Secara logika, seharusnya punggung Amira terasa dingin karena dirinya berdiri tepat di depan kulkas yang terbuka, tetapi udara dingin itu tidak terasa sama sekali saat embusan udara panas dari ujung hidung Erzhan menyapa leher serta daun telinganya. Mie dalam genggaman Amira segera jatuh saking gugupnya. Pria ini menyadarinya, kemudian memandangi si gadis tampa melepaskannya dari penjara kedua tangan berotot miliknya. “Lapar?” Seringai tipisnya.
Amira mengangguk saat udara seakan terhenti hingga paru-parunya seakan mengering. Jawabannya membuat Erzhan melepaskan penjaranya, mengambilkan mie yang terjatuh. “Kamu bisa memasak?” Tatapannya mulai menghangat hingga atmosfer mengerikan tadi terkikis.
Amira kembali mengangguk sebagai jawaban hingga Erzhan berlalu untuk mengambilkan panci yang berada di dalam lemari, meletakannya di atas kompor. “Aku akan kembali ke kamar. Jangan lupa matikan kompornya kalau kamu ingin hidup, jangan sampai kamu terpanggang di tempatku!” Seringai menyeramkannya seolah dirinya adalah pshycopat.
Saat Erzhan berlalu, barulah pasokan udara dalam dada Amira kembali normal. “Ya Tuhan ..., kenapa Ami harus keluar dari kamar, kenapa Ami harus kelaparan ..., kalau perut Ami tidak lapar tidak akan bertemu pria itu kan.” Gadis ini mengomeli dirinya sendiri dan nasibnya. Namun, karena semuanya sudah terlambat maka mie tetap menjadi sumber energinya. Amira memasaknya, kemudian menyantapnya begitu saja tanpa memerdulikan rasa takutnya pada tuan rumah.
Sementara, Erzhan sedang memandangi dirinya di dalam permukaan cermin. “Besok apa yang harus aku lakukan dan penjelasan apa yang harus aku berikan pada papa? Papa inginkah perusahaan kembali berjalan sebagaimana mestinya, tapi aku masih belum mendapatkan solusi sedikit pun. Apakah itu artinya aku gagal. Apakah aku satu-satunya pria yang tidak dapat diandalkan dan tidak dapat menjadi harapan keluarga?”
***
Erzhan menuruni anak tangga sekitar pukul tujuh pagi, tetapi di bawah sana sudah tercium wewangian masakan. Maka, pria ini tidak bisa jika tidak mengintip ke arah dapur. Seorang gadis yang masih memakai kemeja miliknya hingga paha putih nan mulusnya terekspos sedang berdiri di hadapan kompor, tangan kanannya sibuk membalik serta mengaduk sesuatu di dalam penggorengan. “Hm!” Dehamnya. Satu tangannya dimasukan ke dalam saku celana bahan berwarna hitam, berdiri di ambang pintu dapur.
Amira menoleh. “Pagi ...,” sapa ragunya ditambahkan sedikit senyuman dan sikap santun.
“Iya, pagi.” Erzhan melangkah menuju tempat berpijak Amira, mengintip pada sesuatu di dalam penggorengan, ternyata itu memang sebuah menu.
“Kau memasak?” Sebelah alisnya terangkat heran. Pertanyaannya segera mendapatkan jawaban anggukan kecil Amira. “Tidak ada apapun di dalam kulkas selain makanan instan, tapi yang kamu masak sayuran. Dari mana?” heran Erzhan segera diungkapkan.
“Eu-itu—“ ragu Amira menjelaskan, tetapi dirinya harus tetap memberikan jawaban, “tadi aku jalan-jalan di halaman, terus ada ibu-ibu yang ajak aku ke rumahnya, ibu-ibu tetangga kamu. Eu, maksudnya Tuan. Eu-Anda!” Wajahnya segera menunduk gelisah.
“Lalu?” Erzhan ingin mendengarkan cerita selanjutnya tanpa memerdulikan sikap Amira yang memerlihatkan kegelisahannya, bahkan kalimat si gadis sering tergagap.
“Ibu-ibu itu tawarin aku petik sayuran di kebunnya sambil tanya-tanya aku siapa dan apa hubungan aku sama ..., Anda.” Lagi, wajah Amira turun seakan takut salah bicara dan semacamnya.
“Astaga.” Erzhan menepuk dahinya, “semudah itu kamu percaya dan akrab sama orang asing sampai-sampai mau saja diajak ke rumahnya?” Pria ini menggelengkan kepalanya, tetapi Amira hanya mengangguk polos. “Pantas saja ibumu menjualmu!” ceplos frontalnya di akhir hingga membuat Amira memerotes dengan mata berkaca.
“Mama tidak menjualku ....”
Erzhan tidak menanggapi, dirinya segera menggeser bahu Amira hingga tubuh gadis itu bergeser beberapa langkah ke samping. Bunyi klik kompor yang dimatikan si pria menyadarkan Amira jika dirinya sedang memasak. “Aku tidak suka sayurannya dimasak sampai layu.” Datarnya yang segera meninggalkan Amira, beralih duduk seakan menunggu menu yang akan disajikan si gadis. Maka, dengan cekatan Amira menyediakan sarapan untuk Erzhan. Dirinya juga sudah membuat balado telur. Maka, pertanyaan si pria kembali meluncur. “Dapat telur sebanyak ini dari mana?”
“Itu ... dari kang sayur yang tadi lewat. Aku sudah bilang tidak punya uang, tapi katanya kenal sama tuan rumah jadi boleh membuat catatan hutang.” Amira segera menyodorkan catatan hutang telur yang dimaksud.
“Ya Tuhan ....” Lagi, Erzhan dibuat tidak paham dengan kelakuan gadis yang baru saja dikenalnya semalam.
“Apa Anda marah?” Amira tidak memiliki keberanian sama sekali untuk duduk. Jadi, dirinya tetap berdiri seiring menunggu dipersilakan walaupun tidak berharap Erzhan akan menambah kebaikannya padanya.
“Lupakan.” Datar Erzhan yang tidak ingin membahasnya, “duduklah, kita sarapan.” Kali ini senyuman tipis ditambahkan walau alakadarnya dan terlihat tidak berniat sama sekali. Hendak dirinya mengambil sendok nasi, tetapi Amira sudah mendahui lalu mengisi piring milik Erzhan hingga sesaat pria ini dibuat tabu dengan sikap si gadis, tetapi dirinya tidak menolak perhatian seperti ini.
Setelah mengisi perut, Erzhan berpesan, “Jangan kemanapun, aku akan mengantarmu sore ini!” Amira segera menjawab dengan anggukan patuh. Hendak membuka pintu mobil, tetangga menyapa Erzhan.
“Nak Erzhan punya adik yang cantik,” kekeh hangat wanita tua ini. Maka, Erzhan membalas dengan ekspresi yang sama karena walaupun pria ini hidup dengan misterius, tetapi segelintir orang di sekitar sini mengenalnya sebagai pribadi hangat dan terpelajar.
“Iya, begitulah.” Senyuman ramah Erzhan ke arah tetangga, tetapi kemudian melirik tidak bersahabat pada Amira. ‘Bisa-bisanya dia mengaku sebagai adikku. Astaga ..., prilakunya memang sulit ditebak.’ Sikap Amira di pagi hari memang berhasil memberikan kejutan tidak terduga, sikapnya memang tidak mengganggu tetapi tidak akan membuat Erzhan memeliharanya di rumah, pria ini akan tetap mengantarkan si gadis pada keluarganya yang tega menjualnya. “Gadis malang ....” Pertama kalinya rasa empati bersarang, tetapi karena masalah yang dimilikinya lebih besar, maka Erzhan mengabaikan nasib Amira.
Setibanya di perusahaan, sang ayah sudah di sana. “Bagaimana sekarang?” pertanyaan mendesak ini adalah penyambut Erzhan.
“Erzhan akan tetap mencari jalan keluarnya, Pa ...,” santunnya bersama rasa hormat.
“Papa sudah berusaha mempercayai kamu, Nak. Tapi kamu mengecewakan.” Tatapan mengiris Cakrwala, kemudian tiba-tiba saja emosinya melonjak, “kamu juga mempermalukan Papa. Apa tujuan kamu mendatangi tempat kotor!”
Seketika, Erzhan mengerjap kaget. “A-pa maksud Papa?”
“Jangan kamu pikir Papa tidak tahu semalam kamu memesan seorang wanita. Lalu bagaimana dengan perjodohan kamu bersama Alisha. Kamu sangat mengecewakan, Erzhan!” Dengusan Cakrawala, kemudian tumbang di atas sofa. “Perjodohan kalian akan tetap berlangsung, malam ini kalian bertunangan. Tolong jangan kecewakan Papa lagi!” Pria ini masih bisa bersabar menunggu Erzhan memperbaiki saham perusahaan, tetapi jika tentang kehormatan rasanya sangat fatal dan tidak bisa ditunggu, Cakrwala harus segera memperbaikinya.
‘Aku tidak menyukai Alisha, apa aku harus membawa gadis itu, mengenalkannya sebagai kekasihku, supaya perjodohan dengan Alisha dibatalkan?’
Bersambung ....
Amira masih mengekspor villa sederhana ini seiring mencoba merapihkannya dan membersihkan debu-debu tipis di beberapa tempat. Namun, kini Fatma kembali menyusup ke dalam ingatannya. Panggilan disambungkan lewat telepon yang terpasang di rumah. “Ma, maaf Ami belum bisa pulang ....” Gadis ini bertindak sebagaimana seorang anak penurut. “Sudah, tidak perlu pulang!” larang Fatma yang mengira jika hari ini Amira sudah tidak memiliki kesucaian, sedangkan dirinya berhasil mendapatkan uang sebanyak sepuluh juta dari madam. “Maaf Ami buat Mama cemas ...,” tulus seorang gadis berusia delapan belas tahun ini. “Tidak, tidak sama sekali. Lebih baik malam ini kamu minta pada madam untuk membiarkanmu disewa!” Frontal Fatma. Dahi Amira berkerut dalam. “Disewa bagaimana, Ma?” “Astaga ..., kamu sudah melakukannya semalam dengan seorang pria. Lakukan lagi!” Seketika, kalimat Fatma membuat tubuh Amira bergetar hebat. ‘Apa benar mama menjualku?’ Fatma kembali berkata, “Lakukan yang benar, puaskan s
Amira tidak menyukai sikap Erzhan ini, tubuhnya bergetar ketakutan hingga menimbulkan keberanian untuk menepis tangan nakal si pria. “Aku bukan wanita yang Anda sewa setiap malam. Tolong perlakukan aku dengan hormat!” teganya walaupun irama suaranya sulit dijaga karena tubuhnya bergetar, maka bibirnya juga selaras. Erzhan tersenyum hambar seiring memposisikan tubuhnya hingga kembali tegap seperti sebelumnya. “Aku tidak pernah menyewa wanita. Kau harus tahu!” Pria ini berlalu sangat dingin, sedangkan Amira masih duduk di atas sofa. “Apa aku salah bicara? Bagaimana kalau pria itu mengusirku dari sini, aku harus pergi kemana?” Amira mulai cemas karena dirinya tidak memiliki tempat tinggal. Kini, kembali ke rumah ibu tirinya sudah bukan pilihan karena ibunya sendiri sudah tega menjualnya. Apa yang akan terjadi selanjutnya jika dirinya kembali, mungkin akan lebih parah dari ini. Namun, rumah milik Erzhan juga bukan pilihan, tetapi setidaknya Amira masih ingin berada di sini hingga besok
Sejenak, akal sehat Erzhan si manusia super logika terganggu akibat pesona cantik alami yang dihasilkan Amira. Namun, saat fakta jika ibunya sendiri menjual si gadis, maka akal sehat Erzhan kembali kuat bagaikan batu karang.‘Mungkin penampilan luarnya memang bercahaya, tetapi siapa yang tahu penampilan dalamnya hingga ibunya sendiri tega menjualnya pada pria hidung belang!’ Pemikiran ini masih sangat kental di kepalanya. Lalu, dirinya menegur dirinya sendiri. ‘Ck, Erzhan kau sedikit naif karena manusia memiliki banyak alasan untuk melakukan hal keji seperti itu, tapi dengan kejamnya kau berburuk sangka pada wanita yang belum jelas ini. Tapi untuk saat ini biarkan saja prasangkaku mengarah kesana, intinya mungkin gadis ini memberikan efek buruk pada keluarganya. Jadi sadarlah!’Erzhan sudah berhasil mengontrol dirinya, kini dirinya berkata sangat datar, “ Penampilanmu baik dan sopan. Kita akan langsung mengunjungi rumah orangtuaku, tapi ingat jangan panggil aku Anda, tuan atau panggil
Amira dibuat terpaku dengan sikap Erzhan yang ini, tetapi segera tangannya ditarik perlahan. “Kenapa menciumku, apa itu juga bagian dari akting di depan orangtuamu nanti?” Dalam bola mata indahnya menggambarkan jika Amira tidak menyukai perlakukan Erzhan yang ini bahkan dirinya menyimpan rasa takut karena mungkin Erzhan akan menyita kehormatannya.“Tidak.” Tatapan Erzhan masih sangat teduh, kemudian tersenyum kecil dan melanjutkan perjalanan hingga membuat Amira tabu serta kebingungan dengan sikap Erzhan yang ini.Beberapa lama kemudian, mobil menepi di sebuah halaman yang sangat luas. Di hadapannya terdapat bangunan yang sangat besar nan tinggi, ini pertama kalinya Amira menyaksikan rumah sebesar ini.“Ini rumah orangtuaku, mereka sudah menunggu di dalam.” Lembut Erzhan yang Amira pikir adalah bagian dari akting, tetapi sebenarnya sikap ini sangat tulus. Pria ini meninggalkan mobilnya, kemudian membukakan pintu mobil untuk Amira sekalian memberikan telapak tangannya untuk disambut si
Erzhan menyahut kalimat ibunya untuk menambah hangat suasana, “Tentu saja Amira sangat manis, Erzhan tidak mungkin salah memilih.” Kekeh ditambahkan.“Mama sangat menyukai Amira!” aku Maria yang membuat Amira sangat terkejut karena ternyata di balik sikap tak acuh ayahnya Erzhan, ada ibunya Erzhan yang menerimanya dengan sangat baik. Maka, senyuman tersipu menjadi sahutan si gadis.“Terimakasih ....” Satu kalimat Amira yang semakin menambah kesan manis di mata Maria.Kini, Maria mengajak semua orang yang bersamanya untuk makan malam bersama walaupun suaminya masih terlihat sangat tidak nyaman dengan kehadiran seorang gadis yang dibawa putra mereka. Maka, sepanjang menyuap Amira sangat canggung karena seolah Cakrawala selalu menatapnya menggunakan tatapan tidak bersahabat seolah menginginkan dirinya segera keluar dari rumah ini.‘Aku tahu ... aku tidak akan selalu diterima di mana pun, tapi ini terlalu menyakitkan. Padahal aku sedang berpura-pura menjadi pacarnya Erzhan.’ Hati Amira be
Amira mengeryitkan dahinya. “Kenapa menjemputku lagi? Aku kira urusan kita sudah selesai.”“Belum. Karena papa belum menerimamu, jadi pasti suatu hari nanti atau mungkin dalam waktu dekat ini aku kembali membutuhkanmu untuk berpura-pura menjadi kekasihku.” Erzhan tidak menyembunyikan maksudnya.“Tapi aku tidak yakin kalau sudah pulang ke rumah bisa keluar rumah kapan saja.” Pun, Amira tidak menyembunyikan hidupnya.“Aku bisa meminta izin pada orangtuamu.” Santai Erzhan.“Entahlah ....” Segera, ingatan tentang Fatma menari-nari. Sebelum malam dirinya dijual pada pria hidung belang, Fatma pernah berkata pada Amira yang di dalamnya hanya kalimat larangan.“Jangan meninggalkan rumah kalau memang tidak ada keperluan. Lebih baik kamu tinggal di rumah, bersihkan rumah dan sediakan makanan untuk mama dan Tasya. Kamu kan tidak ada kerjaan, keluar juga hanya bermain. Lihat Tasya, sekarang adik kamu mendapatkan kesempatan masuk ke bidang entertain, menjadi trainee karena bisa menyanyi, sambut ad
Kediaman Amira memang cukup jauh dari villa milik Erzhan, perjalanan yang mereka tempuh menghabiskan waktu sekitar dua jam. Kini, mobil Erzhan berhenti di sebuah lapangan. “Di mana rumah kamu?” herannya karena ini hanyalah lahan kosong yang dipenuhi dengan kendaraan yang sedang parkir.“Rumah aku masih jauh, harus masuk ke dalam gang.” Saat ini detak jantung Amira tidak karuan karena segera setelah ini dirinya akan bertemu dengan ibunya dan mendengar dengan jelas apakah ibunya khilaf atau memang sengaja menjualnya.“Iya sudah, aku akan mengantarmu sampai rumah.” Sealtbel dilepas tanpa keraguan karena niat Erzhan menyaksikan secara langsung tampang ibu tiri Amira masih meronta ingin memuaskan rasa laparnya.“Tapi ....” Amira masih duduk tanpa bergeser, bahkan sealtbel masih melingkar di dadanya.“Kenapa. Kau berubah pikiran?” Erzhan pikir akan sangat wajar jika Amira mengurungkan niatnya untuk pulang pada ibu yang telah menjualnya.“Bukan begitu ..., aku-cuma ....” Amira mengadukan ked
Erzhan berlalu, maka di sini Amira hanya tinggal sendirian. “Aku harus mulai beres-beres dari mana, kenapa rumah sangat berantakan?” keluhnya. Maka harinya diawali dengan membereskan rumah.Tidak sampai tiga puluh menit, seorang kulir mengunjungi kediaman Amira. “Selamat pagi, apa benar ini rumah Amira Diani?”“Eu, iya, saya sendiri,” bingung Amira karena dirinya tidak memesan makanan.Sebuah kertas disodorkan. “Nona, tolong tanda tangan di sini. Saya mengirimkan makanan dari saudara Erzhan.”“Heuh!” Amira dibuat kaget karena ternyata Erzhan si pria dingin itu yang memberinya makanan. Kini, Amira sudah menerima banyak sekali menu, terdapat sekitar sepuluh menu lengkap dengan nasi dan minumannya. “Kenapa dia mengirimkan banyak sekali makanan? Oh, apa mungkin untuk aku santap bersama mama dan Tasya.” Bahunya menggendik setelah berprasangka baik, padahal tujuan Erzhan mengirimkan makanan untuk disantap Amira karena sepertinya gadis itu tidak memiliki uang sepeser pun bahkan upah darinya