Amira masih mengekspor villa sederhana ini seiring mencoba merapihkannya dan membersihkan debu-debu tipis di beberapa tempat. Namun, kini Fatma kembali menyusup ke dalam ingatannya. Panggilan disambungkan lewat telepon yang terpasang di rumah. “Ma, maaf Ami belum bisa pulang ....” Gadis ini bertindak sebagaimana seorang anak penurut.
“Sudah, tidak perlu pulang!” larang Fatma yang mengira jika hari ini Amira sudah tidak memiliki kesucaian, sedangkan dirinya berhasil mendapatkan uang sebanyak sepuluh juta dari madam.
“Maaf Ami buat Mama cemas ...,” tulus seorang gadis berusia delapan belas tahun ini.
“Tidak, tidak sama sekali. Lebih baik malam ini kamu minta pada madam untuk membiarkanmu disewa!” Frontal Fatma.
Dahi Amira berkerut dalam. “Disewa bagaimana, Ma?”
“Astaga ..., kamu sudah melakukannya semalam dengan seorang pria. Lakukan lagi!”
Seketika, kalimat Fatma membuat tubuh Amira bergetar hebat. ‘Apa benar mama menjualku?’
Fatma kembali berkata, “Lakukan yang benar, puaskan semua pria yang memesanmu. Dengan cara itu hidupmu akan lebih baik!” Wanita ini dijanjikan uang sepuluh juta oleh madam-wanita yang tidak diketahui nama aslinya, dirinya juga dijanjikan bahwa putrinya akan menadapatkan hidup lebih layak karena pemesan akan memberikan tips saat service yang diberikan melebihi ekspektasi, bahkan beberapa wanita sudah memiliki aset pribadi dari hasil menjual diri.
Selama ini kehidupan Fatma dan Bagas hanya berada di lingkaran kesederhanaan. Fatma membawa seorang putri dari pernikahan sebelumnya. Setelah Bagas tiada, kehidupan mereka semakin terpuruk maka tidak ada alasan memelihara Amira. Jadi, dengan teganya Fatma menjual anak tirinya pada madam.
Tut ....
Panggilan terputus begitu saja, bukan oleh Amira, tapi Fatma yang melakukannya. Sementara, gadis ini terkulai lemas, memikirkan sikap ibunya yang di luar dugaannya. “Ami bukan wanita jalang Ma ..., kenapa Mama menjual Ami ...,” ringisannya saat dadanya seakan ditusuk ribuan duri.
Niatnya untuk kembali segera kandas, tetapi dia juga tidak bisa jika harus berada di dalam rumah orang asing terus menerus. Maka, Amira memutuskan pergi menggunakan gaun yang ditimpa dengan kemeja supaya dirinya tidak berkeliaran dengan pakaian terbuka.
Namun, entah kemana tujuan Amira. Kini, langkahnya sudah tertatih walaupun baru saja menyapa halaman. “Aku tidak punya uang sama sekali, aku juga tidak punya tempat tujuan ...,” lirihnya.
Bayangan sang ayah menelusup. Bagas pernah berpesan sebelum akhirnya embusan napas terakhir dibuang, “Nak, jika Papa sudah tidak ada jaga mama dan adikmu walau mamamu bukan yang melahirkanmu dan walaupun adik perempuanmu tidak memiliki aliran darah yang sama.”
“Ami janji akan menjaga mama dan Tasya,” ucap tanpa keraguan Amira setahun sebelum ayahnya meninggal, tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun. Jadi, saat kawan-kawannya berbangga diri karena menginjak usia dewasa awal, justru Amira harus kehilangan sang ayah hingga satu tahun berikutnya dirinya hanya tinggal bersama Fatma dan Tasya-adiknya yang berbeda satu tahun.
Sepeninggalan sang ayah, sikap Fatma memang berubah perlahan. Tidak ada senyuman sama sekali padahal sebelum Bagas tiada, wanita ini masih bisa membentuk senyuman pada Amira walaupun hanya di hadapan suaminya saja. Amira memang tetap diperlakukan manusiawi hanya saja setahun ke belakang dirinya sering diabaikan atau kalaupun diajak bicara, Fatma hanya membanding-bandingkan Amira dan Tasya.
Namun, bagaimanapun sikap Fatma, Amira tidak pernah ambil hati toh semua ucapannya benar. Sejak lulus sekolah menengah atas dirinya belum bisa mendapatkan pekerjaan, maka keuangan keluarga sepenuhnya ditanggung Fatma, sedangkan Tasya sudah bisa menghasilkan uang walaupun masih di bangku sekolah menengah atas, gadis itu memiliki bakat menyanyi, dia memanfaatkan sosial media dan jalan mulus yang dibukakan pihak sekolah untuk mewadahi bakatnya.
“Nak Ami ...,” sapa tetangga yang sedang melihat Amira termenung. Dirinya bukanlah wanita muda, usianya sudah sekitar lima puluh lima tahun.
Segera, indera pendengaran Amira menerima gelombang suara tidak asing itu. Maka, lehernya menoleh cukup cepat. “Iya, Bu ...,” ramah nan hangatnya.
“Nak Ami tidak ada teman ya karena Nak Erzhan pergi ke kantor? Kebetulan ibu juga selalu sendiri jika suami sedang pergi ke kantor,” kekeh hangat nan lembutnya.
Amira tersenyum kecil karena niatnya meninggalkan rumah telah sirna, hatinya memenuhi panggilan alam jika dirinya harus menemani tetangga yang telah berbaik hati ini. “Mau Ami temani?”
***
Tengah hari Erzhan kembali, tetapi lagi-lagi dia dikagetkan oleh Amira. “Dress punya siapa yang kamu pakai?” selidiknya seiring memandangi kaki bersinar Amira karena saking mulusnya.
“Ini dari tetangga, katanya dress yang sudah tidak dipakai anaknya.” Senyuman cerah Amira saat melebarkan sedikit roknya hingga pahanya sedikit terekspos. Dress yang dipakainya cukup sopan karena memiliki panjang di bawah lutut.
“Astaga ....” Erzhan mendudukan dirinya di atas sofa, “duduklah!” titahnya pada Amira. Seketika, gadis ini patuh karena dirinya sangat tahu diri telah menumpang berteduh di kediaman si pria.
“Ada apa, apa aku melakukan kesalahan?” tanya polos Amira.“Tidak.” Erzhan menjeda dua detik, “maksudku, kamu tidak pernah melakukan kebenaran jadi kesalahan kamu tidak terhitung!” Erzhan membuang wajahnya sesaat. Selama ini dirinya hidup dengan misterius di daerah ini, tetapi saat memasukan Amira seakan perlahan privasinya digerogoti kelakuan di luar nalar si gadis.
“Maaf ... aku ....” Kalimat Amira terjeda karena Erzhan mengangkat jari telunjuknya di atas permukaan bibirnya, tetapi tidak bernada sama sekali.
“Apa kamu tetap berniat pulang?” pertanyaan ini tiba-tiba saja meluncur. Maka, Amira dibuat bergeming sendu. Wajahnya menunduk pilu hingga Erzhan mampu membaca jika gadis polos di hadapannya mulai mengerti keadaan. Sebelum mendapatkan jawaban, pria ini melanjutkan kalimatnya, “jadilah pacarku walau hanya pura-pura.”
Seketika, wajah Amira terangkat kaget, “Heuh!”
Saat ini Erzhan memasang tatapan membidik. “Aku akan membayarmu setiap kali kamu mau dikenalkan pada keluargaku. Kamu juga bisa tinggal di sini sesuka hati.”
Amira membelalak, mata indahnya berubah bulat, tetapi justru membuatnya semakin hidup, seolah dirinya adalah sosok yang keluar dari lukisan. Wajahnya lebih memersona dan memancar hingga membuat Erzhan berpikir dirinya tidak salah memilih target. “Ta-tapi ..., mana bisa aku pura-pura jadi pacar Anda.” Sebagai gadis lugu, tentu saja jawaban ini normal.
“Erzhan. Itu namaku!” Pria berperawakan atletis ini mulai memperkenalkan dirinya. Namun, bibir Amira mengatup seolah tidak peduli pada jati diri si pria.
“Tapi ... aku tidak mau ....”
“Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu.” Tatapan Erzhan mengkilatkan sebuah ketulusan karena dirinya memang tidak berselera pada daun muda seperti ini, baginya ini terlalu muda, tidak menantang sama sekali.
“Tapi ....”
Lagi, Erzhan memotong kalimat Amira, “Semua biaya hidup kamu, aku yang tanggung. Bahkan rumah ini bisa kamu tinggali hingga kamu bosan.”
“Aku kan belum mengatakan dengan tegas setuju atau tidak, tapi Anda selalu menawarkan ini dan itu seolah aku harus setuju!” Suara Amira mulai lantang karena sejak tadi seolah Erzhan tidak memberinya kesempatan untuk memberikan jawaban atas tawarannya yang mendekati perintah di ruang dengar Amira.
“Waw, kamu bisa marah. Hm ....” Erzhan mulai menggoda, dagu indah Amira disentuh sensual hingga wajah si gadis terangkat. ‘Apa sosok kedewasaanmu mulai tumbuh, honey!’ Jika benar, maka Erzhan mulai berpikir ulang tentang daun muda yang tadinya tidak membuatnya berselera.
Bersambung ....
Amira tidak menyukai sikap Erzhan ini, tubuhnya bergetar ketakutan hingga menimbulkan keberanian untuk menepis tangan nakal si pria. “Aku bukan wanita yang Anda sewa setiap malam. Tolong perlakukan aku dengan hormat!” teganya walaupun irama suaranya sulit dijaga karena tubuhnya bergetar, maka bibirnya juga selaras. Erzhan tersenyum hambar seiring memposisikan tubuhnya hingga kembali tegap seperti sebelumnya. “Aku tidak pernah menyewa wanita. Kau harus tahu!” Pria ini berlalu sangat dingin, sedangkan Amira masih duduk di atas sofa. “Apa aku salah bicara? Bagaimana kalau pria itu mengusirku dari sini, aku harus pergi kemana?” Amira mulai cemas karena dirinya tidak memiliki tempat tinggal. Kini, kembali ke rumah ibu tirinya sudah bukan pilihan karena ibunya sendiri sudah tega menjualnya. Apa yang akan terjadi selanjutnya jika dirinya kembali, mungkin akan lebih parah dari ini. Namun, rumah milik Erzhan juga bukan pilihan, tetapi setidaknya Amira masih ingin berada di sini hingga besok
Sejenak, akal sehat Erzhan si manusia super logika terganggu akibat pesona cantik alami yang dihasilkan Amira. Namun, saat fakta jika ibunya sendiri menjual si gadis, maka akal sehat Erzhan kembali kuat bagaikan batu karang.‘Mungkin penampilan luarnya memang bercahaya, tetapi siapa yang tahu penampilan dalamnya hingga ibunya sendiri tega menjualnya pada pria hidung belang!’ Pemikiran ini masih sangat kental di kepalanya. Lalu, dirinya menegur dirinya sendiri. ‘Ck, Erzhan kau sedikit naif karena manusia memiliki banyak alasan untuk melakukan hal keji seperti itu, tapi dengan kejamnya kau berburuk sangka pada wanita yang belum jelas ini. Tapi untuk saat ini biarkan saja prasangkaku mengarah kesana, intinya mungkin gadis ini memberikan efek buruk pada keluarganya. Jadi sadarlah!’Erzhan sudah berhasil mengontrol dirinya, kini dirinya berkata sangat datar, “ Penampilanmu baik dan sopan. Kita akan langsung mengunjungi rumah orangtuaku, tapi ingat jangan panggil aku Anda, tuan atau panggil
Amira dibuat terpaku dengan sikap Erzhan yang ini, tetapi segera tangannya ditarik perlahan. “Kenapa menciumku, apa itu juga bagian dari akting di depan orangtuamu nanti?” Dalam bola mata indahnya menggambarkan jika Amira tidak menyukai perlakukan Erzhan yang ini bahkan dirinya menyimpan rasa takut karena mungkin Erzhan akan menyita kehormatannya.“Tidak.” Tatapan Erzhan masih sangat teduh, kemudian tersenyum kecil dan melanjutkan perjalanan hingga membuat Amira tabu serta kebingungan dengan sikap Erzhan yang ini.Beberapa lama kemudian, mobil menepi di sebuah halaman yang sangat luas. Di hadapannya terdapat bangunan yang sangat besar nan tinggi, ini pertama kalinya Amira menyaksikan rumah sebesar ini.“Ini rumah orangtuaku, mereka sudah menunggu di dalam.” Lembut Erzhan yang Amira pikir adalah bagian dari akting, tetapi sebenarnya sikap ini sangat tulus. Pria ini meninggalkan mobilnya, kemudian membukakan pintu mobil untuk Amira sekalian memberikan telapak tangannya untuk disambut si
Erzhan menyahut kalimat ibunya untuk menambah hangat suasana, “Tentu saja Amira sangat manis, Erzhan tidak mungkin salah memilih.” Kekeh ditambahkan.“Mama sangat menyukai Amira!” aku Maria yang membuat Amira sangat terkejut karena ternyata di balik sikap tak acuh ayahnya Erzhan, ada ibunya Erzhan yang menerimanya dengan sangat baik. Maka, senyuman tersipu menjadi sahutan si gadis.“Terimakasih ....” Satu kalimat Amira yang semakin menambah kesan manis di mata Maria.Kini, Maria mengajak semua orang yang bersamanya untuk makan malam bersama walaupun suaminya masih terlihat sangat tidak nyaman dengan kehadiran seorang gadis yang dibawa putra mereka. Maka, sepanjang menyuap Amira sangat canggung karena seolah Cakrawala selalu menatapnya menggunakan tatapan tidak bersahabat seolah menginginkan dirinya segera keluar dari rumah ini.‘Aku tahu ... aku tidak akan selalu diterima di mana pun, tapi ini terlalu menyakitkan. Padahal aku sedang berpura-pura menjadi pacarnya Erzhan.’ Hati Amira be
Amira mengeryitkan dahinya. “Kenapa menjemputku lagi? Aku kira urusan kita sudah selesai.”“Belum. Karena papa belum menerimamu, jadi pasti suatu hari nanti atau mungkin dalam waktu dekat ini aku kembali membutuhkanmu untuk berpura-pura menjadi kekasihku.” Erzhan tidak menyembunyikan maksudnya.“Tapi aku tidak yakin kalau sudah pulang ke rumah bisa keluar rumah kapan saja.” Pun, Amira tidak menyembunyikan hidupnya.“Aku bisa meminta izin pada orangtuamu.” Santai Erzhan.“Entahlah ....” Segera, ingatan tentang Fatma menari-nari. Sebelum malam dirinya dijual pada pria hidung belang, Fatma pernah berkata pada Amira yang di dalamnya hanya kalimat larangan.“Jangan meninggalkan rumah kalau memang tidak ada keperluan. Lebih baik kamu tinggal di rumah, bersihkan rumah dan sediakan makanan untuk mama dan Tasya. Kamu kan tidak ada kerjaan, keluar juga hanya bermain. Lihat Tasya, sekarang adik kamu mendapatkan kesempatan masuk ke bidang entertain, menjadi trainee karena bisa menyanyi, sambut ad
Kediaman Amira memang cukup jauh dari villa milik Erzhan, perjalanan yang mereka tempuh menghabiskan waktu sekitar dua jam. Kini, mobil Erzhan berhenti di sebuah lapangan. “Di mana rumah kamu?” herannya karena ini hanyalah lahan kosong yang dipenuhi dengan kendaraan yang sedang parkir.“Rumah aku masih jauh, harus masuk ke dalam gang.” Saat ini detak jantung Amira tidak karuan karena segera setelah ini dirinya akan bertemu dengan ibunya dan mendengar dengan jelas apakah ibunya khilaf atau memang sengaja menjualnya.“Iya sudah, aku akan mengantarmu sampai rumah.” Sealtbel dilepas tanpa keraguan karena niat Erzhan menyaksikan secara langsung tampang ibu tiri Amira masih meronta ingin memuaskan rasa laparnya.“Tapi ....” Amira masih duduk tanpa bergeser, bahkan sealtbel masih melingkar di dadanya.“Kenapa. Kau berubah pikiran?” Erzhan pikir akan sangat wajar jika Amira mengurungkan niatnya untuk pulang pada ibu yang telah menjualnya.“Bukan begitu ..., aku-cuma ....” Amira mengadukan ked
Erzhan berlalu, maka di sini Amira hanya tinggal sendirian. “Aku harus mulai beres-beres dari mana, kenapa rumah sangat berantakan?” keluhnya. Maka harinya diawali dengan membereskan rumah.Tidak sampai tiga puluh menit, seorang kulir mengunjungi kediaman Amira. “Selamat pagi, apa benar ini rumah Amira Diani?”“Eu, iya, saya sendiri,” bingung Amira karena dirinya tidak memesan makanan.Sebuah kertas disodorkan. “Nona, tolong tanda tangan di sini. Saya mengirimkan makanan dari saudara Erzhan.”“Heuh!” Amira dibuat kaget karena ternyata Erzhan si pria dingin itu yang memberinya makanan. Kini, Amira sudah menerima banyak sekali menu, terdapat sekitar sepuluh menu lengkap dengan nasi dan minumannya. “Kenapa dia mengirimkan banyak sekali makanan? Oh, apa mungkin untuk aku santap bersama mama dan Tasya.” Bahunya menggendik setelah berprasangka baik, padahal tujuan Erzhan mengirimkan makanan untuk disantap Amira karena sepertinya gadis itu tidak memiliki uang sepeser pun bahkan upah darinya
Tepatnya pukul sembilan, Zulaiha menjemput keponakannya. “Amira menginap saja di rumah Tante. Kunci rumah titipkan saja pada tetangga kalau memang Ami takut mama dan Tasya akan pulang malam.”“Tapi Tante ....” Amira hendak kembali menolak.“Jangan tapi. Tante mengkhawatirkan Ami kalau di rumah sendiri, apalagi di daerah sini ada banyak sekali pemuda. Yuk, menginap di rumah Tante,” bujuk Zulaiha sangat lembut. Maka, akhirnya Amira digiring olehnya untuk menginap di kediamannya yang aman dan tentu saja keadaan Zulaiha lebih baik dari keluarga Bagas.Namun, sepuluh menit saat Amira meninggalkan rumah Erzhan datang hendak membawanya ke villa untuk membicarakan banyak hal yang berkaitan dengan berpura-pura menjadi pacarnya. Pintu diketuk halus, tetapi kedatangannya tidak disahut oleh siapapun. “Kemana dia? Apa jangan-jangan ibunya menjualnya lagi!” cemas bertumpuk, tetapi bukan karena mengkhawatirkan keselamatan Amira melainkan dirinya akan merasa jijik jika Amira ditiduri oleh pria lain.