Home / Romansa / Gadis 50 Juta Sang Presdir / Bab 3. Menginaplah di Villa Milikku

Share

Bab 3. Menginaplah di Villa Milikku

Amira hanya terpaku seiring menatap bingung serta takut ke arah dalam mobil yang terlihat sangat mewah, kemudian berkata saat hampir menangis, “Tapi aku bukan gadis seperti itu ..., aku tidak pernah berniat menemui pria seperti Anda.”

Mendengar kalimat Amira membuat Erzhan tersenyum kecut, kemudian bersikap datar. “Masuk saja atau mungkin kamu lebih suka menghabiskan malam ini dengan banyak pria, hm?” Seringainya tidak terbaca. Mendengar kalimatnya membuat Amira semakin bergidik, tetapi masuk ke dalam mobil pun bukan pilihan.

Namun, saat ini Amira tidak mengetahui jalan pulang, terlebih dirinya tidak ingin terus tinggal di tempat seperti ini. Maka, keputusannya diambil. Gadis ini melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam mobil milik Erzhan. Pria ini hanya bersikap datar saat seorang gadis cantik duduk di sisinya, gadis yang notabene adalah barang dagangan madam. Sebenarnya, ini pertama kalinya dia menapaki tempat haram ini. Erzhan sedang mencari kesanangan di tengah-tengah depresi yang dialaminya.

Erzhan Anggara adalah pewaris tunggal AB Gruf, dirinya dituntut sempurna oleh sang ayah yang memiliki sumber kekayaan dalam banyak bidang yang salah satunya perdagangan. AB Gruf memiliki sebuah brand dagang yang kini menjadi tanggung jawab Erzhan.

Namun, tidak semudah itu pria berusia dua puluh tujuh tahun ini merintis karier, banyak sekali tantangan dan krikil berserakan dalam perjalanannya, hingga kemarin dirinya mengalami penurunan saham perusahaan sebanyak 60% hal itu membuatnya tersedak desakan sang ayah-Cakrawala.

Erzhan merasa frustrasi, tetapi tidak memiliki sandaran sama sekali saat Cakawala mendesaknya lagi dan lagi. Hal ini memang wajar karena ayahnya membangun kesuksesan dari nol, tetapi semudah membalik telapak tangan putranya menghancurkan prestasi yang didapat dengan susah payah.

Maka, pria ini pikir meniduri seorang wanita muda nan masih suci bisa menjadi pelampiasan sementara, tetapi tidak disangka jika kini dirinya dihadapkan pada gadis belia, daun muda yang baru saja melihat warna gelap dunia.

Mobil berhenti di sebuah halaman rumah, rumahnya tidak besar, tetapi masih bisa dihuni oleh empat atau lima orang. “Ini rumahku, malam ini menginap saja. Besok aku akan mengantarmu.” Dingin Erzhan seiring melepas seat belt.

“Tapi ... bagaimana mama aku?” Sebenarnya Amira sedang mencoba memohon supaya pria di sisinya berbaik hati mengantarnya ke keluarganya dibandingkan membawanya kesini.

Tatapan Erzhan semakin dingin. “Sudah aku bilang tadi, mamamu tidak akan mencari. Malam ini kamu dijual pada pria hidung belang! Apa sampai sini kamu masih belum paham?”

“Ta-tapi mana mungkin mama melakukannya ....” Amira tidak ingin asumsinya tentang ibu terkontaminasi oleh kalimat pria yang tidak dikenalinya.

Erzhan mulai tersenyum nakal, wajahnya mendekat perlahan ke arah Amira. “Kenyataannya memang seperti itu, Sayang ...,” Punggungnya kembali diluruskan, “tapi kamu tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu walaupun uang lima puluh juta sirna begitu saja!” Dengusan ditambahkan. Pria ini keluar dari mobil saat tubuh Amira masih bergetar ketakutan, bahkan kedua bola mata si gadis ikut bergetar seiring mengikuti arah langkah Erzhan hingga membukakan pintu mobil untuknya. “Keluar dari mobilku.” Dinginnya bagaikan kutub.

Seal belt dilepaskan bersama keraguan hingga akhirnya Amira menapaki halaman yang tidak begitu luas. “I-ini ... tempat apa?” Gadis ini terlalu takut jika dirinya harus memasuki tempat sejenis dengan yang pernah dipijaknya tadi bersama sang ibu.

Suara halus pintu mobil ditutup baru saja ikut mengisi keheningan malam. “Ini vila, tempatku mendinginkan kepala. Seharusnya aku tidak pernah membawa siapapun kesini karena ini tempat privasi. Kamu yang pertama, jadi jangan sia-siakan kebaikanku!” Sikap dinginnya masih bertahan. Punggung lebarnya beralik, menjauh perlahan, langkahnya sangat gagah.

Amira masih terpaku, dirinya memang baru saja membuka mata pada dunia, tapi yang dilihatnya adalah sisi kelam dunia ini. Kedua matanya sudah memanas hendak menangis saat kalimat Erzhan terngiang-ngiang jika ibunya sendiri menjualnya. “Apa salah Ami, Ma ...,” desah lirihnya.

Saat ini pintu utama sudah dibuka oleh Erzhan. “Sampai kapan kau akan berdiri di situ? Apa kamu tidak mau masuk? Kalau begitu aku akan membiarkanmu tidur di luar.” Pria ini sedikit berteriak walau nada suaranya tetap santai.

Segera, langkah kaki Amira menariknya masuk ke dalam bangunan yang katanya adalah vila. Tidak banyak yang bisa dilihatnya di sini, bahkan furniture di ruang tamu hanya alakadarnya walau tetap estetik. Amira menyebarkan tatapannya bersama perasaan cemas. Apa benar ini tempat yang tepat untuk dipijaknya? Isi kepalanya seolah berdengung.

Erzhan memimpin langkah supaya Amira mengikutinya naik ke lantai dua, kemudian membukakan pintu salah satu kamar. “Masuklah, aku akan membawakan baju.” Suaranya masih selalu terdengar dingin bahkan lirikannya seolah tidak berniat menatap Amira. Pria ini masuk ke dalam kamar sebelah, tidak lama dirinya kembali, masuk ke dalam kamar yang menaungi Amira. Sebuah kemeja disodorkan, “Aku hanya punya ini. Pakai saja!” Amira berdiri mematung menatap pakaian berwarna navi itu.

“Itu ..., pakaian pria.”

“Aku memang pria, kan!” Tatapan Erzhan seolah menyimpan amarah.

“Maaf ....” Amira segera meraih lembut pakaian dalam telapak tangan Erzhan. Gadis ini tampak seperti gadis penurut pada umumnya hingga membuat Erzhan berpikir ulang untuk memperlakukannya sebagaimana wanita matang. Dirinya mulai memperhalus kalimat serta menambahkan sedikit kehangatan dalam ekspresinya.

“Tidurlah, kunci pintunya dari dalam. Kamu harus memastikan tidak boleh ada yang menyentuh tubuhmu, termasuk aku.” Erzhan berhasil membuat kehangatan walau hanya setipis lembaran tissue, tetapi hal itu cukup membuat Amira merasa lebih tenang. Jadi, kini Amira berbaring di dalam ruangan kamar yang sangat asing.

“Ma, tidak mungkin kan mama jual Amira? Pasti pria itu salahpaham, apa sekarang mama mencari Ami? Maaf ..., Ami tidak bisa menghubungi, Ami terlalu takut meminjam handphone dari pria itu ....” Saat ini pemikiran positif masih terbentuk dalam hati serta pikiran si gadis karena bagaimanapun juga Fatma adalah sosok wanita yang sudah tiga belas tahun bersamanya, membesarkannya, mendidiknya walau Fatma tidak pernah bersikap hangat padanya.

Beberapa jam berlalu, tepatnya tengah malam perut Amira bergejolak meminta jatah. Kedua kelopak matanya terbuka begitu saja, pun kedua lengannya refleks menekan perut. “Kenapa harus lapar sih ..., tapi wajar saja, aku belum makan dari siang,” keluhannya. Semakin lama ditahan, justru perutnya semakin bergemuruh hingga membuatnya harus mencari sumber energi.

Perlahan, derap langkah diambilnya. Tujuan Amira hanya dapur, maka langkah kaki indahnya menyusuri anak tangga karena kemungkinan besar dapur selalu berada di lantai bawah. Semua ruangan yang dilewatinya hanya disinari oleh lampu-lampu kecil saja. “Oops!” Hampir saja sebuah vas bunga menjadi bahan kegaduhan jika saja kedua tangannya tidak cekatan.

Cukup sulit menilai ruangan dalam keadaan remang-remang, tetapi akhirnya ruangan tempat penyimpanan makanan ditemukan. Senyuman Amira melebar begitu saja, kulkas dibuka, tetapi hanya makanan instan yang didapatnya. Sebuah mie sudah di dalam genggaman. “Aku harus memasak ini, tapi aku takut akan membangunkan pria itu ...,” keluhannya.

“Hm!” Dehaman Erzhan terdengar lagi di depan punggung Amira. Sekujur tubuh gadis ini segera membeku hingga akhirnya tubuhnya dibalik lembut oleh tuan rumah. Tatapan mereka saling bertumpuk, tetapi tatapan pria ini cukup liar, kedua mata nakalnya menjelajah pada bibir dan bagian dada Amira. Wajah Erzhan menelusup perlahan pada leher bagian kiri si gadis, dirinya berbisik, “Apa kamu tidak mendengar, kalau kamu harus mengunci pintu kamar rapat-rapat, tapi yang kamu lakukan keluar dari kamar?” Embusan napasnya terasa panas saat memenjarakan tubuh Amira menggunakan kedua lengan berotot padatnya.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status