Amira tidak dapat bereaksi selain merasa kaget sekaligus sakit mendapatkan perlakuan seperti ini dari Fatma. Selama beberapa saat kakinya tidak dapat digerakan hingga akhirnya dia menyadari jika Fatma tetaplah ibu tiri, kenyataan itu tidak akan berubah. Maka, punggungnya berbalik walau kakinya belum bisa melangkah. “Iya ma, Ami mengerti posisi Ami di kehidupan mama ...,” desahnya.Sebelum ini Fatma sudah mengatakan jika mereka tidak memiliki hubungan apapun lagi, termasuk anak dan ibu. Namun, hingga hari ini Amira masih menganggap hubungan itu tetap ada bahkan hingga detik ini tidak berubah. Sebelum mengambil langkah, lehernya memutar pada arah daun pintu berharap Fatma membukanya, tetapi ternyata itu hanya harapan kosong. Jadi, dia berlalu dengan sendu.Setibanya di gedung, Tasya segera memburu Amira dengan pertanyaan, “Kak, kenapa sudah kembali. Apa mama sudah selesai berbenah?” Gadis ini menduga jika bukan itu alasan Amira cepat kembali karena dia tahu ibunya tidak menerima kakakny
Alisha mendapatkan beberapa informasi penting tentang Amira, itu sudah cukup untuk hari ini. Maka wanita ini berlalu menggunakan mobil mewahnya. “Aku ingin tahu bagaimana reaksi mama dan papanya Erzhan saat tahu tentang Amira.” Seringai liciknya. Namun, dia tidak akan sembarang bercerita karena kalimatnya harus disertai dengan bukti akurat yang membuat Amira tidak dapat mengelak.Kedatangan Alisha hinggap di telinga Amira beberapa jam kemudian. Zulaiha menghubunginya sekalian menanyakan kabar keponakannya itu. “Tapi nona itu tidak lama,” tutur Zulaiha setelah menceritakan pertemuannya dengan Alisha-wanita yang tidak diketahui namanya karena Alisha tidak memerkenalkan diri.“Hm ... siapa ya wanita itu?” Amira dibuat memutar otak.“Masa Ami tidak tahu. Tapi sepertinya orang berada seperti bosnya Ami.”‘Apa Alisha ya?’ Saat ini pemikiran Amira segera tertuju pada wanita itu karena siapa lagi wanita yang standar kekayaannya sejajar dengan Erzhan? Kawan-kawannya tidak memiliki kekayaan seb
Saat ini Tasya baru saja keluar dari kamar mandi. “Ma, siapa yang telepon?” Handphonenya masih menyentuh daun telinga Fatma.Fatma tersenyum riang, kemudian berbisik seiring menyodorkan handphone ke arah Tasya, “Pak Erlangga.”Tasya mengerjap seketika, lalu meraih handphonenya dengan cepat, berbicara dengan Erlangga yang berada di seberang sana. “I-iya Pak, ada apa? Tadi mama yang mengangkat telepon.” Sikap propesional dipasang walau menjadi sangat gagap karena gadis ini tidak ingin ibunya mengetahui hubungan terlarangnya dengan pria beristri ini.Pun, di seberang sana Erlangga mengerjap dalam. “Jadi tadi mama kamu yang mengangkat panggilan. Ya sudah, datanglah ke ruangan saya sebelum memulai latihan.” Erlangga harus memasang sikap propesional dengan cepat setelah sempat bersikap romantis. ‘Sial. Sepertinya wanita itu sudah mendengar ucapanku tadi!’ Hal ini sangat berbahaya karena hubungan mereka tidak boleh tercium oleh siapapun termasuk Fatma bahkan Amira.“Iya, Pak.” Tasya memutus
Malam tiba, Erzhan kembali ke villa saat mengharapkan Amira mengunjunginya untuk memasak, tetapi bunyi jangkrik yang menemani sepinya hingga Erzhan mendesah. “Nasib bujangan.” Baru kali ini dia mengeluh karena statusnya.TinBunyi klakson mobil mengudara di halaman hingga Erzhan segera memeriksa. Segera, kedua matanya membelalak. “Mau apa dia kesini!”Alisha tersenyum manis ke arah Erzhan, kaki jenjangnya dibalut heel yang indah hingga semakin mempercantik kakinya. Langkah anggun diambil hingga berhenti di hadapan si pria. “Malam,” sapa hangatnya dengan suara merdu.Namun, Erzhan medesah malas. “Mau apa kesini, dan dari mana kamu tahu tempat ini.” Kalimat datar dan dinginnya.“Orangtua kamu.” Senyuman indah masih dipasang, kemudian mengacungkan sebuah paper bag. “Aku membawa titipan dari mama kamu.”Erzhan mengerutkan dahinya heran, “Kenapa mama bisa menitipkan sesuatu pada kamu?”“Astaga ... jangan formal begitu deh. Yuk, masuk!” Alih-alih si pemilik villa, justru Alisha yang mengand
Rencananya itu segera disampaikan saat waktu tidur tiba. “Sayang, jangan hamil dulu ya. Lagian kamu kan masih asik berkarier. Aku pikir ... lebih baik kamu memasang alat kontrasepsi untuk berjaga-jaga. Bagaimana, Sayang ....” Lembut Erlangga saat menyampaikan kalimatnya yang selaras dengan belaian telapak tangannya saat mengusap lembutnya wajah Cindy.Saat ini Cindy tidak segera memberikan jawaban, wanita ini memandangi Erlangga yang masih memancarkan kelembutan dalam tatapan matanya. “Aku memang berencana memakai alat KB, tapi mungkin tidak akan lama. Mungkin hanya kurang dari satu tahun. Kasihan mama dan papa kalau menunggu terlalu lama. Pasti mama dan papa kamu juga begitu.”Kini, Erlangga yang tidak segera memberikan jawaban karena dirinya tidak setuju jika kurang dari satu tahun. “Bagaimana kalau genap satu tahun saja? Aku yakin kehidupan kita akan lebih baik lagi di tahun-tahun mendatang. Bukankah kehidupan kita yang mapan akan membuat anak kita hidup dengan layak.” Pria ini sed
Erzhan sudah berbicara empat mata dengan Alisha, pria ini menegaskan pada wanita itu agar tidak menganggu Amira karena tidak lama lagi mereka akan menikah, tetapi tentu saja Alisha tidak menerima semua kalimat Erzhan. Maka dia mengancam, “Aku akan membeberkan tentang kalian di depan om Cakrawala dan tante Maria, kalian cuma pura-pura pacaran kan. Pasti motif Amira mau jadi pacar pura-pura karena uang. Dia berasal dari keluarga miskin, tapi aku dengar tante Maria kemarin bilang kalau Amira cuti kuliah karena fokus jadi trainee, tapi aku yakin itu semua bohong, aku yakin Amira tidak punya uang buat kuliah. Pokoknya aku akan cari bukti tentang kalian kalau kalian pura-pura!”“Jangan asal menuduh.” Erzhan menanggapi semua kalimat Alisha dengan santai agar rahasianya tidak terbongkar.“Aku tidak menuduh. Aku sudah tahu kehidupan Amira, jadi aku yakin dia tidak bisa kuliah dan aku yakin kamu memberikan upah kan buat dia selama dia mau jadi pacar pura-pura kamu. Pakai logika saja. Kamu membu
“Dia memang tampan dan kaya, tapi dia pemaksa. Selalu saja memaksakan kehendakannya demi keuntungan sendiri. Ish!” Amira memutuskan meninggalkan Erzhan, tetapi pria itu tidak membiarkannya pergi hingga tangan kanan Amira digenggamnya dengan lembut.“Jangan pulang sendiri. Aku akan mengatarmu.” Suara lembutnya selaras dengan tatapannya.“Tidak usah ...,” tolak Amira seiring membuang udara malas karena jika mereka kembali bersama mungkin Erzhan akan melanjutkan pembahasan tadi.“Aku tidak mau kamu sendirian. Aku akan mengantarmu sampai gedung.” Masih tatapan lembut Erzhan walau tatapan mata Amira berlainan, gadis itu hanya menatap lawan bicaranya dengan datar.Namun, akhirnya Erzhan kembali membawa Amira. Saat ini tidak ada pembahasan apapun hingga suasana sangat hening. Gadis ini barusaja melontarkan kata saat meminta berhenti di apotek, “Aku turun di sini. Ada obat yang harus aku beli.”Erzhan segera memokuskan perhatiannya. “Obat apa? Memangnya kamu kenapa? Aku bisa antar kamu ke dok
Hujan masih sangat lebat membuat Amira tidak dapat kemanapun selain tetap duduk di jok yang bersebelahan dengan Erzhan. “Kapan hujannya berhenti? Lapar ....” Perutnya diusap. Saat mengeluh, suaranya berhasil menarik Erzhan ke dunia nyata. Pria itu segera memutar kepalanya ke arah Amira.“Kamu sudah bangun ....” Salah satu matanya dikucek sekejap karena terlalu malu, kemudian mulai memposisikan duduknya. “Ternyata masih hujan. Lama sekali,” kekeh hangatnya padahal udara sedang sangat dingin.“Aku akan menerebos,” celetuk Amira.“Jangan, Sayang!” Erzhan segera melarang, “nanti kamu sakit. Kehujanan bisa membuat demam atau masuk angin, atau ingusan. Kamu mau potret kamu ada ingusnya,” kelakar si pria saat Amira sedang di mode serius, tetapi goyonannya berhasil membuat si gadis tertawa kecil.“Aku tidak mau fotoku jekek,” kekeh kegeliannya.“Makannya, tunggu saja sampai hujannya selesai.” Erzhan merasa puas karena kelakarnya ditanggapi Amira.“Tapi aku lapar ....” Perut Amira kembali dius