Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun berjalan menunduk di hadapan banyak pria yang meliriknya. Terdapat berbagai macam pria dan wanita di dalam ruangan yang mirip dengan ruangan pesta, minuman berwarna-warni tersebar di setiap meja, juga berbagai makanan manis.
Namun, yang membuat gadis bernama Amira ini tidak berani mengangkat wajahnya adalah banyak sekali pasangan yang mengumbar kemesraan mereka. Entah itu wanita muda bersama pria tua atau wanita tua dan menyukai pria muda. Banyak sekali jenis pasangan aneh di dalam ruangan besar ini.
Dress berwarna putih gading dengan sentuhan bias peach yang digunakan Amira cukup berani jika dibandingkan dengan usianya. Model dress dengan punggung terbelah itu tidak menyisakan sehelai benang pun untuk menutupi kulit halus nan mulusnya. Di bagian bawahnya hanya terdapat kain dress yang menggantung menutupi bokong hingga melebihi mata kaki, tetapi terdapat belahan hingga mengekpos paha putihnya.
Heels yang tinggi nan ramping adalah pelengkap penampilannya malam ini. Rambut hitam panjang dengan ikal menggantung bermain seiring hentakan langkah kakinya. “Ma, ini tempat apa, kita di mana?” Suara Amira baru terdengar lagi setelah menapaki tempat ini.
Amira memang tidak berjalan sendiri, di sampingnya adalah wanita glamour. Fashionnya tidak berbeda dengan semua wanita yang menghuni ruangan walau kebiasaan Fatma hanya dengan kain sederhana di tubuhnya, tetapi kali ini wanita berusia empat puluh tujuh tahun itu menjelma selayaknya manusia berada bergelimang harta. “Mama akan mengantar kamu ke ruangan lain setelah ini, duduk manis di sana, jangan biarkan riasan wajahmu luntur karena keringat apalagi air mata.” Datarnya tanpa menambahkan senyuman sama sekali.
“Tempat apa lagi itu?” penasaran Amira yang memilih memandangi Fatma seraya mengambil langkah, dibandingkan harus menatap persekitaran yang seolah hanya dipenuhi dengan dosa.
“Jangan banyak bertanya. Melangkah saja dengan anggun!” Wajah Fatma terangkat seolah sedang menonjolkan aura serta keanggunannya. Namun, Amira selalu menunduk hingga akhirnya langkahnya terhenti setelah keluar dari ruangan pesta tadi serta melewati beberapa lorong mewah.
Bukan semata-mata Amira menghentikan langkahnya, itu karena Fatma merentangkan tangannya di hadapan perut si gadis. “Ini adalah tempatnya.” Kedua mata bulat wanita ini mengarah lurus pada nomor kamar yang tertulis di atas permukaan pintu.
Dahi Amira berkerut heran memandang ibunya, kemudian mengalihkan tatapan pada angka yang tercetak cukup besar. “Tempat apa?”
Fatma hanya melirik sekilas ke arah Amira, kemudian membuka pintu perlahan hingga menciptakan celah selebar tubuh Amira. “Masuklah, yang harus kamu lakukan hanya duduk manis dan menunggu.”
Ekspresi datar Fatma selalu menjadi satu-satunya lukisan di wajahnya hari ini. Padahal biasanya wanita itu menggunakan banyak sekali ekspresi dalam satu hari, terkadang kesal melihat Amira, meluapkan amarah serta ketus. Namun, khusus hari ini semuanya hilang, semua ekspresi itu digantikan dengan sikap datarnya.
Amira memandang bingung ke arah Fatma, “Apa atau siapa yang Ami tunggu?”
“Masuk saja,” titah Fatma dengan lirikan kecil dan wajahnya selalu datar.
Kini, Amira mencoba mencari tahu apa yang terdapat di dalam sana lewat celah pintu yang selebar tubuhnya. Tampak sebuah gorden mewah lalu sofa panjang yang tidak kalah mewah, juga terdapat sebuah cermin besar yang memantulkan seberang ruangan, hanya saja tidak banyak yang terlukis di dalam pantulannya. Semua yang dilihat Amira berada di bawah cahaya lampu yang begitu terang.
Maka, gadis ini menyimpulkan jika di dalam sana adalah tempatnya orang-orang hebat. Segera, jantungnya melonjak, maka dengan cepat diungkapkan, “Ma, Ami tidak mau masuk ke dalam sana. Mau apa Ami di sana? Dan mungkin Ami tidak cocok berada di sana.”
Kali ini Fatma menatap Amira, bukan hanya sekedar lirikan alakadarnya, tetapi wajahnya tetap datar walau terdapat sedikit teguran serta desakan, “Dengarkan Mama, jauh-jauh Mama membawa kamu kesini. Kamu pikir untuk apa, jika tujuan Mama bukan untuk membuat kamu pantas berada di tempat itu.”
“Tapi Ami tidak mau masuk sendiri ..., Mama ikut kan?” Tangan kanan Fatma sudah digandeng, tetapi dengan kasar ibunya membuang tangan putrinya.
“Masuk, sekarang!” Kedua mata Fatma sudah membulat sempurna. Ini adalah pertanda jika dirinya tidak bisa dibantah. Ekspresi serta sikap seperti ini memang sudah biasa didapatkan Amira. Maka, gadis itu sudah tidak berani mengatakan apapun selain memasang tatapan ingin mendapatkan belas kasihan. Pintu masuk dilebarkan sedikit oleh Fatma seiring mendorong perlahan punggung Amira hingga tubuh gadis itu masuk ke dalam ruangan.
Amira segera menghadapkan tubuhnya ke arah Fatma. “Ma, nanti Mama jemput Ami kan?” cemas sudah hinggap di dalam dadanya, ditunjukan di atas permukaan wajah cantiknya.
“Iya.” Pintu segera ditutup oleh Fatma. Bagi Amira, perpisahan dirinya dan ibunya adalah devinisi terbelahnya dunia. Tangannya mengulur, tetapi seolah tidak cukup untuk menggapai sang ibu.
“Mama ....” Amira sempat merengek, dia adalah gadis yang polos, ini adalah pertama kalinya Amira dipisahkan jarak dengan Fatma-wanita yang telah mengurusnya sejak usia delapan tahun. Pintu tinggi nan kokoh masih dipandangi hingga akhirnya Amira mencoba menoleh pada ruangan yang kini menaunginya.
Seisi ruangan hanya dipenuhi benda-benda mewah yang bahkan baru pertama kali dilihat Amira. Sepanjang hidupnya, gadis ini belum pernah memanjakan pandangannya dengan benda mewah yang kini sedang mengelilinginya. Sejenak, pupil matanya melebar karena terpukau.
Namun, sejurus kemudian jantungnya kembali berdegup kencang. “Ruangan apa ini, apa aku memang harus duduk dan menunggu di sini, kapan mama kembali?” Raut wajahnya hanya melukiskan perasaan cemas, bahkan kedua telapak tangannya sudah basah akibat keringat hingga diusapkan pada dress yang melekat rapuh di tubuhnya.
Kedua mata indah Amira masih menyisir persekitaran, langkah kakinya tidak berani beralih dari pertama kali memasuki ruangan. Di depan sana, terdapat sebuah balkon, pintunya terbuka lebar hingga embusan angin menyapa wajah serta rambut Amira.
Lagi, gadis ini mencoba mencari tahu, ada apa atau siapa yang berada di sana. Kepalanya sedikit dimiringkan, hingga seolah dirinya melihat sosok pria berjas hitam berdiri. Sontak gadis ini terhenyak hingga kakinya mundur satu langkah ke belakang, alhasil punggungnya menyentuh pintu. “A-apa aku salah lihat?” Kedua lengannya mengepal di depan bibir tipisnya, tetapi bervolume di bagian bawah. Saat ini, dirinya sedang merasa gelisah berlebihan.
Tubuh tinggi berkat heels ramping itu mulai berbalik, memutar handle pintu dengan cepat, tetapi rupanya pintu tinggi nan kokoh itu terkunci dari luar. “Astaga, kenapa ini!” Kedua tangannya terus memutar handle pintu walau tidak menghasilkan apapun. Degupan jantung Amira semakin menjadi saja, hingga akhirnya telapak tangannya mencoba menggedor daun pintu. “Siapapun, tolong buka pintunya ....”
“Hm!” Suara dehaman yang terdengar indah, tetapi dingin itu membuat Amira mengerjap gugup, tubuhnya kaku.
Bersambung ....
Akun ig _authordestiangraeni # Kalau Kakak" liat akun ig di bab, itu yang lama ya, udah nggak dipakai. Sekarang pakainya yang ini. ^^
“Kenapa kau berisik sekali? Bukankah semuanya sudah tertulis di dalam perjanjian!” Suara bariton yang terdengar dingin nan tenang itu mengarah pada Amira. Namun, suara itu membuat punggung si gadis menggigil ketakutan. Amira berguman gugup, “Si-siapa di sana ....” Wajahnya hanya memandangi hendle pintu yang kini bak gembok sel tahanan. Bunyi jarum jam adalah satu-satunya pengisi keheningan dalam ruangan ini. Saat ini tubuh Amira bergetar hingga membuat pria yang berdiri di ambang pintu balkon mengeryitkan dahinya sangat heran. “Hei!” Suara baritonnya kembali mengisi ruangan. Amira masih memertahankan posisinya, tetapi akhirnya dia mencoba memutar tubuhnya perlahan. Wajahnya masih menunduk hingga si pria hanya bisa menatap bentuk tubuhnya saja. Tatapan tenang bak air danau menyisir tubuh si gadis dari bawah hingga ke atas, itu adalah bentuk sempurna yang terpatri menjadi kriterianya selama ini hingga seringai nakal mulai melengkung, mengubah tatapan tenang itu menjadi riak, seolah te
Amira hanya terpaku seiring menatap bingung serta takut ke arah dalam mobil yang terlihat sangat mewah, kemudian berkata saat hampir menangis, “Tapi aku bukan gadis seperti itu ..., aku tidak pernah berniat menemui pria seperti Anda.” Mendengar kalimat Amira membuat Erzhan tersenyum kecut, kemudian bersikap datar. “Masuk saja atau mungkin kamu lebih suka menghabiskan malam ini dengan banyak pria, hm?” Seringainya tidak terbaca. Mendengar kalimatnya membuat Amira semakin bergidik, tetapi masuk ke dalam mobil pun bukan pilihan. Namun, saat ini Amira tidak mengetahui jalan pulang, terlebih dirinya tidak ingin terus tinggal di tempat seperti ini. Maka, keputusannya diambil. Gadis ini melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam mobil milik Erzhan. Pria ini hanya bersikap datar saat seorang gadis cantik duduk di sisinya, gadis yang notabene adalah barang dagangan madam. Sebenarnya, ini pertama kalinya dia menapaki tempat haram ini. Erzhan sedang mencari kesanangan di tengah-tengah depresi ya
Secara logika, seharusnya punggung Amira terasa dingin karena dirinya berdiri tepat di depan kulkas yang terbuka, tetapi udara dingin itu tidak terasa sama sekali saat embusan udara panas dari ujung hidung Erzhan menyapa leher serta daun telinganya. Mie dalam genggaman Amira segera jatuh saking gugupnya. Pria ini menyadarinya, kemudian memandangi si gadis tampa melepaskannya dari penjara kedua tangan berotot miliknya. “Lapar?” Seringai tipisnya. Amira mengangguk saat udara seakan terhenti hingga paru-parunya seakan mengering. Jawabannya membuat Erzhan melepaskan penjaranya, mengambilkan mie yang terjatuh. “Kamu bisa memasak?” Tatapannya mulai menghangat hingga atmosfer mengerikan tadi terkikis. Amira kembali mengangguk sebagai jawaban hingga Erzhan berlalu untuk mengambilkan panci yang berada di dalam lemari, meletakannya di atas kompor. “Aku akan kembali ke kamar. Jangan lupa matikan kompornya kalau kamu ingin hidup, jangan sampai kamu terpanggang di tempatku!” Seringai menyeramkan
Amira masih mengekspor villa sederhana ini seiring mencoba merapihkannya dan membersihkan debu-debu tipis di beberapa tempat. Namun, kini Fatma kembali menyusup ke dalam ingatannya. Panggilan disambungkan lewat telepon yang terpasang di rumah. “Ma, maaf Ami belum bisa pulang ....” Gadis ini bertindak sebagaimana seorang anak penurut. “Sudah, tidak perlu pulang!” larang Fatma yang mengira jika hari ini Amira sudah tidak memiliki kesucaian, sedangkan dirinya berhasil mendapatkan uang sebanyak sepuluh juta dari madam. “Maaf Ami buat Mama cemas ...,” tulus seorang gadis berusia delapan belas tahun ini. “Tidak, tidak sama sekali. Lebih baik malam ini kamu minta pada madam untuk membiarkanmu disewa!” Frontal Fatma. Dahi Amira berkerut dalam. “Disewa bagaimana, Ma?” “Astaga ..., kamu sudah melakukannya semalam dengan seorang pria. Lakukan lagi!” Seketika, kalimat Fatma membuat tubuh Amira bergetar hebat. ‘Apa benar mama menjualku?’ Fatma kembali berkata, “Lakukan yang benar, puaskan s
Amira tidak menyukai sikap Erzhan ini, tubuhnya bergetar ketakutan hingga menimbulkan keberanian untuk menepis tangan nakal si pria. “Aku bukan wanita yang Anda sewa setiap malam. Tolong perlakukan aku dengan hormat!” teganya walaupun irama suaranya sulit dijaga karena tubuhnya bergetar, maka bibirnya juga selaras. Erzhan tersenyum hambar seiring memposisikan tubuhnya hingga kembali tegap seperti sebelumnya. “Aku tidak pernah menyewa wanita. Kau harus tahu!” Pria ini berlalu sangat dingin, sedangkan Amira masih duduk di atas sofa. “Apa aku salah bicara? Bagaimana kalau pria itu mengusirku dari sini, aku harus pergi kemana?” Amira mulai cemas karena dirinya tidak memiliki tempat tinggal. Kini, kembali ke rumah ibu tirinya sudah bukan pilihan karena ibunya sendiri sudah tega menjualnya. Apa yang akan terjadi selanjutnya jika dirinya kembali, mungkin akan lebih parah dari ini. Namun, rumah milik Erzhan juga bukan pilihan, tetapi setidaknya Amira masih ingin berada di sini hingga besok
Sejenak, akal sehat Erzhan si manusia super logika terganggu akibat pesona cantik alami yang dihasilkan Amira. Namun, saat fakta jika ibunya sendiri menjual si gadis, maka akal sehat Erzhan kembali kuat bagaikan batu karang.‘Mungkin penampilan luarnya memang bercahaya, tetapi siapa yang tahu penampilan dalamnya hingga ibunya sendiri tega menjualnya pada pria hidung belang!’ Pemikiran ini masih sangat kental di kepalanya. Lalu, dirinya menegur dirinya sendiri. ‘Ck, Erzhan kau sedikit naif karena manusia memiliki banyak alasan untuk melakukan hal keji seperti itu, tapi dengan kejamnya kau berburuk sangka pada wanita yang belum jelas ini. Tapi untuk saat ini biarkan saja prasangkaku mengarah kesana, intinya mungkin gadis ini memberikan efek buruk pada keluarganya. Jadi sadarlah!’Erzhan sudah berhasil mengontrol dirinya, kini dirinya berkata sangat datar, “ Penampilanmu baik dan sopan. Kita akan langsung mengunjungi rumah orangtuaku, tapi ingat jangan panggil aku Anda, tuan atau panggil
Amira dibuat terpaku dengan sikap Erzhan yang ini, tetapi segera tangannya ditarik perlahan. “Kenapa menciumku, apa itu juga bagian dari akting di depan orangtuamu nanti?” Dalam bola mata indahnya menggambarkan jika Amira tidak menyukai perlakukan Erzhan yang ini bahkan dirinya menyimpan rasa takut karena mungkin Erzhan akan menyita kehormatannya.“Tidak.” Tatapan Erzhan masih sangat teduh, kemudian tersenyum kecil dan melanjutkan perjalanan hingga membuat Amira tabu serta kebingungan dengan sikap Erzhan yang ini.Beberapa lama kemudian, mobil menepi di sebuah halaman yang sangat luas. Di hadapannya terdapat bangunan yang sangat besar nan tinggi, ini pertama kalinya Amira menyaksikan rumah sebesar ini.“Ini rumah orangtuaku, mereka sudah menunggu di dalam.” Lembut Erzhan yang Amira pikir adalah bagian dari akting, tetapi sebenarnya sikap ini sangat tulus. Pria ini meninggalkan mobilnya, kemudian membukakan pintu mobil untuk Amira sekalian memberikan telapak tangannya untuk disambut si
Erzhan menyahut kalimat ibunya untuk menambah hangat suasana, “Tentu saja Amira sangat manis, Erzhan tidak mungkin salah memilih.” Kekeh ditambahkan.“Mama sangat menyukai Amira!” aku Maria yang membuat Amira sangat terkejut karena ternyata di balik sikap tak acuh ayahnya Erzhan, ada ibunya Erzhan yang menerimanya dengan sangat baik. Maka, senyuman tersipu menjadi sahutan si gadis.“Terimakasih ....” Satu kalimat Amira yang semakin menambah kesan manis di mata Maria.Kini, Maria mengajak semua orang yang bersamanya untuk makan malam bersama walaupun suaminya masih terlihat sangat tidak nyaman dengan kehadiran seorang gadis yang dibawa putra mereka. Maka, sepanjang menyuap Amira sangat canggung karena seolah Cakrawala selalu menatapnya menggunakan tatapan tidak bersahabat seolah menginginkan dirinya segera keluar dari rumah ini.‘Aku tahu ... aku tidak akan selalu diterima di mana pun, tapi ini terlalu menyakitkan. Padahal aku sedang berpura-pura menjadi pacarnya Erzhan.’ Hati Amira be