena kami mendidik putri kami dengan baik dari kecil, hingga dia tumbuh menjadi gadis yang patuh dan penurut." Ada senyum penuh arti di sudut bibir si tuan kaya raya sebelum akhirnya dia menjawab, "Baiklah, dua hari lagi kami akan menjemput putrimu. Kalian akan mendapatkan imbalan seperti apa yang sudah kami janjikan."**"Yang kita lakukan ini, apa tidak keterlaluan, Bu? Selama ini, kita tidak pernah menyayangi Wulan dengan baik.
"Kamu lambat sekali, sih! Calon keluarga pengantinmu sudah menunggumu. Tidak sabar untuk membawamu menemui calon suami cacatmu itu." Begitu Wulan turun, makian langsung terdengar dari adiknya, Jihan. Dia diam saja, tidak ingin melayani adiknya, yang satu ayah dan lain ibu itu."Lihatlah, Yuri. Belum apa-apa dia sudah sombong. Mau jadi istri pangeran cacat saja sudah berani sama kita. Aku ingin sekali mencekiknya." Tambah Jihan, kini mengajak adik bungsu mereka untuk turut berada di pihaknya."Sudah biarkan saja. Sebentar lagi dia akan pergi dari sini. Jangan mengganggu kak Wulan lagi." Kata Yuri, seolah ingin melindungi Wulan."Maaf, aku harus segera menemui ayah. Paham kan, ayah dan ibu akan marah kalau aku terlambat." Ucap Wulan melangkah kembali, meninggalkan dua adiknya itu."Dasar anak haram! Tidak tau diri!" Umpat Jihan.Wulan tidak mendengar, terus melangkah dan menghampiri orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tamu.Dia bisa melihat, dua orang asing di depannya. Salah sat