GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA

GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA

Oleh:  anggikartika93  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
15Bab
1.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Arini menikah dengan Wawan yang hanya seorang pria miskin. Ibunya Arini tak terima dengan pernikahan anaknya. Kemudian ia mengusir Arini dan Wawan dari rumahnya. Tak di sangka ternyata Wawan membawa Arini ke sebuah rumah mewah. Siapakah Wawan sebenarnya?

Lihat lebih banyak

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
15 Bab

Diusir setelah ijab qobul

"Saya terima nikahnya Arini Cantika binti Ardiansyah dengan mas kawin uang lima juta di bayar tunai," Mas Wawan mengucapkan lafadz ijab qobul dengan lancar dan tanpa keraguan sedikit bun."Bagaimana para saksi?" tanya Pak Penghulu yang di tunjuk sebagai wali nikah oleh Bapakku. "Saaaaah," ucap para saksi dengan teriakan riuh.Aku keluar dari kamar dengan mengenakan baju pengantin kebaya sederhana yang berwarna putih dan rok batik. Aku juga di gandeng oleh Gina dan Ayu--dua sahabatku-- di samping kanan dan kiriku. Mas Wawan tersenyum menatapku. Aku tersenyum malu, baru kali ini aku dipandang tanpa kedip oleh lelaki yang berstatus sebagai suami. "Ibu sebenarnya enggak setuju Arini menikah dengan Wawan, Pak! Wawan itu cuma pria kampung yang enggak punya modal! Masa anak Ibu di nikahi hanya dengan pesta sederhana dan mahar lima juta," kata Ibuku dengan sinis kepada Bapakku. "Bu, jangan keras-keras. Malu atuh kalo sampai di dengar tetangga," protes Bapak yang kesal karena kata-kata yan
Baca selengkapnya

Hinaan para tetangga

"Dek, kita enggak usah bersedih di usir Ibu. Gimana kalau kita ke rumahku aja? Daripada kita tinggal di pondok belakang ini, sungguh tak layak di sebut pondok. Apalagi tempat bernaung untuk kita tinggali," tawar Mas Wawan kepadaku. Aku masih mengusap air mataku yang terjatuh karena kata-kata Ibu.Mataku berbinar-binar mendengar kalau Mas Wawan akan mengajakku ke rumahnya. Tetapi memang benar apa yang di katakan Mas Wawan, pondok di belakang yang di sebut Ibu lebih mirip kandang kambing ketimbang rumah."Emang enggak papa di rumah Mas?" tanyaku dengan suara tangis yang terisak. "Siapa yang bilang enggak boleh? Yuk kita bereskan dulu pakaian kita," kata Mas Wawan dengan sabar membujukku."I, iya Mas. Tapi aku kan belum pernah ke rumah kamu sama sekali. Aku malu Mas." Di kampungku terbilang tak elok jika seorang gadis berkunjung ke rumah seorang laki-laki jika belum menikah."Nah makanya karena kita sudah sah. Ayo kita ke rumahku."Aku pun mengangguk. Dengan cekatan Mas Wawan memasukka
Baca selengkapnya

Tamu tak diundang

Aku tak boleh terlalu jumawa kalau Mas Wawan adalah anak orang kaya sementang kami berdua di jemput oleh mobil mewah di tengah kerumunan Ibu-ibu komplek tadi. Siapa tau memang benar apa yang di katakan oleh mereka. Kalau Mas Wawan hanyalah Asisten Rumah Tangga dan Ayahnya hanyalah supir. "Hei kok melamun aja," kata Mas Wawan sambil menepuk pundakku. "Eh, enggak kok," sahutku mengelak."Widih belum apa-apa aja sudah berbohong sama Mas," jawab Mas Wawan sambil membelai kepalaku yang tertutup kerudung. "Hehehe." Tak berapa lama, mobil mewah ini melewati perumahan elit. Rumah-rumah mewah dan besar yang biasa kulihat di film maupun sinetron kini ada di depan mataku. "Mas, kita kan mau ke rumahmu. Kenapa kita masuk ke komplek ini?" tanyaku heran. Begitu banyak pertanyaan yang bermuatan positif maupun negatif bersarang di kepalaku. "Sudahlah kamu enggak usah banyak tanya. Nanti lihat aja sendiri," balas Mas Wawan menjawab pertanyaanku. Aku hanya mengangguk. Aku akhirnya memilih untuk
Baca selengkapnya

Kena mental

"Bu, itu pasangan suami istri kok enak-enak makan di meja makan majikan. Mana makan makanan enak lagi, bikin ngiler aja," kata pria itu menatap sinis kepadaku. Pria itu ternyata adalah Mas Irgi, suami Mbak Arumi alias kakak iparku yang resenya minta ampun. Enggak nyangka aku, kalau dia anaknya Bi Sumi. "Mereka berdua itu anak dan menantu majikan Ibu. Anaknya Pak Anjas," jawab Bi Sumi menyebut nama Ayah mertuaku.Majikan? Jadi rumah dan mobil tadi beneran punya Ayah dan Mas Wawan? Sungguh aku tak dapat mencerna semua ini dengan otakku yang terbatas. Masa sih pria yang baru saja menikahiku ini anak orang kaya? Lalu kenapa ia hanya memberikanku mahar lima juta? Padahal ketika kami melaksanakan akad nikah kemarin, Ibu meminta uang mahar lima puluh juta beserta biaya untuk pesta di gedung seperti Mbak Arumi. Namun Mas Wawan menyatakan tak sanggup untuk memenuhinya dan mengatakan ingin acara ijab qobul saja.Mas Irgi menatap ke arah Ayah, ia sepertinya kaget dengan penampilan Ayah yang m
Baca selengkapnya

Permintaan maaf

Kami kembali menikmati hidangan yang sudah di sajikan Bi Sumi di meja makan. Aku mengambil makanan kesukaan Mas Wawan, cumi goreng tepung asam manis. "Makan yang banyak ya Ar, jangan malu-malu. Tambah lagi nasinya kalau perlu," celetuk Ayah yang rupanya senang melihatku makan banyak. "Siap Yah. Makanannya enak sekali. Seumur-umur baru kali ini Arini makan makanan enak seperti di restoran. Biasanya Arini hanya melihat makanan seperti di acara makan-makan di televisi. "Nah makanya kamu makan yang banyak ya Dek," imbuh Mas Wawan. Aku mengangguk. Kami bertiga makan dengan lahap. Aku sampai kekenyangan, yang ada sekarang aku malah susah gerak. "Habis ini kita istirahat aja ya di kamarku, kasian kamu sampai kekenyangan gitu," kata Mas Wawan sambil melihatku yang bersandar di kursi sambil mengelus perutku yang sedikit buncit. "Iya Mas. Oh ya, sebelum istirahat. Aku mau mencuci piring-piring ini dulu ya," jawabku yang tak enak bila harus langsung istirahat ke kamar. "Eh enggak usah Ar.
Baca selengkapnya

Nasib Mahar Arini

"Mas, kenapa sih kamu kok santai begitu? Aku takut kalau maharku di ambil Ibuku," kataku dengan perasaan galau."Sudahlah, kamu tenang saja. Ibumu enggak akan bisa mengambil mahar dariku," jawab Mas Wawan dengan tenang. Aku membuka lemariku. Mahar yang terbuat dari kotak kayu itu sudah bergeser dari posisinya. Mulanya aku menaruhnya di baris paling atas lemariku. Namun kini berpindah di baris bawahnya. Kuangkat mahar tersebut, mahar itu ada lapisan kaca di atasnya. Alhamdulillah uang dari Mas Wawan yang merupakan pecahan ratusan berwarna merah masih terpampang di dalamnya."Lho kok bisa masih utuh sih uang mahar darimu Mas?" tanyaku heran.Enggak mungkin kalau Ibu melihatnya, ia tidak tergiur untuk mengambilnya."Nah kan kubilang juga apa. Kamu sih kubilangin mah bandel," sahut Mas Wawan yang sepertinya agak kesal kepadaku. "Gimana nih cara membukanya?" tanyaku lagi. Aku bingung bagaimana membukanya karena kotak ini bukanlah kotak biasa yang bisa di buka tutup dengan mudah. Aku me
Baca selengkapnya

Rebutan Mahar

"Ada apa nih? Kenapa kalian menghalangi jalanku?" tanyaku yang heran karena Ibuku, Mbak Arini, dan Mas Irgi sudah berada di hadapan kami."Mau kemana kalian? Bisa-bisanya kalian membawa barang sebanyak itu, enak sekali ya," celetuk Ibu sambil berkacak pinggang. "Wah jangan-jangan barang kita juga di bawa Bu! Ayo Bu, cepat kita geledah," Mbak Arumi menimpali. "Iya Bu, bener banget apa yang di katakan Arumi," sambung Mas Irgi yang juga ikut-ikutan nimbrung. Mbak Arumi dan Mas Irgi maju ke hadapanku dan berusaha merebut tas dariku. Namun Mas Wawan langsung menghalangi mereka. "Jangan pernah kalian sentuh lagi istriku!" kata Mas Wawan sambil merentangkan tangannya dan berdiri di hadapanku. "Widih mau jadi pahlawan kesiangan nih si Wawan! Ingat ini rumah kami, bukan rumahmu. Kamu tidak bisa bertindak seenaknya, apalagi membawa barang dari rumah ini tanpa seizin kami," jawab Ibu dengan ketus. "Ini semua barang-barangku Bu. Aku hanya mengambil barang yang ada di kamarku, tak ada satupu
Baca selengkapnya

Ada apa dengan Bunda (Ibu mertuaku) ?

"Cepetan, Mas!" teriakku menyuruh Mas Wawan untuk mempercepat laju motor. Sementara aku sesekali melirik ke arah belakang. Kulihat Ibu dan Mbak Arumi masuk ke dalam rumah. Aku sedikit lega karena akhirnya bisa tenang untuk pergi ke rumah mertuaku. Ternyata dugaanku salah. Saat aku kembali melirik ke belakang ternyata Mas Irgi dan Mbak Arumi menyusul kami dengan menggunakan motor. "Ya ampun, Mas. Mereka ternyata ngejar kita!" Aku mencoba berteriak pada Mas Wawan yang sedang fokus menyetir. Tak habis pikir diriku. Apa kakak dan kakak iparku itu akan mengejarku sampai ke rumah mertua. Masa iya segitunya tak punya malu. Brug! Terdengar suara tabrakan yang cukup keras."Ya Allah, Mas! Mas Irgi sama Mbak Arumi kecelakaan!" Aku menepuk-nepuk pundak Mas Wawan agar segera menghentikan laju motor yang kami tumpangi.Mas Wawan membalikkan arah motor. Kemudian, berhenti di tempat kejadian. Suasana sudah sangat ramai. Banyak warga desa yang sepertinya berniat untuk membantu mereka yang kece
Baca selengkapnya

Ujian Pertama?

"Mas, ini kopinya." Aku meletakkan kopi panas itu di atas lemari kecil di samping tempat tidur. 'Ah, enggak usah bilang ke Mas Wawan kali ya. Nanti disangkanya aku ngadu domba dengan ibunya,' gumamku dalam hati. Menimbang apakah harus memberitahu soal kejadian ibunya tadi atau tidak pada suamiku ini. "Kenapa melamun, Dek?" Mas Wawan menepuk pundakku pelan. Sontak saja membuatku kaget. "E-enggak Mas cuma tadi kesiram air panas dikit. Aku kok ceroboh gitu." Aku terpaksa berbohong agar Mas Wawan tak curiga tentang apa yang aku pikirkan sebenarnya. "Hah?! Mana yang kesiram?" Mas Wawan bertanya dengan nada dan ekspresi wajah panik.Ia segera meraih tanganku dan meniup-niupnya. Bukan angin yang kurasakan dari tiupan itu, melainkan cinta yang tulus. Rasanya aku memang sudah tak bisa jauh dari sosok lelaki yang jadi imamku ini. "Makasih, Mas, cuma dikit kok. Jadi enggak apa-apa." Aku tersenyum tulus. Memberikan senyum terbaikku. "Lain kali, hati-hati. Mas, enggak mau kamu terluka seujun
Baca selengkapnya

Haruskah aku jujur?

"Eh, soal itu. Sebenarnya saya gak enak, Non ngomonginnya." Bi Sumi terlihat ragu untuk mengatakan siapa sebenarnya wanita yang dulu dijodohkan bunda dengan Mas Wawan. "Aku gak akan bilang kok, sama Mas Wawan. Hanya saja kan Bibi lihat sendiri sikap bunda gimana ke saya," ucapku mencoba meyakinkan Bi Sumi agar mengatakannya. "Ah, Bibi takut Non. Kalau terjadi apa-apa sama pernikahan Non Arini sama Den Wawan nanti Bibi lagi yang disalahin." Bi Sumi kekeh dengan pendiriannya. Aku menarik napas dalam. Entah bagaimana lagi caranya menyakinkan Bi Sumi agar mengatakan siapa wanita itu. Kenapa juga bunda begitu membenciku. Apa mungkin ada hubungannya. 'Aku harus cari tahu sendiri,' gumamku dalam hati. Bi Sumi nampaknya masih belum mau terbuka denganku. Mungkin karena aku memang masih baru beberapa hari jadi menantu keluarga ini. Kami memasak aneka jenis makanan. Mulai dari makanan berat sampai cemilan untuk hidangan pembuka. Aku tak pernah tahu kalau arisan mesti masak banyak seperti i
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status