"Mas, kenapa sih kamu kok santai begitu? Aku takut kalau maharku di ambil Ibuku," kataku dengan perasaan galau.
"Sudahlah, kamu tenang saja. Ibumu enggak akan bisa mengambil mahar dariku," jawab Mas Wawan dengan tenang. Aku membuka lemariku. Mahar yang terbuat dari kotak kayu itu sudah bergeser dari posisinya. Mulanya aku menaruhnya di baris paling atas lemariku. Namun kini berpindah di baris bawahnya. Kuangkat mahar tersebut, mahar itu ada lapisan kaca di atasnya. Alhamdulillah uang dari Mas Wawan yang merupakan pecahan ratusan berwarna merah masih terpampang di dalamnya."Lho kok bisa masih utuh sih uang mahar darimu Mas?" tanyaku heran.Enggak mungkin kalau Ibu melihatnya, ia tidak tergiur untuk mengambilnya."Nah kan kubilang juga apa. Kamu sih kubilangin mah bandel," sahut Mas Wawan yang sepertinya agak kesal kepadaku. "Gimana nih cara membukanya?" tanyaku lagi. Aku bingung bagaimana membukanya karena kotak ini bukanlah kotak biasa yang bisa di buka tutup dengan mudah. Aku memperhatikan kotak itu dengan seksama. Oh pantas Ibu tak bisa membukanya karena di kunci dengan gembok kecil berbentuk hati. "Oh pantas kamu terlihat santai aja Mas. Ternyata hanya bisa di buka pake gembok," celetukku yang kini paham mengapa kotak ini tak bisa di buka dengan mudah. "Nah betulkan apa kataku," balas Mas Wawan."Tapi kan bisa aja Ibu memecah kacanya untuk membukanya," sahutku yang tak percaya kenapa Ibu memilih tak membukanya. "Kemudian bisa aja beliau buang kotak mahar ini ke tempat sampah. Jadinya kan tidak ketauan sama aku.""Aku enggak tau. Mungkin dia enggak jadi mengambil karena kepergok oleh Bapak," jawab Mas Wawan enteng. "Iya juga ya, bisa jadi begitu.""Udah ah Dek, enggak usah berpikir kelamaan. Yuk kita cepat cabut dari sini. Bawa barang-barangmu yang penting.""Tapi uang satu jutaku itu gimana?""Ya enggak gimana-gimana. Lupain aja, ikhlasin kalau perlu. Nanti akan kugantiin. Anggap aja itu sedekah sama Ibumu sendiri.""Hmmm, oke deh Mas."Dengan berat hati aku mencoba mengikhlaskan uang satu juta hasil dari aku bekerja. Walaupun aku selalu mendapat perlakuan yang tak adil dari Ibu. Sejak kecil, aku di bedakan dari Mbak Arumi. Karena Mbak Arumi lebih cantik dan berkulit putih. Sedangkan aku berkulit sawo matang seperti Bapak.Dengan cepat aku membereskan barang-barangku seperti pakaianku yang masih bagus dan baru, bahan baku untuk membuat kerajinan makrame, ijazah sekolah dan kuliah, serta buku-buku. Tak lupa beberapa tas dan sepatu koleksiku.Perlu tiga tas untuk mewadahi semua barang-barangku. Tentu saja hal ini membuat Mas Wawan geleng-geleng kepala."Ini memangnya harus di bawa semua ya Dek?" tanya Mas Wawan tak habis pikir. "Iya dong Mas. Lagipula ini sudah kupilah mana barang yang penting dan mana yang enggak," kataku menjelaskan."Tapi enggak usah sebanyak ini juga kali Dek. Aku bisa aja nanti membelikanmu barang baru yang kamu inginkan."Aku menggelengkan kepala. "Kamu memang bisa membelikanku barang baru dan branded. Tapi kamu enggak bisa membeli kenangan yang terselip dalam benda itu.""Hmmm, iya sih. Kenapa kamu bilang ada kenangannya? Atau jangan-jangan ada barang dari mantan pacarmu ya?" tanya Mas Wawan dengan nada cemburu."Widih ada yang cemburu. Kan sudah kubilang kalau selama ini aku enggak pernah pacaran. Kok masih aja sih Mas enggak percaya gitu," jawabku kesal. "Yee siapa yang cemburu. Ya kali aja kan. Soalnya kok banyak banget barang yang mau di bawa," sahut Mas Wawan mengelak ketika kukatakan kalau ia cemburu."Udah deh Mas. Nanti aja deh kalau mau bahas-bahas cemburu di rumahmu aja. Jangan di sini. Aku keburu gerah kalau kelamaan di sini," balasku sambil merapikan kerudungku di depan cermin lemariku."Siap tuan putriku. Yuk kita cabut," sahut Mas Wawan membawakan dua tas besarku. Satu tas lagi aku yang menentengnya.Ketika kami keluar kamarku, betapa kagetnya kami berdua. Ternyata kami sudah di hadang oleh tiga sekawan dengan tatapan wajah sinis. Wajah mereka seperti menghadapi pencuri dan siap untuk menerkam mangsanya.* *"Ada apa nih? Kenapa kalian menghalangi jalanku?" tanyaku yang heran karena Ibuku, Mbak Arini, dan Mas Irgi sudah berada di hadapan kami."Mau kemana kalian? Bisa-bisanya kalian membawa barang sebanyak itu, enak sekali ya," celetuk Ibu sambil berkacak pinggang. "Wah jangan-jangan barang kita juga di bawa Bu! Ayo Bu, cepat kita geledah," Mbak Arumi menimpali. "Iya Bu, bener banget apa yang di katakan Arumi," sambung Mas Irgi yang juga ikut-ikutan nimbrung. Mbak Arumi dan Mas Irgi maju ke hadapanku dan berusaha merebut tas dariku. Namun Mas Wawan langsung menghalangi mereka. "Jangan pernah kalian sentuh lagi istriku!" kata Mas Wawan sambil merentangkan tangannya dan berdiri di hadapanku. "Widih mau jadi pahlawan kesiangan nih si Wawan! Ingat ini rumah kami, bukan rumahmu. Kamu tidak bisa bertindak seenaknya, apalagi membawa barang dari rumah ini tanpa seizin kami," jawab Ibu dengan ketus. "Ini semua barang-barangku Bu. Aku hanya mengambil barang yang ada di kamarku, tak ada satupu
"Cepetan, Mas!" teriakku menyuruh Mas Wawan untuk mempercepat laju motor. Sementara aku sesekali melirik ke arah belakang. Kulihat Ibu dan Mbak Arumi masuk ke dalam rumah. Aku sedikit lega karena akhirnya bisa tenang untuk pergi ke rumah mertuaku. Ternyata dugaanku salah. Saat aku kembali melirik ke belakang ternyata Mas Irgi dan Mbak Arumi menyusul kami dengan menggunakan motor. "Ya ampun, Mas. Mereka ternyata ngejar kita!" Aku mencoba berteriak pada Mas Wawan yang sedang fokus menyetir. Tak habis pikir diriku. Apa kakak dan kakak iparku itu akan mengejarku sampai ke rumah mertua. Masa iya segitunya tak punya malu. Brug! Terdengar suara tabrakan yang cukup keras."Ya Allah, Mas! Mas Irgi sama Mbak Arumi kecelakaan!" Aku menepuk-nepuk pundak Mas Wawan agar segera menghentikan laju motor yang kami tumpangi.Mas Wawan membalikkan arah motor. Kemudian, berhenti di tempat kejadian. Suasana sudah sangat ramai. Banyak warga desa yang sepertinya berniat untuk membantu mereka yang kece
"Mas, ini kopinya." Aku meletakkan kopi panas itu di atas lemari kecil di samping tempat tidur. 'Ah, enggak usah bilang ke Mas Wawan kali ya. Nanti disangkanya aku ngadu domba dengan ibunya,' gumamku dalam hati. Menimbang apakah harus memberitahu soal kejadian ibunya tadi atau tidak pada suamiku ini. "Kenapa melamun, Dek?" Mas Wawan menepuk pundakku pelan. Sontak saja membuatku kaget. "E-enggak Mas cuma tadi kesiram air panas dikit. Aku kok ceroboh gitu." Aku terpaksa berbohong agar Mas Wawan tak curiga tentang apa yang aku pikirkan sebenarnya. "Hah?! Mana yang kesiram?" Mas Wawan bertanya dengan nada dan ekspresi wajah panik.Ia segera meraih tanganku dan meniup-niupnya. Bukan angin yang kurasakan dari tiupan itu, melainkan cinta yang tulus. Rasanya aku memang sudah tak bisa jauh dari sosok lelaki yang jadi imamku ini. "Makasih, Mas, cuma dikit kok. Jadi enggak apa-apa." Aku tersenyum tulus. Memberikan senyum terbaikku. "Lain kali, hati-hati. Mas, enggak mau kamu terluka seujun
"Eh, soal itu. Sebenarnya saya gak enak, Non ngomonginnya." Bi Sumi terlihat ragu untuk mengatakan siapa sebenarnya wanita yang dulu dijodohkan bunda dengan Mas Wawan. "Aku gak akan bilang kok, sama Mas Wawan. Hanya saja kan Bibi lihat sendiri sikap bunda gimana ke saya," ucapku mencoba meyakinkan Bi Sumi agar mengatakannya. "Ah, Bibi takut Non. Kalau terjadi apa-apa sama pernikahan Non Arini sama Den Wawan nanti Bibi lagi yang disalahin." Bi Sumi kekeh dengan pendiriannya. Aku menarik napas dalam. Entah bagaimana lagi caranya menyakinkan Bi Sumi agar mengatakan siapa wanita itu. Kenapa juga bunda begitu membenciku. Apa mungkin ada hubungannya. 'Aku harus cari tahu sendiri,' gumamku dalam hati. Bi Sumi nampaknya masih belum mau terbuka denganku. Mungkin karena aku memang masih baru beberapa hari jadi menantu keluarga ini. Kami memasak aneka jenis makanan. Mulai dari makanan berat sampai cemilan untuk hidangan pembuka. Aku tak pernah tahu kalau arisan mesti masak banyak seperti i
"Kenapa dengan bundaku Dek?" tanya Mas Wawan sambil mengernyitkan keningnya. Aku bisa menebak kalau berpuluh pertanyaan berputar di benaknya. Terlihat dari raut wajahnya yang heran dan menantikan jawaban yang akan keluar dari mulutku.Aku menggigit bibirku, tentu saja aku bingung tujuh keliling. Haruskah aku berkata jujur? Aku takut Mas Wawan akan marah kalau aku mengatakan yang sejujurnya."Eng, enggak. Bundamu baik kok Mas. Tadi Bunda ngajarin aku memasak lho," jawabku dengan cepat agar Mas Wawan tak curiga kepadaku."Oh ya? Bagus dong kalau gitu," celetuk Mas Wawan dengan tatapan penuh selidik. "I, iya Mas Bener banget," balasku gugup dengan tubuh yang mendadak kaku karena tatapan suamiku. Mas Wawan mengelus rambutku lembut. Tatapannya yang penuh dengan selidik kini berubah menjadi teduh. "Alhamdulillah, aku seneng dengernya Dek. Bunda emang pinter masak. Beliau jago masak masakan nusantara dan Korea lho."Mas Wawan malah tersenyum kepadaku, seolah ia tak mengerti apa yang kura
Mas Wawan meraih tangan kananku karena dia duduk di samping kiriku sambil menatapku dengan penuh cinta. Beberapa detik kemudian pandangan itu beralih kepada Bundanya."Makasih ya Bun, insya Allah Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminum vitamin ini setiap hari," tukas Mas Wawan sambil meraih wadah kecil yang berisi 'vitamin' tersebut. "Sama-sama Wan. Bunda senang sekali kalian mau menerima vitamin penyubur kandungan pemberian Bunda ini. Oh iya, dosisnya di minum satu kali setiap malam sebelum Arini tidur," jawab Bunda sambil tersenyum penuh arti.Sementara itu aku merasa ada yang lain dari senyum Bunda. Beliau memang begitu senang Mas Wawan mau menerima vitamin tesebut. Tetapi aku merasakan ada sesuatu yang lain yang sedang di sembunyikan Bunda. "Pasti dong Bun. Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminumnya setiap malam," jawab mas Wawan dengan sumringah sambil sesekali menatapku. Aku hanya tersenyum membalas tatapan mata Mas Wawan yang penuh rasa cinta. Walau dengan sekuat ten
PoV Authordr. Helda masih mencari kantung janin yang berada di rahim Arini. Arini dan Wawan rasanya sudah tidak sabaran ingin mengetahui hasilnya. Sebenarnya Arini tidak siap hamil. Apalagi setelah tau kalau Ibu mertuanya yang tidak suka padanya. Klasik sekali alasan Bu Winarti--Ibunda Wawan-- tidak menyukai Arini karena Arini berasal dari keluarga miskin dan menurutnya Arini tidak jelas asal usul keluarganya. "Bagaimana dok? Apakah istri saya memang benar-benar hamil?" Wawan begitu penasaran seolah tak sabar menunggu jawaban dari dr. Helda. Sementara Arini merasa badannya panas dingin dan gemetar. Dalam hati wanita polos itu merapalkan doa agar terjadi keajaiban yang tidak disangka-sangka. Bukan sama sekali menolak rezeki dari Sang Illahi. Hanya saja kalau saat ini dirinya mengandung jabang bayi, siapa yang mampu melindungi dirinya 24 jam? Memang Arini beruntung mempunyai suami yang sayang, perhatian, dan menerima dirinya apa adanya. Namun tentu saja Wawan tidak bisa selalu ada 2
"Sekali lagi, aku minta maaf, Mas," kata Arini lagi. Gadis itu tidak dapat berkata-kata selain maaf. Kedua pelupuk matanya terasa menghangat, pandangannya kabur, tetapi ia berusaha menahan agar cairan bening yang tertahan itu tidak mengalir. Arini hanya ingin mengungkapkan kegusarannya selama ini. Apalagi ibu mertuanya sudah menunjukkan rasa tidak suka secara terang-terangan. Ia tidak mau beban yang dirasakannya dipendam sendiri dan sampai berlarut-larut ia tahan. Ia tidak mau hal ini menjadi duri dalam daging di dalam pernikahannya. Walau kelihatannya adalah sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Namun Arini takut kalau hal yang kelihatan kecil ini menjadi api pemantik dalam perjalanan rumah tangganya nantinya.Wawan hanya bisa diam. Dia sungguh merasa malu dengan istrinya sendiri. Apalagi ketika tau kenyataan yang sebenarnya kalau Ibundanya sengaja memberikan istrinya pil KB. Padahal ia sudah berkata pada ibunya kalau dia sangat menginginkan seorang anak. Sungguh kenyataan yan
Arumi ternganga mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Ibunya. Dirinya tidak menyangka kalau selama ini Arini bukan adik kandungnya. Memang selama ini Bu Mala selalu membedakan perlakuan kedua anaknya. Bu Mala selalu mengutamakan Arumi ketimbang Arini. Secara fisik memang Arumi jauh lebih cantik dan berkulit putih daripada Arini yang berkulit kuning langsat. Namun soal sifat memang jauh lebih rajin dan penurut Arini. Sejak kecil Arini selalu disuruh mengalah demi kepentingan pribadi Arumi oleh Bu Mala. Arumi selalu mendapatkan fasilitas yang baik, sedangkan Arini mendapatkan fasilitas seadanya. Begitulah Bu Mala membedakan kedua anaknya. Kalau Arumi salah maka ia selalu dibela tanpa mementingkan perasaan Arini. * * Pak Agus hanya menghela nafasnya panjang. Ia hanya diam mendengarkan omelan istrinya yang sudah bosan ia dengar selama berpuluh-puluh tahun ini. Pria tua itu sudah menjelaskan berkali-kali tanpa henti kepada Bu Mala. Namun Bu Mala tetap saja tidak mau mendengarkan.
"Sekali lagi, aku minta maaf, Mas," kata Arini lagi. Gadis itu tidak dapat berkata-kata selain maaf. Kedua pelupuk matanya terasa menghangat, pandangannya kabur, tetapi ia berusaha menahan agar cairan bening yang tertahan itu tidak mengalir. Arini hanya ingin mengungkapkan kegusarannya selama ini. Apalagi ibu mertuanya sudah menunjukkan rasa tidak suka secara terang-terangan. Ia tidak mau beban yang dirasakannya dipendam sendiri dan sampai berlarut-larut ia tahan. Ia tidak mau hal ini menjadi duri dalam daging di dalam pernikahannya. Walau kelihatannya adalah sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Namun Arini takut kalau hal yang kelihatan kecil ini menjadi api pemantik dalam perjalanan rumah tangganya nantinya.Wawan hanya bisa diam. Dia sungguh merasa malu dengan istrinya sendiri. Apalagi ketika tau kenyataan yang sebenarnya kalau Ibundanya sengaja memberikan istrinya pil KB. Padahal ia sudah berkata pada ibunya kalau dia sangat menginginkan seorang anak. Sungguh kenyataan yan
PoV Authordr. Helda masih mencari kantung janin yang berada di rahim Arini. Arini dan Wawan rasanya sudah tidak sabaran ingin mengetahui hasilnya. Sebenarnya Arini tidak siap hamil. Apalagi setelah tau kalau Ibu mertuanya yang tidak suka padanya. Klasik sekali alasan Bu Winarti--Ibunda Wawan-- tidak menyukai Arini karena Arini berasal dari keluarga miskin dan menurutnya Arini tidak jelas asal usul keluarganya. "Bagaimana dok? Apakah istri saya memang benar-benar hamil?" Wawan begitu penasaran seolah tak sabar menunggu jawaban dari dr. Helda. Sementara Arini merasa badannya panas dingin dan gemetar. Dalam hati wanita polos itu merapalkan doa agar terjadi keajaiban yang tidak disangka-sangka. Bukan sama sekali menolak rezeki dari Sang Illahi. Hanya saja kalau saat ini dirinya mengandung jabang bayi, siapa yang mampu melindungi dirinya 24 jam? Memang Arini beruntung mempunyai suami yang sayang, perhatian, dan menerima dirinya apa adanya. Namun tentu saja Wawan tidak bisa selalu ada 2
Mas Wawan meraih tangan kananku karena dia duduk di samping kiriku sambil menatapku dengan penuh cinta. Beberapa detik kemudian pandangan itu beralih kepada Bundanya."Makasih ya Bun, insya Allah Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminum vitamin ini setiap hari," tukas Mas Wawan sambil meraih wadah kecil yang berisi 'vitamin' tersebut. "Sama-sama Wan. Bunda senang sekali kalian mau menerima vitamin penyubur kandungan pemberian Bunda ini. Oh iya, dosisnya di minum satu kali setiap malam sebelum Arini tidur," jawab Bunda sambil tersenyum penuh arti.Sementara itu aku merasa ada yang lain dari senyum Bunda. Beliau memang begitu senang Mas Wawan mau menerima vitamin tesebut. Tetapi aku merasakan ada sesuatu yang lain yang sedang di sembunyikan Bunda. "Pasti dong Bun. Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminumnya setiap malam," jawab mas Wawan dengan sumringah sambil sesekali menatapku. Aku hanya tersenyum membalas tatapan mata Mas Wawan yang penuh rasa cinta. Walau dengan sekuat ten
"Kenapa dengan bundaku Dek?" tanya Mas Wawan sambil mengernyitkan keningnya. Aku bisa menebak kalau berpuluh pertanyaan berputar di benaknya. Terlihat dari raut wajahnya yang heran dan menantikan jawaban yang akan keluar dari mulutku.Aku menggigit bibirku, tentu saja aku bingung tujuh keliling. Haruskah aku berkata jujur? Aku takut Mas Wawan akan marah kalau aku mengatakan yang sejujurnya."Eng, enggak. Bundamu baik kok Mas. Tadi Bunda ngajarin aku memasak lho," jawabku dengan cepat agar Mas Wawan tak curiga kepadaku."Oh ya? Bagus dong kalau gitu," celetuk Mas Wawan dengan tatapan penuh selidik. "I, iya Mas Bener banget," balasku gugup dengan tubuh yang mendadak kaku karena tatapan suamiku. Mas Wawan mengelus rambutku lembut. Tatapannya yang penuh dengan selidik kini berubah menjadi teduh. "Alhamdulillah, aku seneng dengernya Dek. Bunda emang pinter masak. Beliau jago masak masakan nusantara dan Korea lho."Mas Wawan malah tersenyum kepadaku, seolah ia tak mengerti apa yang kura
"Eh, soal itu. Sebenarnya saya gak enak, Non ngomonginnya." Bi Sumi terlihat ragu untuk mengatakan siapa sebenarnya wanita yang dulu dijodohkan bunda dengan Mas Wawan. "Aku gak akan bilang kok, sama Mas Wawan. Hanya saja kan Bibi lihat sendiri sikap bunda gimana ke saya," ucapku mencoba meyakinkan Bi Sumi agar mengatakannya. "Ah, Bibi takut Non. Kalau terjadi apa-apa sama pernikahan Non Arini sama Den Wawan nanti Bibi lagi yang disalahin." Bi Sumi kekeh dengan pendiriannya. Aku menarik napas dalam. Entah bagaimana lagi caranya menyakinkan Bi Sumi agar mengatakan siapa wanita itu. Kenapa juga bunda begitu membenciku. Apa mungkin ada hubungannya. 'Aku harus cari tahu sendiri,' gumamku dalam hati. Bi Sumi nampaknya masih belum mau terbuka denganku. Mungkin karena aku memang masih baru beberapa hari jadi menantu keluarga ini. Kami memasak aneka jenis makanan. Mulai dari makanan berat sampai cemilan untuk hidangan pembuka. Aku tak pernah tahu kalau arisan mesti masak banyak seperti i
"Mas, ini kopinya." Aku meletakkan kopi panas itu di atas lemari kecil di samping tempat tidur. 'Ah, enggak usah bilang ke Mas Wawan kali ya. Nanti disangkanya aku ngadu domba dengan ibunya,' gumamku dalam hati. Menimbang apakah harus memberitahu soal kejadian ibunya tadi atau tidak pada suamiku ini. "Kenapa melamun, Dek?" Mas Wawan menepuk pundakku pelan. Sontak saja membuatku kaget. "E-enggak Mas cuma tadi kesiram air panas dikit. Aku kok ceroboh gitu." Aku terpaksa berbohong agar Mas Wawan tak curiga tentang apa yang aku pikirkan sebenarnya. "Hah?! Mana yang kesiram?" Mas Wawan bertanya dengan nada dan ekspresi wajah panik.Ia segera meraih tanganku dan meniup-niupnya. Bukan angin yang kurasakan dari tiupan itu, melainkan cinta yang tulus. Rasanya aku memang sudah tak bisa jauh dari sosok lelaki yang jadi imamku ini. "Makasih, Mas, cuma dikit kok. Jadi enggak apa-apa." Aku tersenyum tulus. Memberikan senyum terbaikku. "Lain kali, hati-hati. Mas, enggak mau kamu terluka seujun
"Cepetan, Mas!" teriakku menyuruh Mas Wawan untuk mempercepat laju motor. Sementara aku sesekali melirik ke arah belakang. Kulihat Ibu dan Mbak Arumi masuk ke dalam rumah. Aku sedikit lega karena akhirnya bisa tenang untuk pergi ke rumah mertuaku. Ternyata dugaanku salah. Saat aku kembali melirik ke belakang ternyata Mas Irgi dan Mbak Arumi menyusul kami dengan menggunakan motor. "Ya ampun, Mas. Mereka ternyata ngejar kita!" Aku mencoba berteriak pada Mas Wawan yang sedang fokus menyetir. Tak habis pikir diriku. Apa kakak dan kakak iparku itu akan mengejarku sampai ke rumah mertua. Masa iya segitunya tak punya malu. Brug! Terdengar suara tabrakan yang cukup keras."Ya Allah, Mas! Mas Irgi sama Mbak Arumi kecelakaan!" Aku menepuk-nepuk pundak Mas Wawan agar segera menghentikan laju motor yang kami tumpangi.Mas Wawan membalikkan arah motor. Kemudian, berhenti di tempat kejadian. Suasana sudah sangat ramai. Banyak warga desa yang sepertinya berniat untuk membantu mereka yang kece
"Ada apa nih? Kenapa kalian menghalangi jalanku?" tanyaku yang heran karena Ibuku, Mbak Arini, dan Mas Irgi sudah berada di hadapan kami."Mau kemana kalian? Bisa-bisanya kalian membawa barang sebanyak itu, enak sekali ya," celetuk Ibu sambil berkacak pinggang. "Wah jangan-jangan barang kita juga di bawa Bu! Ayo Bu, cepat kita geledah," Mbak Arumi menimpali. "Iya Bu, bener banget apa yang di katakan Arumi," sambung Mas Irgi yang juga ikut-ikutan nimbrung. Mbak Arumi dan Mas Irgi maju ke hadapanku dan berusaha merebut tas dariku. Namun Mas Wawan langsung menghalangi mereka. "Jangan pernah kalian sentuh lagi istriku!" kata Mas Wawan sambil merentangkan tangannya dan berdiri di hadapanku. "Widih mau jadi pahlawan kesiangan nih si Wawan! Ingat ini rumah kami, bukan rumahmu. Kamu tidak bisa bertindak seenaknya, apalagi membawa barang dari rumah ini tanpa seizin kami," jawab Ibu dengan ketus. "Ini semua barang-barangku Bu. Aku hanya mengambil barang yang ada di kamarku, tak ada satupu