Share

Permintaan maaf

last update Last Updated: 2022-11-29 10:40:38

Kami kembali menikmati hidangan yang sudah di sajikan Bi Sumi di meja makan. Aku mengambil makanan kesukaan Mas Wawan, cumi goreng tepung asam manis.

"Makan yang banyak ya Ar, jangan malu-malu. Tambah lagi nasinya kalau perlu," celetuk Ayah yang rupanya senang melihatku makan banyak.

"Siap Yah. Makanannya enak sekali. Seumur-umur baru kali ini Arini makan makanan enak seperti di restoran. Biasanya Arini hanya melihat makanan seperti di acara makan-makan di televisi.

"Nah makanya kamu makan yang banyak ya Dek," imbuh Mas Wawan.

Aku mengangguk. Kami bertiga makan dengan lahap. Aku sampai kekenyangan, yang ada sekarang aku malah susah gerak.

"Habis ini kita istirahat aja ya di kamarku, kasian kamu sampai kekenyangan gitu," kata Mas Wawan sambil melihatku yang bersandar di kursi sambil mengelus perutku yang sedikit buncit.

"Iya Mas. Oh ya, sebelum istirahat. Aku mau mencuci piring-piring ini dulu ya," jawabku yang tak enak bila harus langsung istirahat ke kamar.

"Eh enggak usah Ar. Kamu istirahat aja, biar Bi Sumi yang mencuci piring-piringnya," sanggah Ayah yang melarang mencuci piring.

"Tapi Yah, Arini enggak enak bila habis makan enggak mencuci piring. Biasanya kalau di rumah, habis makan Arini langsung mencuci piring," balasku yang sungkan.

Ayah mertuaku begitu baik padaku, berbeda sekali dengan Ibuku. Bila aku telat sedikit saja atau aku kelelahan tak bisa mencuci piring. Maka suara piring beradu bersahutan akan kudengar dari dapur.

"Sudahlah Dek, kalau di rumahku kamu enggak perlu kerja apa-apa," sahut Mas Wawan tersenyum kepadaku.

"Tapi nanti badanku pegel-pegel semua kalau aku enggak mengerjakan pekerjaan rumah. Bukannya tugas seorang istri adalah berbakti pada suaminya," kataku yang tak enak bila Mas Wawan malah menyuruhku untuk santai-santai di rumahnya.

"Berbakti dengan suami bukan hanya mengurus pekerjaan rumah tangga tapi juga melayani suami dengan sepenuh hati," ujar Mas Wawan sambil menarik hidungku gemas.

Mendengar kata melayani suami, pikiranku jadi kemana-mana. Maksudnya bukan hanya melayani di ranjang saja, tapi juga menyiapkan keperluannya.

"Hayo kamu mikirkan apaan tuh?" celetuk Mas Wawan yang seolah bisa membaca pikiranku.

"Eh, enggak. Enggak mikirin apa-apa kok, hehehe," jawabku berusaha mengelak.

"Jangan bohong sama Mas lho. Nanti hidungmu panjang seperti pinokio," balas Mas Wawan menggodaku.

"Ah enggak kok Mas."

"Kalau mau gituan ya nanti malam, kalau sekarang masih sore. Sabar ya," bisik Mas Wawan sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku memukul bahunya. Nah lho, siapa yang sebenarnya punya pikiran ngeres?

Ketika kami akan beranjak dari meja makan. Dengan tergopoh-gopoh, Bi Sumi menghampiri kami.

"Pak Anjas, Den Wawan, dan Non Arini. Saya atas nama anak saya, minta maaf yang sebesar-besarnya atas tingkah laku anak saya yang kurang ajar tadi. Saya tau perbuatan dia tadi tak pantas di maafkan," kata Bi Sumi dengan tangis yang terisak.

"Gimana ya Bi? Masalahnya dia tadi sudah kurang ajar banget sih," jawab Mas Wawan sambil mengelus dagunya.

Aku menyikut lengan Mas Wawan. Aku kasihan dengan Bi Sumi, pasti ia malu sekali dengan kelakuan anaknya. Aku juga tak semudah itu bisa memaafkan kesalahan Mas Irgi. Tapi mau gimana lagi. Semua keputusan ada di tangan Ayah dan Mas Wawan.

"Apaan sih?" tanya Mas Wawan yang kaget karena aku menyikut lengannya.

"Di maafkan aja Bi Suminya, kasihan dia. Kalau Mas Irgi ya enggak usah di maafkan. Mending kita kasih pelajaran aja dia," bisikku pelan kepada Mas Wawan. Semoga saja Bi Sumi tidak mendengar kata-kataku.

"Hmmm, boleh juga," jawab Mas Wawan mengangguk.

Mas Wawan nampak berpikir. Kulirik Ayah, sepertinya ia juga mempunyai pikiran yang sama dengan Mas Wawan.

"Gimana dong Pa?" tanya Mas Wawan bingung mengambil keputusan.

"Terserah kamu saja Wan. Ayah serahkan keputusan di tanganmu. Mau kamu pecat Bi Sumi, silakan saja?" sahut Ayah melirik Mas Wawan.

Tentu saja kalimat terakhir yang Ayah ucapkan tadi sepertinya hanya gertakan saja kepada Bi Sumi. Bagaimanapun Bi Sumi telah mengabdi cukup lama di keluarga ini, kata Mas Wawan bercerita saat kami makan tadi.

Bi Sumi bergidik ketakutan. Tentu saja ia takut kalau di pecat. Mengingat ia sudah lama bekerja di sini dan juga Bi Sumi merupakan tulang punggung keluarganya.

"Ya sudah kali ini kumaafkan karena aku masih kasihan dengan Bi Sumi. Tapi lain kali, kalau Irgi berulah. Enggak akan ada ampun," jawab Mas Wawan dengan tangan yang dilipat di dadanya.

Bi Sumi nampak menangis haru. Ia berjalan ke arah Mas Wawan, meraih tangannya, dan kemudian mencium tangannya.

"Ya Allah. Alhamdulillah, terimakasih ya Den," kata Bi Sumi menangis haru.

Mas Wawan menarik tangannya. Tentu saja ia merasa risih tangannya di cium oleh orang yang lebih tua. Walaupun orang itu adalah Asisten Rumah Tangga keluarganya. Namun ia merasa tak enak.

"Sudahlah Bi. Aku memaafkannya karena istriku. Berterimakasih lah padanya karena Irgi adalah kakak ipar istriku. Suami dari Mbak Arumi--kakak Arini--.

Bi Sumi terkejut bukan main begitu mendengar kalau Mas Irgi adalah kakak iparku. Ia malah semakin merasa malu padaku.

"Ya Allah Non. Maafkan Irgi. Bibi enggak tau kalau Non Arini adalah adik ipar Irgi. Jika Bibi tau dari awal pasti Bibi tidak akan memperbolehkan Irgi sampai bertemu dengan Non Arini di rumah ini," ucap Bi Sumi dengan penuh penyeselan.

"Iya Bi. Enggak papa. Nasi telah menjadi bubur. Semua sudah terlanjur. Aku juga sudah biasa kok menerima hinaan dari Mas Irgi," sahutku yang malah ujung-ujungnya mengadu soal kelakuan Mas Irgi terhadapku selama ini.

"Kok bisa sih Non? Dasar Irgi benar-benar anak enggak tau di untung," tanya Bi Sumi penasaran.

"Enggak tau juga Bi. Tanya aja sama Mas Irgi langsung," kataku tak mau meneruskan kalimatku.

"Sudahlah Bi. Lebih baik, Bibi kembali aja ke dapur. Kami sudah lelah hari ini, kami ingin beristirahat dulu di kamar," sela Ayah yang mengerti keadaan kami yang sudah kelelahan.

"I, iya. Maaf Pak," sahut Bi Sumi sambil membungkukkan badannya.

Bi Sumi berlalu dan menuju dapur. Kini kami juga akan menuju kamar masing-masing.

"Lebih baik kalian istirahat aja dulu di kamar sana. Tadi Bi Yuyun juga sudah menyiapkan kamar dan sprei baru untuk kalian," tambah Ayah lagi.

"Oke Yah," balas Mas Wawan singkat. Sedangkan aku hanya mengangguk kecil.

"Astaghfirullah Mas!" kataku sambil menepuk jidatku.

"Ada apa Dek?" tanya Mas Wawan agak cemas. .

"Dompet, ponsel, dan mahar dari Mas ketinggalan di kamarku di rumahku. Gimana dong?" jawabku panik.

"Ya sudah sekarang kita ambil aja yuk. Masa enggak di ambil? Kasihan kamu nanti," sahut Mas Wawan tanpa menyalahkanku sedikit pun atas keteledoranku. Kami tadi memang langsung pergi saja. Tanpa mengecek lagi ke kamarku barang apa saja yang ketinggalan.

**

Aku dan Mas Wawan memutuskan untuk pergi ke rumahku lagi untuk mengambil dompet, ponsel, dan maharku yang ketinggalan. 

"Kita naik mobil aja ya Sayang, supaya kamu enggak kepanasan," kata Mas Wawan ketika kami berada di garasi rumahnya. 

"Enggak usah Mas, kalo naik mobil nanti malah lambat. Mending naik sepeda motor aja, bisa menerobos macet sekalian," usulku kepada suamiku itu. 

Aku bisa sedikit membaca pikiran Mas Wawan. Ia ingin membawa mobil untuk menunjukkan kepada Ibuku dan Mbak Arumi kalau dia orang kaya. Tetapi aku tak mau mereka langsung mengetahuinya.

"Benar juga ya. Ayo buruan kita berangkat," ajak Mas Wawan.  

Aku mengangguk. Kemudian kami menuju garasi dan memakai helm berstandar SNI yang mahal. Garasi mobil Mas Wawan begitu besar. Ada dua mobil dan dua sepeda motor terparkir di sini. Mas Wawan memilih sepeda motor model matic keluaran terbaru yang berbody besar.  

'Wah pas banget nih kami ke rumahku pakai sepeda motor ini. Kan Mbak Arumi sangat mengidamkan sepeda motor matic seperti punya Mas Wawan. Hmmm, enggak bisa kubayangkan dia nanti kepanasan melihat kami,' aku membathin.  

"Hei kok senyum-senyum sendiri," tegur Mas Wawan menepuk bahuku.

"Eh, enggak kok. Yuk kita cabut," jawabku dengan semangat. 

"Siap nonaku yang cantik." 

Mas Wawan memboncengku dengan kecepatan yang lumayan kencang. Aku berpegangan di pundaknya. Seumur-umur aku baru kali ini berboncengan dengan lelaki. Apalagi lelaki ini yang sudah sah menjadi suamiku.  

"Dek, kok pegangannya di pundak," protes Mas Wawan.  

"Apaaa Mas?" tanyaku dengan berteriak karena suara Mas Wawan kurang jelas akibat angin. 

"Jangan pegangan di pundak Dek. Di pinggangku dong," pinta Mas Wawan.  

"Tapi aku malu Mas." 

"Widih, ngapain juga malu. Kan kita udah halal."

"Iya juga sih." 

Akhirnya aku meletakkan tanganku di pinggang Mas Wawan. Tetapi ia malah meraih tanganku dan melingkarkan tanganku di perutnya. Sehingga tubuh kami saling menempel.  

 

Perasaan gugup menghinggapiku. Selain itu, ada getaran lain yang menyusup kurasakan. Getaran yang tentu saja sulit kuungkapkan dengan kata-kata. Apakah ini yang namanya getaran cinta sesudah menikah yang membuat pikiranku jadi ke arah sana? 

Kami melewati jalan tempat Ibu-Ibu kampung berkumpul. Ternyata jam segini mereka masih berada di sana. Aku heran, apa mereka tidak memasak atau membereskan rumah? 

Kami melaju melewati Ibu-Ibu tukang gosip itu. Tentu saja kulihat mereka pada melongo melihat kami karena aku membuka kaca helmku ketika melewati mereka. 

Tak berapa lama kami sampai di rumahku. Mas Wawan segera memarkirkan sepeda motornya di halaman. 

Kami memasuki rumah dari depan. Tumben pintu rumah tidak di kunci. Terdengar suara perdebatan antara Ibu dan Mbak Arumi. 

"Bu, bagi-bagi dong duit yang Ibu dapat dari Arini. Aku juga perlu duit Bu. Emang cuma Ibu aja yang perlu," kata Mbak Arumi dengan nada kesal.

Kami melihat Ibu sedang memegang uang pecahan ratusan ribu di tangannya. Aku jadi heran, darimana Ibu bisa mendapatkan uang sebanyak itu. 

Kami bergegas ke kamar karena perasaanku tidak enak. Ibu dan Mbak Arumi sepertinya tidak menyadari kehadiran kami. Kulihat ponselku masih tergeletak anteng di atas nakas. Aku memeriksa tasku yang terletak di atas meja belajar yang berisi dompetku. Langsung kuperiksa dompetku dan benar saja, uang satu juta yang berada di dompetku telah raib.

"Astaghfirullah," gumamku yang terduduk lemas di samping ranjang begitu mengetahui dompetku sudah kosong. Hanya tertinggal kartu-kartu saja.

"Kenapa Sayang?" tanya Mas Wawan dengan heran. 

"Uang satu juta di dompetku hilang Mas. Kayaknya yang dipegang Ibu tadi uangku deh," jawabku lemas. 

"Ya udah kita ambil aja sekarang. Itu kan hak kamu. Terserah Ibu mau ngomong apa nanti," sahut Mas Wawan memberikan saran. 

"Percuma Mas mengambil uangku yang sudah di tangan Ibu. Kayaknya Ibu juga enggak akan mengaku kalau dia sudah mengambilnya di dalam dompetku. Maklum di rumahku enggak ada CCTV sih." 

"Sabar ya Dek. Ikhlaskan saja. Insya Allah, kamu akan mendapatkan gantinya lebih." 

"Sebenarnya enggak bisa ikhlas juga sih. Soalnya itu kan uang hasil kerjaku Mas. Aku baru aja menarik dari ATM sehari sebelum pernikahan kita."

Aku teringat dengan mahar yang kusimpan dalam lemari. Apakah aman atau uangnya juga di ambil Ibuku? Perasaanku malah jadi makin kalut seperti ini. 

"Mas, aku mau mengecek maharku di lemari. Apakah Ibu mengambilnya juga ya?" kataku penuh keraguan. 

Sementara Mas Wawan hanya santai dan senyum-senyum saja. Ia terlihat bermain dengan ponselnya yang bergambar apel di gigit keluaran terbaru. 

"Mas, aku lho lagi panik gini. Kok kamu santai aja sih? Bantuin mengecek juga dong," protesku kesal. 

* *

Related chapters

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Nasib Mahar Arini

    "Mas, kenapa sih kamu kok santai begitu? Aku takut kalau maharku di ambil Ibuku," kataku dengan perasaan galau."Sudahlah, kamu tenang saja. Ibumu enggak akan bisa mengambil mahar dariku," jawab Mas Wawan dengan tenang. Aku membuka lemariku. Mahar yang terbuat dari kotak kayu itu sudah bergeser dari posisinya. Mulanya aku menaruhnya di baris paling atas lemariku. Namun kini berpindah di baris bawahnya. Kuangkat mahar tersebut, mahar itu ada lapisan kaca di atasnya. Alhamdulillah uang dari Mas Wawan yang merupakan pecahan ratusan berwarna merah masih terpampang di dalamnya."Lho kok bisa masih utuh sih uang mahar darimu Mas?" tanyaku heran.Enggak mungkin kalau Ibu melihatnya, ia tidak tergiur untuk mengambilnya."Nah kan kubilang juga apa. Kamu sih kubilangin mah bandel," sahut Mas Wawan yang sepertinya agak kesal kepadaku. "Gimana nih cara membukanya?" tanyaku lagi. Aku bingung bagaimana membukanya karena kotak ini bukanlah kotak biasa yang bisa di buka tutup dengan mudah. Aku me

    Last Updated : 2022-12-22
  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Rebutan Mahar

    "Ada apa nih? Kenapa kalian menghalangi jalanku?" tanyaku yang heran karena Ibuku, Mbak Arini, dan Mas Irgi sudah berada di hadapan kami."Mau kemana kalian? Bisa-bisanya kalian membawa barang sebanyak itu, enak sekali ya," celetuk Ibu sambil berkacak pinggang. "Wah jangan-jangan barang kita juga di bawa Bu! Ayo Bu, cepat kita geledah," Mbak Arumi menimpali. "Iya Bu, bener banget apa yang di katakan Arumi," sambung Mas Irgi yang juga ikut-ikutan nimbrung. Mbak Arumi dan Mas Irgi maju ke hadapanku dan berusaha merebut tas dariku. Namun Mas Wawan langsung menghalangi mereka. "Jangan pernah kalian sentuh lagi istriku!" kata Mas Wawan sambil merentangkan tangannya dan berdiri di hadapanku. "Widih mau jadi pahlawan kesiangan nih si Wawan! Ingat ini rumah kami, bukan rumahmu. Kamu tidak bisa bertindak seenaknya, apalagi membawa barang dari rumah ini tanpa seizin kami," jawab Ibu dengan ketus. "Ini semua barang-barangku Bu. Aku hanya mengambil barang yang ada di kamarku, tak ada satupu

    Last Updated : 2022-12-22
  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Ada apa dengan Bunda (Ibu mertuaku) ?

    "Cepetan, Mas!" teriakku menyuruh Mas Wawan untuk mempercepat laju motor. Sementara aku sesekali melirik ke arah belakang. Kulihat Ibu dan Mbak Arumi masuk ke dalam rumah. Aku sedikit lega karena akhirnya bisa tenang untuk pergi ke rumah mertuaku. Ternyata dugaanku salah. Saat aku kembali melirik ke belakang ternyata Mas Irgi dan Mbak Arumi menyusul kami dengan menggunakan motor. "Ya ampun, Mas. Mereka ternyata ngejar kita!" Aku mencoba berteriak pada Mas Wawan yang sedang fokus menyetir. Tak habis pikir diriku. Apa kakak dan kakak iparku itu akan mengejarku sampai ke rumah mertua. Masa iya segitunya tak punya malu. Brug! Terdengar suara tabrakan yang cukup keras."Ya Allah, Mas! Mas Irgi sama Mbak Arumi kecelakaan!" Aku menepuk-nepuk pundak Mas Wawan agar segera menghentikan laju motor yang kami tumpangi.Mas Wawan membalikkan arah motor. Kemudian, berhenti di tempat kejadian. Suasana sudah sangat ramai. Banyak warga desa yang sepertinya berniat untuk membantu mereka yang kece

    Last Updated : 2023-02-15
  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Ujian Pertama?

    "Mas, ini kopinya." Aku meletakkan kopi panas itu di atas lemari kecil di samping tempat tidur. 'Ah, enggak usah bilang ke Mas Wawan kali ya. Nanti disangkanya aku ngadu domba dengan ibunya,' gumamku dalam hati. Menimbang apakah harus memberitahu soal kejadian ibunya tadi atau tidak pada suamiku ini. "Kenapa melamun, Dek?" Mas Wawan menepuk pundakku pelan. Sontak saja membuatku kaget. "E-enggak Mas cuma tadi kesiram air panas dikit. Aku kok ceroboh gitu." Aku terpaksa berbohong agar Mas Wawan tak curiga tentang apa yang aku pikirkan sebenarnya. "Hah?! Mana yang kesiram?" Mas Wawan bertanya dengan nada dan ekspresi wajah panik.Ia segera meraih tanganku dan meniup-niupnya. Bukan angin yang kurasakan dari tiupan itu, melainkan cinta yang tulus. Rasanya aku memang sudah tak bisa jauh dari sosok lelaki yang jadi imamku ini. "Makasih, Mas, cuma dikit kok. Jadi enggak apa-apa." Aku tersenyum tulus. Memberikan senyum terbaikku. "Lain kali, hati-hati. Mas, enggak mau kamu terluka seujun

    Last Updated : 2023-02-15
  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Haruskah aku jujur?

    "Eh, soal itu. Sebenarnya saya gak enak, Non ngomonginnya." Bi Sumi terlihat ragu untuk mengatakan siapa sebenarnya wanita yang dulu dijodohkan bunda dengan Mas Wawan. "Aku gak akan bilang kok, sama Mas Wawan. Hanya saja kan Bibi lihat sendiri sikap bunda gimana ke saya," ucapku mencoba meyakinkan Bi Sumi agar mengatakannya. "Ah, Bibi takut Non. Kalau terjadi apa-apa sama pernikahan Non Arini sama Den Wawan nanti Bibi lagi yang disalahin." Bi Sumi kekeh dengan pendiriannya. Aku menarik napas dalam. Entah bagaimana lagi caranya menyakinkan Bi Sumi agar mengatakan siapa wanita itu. Kenapa juga bunda begitu membenciku. Apa mungkin ada hubungannya. 'Aku harus cari tahu sendiri,' gumamku dalam hati. Bi Sumi nampaknya masih belum mau terbuka denganku. Mungkin karena aku memang masih baru beberapa hari jadi menantu keluarga ini. Kami memasak aneka jenis makanan. Mulai dari makanan berat sampai cemilan untuk hidangan pembuka. Aku tak pernah tahu kalau arisan mesti masak banyak seperti i

    Last Updated : 2023-02-15
  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Vitamin penyubur kandungan

    "Kenapa dengan bundaku Dek?" tanya Mas Wawan sambil mengernyitkan keningnya. Aku bisa menebak kalau berpuluh pertanyaan berputar di benaknya. Terlihat dari raut wajahnya yang heran dan menantikan jawaban yang akan keluar dari mulutku.Aku menggigit bibirku, tentu saja aku bingung tujuh keliling. Haruskah aku berkata jujur? Aku takut Mas Wawan akan marah kalau aku mengatakan yang sejujurnya."Eng, enggak. Bundamu baik kok Mas. Tadi Bunda ngajarin aku memasak lho," jawabku dengan cepat agar Mas Wawan tak curiga kepadaku."Oh ya? Bagus dong kalau gitu," celetuk Mas Wawan dengan tatapan penuh selidik. "I, iya Mas Bener banget," balasku gugup dengan tubuh yang mendadak kaku karena tatapan suamiku. Mas Wawan mengelus rambutku lembut. Tatapannya yang penuh dengan selidik kini berubah menjadi teduh. "Alhamdulillah, aku seneng dengernya Dek. Bunda emang pinter masak. Beliau jago masak masakan nusantara dan Korea lho."Mas Wawan malah tersenyum kepadaku, seolah ia tak mengerti apa yang kura

    Last Updated : 2023-02-15
  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Ke dokter kandungan

    Mas Wawan meraih tangan kananku karena dia duduk di samping kiriku sambil menatapku dengan penuh cinta. Beberapa detik kemudian pandangan itu beralih kepada Bundanya."Makasih ya Bun, insya Allah Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminum vitamin ini setiap hari," tukas Mas Wawan sambil meraih wadah kecil yang berisi 'vitamin' tersebut. "Sama-sama Wan. Bunda senang sekali kalian mau menerima vitamin penyubur kandungan pemberian Bunda ini. Oh iya, dosisnya di minum satu kali setiap malam sebelum Arini tidur," jawab Bunda sambil tersenyum penuh arti.Sementara itu aku merasa ada yang lain dari senyum Bunda. Beliau memang begitu senang Mas Wawan mau menerima vitamin tesebut. Tetapi aku merasakan ada sesuatu yang lain yang sedang di sembunyikan Bunda. "Pasti dong Bun. Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminumnya setiap malam," jawab mas Wawan dengan sumringah sambil sesekali menatapku. Aku hanya tersenyum membalas tatapan mata Mas Wawan yang penuh rasa cinta. Walau dengan sekuat ten

    Last Updated : 2023-02-15
  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Penjelasan dokter

    PoV Authordr. Helda masih mencari kantung janin yang berada di rahim Arini. Arini dan Wawan rasanya sudah tidak sabaran ingin mengetahui hasilnya. Sebenarnya Arini tidak siap hamil. Apalagi setelah tau kalau Ibu mertuanya yang tidak suka padanya. Klasik sekali alasan Bu Winarti--Ibunda Wawan-- tidak menyukai Arini karena Arini berasal dari keluarga miskin dan menurutnya Arini tidak jelas asal usul keluarganya. "Bagaimana dok? Apakah istri saya memang benar-benar hamil?" Wawan begitu penasaran seolah tak sabar menunggu jawaban dari dr. Helda. Sementara Arini merasa badannya panas dingin dan gemetar. Dalam hati wanita polos itu merapalkan doa agar terjadi keajaiban yang tidak disangka-sangka. Bukan sama sekali menolak rezeki dari Sang Illahi. Hanya saja kalau saat ini dirinya mengandung jabang bayi, siapa yang mampu melindungi dirinya 24 jam? Memang Arini beruntung mempunyai suami yang sayang, perhatian, dan menerima dirinya apa adanya. Namun tentu saja Wawan tidak bisa selalu ada 2

    Last Updated : 2023-07-08

Latest chapter

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Semakin terkuak

    Arumi ternganga mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Ibunya. Dirinya tidak menyangka kalau selama ini Arini bukan adik kandungnya. Memang selama ini Bu Mala selalu membedakan perlakuan kedua anaknya. Bu Mala selalu mengutamakan Arumi ketimbang Arini. Secara fisik memang Arumi jauh lebih cantik dan berkulit putih daripada Arini yang berkulit kuning langsat. Namun soal sifat memang jauh lebih rajin dan penurut Arini. Sejak kecil Arini selalu disuruh mengalah demi kepentingan pribadi Arumi oleh Bu Mala. Arumi selalu mendapatkan fasilitas yang baik, sedangkan Arini mendapatkan fasilitas seadanya. Begitulah Bu Mala membedakan kedua anaknya. Kalau Arumi salah maka ia selalu dibela tanpa mementingkan perasaan Arini. * * Pak Agus hanya menghela nafasnya panjang. Ia hanya diam mendengarkan omelan istrinya yang sudah bosan ia dengar selama berpuluh-puluh tahun ini. Pria tua itu sudah menjelaskan berkali-kali tanpa henti kepada Bu Mala. Namun Bu Mala tetap saja tidak mau mendengarkan.

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Kenyataan pahit

    "Sekali lagi, aku minta maaf, Mas," kata Arini lagi. Gadis itu tidak dapat berkata-kata selain maaf. Kedua pelupuk matanya terasa menghangat, pandangannya kabur, tetapi ia berusaha menahan agar cairan bening yang tertahan itu tidak mengalir. Arini hanya ingin mengungkapkan kegusarannya selama ini. Apalagi ibu mertuanya sudah menunjukkan rasa tidak suka secara terang-terangan. Ia tidak mau beban yang dirasakannya dipendam sendiri dan sampai berlarut-larut ia tahan. Ia tidak mau hal ini menjadi duri dalam daging di dalam pernikahannya. Walau kelihatannya adalah sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Namun Arini takut kalau hal yang kelihatan kecil ini menjadi api pemantik dalam perjalanan rumah tangganya nantinya.Wawan hanya bisa diam. Dia sungguh merasa malu dengan istrinya sendiri. Apalagi ketika tau kenyataan yang sebenarnya kalau Ibundanya sengaja memberikan istrinya pil KB. Padahal ia sudah berkata pada ibunya kalau dia sangat menginginkan seorang anak. Sungguh kenyataan yan

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Penjelasan dokter

    PoV Authordr. Helda masih mencari kantung janin yang berada di rahim Arini. Arini dan Wawan rasanya sudah tidak sabaran ingin mengetahui hasilnya. Sebenarnya Arini tidak siap hamil. Apalagi setelah tau kalau Ibu mertuanya yang tidak suka padanya. Klasik sekali alasan Bu Winarti--Ibunda Wawan-- tidak menyukai Arini karena Arini berasal dari keluarga miskin dan menurutnya Arini tidak jelas asal usul keluarganya. "Bagaimana dok? Apakah istri saya memang benar-benar hamil?" Wawan begitu penasaran seolah tak sabar menunggu jawaban dari dr. Helda. Sementara Arini merasa badannya panas dingin dan gemetar. Dalam hati wanita polos itu merapalkan doa agar terjadi keajaiban yang tidak disangka-sangka. Bukan sama sekali menolak rezeki dari Sang Illahi. Hanya saja kalau saat ini dirinya mengandung jabang bayi, siapa yang mampu melindungi dirinya 24 jam? Memang Arini beruntung mempunyai suami yang sayang, perhatian, dan menerima dirinya apa adanya. Namun tentu saja Wawan tidak bisa selalu ada 2

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Ke dokter kandungan

    Mas Wawan meraih tangan kananku karena dia duduk di samping kiriku sambil menatapku dengan penuh cinta. Beberapa detik kemudian pandangan itu beralih kepada Bundanya."Makasih ya Bun, insya Allah Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminum vitamin ini setiap hari," tukas Mas Wawan sambil meraih wadah kecil yang berisi 'vitamin' tersebut. "Sama-sama Wan. Bunda senang sekali kalian mau menerima vitamin penyubur kandungan pemberian Bunda ini. Oh iya, dosisnya di minum satu kali setiap malam sebelum Arini tidur," jawab Bunda sambil tersenyum penuh arti.Sementara itu aku merasa ada yang lain dari senyum Bunda. Beliau memang begitu senang Mas Wawan mau menerima vitamin tesebut. Tetapi aku merasakan ada sesuatu yang lain yang sedang di sembunyikan Bunda. "Pasti dong Bun. Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminumnya setiap malam," jawab mas Wawan dengan sumringah sambil sesekali menatapku. Aku hanya tersenyum membalas tatapan mata Mas Wawan yang penuh rasa cinta. Walau dengan sekuat ten

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Vitamin penyubur kandungan

    "Kenapa dengan bundaku Dek?" tanya Mas Wawan sambil mengernyitkan keningnya. Aku bisa menebak kalau berpuluh pertanyaan berputar di benaknya. Terlihat dari raut wajahnya yang heran dan menantikan jawaban yang akan keluar dari mulutku.Aku menggigit bibirku, tentu saja aku bingung tujuh keliling. Haruskah aku berkata jujur? Aku takut Mas Wawan akan marah kalau aku mengatakan yang sejujurnya."Eng, enggak. Bundamu baik kok Mas. Tadi Bunda ngajarin aku memasak lho," jawabku dengan cepat agar Mas Wawan tak curiga kepadaku."Oh ya? Bagus dong kalau gitu," celetuk Mas Wawan dengan tatapan penuh selidik. "I, iya Mas Bener banget," balasku gugup dengan tubuh yang mendadak kaku karena tatapan suamiku. Mas Wawan mengelus rambutku lembut. Tatapannya yang penuh dengan selidik kini berubah menjadi teduh. "Alhamdulillah, aku seneng dengernya Dek. Bunda emang pinter masak. Beliau jago masak masakan nusantara dan Korea lho."Mas Wawan malah tersenyum kepadaku, seolah ia tak mengerti apa yang kura

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Haruskah aku jujur?

    "Eh, soal itu. Sebenarnya saya gak enak, Non ngomonginnya." Bi Sumi terlihat ragu untuk mengatakan siapa sebenarnya wanita yang dulu dijodohkan bunda dengan Mas Wawan. "Aku gak akan bilang kok, sama Mas Wawan. Hanya saja kan Bibi lihat sendiri sikap bunda gimana ke saya," ucapku mencoba meyakinkan Bi Sumi agar mengatakannya. "Ah, Bibi takut Non. Kalau terjadi apa-apa sama pernikahan Non Arini sama Den Wawan nanti Bibi lagi yang disalahin." Bi Sumi kekeh dengan pendiriannya. Aku menarik napas dalam. Entah bagaimana lagi caranya menyakinkan Bi Sumi agar mengatakan siapa wanita itu. Kenapa juga bunda begitu membenciku. Apa mungkin ada hubungannya. 'Aku harus cari tahu sendiri,' gumamku dalam hati. Bi Sumi nampaknya masih belum mau terbuka denganku. Mungkin karena aku memang masih baru beberapa hari jadi menantu keluarga ini. Kami memasak aneka jenis makanan. Mulai dari makanan berat sampai cemilan untuk hidangan pembuka. Aku tak pernah tahu kalau arisan mesti masak banyak seperti i

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Ujian Pertama?

    "Mas, ini kopinya." Aku meletakkan kopi panas itu di atas lemari kecil di samping tempat tidur. 'Ah, enggak usah bilang ke Mas Wawan kali ya. Nanti disangkanya aku ngadu domba dengan ibunya,' gumamku dalam hati. Menimbang apakah harus memberitahu soal kejadian ibunya tadi atau tidak pada suamiku ini. "Kenapa melamun, Dek?" Mas Wawan menepuk pundakku pelan. Sontak saja membuatku kaget. "E-enggak Mas cuma tadi kesiram air panas dikit. Aku kok ceroboh gitu." Aku terpaksa berbohong agar Mas Wawan tak curiga tentang apa yang aku pikirkan sebenarnya. "Hah?! Mana yang kesiram?" Mas Wawan bertanya dengan nada dan ekspresi wajah panik.Ia segera meraih tanganku dan meniup-niupnya. Bukan angin yang kurasakan dari tiupan itu, melainkan cinta yang tulus. Rasanya aku memang sudah tak bisa jauh dari sosok lelaki yang jadi imamku ini. "Makasih, Mas, cuma dikit kok. Jadi enggak apa-apa." Aku tersenyum tulus. Memberikan senyum terbaikku. "Lain kali, hati-hati. Mas, enggak mau kamu terluka seujun

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Ada apa dengan Bunda (Ibu mertuaku) ?

    "Cepetan, Mas!" teriakku menyuruh Mas Wawan untuk mempercepat laju motor. Sementara aku sesekali melirik ke arah belakang. Kulihat Ibu dan Mbak Arumi masuk ke dalam rumah. Aku sedikit lega karena akhirnya bisa tenang untuk pergi ke rumah mertuaku. Ternyata dugaanku salah. Saat aku kembali melirik ke belakang ternyata Mas Irgi dan Mbak Arumi menyusul kami dengan menggunakan motor. "Ya ampun, Mas. Mereka ternyata ngejar kita!" Aku mencoba berteriak pada Mas Wawan yang sedang fokus menyetir. Tak habis pikir diriku. Apa kakak dan kakak iparku itu akan mengejarku sampai ke rumah mertua. Masa iya segitunya tak punya malu. Brug! Terdengar suara tabrakan yang cukup keras."Ya Allah, Mas! Mas Irgi sama Mbak Arumi kecelakaan!" Aku menepuk-nepuk pundak Mas Wawan agar segera menghentikan laju motor yang kami tumpangi.Mas Wawan membalikkan arah motor. Kemudian, berhenti di tempat kejadian. Suasana sudah sangat ramai. Banyak warga desa yang sepertinya berniat untuk membantu mereka yang kece

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Rebutan Mahar

    "Ada apa nih? Kenapa kalian menghalangi jalanku?" tanyaku yang heran karena Ibuku, Mbak Arini, dan Mas Irgi sudah berada di hadapan kami."Mau kemana kalian? Bisa-bisanya kalian membawa barang sebanyak itu, enak sekali ya," celetuk Ibu sambil berkacak pinggang. "Wah jangan-jangan barang kita juga di bawa Bu! Ayo Bu, cepat kita geledah," Mbak Arumi menimpali. "Iya Bu, bener banget apa yang di katakan Arumi," sambung Mas Irgi yang juga ikut-ikutan nimbrung. Mbak Arumi dan Mas Irgi maju ke hadapanku dan berusaha merebut tas dariku. Namun Mas Wawan langsung menghalangi mereka. "Jangan pernah kalian sentuh lagi istriku!" kata Mas Wawan sambil merentangkan tangannya dan berdiri di hadapanku. "Widih mau jadi pahlawan kesiangan nih si Wawan! Ingat ini rumah kami, bukan rumahmu. Kamu tidak bisa bertindak seenaknya, apalagi membawa barang dari rumah ini tanpa seizin kami," jawab Ibu dengan ketus. "Ini semua barang-barangku Bu. Aku hanya mengambil barang yang ada di kamarku, tak ada satupu

DMCA.com Protection Status